Aruhi kecil terbangun dari tidur tak lelap oleh suara omelan bercampur tangisan putus asa yang semakin menjadi-jadi. Perlahan gadis kecil itu turun dari tempat tidur dan mengintip dari balik pintu kamar.
Di ruang tengah yang sangat berantakkan, seorang wanita muda cantik nan jelita sedang duduk di sofa. Wanita itu adalah Ibunda Aruhi, Salsa. Di hadapannya ada sebuah meja dan di atas meja terlihat botol-botol minuman keras berjejer tak beraturan. Beberapa di antaranya tergeletak kosong.
Ibu minum-minum lagi.
Wanita itu menangis terisak-isak sambil memasang rokok di celah bibir, nyalakan api, kemudian dekatkan api pada ujung rokok. Mungkin karena terlalu banyak minum atau mungkin karena guncangan tangis, tangan sedikit gemetar, hingga tak berhasil membakar rokok. Dia kembali memaki.
"Oh sial ... kehidupan seperti apa ini? Laki-laki macam apa ini? No money ... no pride ... no everything. Bahkan rokok sialan ini tak berpihak padaku!"
Korek kembali dinyalakan, ujung rokok berhasil tersulut api. Rokok dihisap, ditahan dan ditiup perlahan. Dinikmati dalam kesendirian, dalam keremangan. Suara tangisanpun ikut mereda. Aruhi bernapas lega. Suasana hati Ibu sepertinya membaik setelah merokok.
Apakah ada hal lain yang Ibu inginkan? Aruhi kecil berpikir.
Ayah bekerja keras dan hasilkan uang. Mereka miliki rumah walaupun bukan rumah mewah dan selalu punya makanan. Ibu berpakaian bagus dan memakai kosmetik di wajah cantiknya. Penampilannya selalu menarik. Apa yang Ibu inginkan lagi? Aruhi tak pernah bandel atau cengeng seperti anak-anak lain. Saat ibu pulang bekerja, Aruhi tak pernah minta dipeluk atau dimanja. Juga tak pernah menangis dan buat Ibu kesal sekalipun kelaparan seharian, Aruhi tak pernah merengek. Dia takut sebabkan Ibu marah.
Ingin sekali mendekat pada Ibu dan menghibur, tetapi terakhir kali lakukan hal itu, Ibu marah-marah dan menampar kedua pipinya dengan ponsel. Aruhi ingat berlarian ke kamar, menangis hingga pagi dan meringkuk di sudut kamar. Dia juga tak ke sekolah esok harinya, sebab teman-teman pasti akan melihat aneh pada bengkak di sudut-sudut matanya. Aruhi mengerti Ibu mungkin sedang capek. Atau mungkin kesal pada Ayah yang jarang pulang.
Perut kecil Aruhi berbunyi dan baru ingat semalam tak makan sama sekali. Ibu tak masak sekalipun kulkas penuh bahan makanan. Sementara pengasuh bayaran hanya memasak untuk siang hari.
Ibu cuma tiduran sepulang kerja, merengek separuh menangis dan mulai mabuk-mabukkan. Aruhi akhirnya cuma mengisi perut dengan sandwich nutella dan sekotak susu cokelat. Untung masih ada tertinggal di dalam tas sekolah, sisa parcel ulang tahun dari teman sekelasnya.
"Ayah ... bisakah Ayah pulang sekarang? Aku rindu pada Ayah?"
Gadis kecil malang itu berbisik pada dingin angin malam yang berhembus. Ayah sangat sibuk, sebab Ayah Aruhi bekerja sebagai sopir pribadi dari seorang aktor terkenal.
Beliau jarang berada di rumah. Siang hari, biasanya Aruhi diasuh oleh seorang babysitter yang dibayar perjam. Ibu pergi bekerja dan pulang sore hari lalu tidur sampai malam. Tengah malam Ibu akan mulai minum dan mabuk lagi.
Kadang Ibu pulang diantar laki-laki berbeda. Para tetangga sering bergosip tentang pekerjaan Ibu dan mereka membicarakannya saat melihat Aruhi.
"Ayah jarang pulang, Ibunya sering bersama banyak pria. Malang sekali ...."
"Ibunya pasti wanita tak beres ...."
"Ibunya pasti menjual diri ...."
"Jangan-jangan Aruhi itu bukan anaknya, jadi ayahnya jarang pulang ...."
Masih banyak lagi.
Aruhi masih terlalu kecil untuk mengerti tetapi bahasa dan nada suara mereka bahkan bisa dipahami oleh anak kecil.
Lama Aruhi terdiam mengintip. Lalu suara mobil masuk pekarangan rumah membuatnya sangat - sangat gembira.
"Ayah pulang ... " bisiknya riang.
Dia berlari ke jendela kamar dan berseri-seri melihat Ayah keluar dari mobil dengan banyak barang bawaan. Aruhi menahan diri untuk tak pergi keluar. Dia akan berpura-pura tidur sebab Ayah pasti akan datang ke kamarnya dan mulai mengelus rambutnya.
"Apa yang sedang kau lakukan, Sayang? Mengapa minum-minuman keras di pagi buta dan merusak kesehatanmu? Apa yang kamu lakukan dalam rumah sementara ada anak kecil di sini?"
Suara Ayah terdengar kesal walaupun bicaranya pelan. Aruhi turun dari tempat tidur dan kembali mengintip. Bau asap rokok bercampur alkohol dengan cepat tercium oleh hidung kecilnya.
Ayah meraih botol-botol dan masukkan semuanya ke dalam plastik sampah. Ibu terlihat tak peduli.
"Apa yang kau inginkan? Ini bukan contoh yang baik untuk Aruhi."
Ayah merebut rokok dari tangan Ibu dan hancurkan benda itu.
"Jangan ganggu aku! Kau laki-laki sialan. Lihatlah aku sekarang! Hidup tanpa uang, tanpa harga diri. Tak ada apapun yang bisa aku pamerkan pada teman-temanku. Tak ada apapun."
Ibu mulai mengumpat sementara Ayah terlihat sabar hadapi tingkahnya itu. Ayah menahan emosi sekalipun harga diri pasti terluka.
"Sayang, kamu lagi mabuk. Ayo, kuantar kamu tidur!"
"Oh ... berhentilah bersikap manis seperti itu! Aku muak padamu, pada hidupku."
"Baiklah, katakan apa yang kamu inginkan? Kita bisa selesaikan ini tetapi bukan dengan minum-minum. Okay?"
"Aku ingin pergi kuliah bukan bekerja. Aku ingin uang banyak, harta berlimpah dan mobil mewah. Aku juga tak ingin bertemu Puteri sialanmu itu."
"Salsa! Jaga ucapanmu! Aruhi adalah Puterimu. Bagaimana bisa kamu bicara seperti itu?"
"Harusnya kau dengarkan aku! Harusnya aku aborsi saja waktu itu. Lihatlah aku sekarang!"
"Baiklah, jika kamu ingin ke kampus untuk kuliah. Lakukanlah! Berhentilah menyiksa dirimu sendiri dan berhenti bicara tidak-tidak tentang Aruhi. Okay?" bujuk Ayah.
Ayah memapah Ibu ke kamar tidur dan menyetel musik penghantar tidur. Aruhi menutup pintu pelan dan naik ke tempat tidur. Lunglai.
"Jadi, karena aku? Ibu tak menyukaiku?"
Aruhi terisak. Pikirnya Ibu marah dan mudah kesal karena sesuatu pasti terjadi di tempat kerja.
"Tetapi ... Ibu seperti itu karena aku. Mengapa Ibu tak suka padaku? Teman-teman di sekolah juga tak menyukaiku. Mereka anggap aku anak aneh. Padahal aku tak lakukan apapun yang membuat mereka marah. Aku hanya tak ingin berteman."
"Aruhi???"
Panggilan halus di pintu kemudian langkah kaki mendekat. Dihapusnya air mata. Ayah tak boleh lihat ia bersedih.
"Ya, Daddy ...."
Aruhi bangun dan memeluk Ayahnya erat. Rindu sekali pada Ayah.
"Kamu belum tidur?"
"Aku rindu Ayah. Sangat rindu. Aku juga lapar, Ayah. Mengapa Ayah pergi begitu lama?"
"Ayah di sini sekarang, Sayang. Ayo, kita ke dapur. Kamu mau makan mie sehat? Ayah akan buatkan untukmu?"
Aruhi mengangguk penuh semangat lekas lupakan sedih.
"Ayo, Ayah."
Aruhi duduk di meja makan sementara Ayah merebus mie instan. Aroma mie menguap hingga menembus ke perut kecilnya. Dia sangat kelaparan sekarang.
Benn Amarante adalah seorang pria tampan dan baik hati yang menikahi Salsabila, gadis muda rupawan dari keluarga kaya raya dan kalangan berada. Hubungan keduanya tak direstui. Benn dulunya pengawal pribadi Salsa, sebelum keduanya jatuh cinta lalu putuskan larikan diri. Mereka kabur menjauh dari orang tua Salsa dan hidup di pinggiran kota kecil bersama Puteri mereka, Aruhi.
Belakangan Salsa tak bisa lagi menerima guncangan hidup bersama pria kurang harta. Padahal, Benn penuhi kebutuhan hidupnya.
Itu tidak cukup!
Salsa terbiasa bergelimang harta dan berfoya-foya. Hidup tanpa uang dan banyak kepalsuan buat Salsa tertekan.
"Nah, ini dia. Mie sehat. Ada mie, telur, sayuran. Enak bukan???"
"Iyah, Ayah."
"Ayo dimakan, Sayang!"
Aruhi mulai makan sambil meniup mangkuk agar cepat dingin.
"Awwhhh ... panas, Ayah," serunya sambil mengibas-ngibas mulutnya.
"Itu kepanasan atau kepedasan?" tanya Benn pada Aruhi. Pria itu mengecup puncak kepala puterinya penuh kasih sayang. "Apa Ayah salah tumpahkan saos? Cabe bukan tomat?"
"Ini kepanasan." Hening. "Ayah, bolehkah aku ikut Ayah pergi bekerja? Sekolah membosankan."
Benn menghela napas berat dan tuangkan air untuk Aruhi.
"Kamu tak suka sama pengasuhmu?"
Aruhi mengangguk. Tapi, Aruhi tak beritahu Benn bahwa pengasuhnya sangat tidak perhatian. Sang pengasuh bahkan habiskan semua jatah makan siang Aruhi. Itulah mengapa Aruhi sering kelaparan.
***
Stay on, yah!
Jika suka ceritanya jangan lupa like, favorit, share, vote.
Makasih sudah mengikuti saya kemari!
By Senja Cewen ....
No Plagiat!!!
Aku akan menindak tegas segala macam plagiat terhadap karyaku!
Aroma sosis goreng menyeruak ke dalam kamar dan berhasil buat perut Aruhi berbunyi keras. Gadis kecil itu tersenyum senang. Andaikan selalu ada Ayah tiap pagi begini. Hidupnya pasti tak melulu kelabu. Penuh semangat Aruhi turun dari tempat tidur. Dia mengintip dari balik pintu. Ruang tengah sudah rapi dan bersih, tidak seperti semalam. Aroma rokok dan alkohol telah hilang berganti aroma lime segar. Sedangkan Ayah terlihat sangat tampan dengan celemek jeans biru tua, sibuk mengatur makanan ke atas meja makan.
Wajah Benn terangkat saat mendengar bunyi gesekkan pintu.
"Ruhi???"
"Ayah!!!"
Aruhi setengah berlari dan melompat ke dalam pelukkan Benn. Dia tenggelam dalam dekapan erat sang Ayah sangat lama, seakan tak ada hari esok.
"Pagi, Tuan Puteriku yang cantik. Ayah buatkan nasi goreng, sosis panggang dan ayam panggang kesukaanmu. Bagaimana?"
"Hore ...."
Ruhi segera duduk di meja makan. Sarapan Ruhi tiap pagi, biasanya cuma roti panggang atau sandwich. Pagi ini sungguh spesial, bikin liurnya meleleh. Aruhi hendak menyentuh makanannya, tetapi ....
"Eitttt tunggu dulu! Sebelum itu, pergilah mandi dan sikat gigimu, yah!"
"Ah, Ayah. Nanti saja! Aku sangat kelaparan. Coba Ayah dengar ini! Perutku berteriak minta makan," jawab Aruhi bersungut manja sambil menepuk perutnya.
"Baiklah. Sekali ini saja, yah. Lain kali tak ada kompromi. Apalagi jika tak ada ayah, kamu harus mandi dan sikat gigi sebelum sarapan!Sekarang cuci tanganmu dulu, Nak."
"Baiklah, Ayah."
Aruhi mengangguk patuh, cepat-cepat pergi cuci tangan dan mulai makan dengan lahap. Apa karena ini masakkan Ayah? Rasanya luar biasa lezat. Benn tersenyum lebar pada Aruhi sebelum kembali sibuk dengan piring-piring kotor.
Aruhi makan empat suapan penuh, mengunyah pelan lalu minum seteguk air. Sebelum lanjut makan, dia bertanya, "Ayah, tidak bekerja hari ini?"
"Ayah baru akan pergi siang nanti!"
"Tapi ini hari Sabtu. Mengapa tak tinggal saja? Kita bisa pergi ke Wahana Dream Land. Teman-temanku pergi ke sana bersama orang tua mereka. Kita bisa ajak Ibu dan bersenang-senang."
Berkhayal menggandeng tangan Ayah-Ibu di jalanan menuju wahana berhasil buat Aruhi berbinar-binar. Pasti sangat mengasyikkan.
"Sayang ..., ayah adalah seorang asisten selebriti terkenal dan beliau itu orang sibuk. Jadi, ayah harus selalu siap sedia didekatnya, menyetir untuknya dan pastikan semua urusan berjalan lancar."
"Oh ... baiklah Ayah. Kita mungkin bisa pergi di lain waktu." Aruhi sedikit kecewa tetapi tak bisa paksakan kehendak.
"Habiskan sarapanmu sebelum dingin! Kamu bisa tersedak jika makan sambil bicara."
Nasi goreng di piringnya hampir habis. Tersisa dua suap lagi ketika Ibu keluar dari kamar sembari mendorong koper pakaian. Ayah sibuk bersihkan dapur dan cucian kotor hingga tak melihat Ibu.
"Ibu, mau kemana?" tanya Aruhi pelan. Benn berbalik mendengar pertanyaan Aruhi dan menatap nanar pada Salsa.
Pertanyaannya sama seperti Aruhi.
"Kamu mau kemana, Salsa? Apakah kamu akan keluar kota?"
Salsa bekerja sebagai akunting di garmen pinggir kota. Salsa tak begitu suka pekerjaan itu, tetapi tetap pergi bekerja untuk mengisi waktu.
"Maafkan aku, Benn. Harus berakhir seperti ini. Aku sungguh tak tahan. Jadi, sebaiknya aku pergi, kembali pada keluargaku. Aku mungkin akan berakhir di pusat rehabilitasi jika tak segera melakukannya."
Benn kemudian menjadi waspada. Segera ia lepaskan celemek dan putari meja makan. Kedua tangan meraih bahu Salsa dan pegangi erat.
Wajah wanita itu ... tetap cantik ... sekalipun tampak tak bergairah. Mata Salsa pancarkan kesedihan.
"Sayangku. Salsa ..., bukankah kita sudah bicara semalam? Jika ingin kuliah dan ke kampus, pergilah! Aku akan mencari ua ...."
"Maksudmu, kampus untuk kalangan biasa di jalanan kumuh depan?" potong Salsa muak dan jijik. "Maafkan aku, Benn. Ibuku benar. Aku tak bisa hidup tanpa harta dan kekayaan sebab aku terlahir untuk miliki itu semua. Cintaku begitu buta padamu hingga rela lepaskan hak-hak istimewa yang diberikan cuma-cuma padaku. Aku masih muda, jalanku masih panjang. Aku hanya perlu merangkak dan minta ampun pada kedua orang tuaku. Mohon maafkan aku."
"Mari kita bicarakan ini baik-baik. Ingat tempo dulu, saat pertama kali kita pergi dari rumahmu? Kamu yakin akan hidup bersamaku, apapun keadaannya. Pertimbangkan itu, Sayang."
Salsa menggeleng, "Maafkan aku, Benn."
"Kamu akan tinggalkan aku dan Aruhi?"
Salsa berkaca-kaca. Benn mundur perlahan, tahu bujuk rayu sia-sia. Salsa jelas tak bahagia, sinar mata itu sangat redup. Salsa melangkah dekati Aruhi, berlutut di depan Puterinya.
"Aku bukan Ibu yang baik. Maafkan aku. Kamu bisa hidup bahagia bersama Ayahmu dan segera lupakan aku ...."
Aruhi menahan luapan air mata yang akan tumpah. Melihat Ibu mendorong koper sudah buatnya cukup sedih.
"Tolong, jangan pergi Ibu! Aku berjanji, tidak akan nakal atau cengeng. Tak akan buat Ibu marah." Tangis Aruhi akhirnya pecah juga. Anak malang itu meraih tangan mulus Salsa dan menciumnya hangat. Menahan tangan itu di dadanya. Tak apa dipukuli atau tak dipedulikan, Aruhi akan sanggup semua rasa sakit itu.
"Aku tak akan terlihat, jika itu mau Ibu. Tolong jangan pergi, Ibu. Apa yang bisa buatmu bahagia? Ibu boleh merokok dan minum-minum, asal Ibu tak pergi!" katanya lagi mulai berlinang air mata.
Salsa menggeleng, menarik tangannya dari genggaman Aruhi.
"Jika nanti kamu dewasa dan bertemu denganku, berpura-puralah, tak mengenalku. Itu bisa buatku bahagia."
Salsa bangkit berdiri, menghapus air mata dan menarik kopernya. Dia bahkan tak mengecup kening Aruhi. Sementara Benn berdiri tertegun. Aruhi melompat turun dan menyusul Ibunya hingga ke pintu keluar.
"Ibuuuuuuu!!! Tolonglah ... jangan tinggalkan aku. Ibu boleh menamparku sesuka Ibu. Aku tak akan menangis. Tolong jangan pergi!"
Tangannya menarik ujung mantel Salsa. Wanita itu terpaku sejenak. Dia mendongak ke langit-langit rumah, menahan air mata sebelum mengibas tangan kecil Aruhi.
"Maafkan aku, Ruhi!"
"Ibu ... maafkan aku jika membuatmu kesal. To - long, jangan pergi!"
Dia berbalik pada Ayahnya yang berdiri tak berdaya.
"Ayah, kenapa diam saja? Ibu akan pergi, aku mau Ibuku!"
Aruhi makin menjerit saat melihat sebuah sedan mewah berhenti di depan rumah sederhana mereka. Seseorang keluar dari mobil dan membungkuk memberi hormat ketika Salsa melangkah keluar dari pekarangan.
"Nona Salsa, Tuan dan Nyonya Besar menanti kedatangan anda."
"Aku hanya pernah menikahi Benn Amarante tetapi tak pernah punya anak dengannya."
"Jangan kuatir, Nyonya. Selama ini anda hidup dengan nama dan identitas palsu. Jadi, anda tetap single sampai hari ini. Bahkan pernikahan anda dan Ben, tidak sah di mata hukum."
"Baiklah. Mari kita pergi!"
Aruhi menangis hebat dalam dekapan Benn melihat kepergian Ibunya. Ini sungguh buruk. Ibu benar-benar pergi. Benn mengecup puncak kepala Aruhi memberi penghiburan.
"Aruhi, Ibumu punya alasan. Jangan menangis lagi dan jangan membencinya, yah!"
Aruhi terus menangis berderai air mata hingga mengundang perhatian tetangga. Mereka melongok ingin tahu dan mulai bisik-bisik. Aruhi tak sanggup hidup tanpa Ibu. Tak mampu pula hadapi teman-temannya nanti saat sekolah dimulai. Mereka pasti akan bicara tentang sikapnya yang aneh hingga tak ada seorangpun bertahan di dekatnya.
"Bisakah Ayah tak pergi hari ini? Aku tak ingin ditinggal, Ayah?"
"Sayang, pengasuhmu akan segera datang. Ayah mengganti dengan seseorang yang baru. Namanya, Danish."
"Apakah Ayah akan pergi lama?"
"Emm .... Ayah akan kembali secepatnya, yah. Mau makan ice cream?"
Aruhi menggeleng masih sesegukkan. Semakin dihapus, semakin banyak air matanya mengalir.
"Aku ingin Ibuku, Yah. Mengapa Ibu tak suka padaku? Aku sangat sayang padanya."
***
Malam merambat naik. Udara dingin menelusup ke tiap-tiap sudut ruangan. Dibalik selimut hangat, Aruhi bergelut gelisah. Wajah Ibu terus membayangi dan kepergian mendadak Ibu pagi tadi terus berulang dalam ingatan. Ayah belum pulang untuk akhiri kesepian dan menghiburnya. Sedangkan pengasuh baru, tertidur pulas di sofa ruang tengah. Sofa ... tempat Ibu biasa berkeluh kesah. Dengkuran Danish menggema dalam rumah kecil mereka.
"Ibu ... kasihanilah Ruhi ...." Aruhi mulai meratap lagi. Air mata mengalir begitu saja, tanpa mampu dihentikan.
"Ibu ... teganya Ibu pada Ruhi ...."
Bantal digenangi air mata, selimut pun ikut basah oleh lelehan ingus. Mata kecil Aruhi telah bengkak dan perih sebab terlalu banyak menangis.
Tak apa jika Ibu mengomel seperti malam - malam yang telah lewat. Atau minum-minum dan merokok sambil mengumpat, asalkan Ibu ada di rumah ini. Tak tinggalkan Aruhi seorang diri. Tak pernah ditimang dan tak dipedulikan, bukan masalah, terpenting Ibu tidak pergi. Itu saja.
"Ibu ... apa yang harus Ruhi lakukan agar Ibu mau tetap di sini?" Isak demi isak hingga tenggorokannya kering.
Benn kembali ke rumah dan langsung menuju kamar tidur Aruhi. Gadis malang itu pasti masih bersedih teringat Ibunya. Itu terdengar jelas dari tiap segukkan keras. Apa dia menangis seharian? Benn menghela napas berat dan menghembuskan perlahan. Dibelainya wajah imut kemerahan itu. Sisa-sisa air mata menempel di sana.
"Ayah???"
Aruhi bangun dan memeluk Benn erat.
"Kamu belum tidur, Nak?"
"Bisakah kita menyusul Ibu dan mengajaknya pulang? Baru sehari tetapi Aruhi sudah tak sanggup tanpa Ibu ... " ujar Aruhi mulai menangis.
"Sayang ...."
"Aku mohon Ayah. Bisakah kita mencoba?"
"Baiklah. Kamu harus tidur sekarang dan kita akan pergi menemui Ibumu besok."
"Janji?"
"Yah ... ayah janji."
Aruhi sedikit terhibur dan tidur lelap dalam dekapan sang Ayah hingga pagi menjelang.
*********************************************
Aruhi terbangun di pagi hari dengan harapan baru di benaknya, membawa Ibu kembali pulang. Aroma roti panggang dan telur dadar tercium menggoda, tak begitu ia tanggapi. Buru-buru Aruhi meloncat turun dan langsung ke kamar mandi. Dia menyikat gigi, mandi dan bertukar pakaian. Rambut cokelatnya diurai. Jepit Hello Kitty menahan poninya agar tak tercerai-berai. Ia bergegas membuka lemari pakaian. Ada banyak gaun cantik yang Ayah belikan untuknya. Aruhi memilih satu berwarna pink dan bermotif bunga sakura.
Ketika keluar kamar, Ayah menyambutnya takjub. Ayah juga keheranan.
"Ruhi??? Cantik sekali ...."
"Iyah, Ayah. Bukankah pagi ini kita akan ajak Ibu pulang?"
Aruhi berdiri ragu-ragu di pintu sebab Ayah tampak belum siap-siap, seperti lupa pada janji semalam. Benn tersadar setelah mendengar permintaan polos penuh harapan itu.
"Eh, itu ... baiklah. Kita sarapan dulu, yah."
Benn mengangguk setuju dalam hati mulai gelisah. Bukan hal mudah mengajak Salsa kembali, bahkan bisa dibilang itu mustahil.
"Bagaimana kalau kita pergi ke Wahana Dream Land? Katamu sangat ingin pergi ke sana?"
Benn coba trik lain untuk alihkan perhatian Aruhi. Disangkanya Aruhi lupa pada janji semalam.
"Itu bagus, Yah. Tapi, setelah kita ajak Ibu, ya ... " sahutnya mengambil sepotong roti dan mulai mengunyah. Mata Aruhi sedikit bengkak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Benn tak kuasa melihat kesedihan Aruhi.
"Baiklah ... habiskan sarapanmu! Ayah akan bersiap-siap."
Benn menegakkan bahu, mantapkan hati. Jika Aruhi masih ingin berjuang untuk Salsa, mengapa Benn malah menyerah? Pria itu pergi ke kamar dan kembali 20 menit kemudian dalam balutan jas hitam, necis.
"Ayo ... Ayah, tapi apakah Ayah tahu rumah Ibu?"
"Emm ... tentu saja. Aruhi ... kemari dulu, Nak!"
Benn mengangkat Aruhi dalam gendongannya.
"Seumpama, Ibumu tak ingin pulang bersama kita, bisakah kamu tidak memaksanya?" tanya Benn hati-hati.
Aruhi berpikir sejenak sebelum menjawab, "Bagaimana kalau kita coba dulu, Ayah?"
"Iyah, tentu saja. Hanya saja ... ayah tidak mau kamu bersedih lagi setelah melihat Ibumu. Apalagi jika Ibumu menolak pulang bersama kita."
"Baiklah, Ayah ... tapi, kita harus coba dulu!"
Benn mengangguk sepakat dan pergi ke garasi sambil tetap menggendong Aruhi. Benn menciumi wajah puterinya gemas. Bagaimana mungkin Salsa menolak gadis mungil seperti Puteri dari negeri dongeng ini? Mata Aruhi cokelat bening keoranyean. Begitu memikat dengan pupil mata besar dan bulu mata lentik. Saat tersenyum lesung pipinya terbentuk di bawah haluan rahang pipi, tidak begitu dalam dan saat menangis bulu matanya jadi semakin lengkung. Benn kembali mengecup Aruhi sebelum pasangkan sabuk pengaman.
Benn menerima kabar dari teman pengawalnya bahwa Salsa berada di Paviliun Diomanta. Rumah megah yang dibeli Tuan Dio jika Salsa berubah pikiran dan melepas Benn Amarante. Itu berarti mereka masih di satu pulau walaupun berbeda distrik.
Perjalanan cukup panjang ke rumah mewah Salsabila. Letak rumah itu di distrik center dengan gerbang tinggi menjulang dan pekarangan luas. Butuh waktu satu jam untuk sampai ke sana dengan kecepatan sedang.
"Bukankah kita akan bertemu Ibu? Mengapa kita ke tempat ini, Ayah?"
Aruhi sepenuhnya heran. Rumah di depan mereka bak istana dalam film-film di Disney.
"Ini rumah Ibumu, Ruhi."
"Benarkah Ibu tinggal di sini? Mungkinkah karena rumah kita tak semegah ini."
Tak ada tandingan. Rumah kecil mereka sama dengan rumah penjaga gerbang di depan sana. Pekarangan rumah ini seluas satu kompleks perumahan mereka. Aruhi menjadi sedih. Ibu pasti tak akan mau ikut pulang.
Mobil mereka berhasil lolos berkat bantuan teman-teman pengawal Benn. Meskipun beresiko kehilangan pekerjaan, mereka tetap setia kawan. Lagipula, Benn mengendarai mobil milik Leon Durante, Bosnya. Tuan Dio sangat hormat pada Tuan Leon.
Suasana rumah megah itu cukup ramai. Beberapa mobil mewah terparkir di halaman. Mungkin, sang Ayah adakan pesta sambutan untuk kepulangan Sang Puteri tercinta.
"Benn, ini pertolongan terakhir dariku. Kamu cari mati dengan datang kemari."
Seorang pengawal kepercayaan Diomanta, teman Benn memberi peringatan. Keduanya mulai berbincang.
"Ada acara apa, Yama?"
"Nona Salsa akan menikahi William Conrad ... kamu tahukan Mr. Conrad? Pemilik saham kedua terbesar Diomanta Company?"
Benn menggangguk lesu mendengar jawaban seseorang yang bernama Yama itu.
"Sebaiknya kamu pergi sebelum Tuan Dio melihatmu."
"Ruhi ingin bertemu Ibunya ...."
Ben menyahut dilema, melirik Aruhi yang terpukau pada rumah mewah di depan sana.
"Benn, rumah ini dijaga pengawal khusus untuk antisipasi jika kamu berani masuk. Mereka sangat terlatih dan disiplin dalam bertugas. Aku hanya bisa menolongmu sampai di sini."
Saat itulah tak sengaja Aruhi menangkap sosok yang sangat ia rindukan. Salsa terlihat di balkon lantai dua, memegang gelas anggur dan sedang mengobrol dengan seseorang. Sesekali ia tersenyum lalu tertawa lepas. Bibir Aruhi mekar. Ia meloloskan diri dari sabuk pengaman, membuka pintu mobil dan berlarian sekuat tenaga ke arah rumah besar itu.
"Ibu!!! Ibuuuuuu ... " teriak Aruhi gembira dan mulai berkaca-kaca. Tangan mungilnya melambai meminta Salsa menoleh.
Teriakkan itu mengundang perhatian. Salsa membatu di atas sana, jelas tak suka dengan kehadiran Ruhi. Beberapa pria bersetelan hitam-hitam, bergegas mendekat dan menangkap tubuh mungil Aruhi.
"Ibu ... lepaskan! Aku ingin Ibuku!!!" serunya marah. Aruhi meronta-ronta, menengok ke balkon tetapi tak temukan Ibunya lagi.
"Ibuuuuuu!!!"
Benn sangat panik, keluar dari mobil dan menyusul Aruhi. Namun, sekelompok pengawal datang dan mulai menghalau Benn Amarante. Benn berhasil menaklukkan pengawal itu, satu persatu. Secepat mungkin meraih Aruhi ke dalam pelukannya.
"Ayah ... aku lihat Ibu, di sana tadi!" Aruhi melepaskan pelukan Benn dan menunjuk ke arah balkon.
"Dengar Aruhi, ini rumah orang. Jika kamu seperti ini, kita tak akan bisa bertemu Ibumu. Hmmm???"
"Maafkan aku, Ayah!"
"Ada apa ini?"
Seseorang menghardik keras. Aruhi memegang tangan Ayahnya kuat. Ketika melihat Benn Amarante, pria itu mencemooh.
"Yah Tuhan, Benn. Berani sekali kau kemari dan tunjukkan batang hidungmu ke hadapanku! Beri dia pelajaran!"
"Maafkan aku, Tuan. Aku hanya ingin bertemu istriku," jawab Benn segan.
"Ciiihhhh!!! Istrimu? Salsa tidak pernah jadi Istrimu! Jangan mimpi kamu!"
"Tuan Dio ...."
"Berhenti sebut namaku dengan lidah busukmu itu!"
Pria itu yang dipanggil Tuan Dio, tinggi besar dan menakutkan. Saat marah, wajahnya terlihat tak asing.
Tiba-tiba seseorang datang dari arah belakang. Tongkat bisbol ditangannya dan satu ayunan keras, tongkat itu mendarat tepat di belakang kepala Benn. Benn menjerit, memegangi tengkuknya, bertekuk lutut sebelum jatuh tak sadarkan diri. Itu cara terampuh sebab Benn Amarante bukan pengawal biasa.
"AYAAaaHHHHHHH?!" Aruhi menjerit histeris. Benn bahkan masih dipukuli meskipun tak sadarkan diri.
"Hentikan! Jangan pukuli Ayahku! Aku mohon ... Ayaaahhhh ...."
Aruhi memeluk tubuh Benn erat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!