Hujan telah reda beberapa menit yang lalu, kini hanya menyisakan hawa dingin yang membuat siapapun malas untuk keluar rumah, dan memilih untuk meringkuk dalam selimut yg hangat.
Namun tidak untuk Alya. Gadis berwajah manis otu tengah sibuk memarkir motor maticnya di depan rumah sederhananya. Setelahnya, ia segera membuka jas hujan yang dikenakan dan masuk ke teras rumah. Hawa dingin yang semakin menusuk tulang tulangnya membuatnya semakin cepat memasuki rumah.
"Assalamu'alaikum," Alya memberi salam.
"Wa'alaikumsalam." Suara merdu dari seorang wanita paruh baya yang muncul dari balik pintu terdengar.
Senyum wanita berhijab hitam itu mengembang saat melihat kedatangan putrinya.
"Tumben telat pulangnya?" tanya Heni yang tak lain ibu dari Alya.
"Iya bu, tadi mampir ke toko buku, jeli keperluan buat besok mau interview kerja." Alya menjelaskan setelah mencium punggung tangan ibunya.
"Lhoh! kamu mau kerja di mana, Nak? Kamu tidak usah terlalu bekerja keras Alya. Bagaimanapun, kamu masih tanggung jawab bapak dan ibu untuk membiayai kehidupan kamu. Kamu cuma harus fokus sama kuliah kamu saja, Nak, " jelas Heni dengan raut wajah yang cemas.
Mengingat Alya begitu bersemangat untuk bekerja demi membiayai kehidupannya sendiri hanya dengan dalih sudah waktunya untuk mandiri, dan tidak terus bergantung pada orang tuanya. Namun, pada dasarnya hal itu merupakan tekad Alya sejak masih SMA, kedepannya untuk kuliah sambil bekerja.
"Alya tidak keberatan, kok, Bu. Malah Alya seneng, kerja bukan hanya soal mencari uang, tapi punya pengalaman baru." Alya menyanggah dengan nada yang riang, bermaksud untuk menepis rasa kekhawatiran ibunya.
Alya tumbuh di keluarga yang harmonis, sederhana yang cukup, dan penuh kasih sayang. Lahir dari seorang ibu bernama Heni yang notabene adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang memiliki usaha kue jika ada pesanan saja. Dan Ayahnya, Adi Saputro, seorang kepala Sekolah Dasar yang bertugas di sekolah yang tak jauh dari rumahnya.
Kasih sayang berlimpah yang ia dapatkan dari kedua orang tuanya membuatnya tumbuh dengan sangat bahagia meski dalam kesederhanaan. Ditambah dengan satu adik laki laki yang dimilikinya membuat kebahagiaannya menjadi sempurna.
Rafa Ardian Putra, remaja yang masih duduk di bangku kelas dua SMA itu selalu menjadi pelindung Alya juga teman untuk bertengkar setiap harinya.
****
Di tempat lain,
Tin ... tin ... tin
Suara klakson mobil terus terdengar seperti tak sabar di depan sebuah pagar rumah mewah di salah satu komplek perumahan elit di kota itu.
Kaca mobil pun terbuka saat tak mendapati seorang disana membuka pintu pagar. Lelaki dibalik pintu mobil itu memandang tak suka ke arah pos satpam yang kosong. Wajah dingin tapi tak mengurangi sejuta pesona yang dimilikinya itu semakin terlihat mempesona saat menunjukkan gurat kemarahan.
Reno Akbar Pratama, sosok laki laki bertubuh tinggi da tegap, berkulit putih dan wajah yang tak pernah menunjukkan ekspresi. Hanya datar.
Perhatiannya akhirnya teralihkan saat meliht dari arah dalam rumah,muncul gadis belia yang tengah berlari kecil menghampiri arah pintu gerbang.
"Duuh! Berisik tau gak!" Gerutu Nana dengan membuka pintu gerbang.
Gadis imut itu adalah Kirana Pratama yang tak lain adalah adik kandung Akbar. Akrab disapa Nana. Sifat manja, jutek, juga bawel menjadi ciri khas dari gadis itu.
Mobil mewah berwarna hitam itupun melaju memasuki area parkir rumah. Tak lama, Akbar keluar dari dalam mobil dan langsung menuju dalam rumah.
"Kak, tunggu!" Nana berseru menghampiri Akbar yang seketika menghentikan langkah, berbalik menatap adiknya itu.
"Dari mana saja sih? Jam segini baru pulang? Mama dari tadi nanyain kakak terus, khawatir tau gak?" Gadis yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama itu mengomel sambil menatap wajah kakaknya yang datar tanpa ekspresi.
"Dari rumah temen" jawab Akbar enteng dan segera berjalan meninggalkan adiknya.
"Kak ....!" Nana memanggil kembali, kini dengan nada yang diselimuti rasa khawatir. Panggilan itu kembali menghentikan langkah Akbar.
"Papa ada di dalam," imbuh Nana.
Tanpa menunggu jawaban Akbar, Nana segera berlari masuk ke dalam rumah meninggalkan Akbar yang masih tertegun mendengarkan kalimat adiknya barusan.
Akbar menghela nafas berat, ia pun melanjutkan langkah kakinya memasuki rumah. Tanpa melihat sekitar, Akbar terus melangkahkan kaki menuju tangga hendak menuju kamarnya.
"Akbar!"
Laki-laki itu menghentikan langkah saat terdengar suara memanggilnya. Matanya menatap malas dan tak suka saat melihat pria paruh baya yang tengah duduk di ruang tamu. Pratama Hendarsyah, yang tak lain ayah kandung Akbar dan Nana.
"Akbar ... Papa ingin bicara dengan mu!" ucap Tama seraya berdiri dari duduknya.
****---****
Mohon dukungannya ya para readers.
Ini novel ku yang pertama di aplikasi ini.
Semoga kalian semua suka dengan alur ceritanya.
Jika suka kasih LIKE yaa, kalau ada yang kurang srek boleh dituangin di kolom KOMEN. VOTE yang banyak juga sangat membantu.
Terima kasih dukungannya.
Pagi ini Alya sudah siap mengenakan pakaian formal untuk menghadiri interview kerja. Dengan menggunakan motor matic kesayangannya, ia hendak menuju alamat di mana kantor itu berada.
Sebelum itu, tak lupa ia meminta izin juga doa pada Heni. "Bu, doain Alya, ya! Nanti saat interview lancar dan Alya bisa keterima," senyum Alya mengembang penuh semangat.
"Iya Nak, ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu, Anakku," Heni menatap Alya dengan haru, mengingat anak gadisnya kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa dan mandiri. Merasai seperti baru kemarin gadis manis itu merengek minta gendong.
Setelah berpamitan, Alya segera berangkat.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke alamat kantor yang dituju. Alya segera menuju Lobby dan mencari informasi ke meja Recepsionist. Setelah mendapatkan penjelasan, ia diarahkan menuju ruang interview dan bergabung bersama peserta yang lain di sana.
...***...
Akbar mengemudikan mobilnya dengan pandangan kosong. Matanya hanya melihat hilir mudik kendaraan di depan mobil, tetapi ia sedang memikirkan hal lain. Perkataan sang Ayah, kemarin terus saja berputar putar di kepalanya.
"Akbar ....! sampai kapan kamu akan hidup tanpa tujuan seperti ini? keseharianmu hanya keluar rumah pagi dan hampir tengah malam kau baru kembali!" geram Tama. Wajah laki-laki paruh baya itu mengeras menahan emosi.
Akbar hanya mematung mendengarkan teguran dari ayahnya. Memang kegiatan Akbar akhir-akhir ini menjadi kacau, dulu ia hidup normal seperti pemuda lain diusianya, memiliki banyak teman, bersemangat melakukan kegiatan yang positif. Hingga akhirnya harus terenggut akibat ulah sang Ayah yang menjadikan dia seperti sekarang. Dingin dan minim ekspresi.
Ia menjadi lebih pendiam, tertutup, juga membatasi berinteraksi dengan orang lain jika tidak benar-benar penting.
"Apa kau tidak berpikir ingin menjadi laki-laki sukses seperti Papa? memikirkan masa depanmu, meneruskan perusahaan Papa! " Tama mulai emosi ketika Akbar tidak menanggapi tegurannya.
"Apa kau juga tidak ingin membahagiakan Mama dan juga Adikmu? membuat mereka bangga!"
Kalimat terakhir yang diucapkan ayahnya membuat Akbar menoleh dengan tatapan tajam. Kalimat itu mampu mendorong gejolak emosinya yang tadinya tenang.
"Papa bilang aku tidak ingin membahagiakan Mama dan Nana? apa Papa lupa jika membahagiakan Mama dan Nana itu juga kewajiban Papa! kewajiban Papa yang sekarang sudah tidak bisa lagi Papa lakukan." Suara Akbar terdengar tenang tapi memberikan penekanan di setiap kata. Seulas senyum remeh tersungging dibibirnya.
Ucapan Akbar yang terlontar membuat Tama gemetar, tangannya terkepal menahan emosi. Tak mau kalah adu argumen dengan anaknya, Tama kembali berucap penuh emosi.
"Jadilah anak yang berguna! Papa membesarkanmu tidak mudah, Akbar! Harusnya kau tahu terima kasih untuk itu!"
Melihat perseteruan dua lelaki berbeda usia itu, membuat Lestari, seorang wanita paruh baya, dengan paras yang masih terlihat cantik diusia yang menapaki senja, melangkah dengan hati-hati menghampiri Akbar.
la mengusap lengan Akbar lembut, dan berucap beberapa kata, namun sanggup mencairkan suasana menjadi lebih tenang.
"Akbar ... cukup Nak, sudah cukup, hentikan!" ucap Tari lembut seraya tersenyum melihat ke arah Akbar. Tatapannya memohon, dan tak bisa disembunyikan jika ibu kandung dari Akbar itu tengah menahan air mata dalam senyumnya.
Melihat sang ibu bersedih, Akbar tak kuasa menahan sakit hatinya. Jantungnya seolah diremas hebat saat melihat kembali ke arah Tama. Jika saja laki laki yang ia panggil "Papa" itu tak menorehkan luka pada hidup sang ibu, keadaanya tak akan menjadi seperti sekarang.
Tak mau terus beradu argumen dengan Tama, Akbar memilih pergi menaiki tangga menuju kamar. Mengabaikan dua pasang mata yang tengah memandang.
"Papa tidak mau tau, besok kau harus datang ke perusahaan cabang, Papa menugaskan mu di sana! belajarlah di sana dengan baik! jangan berani-berani untuk menentang Papa, Akbar!" Akbar tak menghiraukan teriakan Tama yang terdengar meggema ke seluruh penjuru ruangan. Ia memilih abai dan segera masuk ke dalam kamar.
****
Suara notif pesan masuk pada ponsel membuyarkan lamunan Akbar.
Akbar melihat pesan yang terkirim dilayar ponselnya, kemudian beralih melihat jam tangan. Dengan penuh pertimbangan, ia akhirnya memilih memutar laju mobil untuk berbalik arah.
[Akbar, kali ini Mama mohon, Nak. Turutilah kemauan Papa. Demi Mama dan Nana]
****
Kini Akbar sudah berada di depan perusahaan yang disebut Tama kemarin. Perusahaan itu bergerak di bidang furniture eksport-import.
Untuk keluarga Akbar, perusahaan itu hanya dianggap perusahaan yang tidak begitu besar. Hanya anak cabang, dibandingkan dengan perusahaan JayaRaya Group yang lain. Meski demikian perusahaan itu mampu menaungi hampir seribu karyawan.
Dulu Akbar pernah ikut ayahnya mengunjungi perusahaan ini saat usianya masih remaja. Ketika diadakan perayaan tahunan yang selalu digelar untuk memperingati berdirinya bangunan ini.
Setelah hampir sepuluh tahun lamanya, tidak banyak yang berubah dari perusahaan itu. Hanya warna cat pada bagian depan bangunan yang berubah. Bangunannya masih terlihat sama.
Akbar memasuki area parkir dan segera dihampiri oleh security. Security itu bertanya secara sopan dan profesional perihal kedatangan Akbar.
"Panggilkan aku dengan Monic," pinta Akbar.
Dengan sigap Security menunjukkan jalan menuju ruang tunggu tamu. Security itu mungkin tidak tau jika Akbar adalah anak dari Pratama Hendarsyah, pemilik perusahaan ini yang memang kehidupan pribadi keluarganya jarang terekspos.
Akbar duduk di ruang tunggu sambil mengedarkan pandangan kesekeliling ruangan. Matanya terhenti pada satu ruangan kaca yang terletak tak jauh di sebrang ruangan tempat ia duduk.
Matanya mengawasi dengan seksama, seorang gadis berparas ayu dan manis tengah bercakap cakap dengan sesekali memperlihatkan senyum, mata gadis itu terlihat begitu teduh dengan banyak kedamaian di sorot matanya. Bulu mata yang lentik, terlihat beberapa kali mengerjap menambah keindahan dari wajah gadis itu. Tanpa sadar seulas senyum tersungging di bibir Akbar. Senyum yang sudah tidak pernah lagi ia tunjukkan beberapa tahun ini.
Terpesona.
Ya, itulah yang ia rasakan saat ini, kala menatap wajah gadis itu.
"Akbar!"
Suara merdu dari seorang wanita berparas cantik dengan tampilan elegan dan super mewah itu mengalihkan pandangan Akbar dari rasa terpesona pada gadis manis di sebrang sana.
****
**Hai para readers ini novel pertama ku
Mohon dukungannya untuk selalu kasih LIKE, KOMEN, juga VOTE di setiap episode nya.
Tambahkan juga di daftar favorite agar tahu saat Up setiap partnya
Like dan koment kalian sungguh berarti untuk Author karena bisa menjadi semangat untuk terus menulis**.
"Aku senang sekali kamu mau datang ke sini," ucap wanita itu, lalu hendak duduk di sebelah Akbar. Di detik wanita itu duduk, di detik itu juga Akbar berdiri lalu menjauh dengan ekspresi tidak suka.
"Aku tidak ingin berbasa-basi disini! katakan apa yang harus aku lakukan, pekerjaan apa yang diberikan untukku?" tanya Akbar. Wajahnya terlihat mengeras. Sungguh ia merasa sangat muak dengan percakapannya dengan wanita itu.
Terlihat kekecewaan palsu muncul dalam raut wajah wanita itu.
"Baiklah, jika itu maumu, aku akan seprofesional mungkin dalam hal ini. Bekerjalah mulai besok, persiapkan dirimu sebaik mungkin. Aku akan menempatkanmu sesuai perintah Papamu."
Tidak ada tanggapan apapun dari bibir Akbar, hanya sebuah anggukan kecil menandai dirinya setuju.
Suasana hening pun menguar. Namun tak lama, teralihkan oleh suara ketokan pintu.
"Bu Monic! sesi wawancara karyawan baru sudah selesai," ucap salah seorang staff. Segera wanita bernama Monic itu memberi anggukan.
Monica Larasati adalah tangan kanan yang di percaya Pratama untuk menghandle urusan di beberapa perusahaan milik laki-laki itu termasuk perusahaan ini. Namun bukan itu yang menjadi titik berat wanita itu dalam hidup Akbar. Melainkan, wanita itu telah menjadi sumber dari segala kemelut kehidupan Akbar dan keluarganya.
"Akbar!" suara Monic terdengar berat seperti tersekat dit tenggorokan. Ragu-ragu dengan apa yang hendak ia sampaikan.
Shofi ... dia ...." Belum sempat Monic meyelesaikan kalimatnya, Akbar segera berdiri dari duduknya lalu melangkah menuju pintu.
"Jangan jadikan dia umpan dalam penunjang kemewahan hidupmu!" ucapnya yang terdengar seperti ancaman.
Tanpa menoleh lagi pada Monic, Akbar segera keluar dari ruangan itu.
Bersamaan Akbar keluar dari ruangan, bersamaan itu pula sebuah tubuh menabrak dirinya hingga terhuyung hendak jatuh. Akbar segera merengkuh tubuh itu dalam dekapannya dan berusaha menyeimbangkan tubuhnya agar tak jatuh.
"Astaga!" pekikan gadis itu. Ia berusaha lepas dari pelukan Akbar.
Mata Akbar bertemu dengan mata gadis itu, keduanya saling pandang. Akbar terkesima ketika dapat menatap mata gadis di hadapannya ini. Benar benar menenangkan hati saat menatap mata bening gadis itu.
Meta bening itu mengerjab, risih dan salah tingkah mendapat tatapan dari seorang lelaki seperti itu. Ia mencoba melepaskan cengkraman di kedua lengannya, namun yang ia rasakan cengkraman itu malah semakin kuat hingga ia sedikit kesakitan.
"Pak! maaf, tolong lepasin saya, lengan saya sakit," ucapnya memohon dengan kembali menggerakkan kedua lengannya untuk segera terlepas dari cengkraman Akbar. Namun Akbar masih bergeming, masih terpana dengan sorot mata gadis itu.
Mendengar suara berisik diluar ruangan, Monic melangkah keluar melihat apa yang sedang terjadi, matanya membelalak ketika melihat Akbar tengah saling pandang dengan seorang wanita dihadapannya.
Menyadari kedatangan Monic, Akbar sedikit melonggarkan cengkraman tangannya, dan menjadi kesempatan untuk gadis itu meronta dan akhirnya terlepas dari tangan Akbar.
"Maaf, maafkan saya, saya tidak sengaja menabrak Anda," ucap gadis itu dengan sesekali membungkukkan badannya, menunjukkan sikap sopan penuh rasa bersalah.
"Kau ....!" Monic hendak menegur gadis itu, belum sempat kalimatnya terselesaikan, terdengar suara seorang staff memanggil sebuah nama.
"Zahrani Alya Putri!"
"Iya, saya, Bu!" gadis itu berseru menjawab. Kemudian ia menoleh kembali kearah Akbar dan Monic.
"Sekali lagi maafkan saya, saya permisi dulu," ucap Alya lalu segera berlari kecil menuju ruang interview.
Melihat tingkah gadis yang memiliki nama indah seindah parasnya, Akbar kembali mengulas sedikit senyum di bibirnya. Irama jantungnya kini berubah berdetak lebih cepat.
Sejenak Akbar mematung melihat Alya menghilang memasuki sebuah ruangan. Hatinya yang dingin dan tidak pernah tertarik terhadap apapun beberapa tahun terakhir ini seolah merasakan hal lain. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat saat melihat mata gadis itu. Ada ketertarikan sendiri pada diri Alya.
Zahrani Alya Putri
Dalam hati Akbar menyebut nama itu berulang dan masih mematung di tempatnya.
"Kau tidak apa apa?" suara Monic seketika membuyarkan lamunannya.
Tanpa menoleh dan menangapi pertanyaan Monic, ia memilih untuk segera pergi.
"Karin! segera persiapkan semuanya untuk besok!" perintah Monic kepada sekertarisnya dan di sambut dengan anggukan mengerti oleh Karin.
"Semoga kau hanya bermain main saja di sini Akbar, bukan untuk berniat mengambil alih perusahaan ini. Jika sampai itu terjadi, tidak semudah itu. Kau harus berhadapan denganku terlebih dulu."
Monica membatin dengan tatapan yang tersirat kebencian dan khawatir.
***
Alya merebahkan diri diatas ranjang kamarnya. Setelah seharian menjalani sesi wawancara melamar pekerjaan, akhirnya staff memutuskan besok adalah hari pertama ia bekerja. Ia diterima sebagai admin di bagian produksi. Mengingat ia melamar hanya bermodalkan ijazah SMA.
Keinginannya untuk menjadi pekerja kantoran di sebuah perusahaan harus disimpannya dulu hingga kuliahnya selesai, tetapi ia sangat mensyukuri apapapun yang ada di hidupnya sekarang ini.
Terdengar suara ketukan pintu.
"Alya ... boleh Ibu masuk?" seru Heni di balik pintu.
Alya segera bangun dan membuka pintu. Terlihat ibunya tersenyum dan Alya segera memeluk ibunya.
"Alya diterima kerja, Bu," ucap Alya dengan bahagia.
"Alhamdulillah kalau begitu, kamu harus hati hati, ya, Nak. Pekerjaan ini pertama buat kamu, Al," tutur Heni. Wanita paruh baya itu tersenyum lembut sambil mengusap-usap punggung tangan Alya.
Alya segera mengangguk mendengar nasihat dari ibunya.
"Sekarang kamu mandi, sholat lalu segera makan, Bapak juga sudah datang tadi siang, nunggu kamu mau diajak bicara," sambung Heni.
"Alhamdulillah Bapak udah datang, Alya juga sudah kangen. Alya bersih bersih dulu ya Bu, lengket semua seharian keringetan," ucapnya.
Alya berjalan keluar kamar dan segera menuju kamar mandi. Membersihkan diri dan bersiap untuk bercengkeramah kembali bersama keluarganya.
****
Akbar melepas jaket dan duduk di sofa ruang tamu, menyandarkan kepalanya dengan mata terpejam di bahu sofa.
"Akbar, kamu capek, Nak?" Tari duduk di samping Akbar.
Mendengar ucapan ibunya, Akbar membuka mata dan menatap wajah Tari.
"Enggak, Ma," Akbar tengah memandang Tari. Ada sesuatu yang ingin ia utarakan, tapi lidahnya kelu tak mampu berucap. Ia takut salah dan malah melukai hati sang Mama.
Tari tersenyum lembut melihat kegusaran yang nampak pada wajah tampan putranya.
"Tidak apa apa, Nak. Semuanya akan baik-baik saja. Mama sekuat ini karna Mama punya kamu dan Nana," tutur Tari seraya mengusap pipi Akbar.
Akbar hanya termenung melihat wajah Tari. Perempuan cantik yang terlihat dari luar seperti perempuan lemah, ternyata memiliki kekuatan untuk tetap bertahan atas segala masalah yang selama ini ia hadapi. Segala kepahitan yang telah ditorehkan Ayahnya pada wanita itu.
"Akbar akan melindungi Mama dan Nana"
**--**-***-**--**
**Terima Kasih banyak untuk yang sudah membaca cerita ku ini,
Terima Kasih banyak yang sudah kasih like dan beberapa coment.
Terus kasih like ya readers sebagai wujud dukungan kalian buat Author, apalagi mau nulis coment walau cuma kata Next, itu berarti banget buat Author.
Terima Kasih**.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!