Ringggggg......
"Jam berapa nih?" Luna terbangun kaget dari tidurnya, mencari sumber suara yang membuat telinganya sakit. Mengumpulkan nyawanya, dia melihat jam pada layar ponsel yang sudah ada di tangannya. Benda pipih berwarna hitam itu mengeluarkan pendar cahaya, membuat mata Luna menyipit sesaat. Belum terbiasa.
JAM 2 PAGI ?! SIAPA SIH? SIAPAAAA??? YANG NGATUR ULANG ALARM GUE, HAH!!!!
Luna tentu saja sudah memiliki praduga, bahkan nama tersangka sudah terlintas di dalam otaknya. Dengan kesal, Luna langsung menyerbu ke kamar tersangka. Kemana lagi kalau bukan ke kamar adik-adiknya.
JGREK!
Pintu terkunci. Luna terus menggerakkan pegangan pintu, berusaha membuka pintu dengan paksa, membuat bunyi berisik di malam yang masih sunyi.
"Kenapa Luna?" Bunda keluar kamar sambil menguap. "Kamu berisik banget, sih? Ini kan masih malam..." ucap Bunda dengan suara serak khas orang bangun tidur.
Luna terkejut melihat Bunda yang terbangun. Agar tak dimarahi, dia mencoba mencari alasan. "Engga Bun, aku mau ke kamar Arga, kayaknya ada buku aku ketinggalan di dalam, deh...." ucap Luna mengarang bebas.
"Buku apa? Pagi buta gini, besok aja! Sana tidur lagi!" Bunda melangkah masuk kembali ke kamarnya.
Ini udah besok, loh. Mungkin maksud Bunda beberapa jam lagi.
"Iya Bun..." Luna berucap pasrah. Dia kembali ke kamar kecilnya dan sudah berbaring lagi di atas tempat tidur, mencoba sebisa mungkin merapatkan matanya, membiarkan dirinya terjatuh kembali ke alam mimpi.
Tapi tidak, ini tidak berhasil. Dia sudah kepalang tanggung bangun dan sudah tidak ngantuk lagi. Apa yang harus dilakukan jam 2 pagi?
"Oke, karena udah terlanjur bangun, gimana kalau kita melakukan sesuatu yang berfaedah." Luna menggumam sendiri sambil berjalan ke arah mejanya. Mungkin menonton sedikit drama bisa menghibur hatinya. Senyum mulai mengembang di bibir tipis milik Luna. Di kepalanya sudah terbayang wajah pacar jauhnya yang kini bermukim di Korea Selatan.
Luna meletakkan tas laptop merahnya di atas meja dan membukanya. Tapi benda itu tidak ada, hanya tertinggal sebuah kertas.
Aku pinjam dulu laptop kakak. Aku ada tugas kelompok. Arga.
Luna meremas kertas kecil catatan yang ada di laptopnya tanpa belas kasih.
RIP oppa... Gue mau tidur aja...
4 jam kemudian, seseorang membuka pintu kamar Luna dengan kasar, menghampirinya cepat dan mulai melancarkan serangan.
"Luna! Bangun!" Luna terbangun karena gempa bumi lokal yang dibuat Bunda. Menguap beberapa kali, dia terduduk di tepi ranjang.
"Hoahm..." Luna menguap panjang sambil mengucek mata, masih mencoba mengumpulkan sisa-sisa nyawanya yang tercecer sejak jam 2 pagi. Dia tidur tapi tidak, memejamkan mata tapi tak nyenyak sama sekali. Waktu berkelebat cepat bagai info angin lalu.
"Anak gadis apa bangun siang gini? Lihat adik kamu yang laki-laki aja udah bangun semua! Kamu anak perempuan jam segini baru bangun!" omel Bunda, tidak keras tapi cukup menyakiti telinga.
Luna meraba ponselnya dan melihat jam. Jam 6 pagi.
Astaga! Gue telat!
"Pantesan kakak ga pernah punya pacar..." ucap Arka, tersangka yang mensabotase ponsel miliknya tiba-tiba muncul di depan pintu kamarnya. Dia yakin Arka pelakunya walau tidak ada bukti.
"Iyalah, mana ada cowok yang mau sama perempuan malas yang bangun aja kesiangan," sambung Arga, pelaku yang meminjam laptop tanpa ijin. Kalau yang ini sudah ada bukti nyata.
Ingin rasanya mencekik dua adik durhaka itu. Sayang, terlalu banyak saksi sekarang.
"Udah sana, cepet mandi!" Bunda berlalu diikuti antek-antek nya, Arga dan Arka.
Setelah Bunda keluar kamar, Luna secepat kilat meraih handuknya dan bergegas ke kamar mandi.
JGREK!
Tidak terbuka. Pintu kamar mandi terkunci.
Cobaan apalagi sih ini, Tuhannnnnnnn...!!!
"Siapa di dalam?" Luna menggeram kesal sambil mengetuk pintu.
"Bentar, kak!" Suara Arsya, adik ketiganya.
Luna mondar-mandir di depan pintu kamar mandi, yang katanya sebentar, tapi ini sudah 5 menit berlalu dan belum ada tanda-tanda keluar.
"Buruan!" Luna berteriak kesal sambil menggedor-gedor pintu.
"Minggir!" Dia langsung menyingkirkan tubuh adiknya yang baru membuka pintu kemudian masuk dan menguncinya.
Luna kesal bukan main menatap kubangan di depannya. Arsya menghabiskan air di bak mandi hingga tak bersisa. Set*n yang harus dicekiknya sekarang bertambah jadi tiga ekor.
Lima belas menit kemudian Luna sarapan dengan tergesa karena keempat adiknya sudah meninggalkannya. Adiknya yang paling kecil diantar oleh Bunda.
Rumah sudah sepi. Luna bergegas mengunci pintu dan meletakkannya di tempat biasa. Setelahnya, dia berlari keluar komplek menghampiri ojek online yang sudah sampai sejak beberapa saat lalu.
Jam 7 kurang 5, Luna mendarat dengan sempurna di sekolah. Dia menghela napas panjang di sepanjang koridor dan duduk manis di kelas 12 IPA 1.
"Eh, Lun, baru datang?" Jessika menyapa Luna tanpa mengalihkan matanya dari contekan PR yang ada di depannya. "Udah ngerjain PR belom? Nih buruan, mumpung gurunya belum dateng."
"Udah dong,,," Luna tersenyum bangga sambil mengeluarkan buku PRnya ke atas meja. Membukanya dengan penuh rasa suka cita.
"Kenapa?" Jessika bingung karena tiba-tiba Luna terdiam mematung. Dia melirik ke buku Luna yang terbuka lebar.
1 + 1 \= 2
2 + 5 \= 7
7 + 3 \= 10
Siapa yang berhitung di buku PR gueeeeeeee!!!! Arggggghhhh!!!!
***
Yang terjadi tadi malam...
"Kak, pinjam laptop. Yaelah tidur..." ucap Arga saat masuk ke kamar Luna. Dia membuka sebuah buku di atas meja, menyobek sebagian kertasnya lalu menuliskan pesan. Setelah selesai dengan urusannya, dia membawa laptop merah itu keluar kamar.
Tak berapa lama, Arka masuk ke kamar Luna. "Kak, numpang WiFi. Eh, udah ngorok ternyata," ucap Arka. Dia mengambil ponsel Luna lalu menyalakan hotspot. Dia berpikir sebentar, kira-kira jam berapa ia akan selesai menggunakan sambungan itu.
Saat masih mengotak-atik ponsel kakaknya, dua adiknya yang lain muncul di ambang pintu. "Tidur Arya, udah malem. Lihat tuh, kakak udah bobo." ucap Arsya yang melangkah masuk diikuti Arya, si bungsu yang masih on fire karena baru bangun tidur sore.
"Suruh belajar aja, pasti ngantuk," celetuk Arka sambil menunjuk meja belajar Luna.
Arsya menerima usul Arka lalu mengambil pulpen dan melihat buku di atas meja yang kertasnya udah sobek sebagian. "Nih, di buku bekas aja. Jawab soal."
Bunda yang sedari tadi mencari anak bungsunya, akhirnya menemukannya. "Kenapa ngumpul disini? Masuk kamar masing-masing. Udah malam," Bunda membubarkan kerumunan.
"Iya, bunda," mereka menjawab berbarengan.
Arka yang sudah mengganti setelan alarm ponsel Luna malah lupa membawanya. Ia buru-buru keluar kamar membuntuti Bunda.
Arga melihat kedua adiknya, Arka dan Arsya masuk ke kamar. "Kalian darimana? Jangan bolak-balik, berisik. Gue mau kerjain tugas." Dikuncinya pintu kamar itu.
Dan semua yang terjadi karena ketidak sengajaan itu membuat Luna terbakar emosi keesokan harinya.
Bersambung
"Mau makan apa?" Tanya Jessika. Saat ini Luna dan Jessika baru saja sampai di kantin sekolah. Kantin yang tidak terlalu besar dengan kursi dan meja kayu seadanya berjejer rapi di tengah ruangan. Di setiap sisi kantin ada stand makanan yang bisa dipilih oleh siswa-siswi yang keroncongan setelah mendengar untaian nada syahdu dari guru tercinta mereka.
"Hmmmm...." Luna berpikir sejenak. Dia sudah menghabiskan separuh uang jajannya untuk naik ojek, karena hari ini Arga meninggalkannya. Adik lucknut memang. Itu artinya sekarang ia harus jajan seadanya sekarang, memotong anggaran.
"Bakso aja, deh," jawab Luna kemudian. Godaan dari harum bakso yang semerbak sudah menggoda hidungnya. Ia tak tahan ingin mencicipi. "Elo apaan?" tanya Luna.
Jessika melihat ke sekeliling, mencoba memilih apa yang sekiranya mengundang seleranya. Akhirnya matanya tertambat ke satu tempat. Ditunjukkanya tempat itu, memberitahu Luna. "Gue mau soto ayam, minumnya jus mangga. Pesenin ya, gue cari tempat dulu." Ia lalu mencari tempat duduk yang kosong untuk mereka.
"Oke," Luna membentuk huruf O dengan ibu jari dan telunjuknya. Setelah itu, Jessika menghilang di kerumunan.
Saat mengantri, seseorang menepuk pundak Luna. Dia tersentak sebentar kemudian menoleh ke arah pelaku.
"Hai..."
Suara laki-laki yang ia kenal.
"Eh, kak Rangga," ucap Luna sambil tersenyum lebar, menampilkan pipi tembam membulat seperti bakpao.
Gebetannnnnnnn!!!! Luna menjerit histeris dalam hati.
"Mau beli bakso juga?" tanya Luna. Ia berusaha bicara seimut dan semanis mungkin. Harus jaga image. Memberikan kesan yang baik itu penting, apalagi kalau masih proses pendekatan. Seperti itu kira-kira isi majalah yang ia pinjam dari Jessika minggu lalu. Majalah yang berisi artikel berjudul 99 Cara Jitu Mendapatkan Pacar Dalam Waktu Singkat. Asal tahu saja, dia sedang mempraktekkan langkah kelima saat ini.
"Enggak, cuma mau kasih tau aja. Nanti pulang sekolah kayaknya gue ga bisa ikutan hang out, deh.." ucap Rangga.
Yahhhhhhhh.....
Ekspresi Luna berubah sedih seketika, mukanya suram dengan bibir yang sudah maju beberapa sentimeter ke depan.
"Gue masih nunggu kabar dari mami gue. Katanya belum ada yang bisa jemput adek gue, jadi nyokap minta gue jemput adek gue dulu..." Rangga mencoba memberi penjelasan.
Ya Tuhannnnnnnn... So Sweet...Sungguh anak yang berbakti dan kakak idola.
"Oh, iya. Ga apa, kok," balas Luna. Ia tersenyum manis lagi. Dia suka anak mami.
"Tapi nanti gue usahain, gue kabarin lagi pas bel pulang, ya!" seru Rangga sambil menunjukkan satu ibu jari.
"Oke." Luna membalasnya dengan mengacungkan ibu jarinya juga.
"Sip!" Rangga mengelus puncak kepala Luna sekilas kemudian pergi.
Apakah kali ini gue bisa berharap, lepas dari kejombloan setelah lebih dari 17 tahun hidup? Apakah para setan kecil itu ga akan ganggu gue? Please, tolong. Tuhan, kasihanilah jiwaku yang meronta merindukan kasih sayang ini...
Sedetik kemudian Luna membuyarkan lamunannya sendiri dan lanjut mengantre memesan makanan. Dia tidak mau dicap gila di sekolah.
Setelah beberapa orang, dia akhirnya bisa berbincang bebas dengan tukang bakso dan menuliskan pesanan, lalu ia berpindah ke tempat pesanan Jessika, soto ayam. Terakhir, tidak lupa ia berbaris lagi memesan jus. Anak baik tidak boleh main serobot. Apalagi kalau sedang dalam tahap pendekatan dengan seorang cowok. Kau tidak tahu berapa mata yang mengawasimu dan menyebarkan aibmu nantinya. Untuk jaga-jaga saja.
Di meja makan, Jessika sedang menunggu Luna. Temannya itu akhirnya datang, tapi ia tampak tak bersemangat.
"Kenapa Lun?" Jessika menatap kasihan pada Luna yang sedang murung di kursi kantin. Teman sebangkunya ini yakin, pasti Luna lagi bete berat karena harus menyalin PRnya lagi. Dia sempat tertawa dalam hati tadi. Malang memang nasib temannya itu.
"Gue ga tahan lagi, Jess..." Luna menatap nanar, memulai drama. Dia memang berniat untuk menjaga kelakuan, tapi ada kalanya seseorang bisa khilaf.
Luna membiarkan mangkuk bakso Pak Kumis di depannya terbengkalai. "Katanya rumahku istanaku, mana buktinya? Mana?? Gue selalu tersiksa di rumah. Hiksss... " Luna terisak.
"Adek elo lagi? Mereka bikin ulah lagi? Keterlaluan banget emang?" Jessika menepuk punggung tangan Luna prihatin.
"Iya, iya, dan IYA!" Luna memekik kesal.
"Emang mereka ngapain?" Tyo, pacar Jessika ikut nimbrung setelah nguping sebelumnya.
"Jangan elo berani duduk disitu." Luna menatap tajam sambil menunjuk tempat kosong di sebelah Jessika. "Gue lagi sakit hati, gue enggak mau sakit mata juga!!!" Luna mengayunkan garpu di depan Tyo, memberikan gerakan yang berarti 'Menjauh kalau tak ingin dibun*h'.
Tyo mendecak keras. "Elah, sensitif amat sih kayak nenek-nenek hamil, Lo!" Ia tetap duduk di sebelah Jessika mengabaikan ancaman Luna. Kurang ajar memang temannya yang satu ini.
Berbanding terbalik dengan keadaan Luna, Jessika tersenyum menyambut pacarnya. Dia kemudian mulai menceritakan apa yang terjadi. "Buku PR nya si Luna dibuat latihan berhitung, sama adek nya, ay," ungkap Jessika.
Ay, singkatan dari ayang. Jijik beud. Luna ingin muntah mendengarnya. Ia bertekad kalau nanti ia punya pacar, tidak boleh senorak ini.
"Ahahhaa..." Tyo tergelak. "Itu mah elo pasti naro buku sembarangan..."
Luna menghembuskan nafas kasar. "Bukan cuma itu, Yo. Adek gue nyalain alarm jam 2 pagi! Bikin gue kebangun enggak bisa tidur! Pas gue mau nonton DraKor, laptop gue udah enggak ada! Gue samperin ke kamarnya,dikunci. Kesel banget gue. Pas akhirnya gue bisa tidur, nyokap bangunin sambil ngomel. Pas gue mandi, airnya diabisin adek gue. Pas gue mau sarapan, gue ditinggalin. Keseeellllllllll....." Luna sudah berapi-api menceritakan rentetan kejahilan adik-adiknya itu.
"Oh gitu, sabar aja..." Tyo berbicara sambil menoel mesra lengan pacarnya. Tyo dan Jessika terlihat saling bertatapan hangat yang bisa membuat jomblo manapun terbakar api kecemburuan.
Elo bahkan ga dengerin cerita gue.
BRAK!
Luna menggebrak meja dramatis.
Tyo membelalak kaget. Kenapa lagi nih bocah?
Luna bangkit dari duduknya, marah. "Minggir!" Luna berucap ketus sambil mendorong Tyo. "Minggir!" lalu beralih mendorong Jessika. Setelahnya Luna duduk di tengah, antara mereka berdua.
Jessika dan Tyo masih saling menatap mesra walau sudah dipisahkan. Muak, Luna menarik mangkuk baksonya dan mulai makan dengan ganas.
"Udahlah Lun, mungkin juga mereka ga sengaja," bujuk Jessika. Dia menepuk punggung Luna pelan, mencoba menenangkan si teman.
Cih! Luna masih bersungut sebal. Ketidak sengajaan beruntun, luar biasa.
"Mereka pasti ga bermaksud gitu..." lanjut Tyo, mencoba membantu kekasihnya.
*Terus aja, bela terosssss. Bahkan teman-teman gue ngebela iblis-iblis itu. Enggak ada yang perduli sama gue*.
"Okay, fine! Gue mau kabur dari rumah," pekik Luna.
Bersambung...
EPILOG
Yang sebenernya mereka ucapkan dalam hati...
Ini si Luna kapan beres makannya sih? Tyo
Sabar, ay. Dia lagi emosi. Jessika
Sampai kapan?? Aku kan mau berduaan sama kamu. Tyo
Kalau kabur dari rumah, gue ga punya duit. Tunda tahun depan aja deh, kaburnya. Luna
Akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Kebahagiaan yang hakiki bagi setiap pelajar di manapun. Kamu pasti pernah merasa begitu juga kan? Tidak usah mengelak, jujur saja, semua orang merasakannya. Anda tidak sendirian.
Dering bel memiliki pengaruh yang lebih hebat dibandingkan sirine ambulans, polisi, atau pemadam kebakaran untuk anak sekolahan. Dampaknya, semua murid merapikan tas masing-masing secepat kilat. Dalam beberapa detik, semua buku dan peralatan tulis sudah tersimpan rapi. Mereka sudah duduk manis dan menunggu guru untuk berdoa serta mengucapkan salam perpisahan. Tidak ada yang bersedia tinggal di kelas lebih lama. Tapi mungkin saja ada yang tidak segera hengkang dari kelas. Itu adalah para penunggu jemputan atau bisa juga para pencari cinta yang menunggu kabar dari gebetannya seperti yang Luna alami sekarang.
Pesan masuk.
✉️ Aku bisa hari ini, ditunggu di parkiran ya..
"Yessss!!! Rangga bisa jalan hari ini..." Luna berteriak senang setelah membaca isi pesan singkat itu. Dia mengangkat kedua tangannya tinggi di udara, menunjukkan kalau ia sangat senang. Senang, bukan stres.
Jessika sudah tidak kaget melihat tingkat temannya. Luna terkadang bisa tampak sangat kalem tapi juga tak jarang penuh ekspresi. Seseorang yang suasana hatinya bisa terlihat jelas di wajahnya. "Akhirnya... Udah lampu ijo, nih?" Ia bisa melihat bunga-bunga tidak nyata yang bermekaran di sekitar Luna. Bunga mawar serta aura berwarna pink seperti yang ada dalam komik remaja.
Luna berpaling ke Jessika. "Bantuin gue ya, bantuin ya, please..." Ia menggenggam tangan Jessika, tidak lupa dengan menggunakan jurus memelasnya. "Gue emang ngajakin hang out bareng, tapi bakal awkward banget kalau berdua doang. Please,,, temenin gue, ajak Tyo juga. Ya? Ya?" Dikerjapkannya kedua mata besarnya itu, mencoba mendapatkan simpati Jessika.
"Yakin mau kita temenin?" Jessika menautkan alis.
Luna mengangguk cepat. Dia amatir dalam hal ini. Sangat. Sangat sangat amatir sekali.
"Beneeeerrrr?" tanya Jessika lagi. Dia menarik turunkan kedua alisnya menggoda Luna.
"Iyaaaa..." Luna menjawab gemas. "Emang kenapa sih?" Dia masih tidak mengerti dengan isyarat yang diberikan Jessika. Terlalu sulit.
"Enggak mau jalan berdua aja?" Jessika menutup mulutnya dan sengaja menarik turunkan alisnya menggoda Luna lagi. Ia menunggu reaksi temannya sekarang. Luna sudah terlihat seperti akan meloncat kegirangan.
Berdua aja? Berdua aja. Berdua aja... Berdua aja!!!! OH - MY - GOD!
"Mauuuu!!!" Luna memekik senang, menghentak-hentakkan kakinya cepat, lalu memegang kedua pipinya yang kini sudah berubah menjadi merah muda.
Jessika sudah menduganya. "Ya udah... Bilang aja ke Rangga, kita ga jadi ikutan. Gue tiba-tiba disuruh balik cepet gitu, jadi Tyo nganterin gue," usul Jessika. Dia membantu Luna memberikan alasan agar acara PDKT Luna berhasil. Dan tentunya agar Luna tidak menengahi dirinya dan Tyo lagi. Pastinya harus ada keuntungan untuknya.
Tapi Luna malah tak mendengarkan temannya, dia sibuk menenangkan jantungnya. "Duh, gue deg-degan..." tangannya memegang dada yang naik turun. Jantungnya tak bisa dikendalikan, seolah berlarian di dalam penjara tulang rusuknya.
Jessika menjentikkan jari di depan muka Luna. "Helllouwww... Ada orang di sini?" Dia mengetuk kepala Luna beberapa kali. Luna tidak merespon sedikitpun.
Bucin parah. Akut. Tak tertolong.
"Lun, sadar Lun!" Jessika menggoyang-goyang bahu Luna agar temannya itu cepat sadar. Masih belum kembali ke dunia ini jiwanya sepertinya. Entah sedang terbang ke langit tingkat berapa. Tapi Jessika tidak ingin Luna melayang terlalu lama, ia ingin pulang. Tyo pasti menunggunya.
Plak!
"Sakit Jess," Luna memegangi pipinya yang ditampar Jessika barusan.
"Abis, elo ga sadar juga. Buruan, malah ngelamun aja. Elo mau Rangga bosen nungguin, terus langsung balik??" ucapan Jessika barusan langsung menyadarkan Luna. Harusnya ia tidak terbuai begitu lama.
"Oh iya. Thank you. I love you... " ucap Luna sambil melambai. Ia meraih tasnya lalu berlari kencang.
Luna melangkah cepat menuju parkiran motor untuk bertemu gebetannya yang sudah selama 3 bulan terakhir ini dia keceng, Rangga. Jangan tanyakan kenapa begitu lama hanya untuk mendekati satu orang. Itu semua tentu saja karena Luna bagaikan bayi baru lahir yang masih polos kalau sudah menyangkut perihal asmara. Dia begitu bod*h dan tak berpengalaman dalam waktu yang sama. Meskipun begitu, ia terus berlatih dan mencoba, seolah ini memang hal yang sepenting itu yang harus ia lakukan saat ia masih hidup. Sekarang mungkin akan menjadi kesempatan terakhirnya untuk pacaran dengan status murid SMA, sesuatu yang selama ini ia idam-idamkan. Dia harus berhasil. Apapun yang terjadi harus sukses, jadi ia bisa merasakan yang namanya Cinta SMA.
"Hai... Dah nunggu lama? Maaf ya..." Luna mencoba tersenyum semanis mungkin. Ia melihat Rangga yang sudah berdiri di samping motornya.
Gue udah cakep kan ya? Rambut gue udah rapi kan ya? Gue enggak bau ketek kan? 😂
Luna sesaat mengutuk dirinya sendiri yang semestinya mampir ke toilet dulu untuk mengecek penampilannya. Dia melupakan salah satu tips dari majalah itu.
"Gapapa... Aku juga belum lama kok." Rangga memberikan helm ke Luna yang disambut dengan senang yang berlebih. Seperti kesenangan yang didapatkan saat dirimu memenangkan uang karena berhasil menjawab kuis yang tayang di televisi dengan hadiah jutaan rupiah.
"Tyo ga jadi ikut?" tanya Rangga. Rangga adalah teman klub futsal Tyo di sekolah. Mereka saling kenal, makanya itu Luna meminta dicomblangkan oleh Tyo, dengan menggunakan jurus air mata ke Jessika. Selama seminggu berturut-turut. Membuat mereka lelah dan akhirnya menyerah.
Luna pura-pura mengecek ponselnya. "Jessika bilang dia harus pulang, Tyo nganterin kayaknya." Ia menggigit bibirnya, cemas menunggu jawaban dari Rangga.
Jadi dong... Jadi dong... Pelis banget jangan tolak gue..
"Oke," ucap Rangga.
Yessss!!! Luna bersorak-sorai dalam hati, mati-matian menahan senyumnya yang terus melebar.
"Yuk..." Rangga mengulurkan tangannya membantu Luna menaiki motor besarnya.
Kyaaa... So sweet!
"Makasih..." Luna tersenyum malu. Namun sayang, senyumnya pudar seketika ketika melihat Arga berlari mendekat.
"Kak, mau kemana?" Luna merutuki dirinya yang lupa mengirim pesan ke Arga kalau dia tidak mau pulang bersama adiknya itu. Yang ada sekarang ia malah ke-gep. Arga dan Luna memang satu sekolah, Luna kelas 12 dan Arga kelas 10.
"Kakak mau beli sesuatu dulu. Kamu pulang duluan aja." Luna melambaikan tangan, mencoba mengusir Arga. "Yuk jalan, Ga..." Ditepuknya pundak cowok itu, agar secepatnya pergi.
Rangga mengangguk mengerti. Motor pun melaju. Arga berlari ke motornya secepat yang ia bisa sambil mengirim pesan.
Sementara itu, di sekolah lain, Arka baru saja selesai tanding bola dengan teman sekolahnya. Seragam SMP-nya sudah berganti dengan baju bola lengkap. Arsya menatap cemas kedatangan kakaknya dari kursi pinggir lapangan. Arka balas memandang adiknya bingung.
Arsya menunjukkan pesan di ponselnya dari Arga. "Kode X."
Bersambung..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!