Maaf jika masih banyak terjadi kesalahan dalam penulisan. Ini adalah karya pertama saya.
Baca juga novel saya yang lainnya
~ Pria pilihan sang perawat
~ Harga Sebuah Kesucian
Terima kasih sudah mampir 🙏
.
.
Seorang gadis bertubuh semampai tengah sibuk mematut diri di depan cermin. Celana jeans warna hitam yang dipadukan dengan kemeja warna putih lengan panjang begitu pas menempel di badan. Flat shoes warna gelap menjadikan penampilannya kian sempurna.
Dialah Mayang. Gadis cantik putri sulung dari pasangan suami istri Anwar dan Asmia yang begitu cantik jelita. Ia memiliki senyuman seindah purnama yang mampu menghipnotis setiap pasang mata yang melihatnya. Hidung mancung dengan porsi pas pada wajahnya yang tirus. Serta bulu mata lentik yang menaungi mata bulatnya yang bening dan berkilau indah.
Usai mengambil tas selempang dan menggantungnya di pundak kanan, ia berjalan ke luar kamar dan menuruni anak tangga satu persatu dengan wajah ceria.
Di lantai bawah, seorang gadis belia yang tengah asyik menonton TV sontak menoleh menyadari kehadiran Mayang di sana. Gadis bersurai sebahu dengan pakaian santai itu menatap Mayang dengan kening berkerut.
"Rapi bener, Kak. Mau ke mana?" tanya gadis bernama Weni itu penasaran.
Mayang terseyum kecil sambil memainkan alisnya ketika melirik Weni. Sampai di tangga terakhir ia pun menjawab singkat dengan nada remeh.
"Dih, kepo."
Weni mendengkus. Matanya mengikuti arah Mayang yang berjalan menuju sofa di seberangnya. Ditatapnya sang kakak yang membungkuk untuk mengambil kue kering dari dalam toples kaca yang menjadi teman nonton drakornya sore itu.
"Kak, mau ke mana, sih?" ulangnya dengan mimik kian penasaran.
Mayang terseyum menanggapi kekepoan adiknya. Ia mengunyah kue kering yang sudah terlanjur masuk ke mulut, menelan dan meneguk setengah gelas jus jeruk milik Weni sebelum menjawab pertanyaan adiknya.
"Kakak ada janji sama teman," jawab Mayang santai.
"Tumben," celetuk Weni.
Mayang sontak menatap adiknya dengan ekspresi bingung.
"Maksudnya?" tanyanya kemudian.
"Tumben ada temen Kakak ngajak ketemuan sore-sore gini. Biasanya ngedekem di kamar kalau udah lewat jam lima sore," balas Weni setengah mengingatkan. Gadis cantik itu mengambil satu kue kering, lantas memakannya dengan penuh perasaan.
"Sebenarnya dia ngajak entar malam aja. Tapi Kakak malas." Mayang berucap santai sambil mengibaskan ke belakang rambut panjangnya yang tergerai ke depan. Setelahnya ia mengambil kunci motor yang berada di meja sebelum kemudian melangkah meninggalkan adiknya.
"Dah, ya. Kakak mau jalan," pamitnya.
Weni sontak bangkit dan berlari kecil menyusul kakaknya. Masih ada sesuatu yang perlu ia tanyakan.
"Temen Kakak itu cowok?" tanyanya setelah berada di sisi Mayang.
"Cowok," jawab Mayang tanpa menghentikan langkahnya.
Seketika Mata Weni membulat dan bibirnya menyunggingkan senyuman.
"Wow, rupanya Kakak mau kencan! Yeyey, yeyey, akhirnya kakakku pacaran juga ...!" Weni berteriak kegirangan sambil merangkul tubuh kakaknya dari samping. Mayang yang merasa tak nyaman dengan hal itu berusaha meronta dengan mimik tak suka.
"Apaan sih, Wen. Lepasin nggak? Siapa juga yang mau kencan, sih?" elaknya sambil memutar bola mata malas.
Weni tak memedulikan sikap tak suka Mayang padanya. Ia tetap merangkul Mayang sebagai bentuk kebahagiaan. Maklum, menginjak usia dua puluh empat, kakaknya itu belum pernah sekalipun merasakan pacaran.
"Jangan gitu, lah Kak. Aku ikut bahagia, tau," ucap Weni dengan raut bahagia, lantas mengurai pelukannya dari sang kakak.
"Wen, ini baru mau pertemuan pertama. Kakak belum tau arahnya nanti akan ke mana. Lagian, kita cuma mau ngomongin kerjaan, kok," tutur Mayang beralasan.
"Kerjaan? Kerjaan apa? Memang Kakak kerja? Bukannya selama ini Kakak cuma bantuin Ayah di perkebunan. Apa Kakak berencana mau kerja di luar?"
Mayang mendesah pelan, lantas menatap adiknya dengan ekspresi sebal.
"Jadi gimana ini. Kakak berangkat atau lanjutin tanya jawab kita?" tanyanya dengan nada menyindir.
Weni terkekeh. Ia menepuk bahu kakaknya pelan, lantas berkata, "Ya maaf. Kakak berangkat, gih. Daripada entar telat. Tanya jawabnya nanti aja pas Kakak pulang," balasnya.
Mayang mencebik, lantas benar-benar pergi meninggalkan rumah mereka dengan menggunakan motor matic kesayangannya.
Bersambung~
Sekitar setengah jam telah berlalu. Weni melanjutkan lagi nonton drakornya sepeninggal sang kakak dari sana. Namun, suara motor yang terdengar memasuki halaman rumah sontak menyita perhatiannya.
Ia hapal suara motor itu. Motor sang kakak yang baru keluar setengah jam lalu kini telah kembali ke rumah itu.
Secepat ini? Kencan apaan? batin Weni dalam hati. Ia bergegas bangkit demi menyambut kedatangan kakaknya di depan pintu.
Benar saja. Mayang muncul di sana dengan wajah yang ditekuk. Ekspresinya terlihat berbanding terbalik dengan ketika berangkat setengah jam tadi.
Heran, Weni segera bertanya sambil menautkan alisnya.
"Loh, Kak. Kok udah pulang aja. Udah kelar kencannya?"
Mayang hanya melirik sekilas pada adiknya. Tanpa berniat menjawab, ia tetap melangkah dengan kaki yang dientak-entakkan ke lantai seperti anak kecil yang tengah kesal.
Weni semakin heran. Ia mengikuti kakaknya yang mulai menaiki anak tangga dengan perasaan tak karuan.
"Kak, bisa jelasin nggak? Ono opo? What happen!" serunya yang mulai tak tahan dengan sikap bungkam kakaknya.
Mengabaikan pertanyaan Weni, Mayang terus melangkah menuju kamar, lantas berhambur ke kasur dengan posisi bertelungkup.
"Uhhh ... sebal sebal sebal!" geramnya sambil memukul-mukul kasur empuknya.
Weni yang masih berdiri di ambang pintu hanya bisa mendesah pelan sambil menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Heran. Jika biasanya gadis yang baru kencan itu selalu pulang dengan perasaan berbunga-bunga, tetapi kenapa ceritanya justru berbeda dengan sang kakak?
Tak ingin membiarkan sang kakak larut dalam kesedihan, ia pun mendekat. Duduk di tepi ranjang, ia mengusap pelan bahu Mayang dan bertanya dengan nada hati-hati.
"Kak, apa yang terjadi, sih? Kenapa Kakak kayak gini?"
Hening. Mayang masih diam. Sepertinya dia masih enggan berbicara.
Lagi-lagi Weni mendesah pelan. Ia kembali mengusap punggung sang kakak, sambil berkata.
"Kak, kalau kakak diam aja gimana aku bisa hibur Kakak .... Ayo dong cerita," bujuknya hati-hati. "Apa Kakak baru aja ngadain blind date, kencan buta? Dan ternyata kencan Kakak itu wajahnya jelek nggak ketulungan?" tebaknya asal karena putus asa.
Tak ada sahutan. Namun, Weni sedikit terkejut saat Mayang tiba-tiba membalik badan dan menatapnya dengan wajah masih ditekuk.
"Wen, gimana perasaan kamu kalau tiba-tiba dipeluk cowok!" tanya Mayang setengah berseru. Bahkan mimik wajahnya memperlihatkan ekspresi hampir-hampir menangis.
Weni mengernyit bingung. Masih belum bisa menelaah maksud pembicaraan kakaknya. Namun, untuk menjaga perasaan kakaknya, ia pun menjawab sekenanya.
"Ya tergantung. Lihat mukanya dulu. Kalau ganteng ya mau. Kalau jelek mah ogah."
"Dasar murahan!" umpat Mayang sebal, lantas kembali telungkup untuk menyembunyikan wajah kesalnya.
"What!"
Terkejut, Weni membulatkan bola matanya. Ia tak habis pikir bagaimana sang kakak bisa mengatainya seburuk itu.
"Apa-apaan ini! Kak, woy bangun! Bisa jelasin nggak maksud Kakak barusan apa? Kok ngatain aku murahan!"
"Iya, murahan!" Mayang mengulang kata-katanya untuk memperjelas. Matanya menatap sinis pada Weni yang juga tengah menatapnya.
"Hey, aku nggak seburuk itu, tau!" protes Weni kesal. Ia menarik bahu Mayang yang kembali membenamkan wajahnya pada bantal.
"Kamu keluar sana dari kamar Kakak. Kakak malas debat," usir Mayang tanpa menoleh. Ia masih betah menenggelamkan tubuh pada kasurnya yang empuk.
Weni mendesah pelan. Berusaha menetralkan perasaan. Berusaha bersikap dewasa menghadapi kakaknya yang tengah galau karena cinta. Hehe, bisa jadi. Weni asal nebak sih.
"Kakak ... aku di sini, loh. Kalau mau curhat ya curhat aja. Aku dengerin kok," bujuknya hati-hati.
Awalnya Mayang masih enggan menanggapi tawaran adiknya. Namun, setelah dipikir-pikir, ada baiknya juga mencurahkan uneg-uneg pada adiknya. Meskipun tak bisa membantu, setidaknya hati akan merasa lebih lega.
Perlahan, Mayang berbalik badan dan duduk menghadap Weni yang masih setia di posisinya. Adiknya itu tersenyum lembut dan mengisyaratkan dengan mata jika siap mendengarkan cerita.
"Bener mau dengerin curhat Kakak?" tanya Mayang ragu-ragu.
"Beneran, Kakak ...," jawab Weni sambil mengangguk mantap.
Mayang mendesah pelan. Berusaha menetralkan perasaan dan mengumpulkan energi untuk memulai cerita.
"Jadi gini," ucapnya memulai curhatnya.
Mayang mengendarai motornya memasuki pelataran sebuah kafe yang tak jauh dari rumahnya. Ia memarkirkan motor berwarna merahnya itu di antara beberapa motor lain. Usai merapikan penampilan, ia bergegas mendekati tempat nongkrong anak muda yang di desain bertemakan out door itu.
Sejenak pandangannya berkelana menyisir seluruh area kafe itu. Tak lama kemudian, dari tempatnya, Mayang mendapati sesosok pemuda di ujung sana tengah berdiri seraya melambaikan tangannya.
Mayang merasa sedikit aneh. Jika biasanya kafe itu selalu ramai dikunjungi pemuda-pemudi yang datang silih berganti ataupun berlama-lama, tetapi hari ini tampak berbeda. Suasana lengang, padahal hari ini adalah akhir pekan.
Tak ingin mencurigai hal yang tak penting, Mayang berjalan menghampiri pemuda itu dengan senyuman yang masih terpatri.
“Hai, udah lama, ya?” sapanya basa-basi setelah jarak mereka telah dekat.
“Ah, enggak. Baru sampai juga, kok,” balas cowok bernama Rangga itu ramah. Senyuman semanis madu juga tak lepas dari bibirnya. Pemuda dengan kemeja hitam kotak-kotak yang berpadu dengan jeans warna gelap itu beranjak dari tempatnya demi menarik kursi di seberang.
“Silahkan duduk Tuan Putri,” ucapnya lembut, mempersilakan Mayang menempati kursi itu.
Mayang terseyum simpul. Ia mengangguk, lantas menduduki kursi itu dengan sikap elegan.
“Terima kasih, Rangga,” ucapnya kemudian.
“Sama-sama,” jawab Rangga. Ia lantas kembali ke kursinya semula dan duduk di sana.
Sejenak keduanya saling pandang dengan sikap canggung, lantas sama-sama terseyum tanpa suara dan menunjukkan sikap malu-malu.
Tak ingin lama-lama terjebak dalam suasana kaku, Rangga berinisiatif untuk mengajak Mayang mengobrol lebih dulu. Diambilnya buku menu yang berada di tengah meja, lantas membuka dan bertanya,
“Kamu mau pesan apa?”
“Apa aja boleh,” jawab Mayang sopan. Ia tak ingin membuang-buang waktu dengan berpura-pura memilih menu yang memang sudah ia hapal di luar kepala. Tentu saja hapal, sebab sudah tak jarang ia mengunjunginya.
Rangga bergerak sigap. Ia segera memanggil pelayan dan memesan beberapa menu minuman serta makanan masing-masing dua porsi.
Keduanya lantas mulai mengobrol dengan topik ringan hanya untuk basa-basi. Sesekali keduanya terlihat tertawa bersama ketika obrolan dirasa lucu dan menghibur. Obrolan terus berlanjut hingga Rangga beranjak dari kursi dan menekuk lutut di depan Mayang.
Pria tampan dengan jambang tipis itu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku dan menunjukkan pada Mayang setelah membukanya.
“Mayang, maukah kau menjadi kekasihku?” tanyanya kemudian dengan penuh pengharapan.
Mayang tergemap. Tangannya refleks membungkam mulut yang sedikit ternganga karena tak percaya. Jujur, sebenarnya ia juga respect terhadap Rangga. Namun, tak pernah menyangka jika pria itu akan menyatakan cinta begitu cepatnya.
Beberapa waktu terakhir ini Rangga memang gencar melakukan pendekatan. Meskipun tetangga satu kampung, tetapi keduanya jarang dipertemukan karena sama-sama kuliah di luar kota, tetapi pada kampus yang berbeda.
Kini keduanya sudah lulus. Rangga sudah mendapatkan pekerjaan di kota, sedangkan Mayang tetap tinggal di kampung sebab ingin membantu ayahnya di perkebunan buah milik keluarga.
“May, plis jawab dong. Jangan melamun gitu. Capek ini jongkok terus dari tadi,” gurau Rangga pada Mayang yang masih terbengong di tempatnya. Gadis itu sontak berjingkat serta memasang wajah malu-malu dan penuh rasa bersalah.
“Eh, maaf, maaf. Aku Cuma kaget.”
“Kok kaget?” tanya Rangga.
“Nggak nyangka ditembak kamu di sini,” jawab Mayang sambil mengulum senyum.
“Jadi gimana? Kamu mau, kan?” tanya Rangga. Lelaki itu terlihat serius. “May, kita ini sudah dewasa, bukan saatnya lagi mencari pacar. Kamu mau kan, jadi istri aku?” sambungnya lagi untuk memperjelas maksud keinginannya.
Mayang menyimpul senyum, lantas menganggukkan kepalanya. Tak ada alasan baginya untuk menolak. Di matanya, sosok Rangga begitu sempurna. Wajah rupawan, tubuh tegap dan sikap yang tegas. Ya, sejauh ini yang Mayang lihat memang seperti itu. Kehidupan yang mapan pastilah menjadi penunjang masa depan. Ditambah, Rangga adalah calon dokter pertama di kampungnya.
“Jadi kamu nerima aku?” tanya Rangga tak percaya sambil membulatkan bola mata. Walaupun Mayang jelas-jelas menganggukkan kepala, tetapi ia ingin mendengar sendiri gadis itu mengatakan iya.
“Iya, Rangga,” jawab Mayang meyakinkan. Rangga sudah hendak bersorak hore, tetapi urung saat Mayang melanjutkan kata. Ia pun diam sejenak demi untuk mendengarkan sang pujaan hati berbicara.
“Tapi aku nggak mau kita buru-buru, Ga. Kita jalani dulu sambil mengenal satu sama lain, ya,” pinta Mayang.
“Cuma itu syarat kamu?” tanya Rangga memastikan.
Mayang mengangguk.
“Aku pasti penuhi keinginan kamu, May. Aku akan sabar menunggu sampai kamu siap.” Rangga bangkit dari jongkoknya dan berdiri. Raut wajahnya begitu bahagia, hingga tanpa pikir panjang, ia pun mendekap tubuh Mayang begitu erat tanpa aba-aba.
“Hore ... aku diterima. Aku punya pacar sekarang!” teriaknya dengan girang.
Aksi selebrasi kebahagiaan Rangga diterima lain oleh Mayang. Rupanya ekspresi bahagia hanya dirasakan oleh Rangga semata, sedangkan Mayang justru melotot tak percaya.
“Ga, lepasin!” teriak Mayang sembari meronta.
Namun, alih-alih melepaskan, Rangga justru kian mempererat pelukannya.
“Bentar, May. Aku sedang menikmati kebahagiaan.”
Larut dalam euforia kebahagiaan, sampai-sampai Rangga tak menyadari perubahan mimik kekasihnya. Mayang sudah meronta minta dilepaskan, tetapi ia tetap bersikeras memeluknya. Alhasil, Rangga harus merasakan ganjaran akibat ulahnya sendiri.
Bugh!
Tanpa peringatan, lutut Mayang menendang ************ Rangga hingga pria itu melepaskan dekapan. Rangga memekik kesakitan seraya membungkuk dan memegangi area yang terasa nyeri. Di saat itulah, Mayang mendorongnya hingga terjungkal usai melayangkan pukulan ke arah perut dan wajah.
“Rasakan! Dasar otak mesum! Baru juga jadian sudah main peluk-peluk, besok-besok mau apa lagi, hah?” ucap Mayang dengan tangan menunjuk ke arah Rangga. Sesaat kemudian, ia pun beranjak dari sana meninggalkan Rangga yang masih terkulai tak berdaya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!