NovelToon NovelToon

CINTA SEJATI

Perkenalan

...🕊️Selamat Membaca🕊️...

Nesya

Namaku Nesya Putri Adhinata, seorang perempuan berumur 27 tahun yang baru saja kembali ke kampung halamannya setelah sekian lama menghabiskan waktu di kota kecil pinggir pantai. Ya, setelah lulus dari sekolah menengah atas, ayahku meninggal dan kami; aku, ibu dan kakak laki-lakiku memutuskan untuk pindah ke kota kelahiran ibu. Selama dua tahun berada di sana, ibu pergi menyusul ayah. Wanita yang telah melahirkanku itu meninggal karena terus sakit-sakitan setelah ditinggal sang suami tercinta. Ibu begitu mencintai ayah dan tidak sanggup berpisah lama dengannya, oleh karena itu, ibu memilih menyusul ayah dan meninggalkan aku dan kakak sebagai anak yatim piatu.

Kehidupan kami semenjak ditinggal orang tua tidaklah mudah. Kakakku yang bernama Naufal harus bekerja banting tulang untuk memenuhi seluruh kebutuhan sehari-hari keluarga kami dan juga biaya kuliahku, tapi syukurlah, kakakku yang memang seorang sarjana mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan, jadi perlahan perekonomian keluarga kami mulai membaik. Butuh waktu 4 tahun untukku menamatkan kuliah dan setelah itu aku juga mulai bekerja di perusahaan yang sama dengan kak Naufal.

Sembilan tahun lamanya aku menghabiskan hari-hariku di kota yang menyajikan pemandangan laut itu, hingga tiba-tiba aku dipindah tugaskan ke ibu kota, kota di mana aku lahir dan dibesarkan. Kak Naufal khawatir jika aku harus tinggal sendiri di kota besar itu, jadi ia memilih mengundurkan diri dari perusahaan dan ikut pindah bersamaku ke ibu kota. Sebenarnya aku sangat menyayangkan tindakan kakak yang memilih mengundurkan diri dari perusahaan padahal di sana ia memiliki posisi yang cukup tinggi, tapi apa boleh buat, dia mengatakan ingin selalu menjagaku. Menjagaku sampai suatu saat nanti aku memiliki pendamping dan barulah kakak bisa melepasku. Bahkan sampai umurnya yang sudah menginjak 30 tahun, kak Naufal masih melajang. Ia bersumpah akan menikah setelah aku menikah dan hidup bahagia. Entah sudah berapa banyak pengorbanan yang kakak lakukan untukku, tapi apa, aku tidak mampu membalasnya.

Kakak adalah segalanya bagiku, dia adalah satu-satunya keluarga yang aku miliki. Aku sangat menyayanginya.

Author

"Sya, ini hari pertamamu bekerja. Kakak akan mengantarmu," ucap seorang pria bersurai hitam bergelombang.

"Tidak apa, Kak. Aku bisa sendiri. Lagi pula hari ini Kakak ada interview pekerjaan, kan? Aku tidak mau Kakak terlambat karena harus mengantarku terlebih dulu." Perempuan berambut hitam sepunggung itu menjawab. Dia adalah Nesya.

"Sya, kita sudah lama tidak berada di sini. Kakak hanya takut jika nanti kamu tersesat." Naufal begitu mencemaskan sang adik.

"Oh ayolah, Kak, aku sudah dewasa. Jika tersesat, aku kan bisa bertanya. Kakak tenang saja ya." Nesya meyakinkan Naufal jika ia bisa sendiri.

"Baiklah, aku berangkat dulu. Jika butuh sesuatu segera hubungi aku, ok?" Pesan pria tampan itu.

"Iya Kak," angguk Nesya mengerti.

Nesya mengantarkan Naufal sampai ke depan pintu. "Hati-hati ya, Kak. Menyetirnya pelan-pelan saja!"

"Iya, adikku sayang." Naufal mengecup sekilas kening Nesya dan kemudian segera pergi menaiki mobilnya.

Sepeninggal sang kakak, Nesya segera menutup pintu rumah. Rumah yang terbilang cukup besar, mereka berdua patungan untuk membeli rumah itu dari hasil kerja yang sudah mereka kumpulkan selama bertahun-tahun.

"Aku juga harus bersiap-siap." Nesya segera memasuki kamarnya dan bersiap-siap untuk pergi ke kantor.

.......

Adrian

Namaku Adrian Pranaja, aku adalah seorang kakak yang begitu menyayangi adiknya. Aku memang bukan kakak yang sempurna untuk adikku karena aku cacat. Walaupun tak bisa melindunginya tapi setidaknya aku dapat memastikan jika dia tidak akan kekurangan kasih sayang. Ya, hanya ada aku sebagai keluarganya saat ini karena kedua orang tua kami sudah bahagia di atas sana bersama Tuhan.

Aku adalah pria lumpuh yang menghabiskan hari-harinya dengan duduk di kursi roda. Tidak hanya itu, duniaku juga dipenuhi dengan satu warna yaitu hitam. Dengan kata lain, aku adalah pria lumpuh dan juga buta. Di umurku yang sudah memasuki kepala tiga, aku masih belum memiliki pendamping. Oh ayolah, aku memang memiliki wajah yang terbilang cukup tampan, tapi aku sadar jika ketampanan itu tidaklah cukup karena nyatanya aku hanyalah pria yang serba kekurangan. Wanita mana yang mau dengan seseorang yang cacat sepertiku.

Aku menyerah, kata menikah sudah lama ku hapus dari dalam kamus hidupku. Hal terpenting buatku saat ini hanyalah Alvino. Aku harus memastikan jika adik kesayanganku itu bahagia. Jika sampai saat itu tiba, aku dipanggil yang Kuasa pun, tak akan jadi masalah karena tugasku hanya memastikan jika adik kecilku bahagia. Itu adalah wasiat terakhir yang diberikan oleh kedua orang tuaku.

Author

"Kak!" Sebuah suara terdengar dari belakang pria yang saat ini tengah berjemur di teras rumahnya. Pria tampan dengan tahi lalat kecil di bawah mata kanannya itu sudah hapal betul dengan suara berat yang dimiliki sang adik.

"Kamu mau berangkat kerja sekarang, Vin?" Tanya pria itu, Adrian.

"Ya, Kakak masuklah! Jangan duduk di luar terlalu lama. Sebaiknya istirahat saja!" Suruh sang adik. Alvino sangat peduli pada kakaknya, selain karena kakaknya yang memang memiliki kekurangan, ia juga tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada sang kakak diluar pengawasan dirinya.

"Dengar Adikku! Kakakmu ini tidak sakit jadi jangan memintanya untuk istirahat terus. Dia bosan," protes Adrian. Adiknya ini terkadang terlalu posesif membuatnya sedikit terkekang.

"Baiklah jika itu mau Kakak. Kalau begitu aku berangkat kerja dulu, ya. Kakak hati-hati di rumah. Jika butuh sesuatu panggil saja bi Cici, dia akan membantumu." Sebelum pamit Vino berpesan.

"Iya, aku tahu. Kau sudah mengatakan ini setiap pagi, aku bosan."

"Ya, aku akan terus mengatakannya sampai Kakak benar-benar muak. Haha." Vino tertawa melihat raut wajah kesal sang kakak.

"Terserah. Ingat ya, menyetirnya pelan-pelan saja!" peringat Adrian sebelum adiknya pergi.

"Sip, Kak."

Beberapa saat kemudian Adrian mendengar deru mesin yang dinyalakan dan kemudian bunyi itu mulai menjauh. Itu artinya Vino sudah pergi. Matanya memang tak berfungsi, tapi telinganya masih cukup baik untuk mendengar sekitarnya.

.......

Nesya mengunci pintu rumahnya. Saat ini ia telah bersiap untuk berangkat ke kantor. Ia menyusuri jalanan di komplek perumahan tempatnya tinggal. Wajahnya dihiasi senyum menawan kala memandang deretan rumah yang berjejer rapi. Tak pernah terbayangkan jika ia akan kembali ke kampung halamannya setelah sekian lama. Nesya sangat merindukan tempat ini dan juga segala kenangan yang tercipta di dalamnya.

Angin yang menemani perjalanan si cantik ini kadang-kadang bertingkah usil dengan menggoyang-goyangkan helaian hitam panjang miliknya. Tak jarang juga, si angin mengibas-ngibaskan rok kembang di bawah lutut yang ia kenakan.

Selangkah demi selangkah ia tapaki di jalanan itu sampai saat di mana sepatu bertumit rendah milik Nesya tak ingin melangkah lagi. Si pemilik berhenti di depan sebuah rumah. Rumah yang di terasnya terdapat seorang pria berkusi roda yang tampak kesusahan. Nesya melihatnya.

Nuraninya tergerak untuk membantu, dengan langkah perlahan Nesya berjalan memasuki perkarangan rumah milik si pria asing dan menghampirinya.

"Apa ada yang bisa ku bantu?" Suara lembutnya kala bertanya itu membuat si pria yang masih berkutat dengan kursi rodanya segera berhenti dari kegiatannya. Pria itu mencoba untuk merasakan keberadaan si pemilik suara.

"Siapa?" Pria itu bertanya. Ya ... pria itu adalah Adrian.

"Ah ... maaf, aku tidak sopan karena memasuki pekarangan rumahmu tanpa izin, tapi aku hanya berniat membantu, kok. Tak ada niat buruk sedikitpun," jelas Nesya dengan jawaban yang melenceng dari pertanyaan yang ditanyakan Adrian.

Adrian tersenyum. "Sepertinya ada yang menghambat jalan kursi rodaku," katanya.

Nesya memperhatikan penampakan pria di hadapannya. Pria itu cukup tampan, namun sayang dia memiliki kekurangan. Sepertinya lumpuh, tapi kenapa dia tidak menyadari jika di dekatnya ada pot yang menghalangi jalan kursi rodanya. Ah... dari pada memikirkan hal itu, lebih baik Nesya segera menolong si pria.

"Ah ya ... ada pot tanaman di jalanmu. Akan ku pindahkan sebentar." Nesya mengambil pot yang dimaksud dan memindahkannya ke tempat yang tepat.

Adrian mencoba kembali menggerakkan kursi rodanya dan hal yang menghambat tadi sudah lenyap. Ia bisa masuk sekarang. Namun sebelum itu, ia harus mengucapkan terima kasih pada penolongnya.

"Terima kasih karena sudah menolongku," ucapnya.

"Ya. Sama-sama," balas Nesya. "Oh ya, aku warga baru di komplek perumahan ini. Rumahku berada tepat di samping rumahmu dan perkenalkan namaku Nesya," lanjutnya seraya memperkenalkan diri. Tak lupa tangannya ia ulurkan ke depan agar bisa berjabat dengan si pria.

"Salam kenal, aku Adrian." Si pria balik memperkenalkan diri namun tak kunjung menjabat uluran tangan dari Nesya.

Nesya tercenung menatap tangannya yang masih terulur, dengan berat hati ia menarik tangannya untuk kembali ke sisi tubuhnya.

Adrian hanya tersenyum, ia senang mendapat tetangga baru, terlebih tetangganya itu adalah seorang perempuan yang baik hati. "Senang bisa berkenalan denganmu Nesya," ucapnya.

"Hm, aku juga." Nesya mengangguk.

Mereka terdiam untuk beberapa saat, Nesya terus saja memperhatikan pria tampan yang baru saja ia temui ini. Ada yang aneh, pikirnya. Pandangan pria itu hanya tertuju pada satu arah dan titik, seperti orang buta.

"Astaga!" Hati Nesya memekik tak percaya. Mungkinkah apa yang ia pikirkan itu adalah kenyataannya. Dengan gerakan perlahan, Nesya mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajah pria itu. Dan benar, ia sama sekali tak melihatnya.

"Sungguh malang sekali nasib pria ini, sudah lumpuh tak bisa melihat pula. Kenapa kau begitu jahat padanya, Tuhan..." tangis Nesya dalam hati. Sungguh ia merasa iba pada pria di hadapannya ini.

"Nesya, kamu masih di sana?" tanya Adrian.

"Ah ... ya, ada apa?" Nesya balik bertanya, kikuk.

"Apa kamu tidak bekerja?" tanya Adrian lagi.

"Oh, ya Tuhan!" Nesya menepuk jidatnya.

"Ini hari pertamaku bekerja, aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa Adrian." Nesya segera melesat pergi dari sana.

Sepeninggal Nesya, Adrian hanya bisa terkekeh pelan, terlebih saat mendengar nada panik wanita tadi, pasti raut wajahnya sangat lucu. Namun sayang, ia tak dapat melihatnya.

"Tuan Adrian!" panggil bi Cici yang sedari tadi telah berdiri di pintu masuk dan turut menyaksikan interaksi antara sang majikan dengan seorang wanita muda.

"Iya, Bi. Aku akan masuk sekarang." Adrian segera memutar dan menjalankan kursi rodanya memasuki rumah.

"Tuan, tadi anda mengobrol dengan siapa?" Tanya bi Cici penasaran. Mereka sudah sampai di ruang tamu saat ini.

"Dia tetangga baru kita, Bi. Rumahnya tepat di sebelah rumah kita."

"Oh ... tetangga baru, ya. Bibi tadi sempat lihat, dia seorang perempuan muda yang sangat cantik. Surainya hitam panjang dan lensa matanya berwarna coklat terang, sungguh menawan," jelas bi Cici sembari membayangkan kecantikan Nesya yang tadi sempat diperhatikan olehnya.

"Benarkah?" tanya Adrian.

"Iya tuan dan nampaknya ia juga perempuan yang sangat baik. Ia memiliki senyuman yang manis dan tulus," beritahu bi Cici lagi.

"Begitu, ya." Adrian tersenyum sembari mencoba membayangkan deskripsi Nesya yang dibeberkan bi Cici tadi.

"Pasti dia perempuan yang memesona," batinnya.

.......

"Vino, kamu sudah datang?" Seorang perempuan bepakaian minim, berambut pendek sebahu segera menghampiri Alvino yang baru saja sampai di kantor. Ia menyapa laki-laki itu manja.

"Ya." Hanya balasan seperti itu yang diterima si perempuan atas sapaan ramahnya. Vino segera memasuki ruang kerjanya tanpa memedulikan jika saat ini si perempuan-rekan kerjanya- bernama Cecilia itu tengah menggerutu sebal karena merasa terabaikan.

"Nona Cecilia, sebaiknya anda kembali ke ruangan anda. Masih banyak pekerjaan kemarin yang belum terselesaikan." Seorang laki-laki yang sedari tadi berdiri di belakang Cecilia berucap.

"Ish ..." Perempuan itu mendengus. "Jika bukan karena Vino, aku juga tidak mau bekerja di sini. Untuk apa bekerja capek-capek jika  kenyataannya papaku bisa memenuhi semua kebutuhanku." Dia lanjut mendumel.

"Ayo Lucky, ikut aku ke ruangan!" titahnya dan laki-laki bernama Lucky itu mengangguk lantas mengekori nonanya.

Cecilia Hardikusuma adalah seorang perempuan manja berusia 26 tahun. Dia adalah anak dari seorang pengusaha ternama, memiliki satu impian yaitu menjadikan Vino miliknya. Apapun akan dilakukannya agar bisa menembus dinding tak kasat mata yang mengepung laki-laki bernama Alvino Pranaja itu . Salah satunya adalah dengan bekerja di perusahaan yang sama, berharap ia akan semakin dekat dengan laki-laki pujaannya itu.

"Ck ... perempuan menyedihkan. Sudah diabaikan berulang kali, tapi masih tak tahu malu untuk mendekati pak Vino," bisik salah seorang karyawati yang tadi melihat interaksi Cecilia dan Vino.

"Benar, ku dengar kerjanya juga tak pernah beres. Dia hanya seorang nona muda manja yang tak bisa apa-apa," bisik karyawati lainnya. Tetap dengan nada mencemooh.

"Oh ya ... apa kalian memerhatikan pengawal yang selalu bersamanya? Bukankah laki-laki itu terlalu imut?" Karyawati lainnya berujar namun dengan objek yang berbeda.

"Ah ... kalau tidak salah namanya Lucky. Dia memang imut, sih, tapi sayangnya merupakan kacung si nona manja," ledeknya.

"Hahaha ..... kau benar." Mereka tergelak bersama.

"Ekhem!" Sedang asyik bergosip ria, seseorang datang dan berdehem di belakang tiga karyawati itu. Dengan takut-takut mereka menoleh. Kenapa takut? Karena mereka tahu suara itu adalah milik direktur utama mereka.

"Pagi-pagi sudah bergosip, apa kalian tidak punya pekerjaan?" tanya laki-laki dewasa itu dengan wajah sangar yang dibuat-buat.

"Hehe ....nmaafkan kami, Pak Bara. " Permintaan maaf disertai cengegesan itu didapat Bara dari tiga bawahannya.

"Ya sudah, sekarang kembali bekerja!" titahnya.

"Baiklah." Ketiganya mengangguk dan kembali ke tempat duduk mereka.

"Oh ya, nanti akan ada pegawai baru yang datang. Jika dia bertanya pada kalian, tolong tunjukkan ruanganku padanya!" pesannya sebelum pergi.

"Baik, Pak."

.......

Nesya akhirnya sampai di perusahaan tempatnya akan bekerja, perusahaan itu adalah induk perusahaan dari cabang di mana dulu ia bekerja.

Si cantik mulai melangkahkan kakinya memasuki kantor, beberapa orang yang ia lewati tampak menatapnya heran. Yah ... mungkin mereka penasaran karena Nesya orang baru di kantor ini.

Sampainya di lantai paling atas tempat sang atasan berada, Nesya harus bertanya lagi di mana tepatnya ruangan sang direktur utama berada. Jika boleh jujur, kantor ini terlalu besar, jika tak bertanya mungkin dirinya akan tersesat.

Nesya menghampiri salah satu meja karyawati yang ada di lantai yang sama dengan direktur. "Maaf, boleh aku bertanya," ucap Nesya sopan.

Karyawati yang ditanya langsung mendongak dan memperhatikan Nesya sejenak, "Ah ... kamu pasti karyawan baru yang tadi dibicarakan Pak Bara. Mari aku antar ke ruangan beliau." Karyawati itu segera membawa Nesya pergi.

"Hei, apa kamu lihat? Pegawai baru itu cantik sekali."

"Iya, sangat cantik. Bentuk tubuhnya juga sangat menawan, tinggi dan ramping."

"Wah, bisa jadi saingan si nona manja ini mah."

"Kau benar." Para karyawan dan karyawati kembali berbisik-bisik.

.......

Tok....tok.....

Nesya mengetuk pintu ruangan direktur dan langsung memasukinya setelah mendapatkan izin dari dalam sana.

"Silakan duduk Nona Nesya!" pinta Bara yang langsung dituruti Nesya.

"Aku sudah membaca semua data-data tentangmu. Di kantor cabang kamu telah memberikan kontribusi yang sangat besar untuk perusahaan. Oleh karena itu, kamu dipindah tugaskan ke perusahaan induk. Dan selamat bergabung di perusahaan kami, Nesya Putri Adhinata." Bara mengulurkan sebelah tangannya agar bisa berjabat dengan Nesya.

"Terima kasih dan mohon bimbingannya, Pak Bara." Nesya segera menjabat uluran tangan itu.

"Reina!" panggil Bara dan seseorang muncul dari ruangan yang berada tepat di sebelah ruangan direktur.

"Ada apa?" tanya seorang wanita dewasa berambut coklat sebahu.

"Tolong antarkan nona Nesya ke ruangannya. Ruangan manager pemasaran!" suruhnya.

"Baiklah."

"Oh ya ... perkenalkan dia adalah Reina, istri sekaligus sekretarisku," kata Bara.

"Mohon bimbingannya, Buk Reina."

"Iya, ayo Nesya."

.......

Vino keluar dari ruang kerjanya karena merasa bosan, tak ada pekerjaan karena sudah ia selesaikan sebelumnya. Rencananya, ia akan mengunjungi ruangan pamannya - Bara- untuk sekedar berbincang, tapi sampainya di luar yang ia lihat adalah semua karyawannya bergosip.

"Ekhem ..." Deheman kerasnya langsung membuat semua karyawan ciut dan memilih diam, kembali mengerjakan tugas mereka.

Alvino dan Bara

Dua atasan mereka itu memang berbeda, jika Bara ramah dan murah senyum, lain halnya dengan Alvino yang bertampang dingin dan kejam. Hanya tampang, sementara hati baik, kok.

"Hendri!" panggil Vino pada salah satu OB yang kebetulan lewat.

"Ya, Pak?"

"Buatkan aku dua cangkir kopi hitam dan antarkan ke ruangan direktur!" suruhnya.

"Baik, Pak Vino." OB itu segera melaksanakan perintah dari wakil direktur perusahaan, Alvino Pranaja.

Menikmati pagi dengan secangkir kopi juga berbincang ringan, mungkin akan menyenangkan. Semoga pamannya itu sedang tidak sibuk saat ini.

Vino kembali melangkahkan kakinya ke ruangan Bara, satu-satunya adik yang dimiliki sang ayah.

.......

"Vino, kamu mau ke mana?" Di jalan Reina bertemu dengan Vino yang kebetulan akan ke ruangan Bara.

"Oh, Aunty Rei," sapa Vino.

"Sudah ku bilang jangan memanggilku Aunty, panggil kakak saja!" Reina dengan kesal menghampiri lantas memukul lengan kekar Vino.

"Aunty saja, lebih pantas," ucap Vino dengan senyuman jail.

"Rambutmu minta ku gunduli ya?" geram Reina. Keponakan suaminya ini memang sering mengolok dirinya.

"Maaf, Kak."

Mereka berdua terkekeh, memang Reina tidak suka dipanggil aunty walaupun kenyataannya dia adalah istri dari pamannya Vino. Ia merasa masih muda di umurnya yang masih 40 tahun itu.

Oh ya, bagaimana dengan Nesya?

Ia sedang sibuk melamun, entah apa yang tengah dipikirkannya.

"Oh, aku sampai lupa. Aku harus mengantarkan manager pemasaran yang baru ke ruangannya." Reina menepuk jidat.

"Ya?" Vino baru sadar jika ada seseorang yang tadi berjalan di samping Reina.

"Nesya!" panggil Reina.

"Y— ya?" Nesya yang awalnya menunduk kini menoleh dan memandang si pemanggil.

Ia melihat Reina bersama dengan seorang laki-laki dan saat ia menatap wajah laki-laki itu, ingatannya mundur pada masa beberapa tahun silam.

"Kamu!"

"Kamu!"

...Bersambung...

...Jangan lupa Vote dan Comment ya, Readers....🙏🏻😊...

Pertemuan Kembali

...🕊️Selamat Membaca🕊️...

Kantin SMA

Sekumpulan siswa duduk di salah satu meja panjang yang ada di dalam kantin. Mereka bercengkrama ria, kadang juga tertawa, ditemani oleh beberapa minuman juga snack yang sampahnya sudah berserakan di atas meja.

"Minuman gue habis nih, beliin sekotak susu stroberi dong, Ger ..." pinta seorang siswa bersurai hitam jabrik.

"Pergi beli sendirilah! Punya kaki, kan?" tolak siswa yang dipanggil Ger, Geri.

"Ck ... capek, ah. Lo aja deh yang beli, Ki!" pintanya lagi. Kali ini pada temannya yang lain, Kiki.

"Ya elah Nes, tinggal jalan beberapa langkah juga. Jangan manja, deh." Malah balasan itu yang diterima si Jabrik.

"Kalian pada ngak setia kawan, nih. Dimintai tolong itu aja malah banyak alasan," gerutunya.

"Kita juga capek kali Nes, males gerak nih ..." seorang siswa lagi berpendapat.

"Cih ... gayanya capek padahal nggak ada kerjaan juga," ledek si Jabrik yang tak lain adalah Nesya.

"Dari pada pusing, mending minta tolong aja sama junior yang lewat. Mereka tidak akan berani nolak deh, secara kita ini kan senior di sini," saran salah satu siswa lainnya.

"Ide bagus tuh. Boleh di coba." Nesya menyunggingkan senyuman liciknya.

Kini pandangannya mulai mengitari seluruh kantin dan kebetulan ada dua orang siswa yang lewat di depannya. Langsung saja Nesya panggil mereka.

"Heii rambut cepak dan botak, kemari kalian!" Seru Nesya lantang.

Sontak dua orang yang merasa terpanggil itu menoleh dan mendapati seorang siswa yang melambai-lambai di antara siswa lainnya. Mereka berdua segera menghampiri meja yang ditempati sekumpulan siswa itu.

"Hei ... kalian anak kelas satu, kan?" tanya Nesya.

"Ya," jawab salah seorang dari mereka yang berambut cepak sisir samping.

"Lo yang tanpa rambut, tolong beliin gue sekotak susu stroberi!" suruh Nesya.

Siswa plontos itu mengangguk dan hendak beranjak untuk membeli pesanan seseorang yang ia ketahui jika itu adalah senior mereka, namun lebih dulu tangan seseorang mencegat kepergiannya.

"Ada apa, Vin?" tanya si siswa berkepala botak.

"Jangan pergi, Son!"

"Kalau gue nggak pergi maka akan terjadi masalah yang akan merepotkan. Lo tahukan gue benci hal yang merepotkan," jelas siswa bernama Soni itu.

"Tapi mereka tidak bisa semena-mena begini pada kita, mentang kita juniornya," balas siswa bernama Vino.

"Hei! Apa-apaan ini? Pakai memprovokasi si botak segala. Kalian nggak suka gue suruh, hah?" Protes Nesya.

"Tentu saja kami tidak suka. Memangnya kami ini pesuruh lo, eh?" tantang Vino tanpa takut.

Mendengar sang junior yang berani menantang dirinya, Nesya merasa mendidih. Ia menggebrak meja menggunakan kakinya. "Sialan!" serunya dengan nada tinggi. Nesya berdiri hendak melabrak siswa kelas satu yang songong itu namun seketika lengannya ditahan oleh Geri.

"Mau masuk ruang BP lagi, hah? Baru kemarin lo masuk ke sana, mau masuk lagi?" peringat Geri.

Untuk menghindari masalah, akhirnya Nesya mengalah. Ia mendengus keras sebelum mendudukkan kembali pantatnya pada bangku kantin.

"Kalian bisa pergi sekarang!" Kiki memilih mengusir dua junior itu, jika mereka tetap di sana takutnya Nesya akan mengamuk lagi.

Sebelum pergi Vino sempat melirik Nesya dan ternyata perempuan itu juga tengah menatapnya kesal. Dengan senyuman mengejek, Vino berujar.

"Senior GILA."

...🍁 🍁 🍁...

"Senior gila?" panggil Vino tak yakin.

"Eh? Alvino?" Nesya menyapa balik. Raut wajahnya sirat akan keterkejutan. Tak menyangka jika akan bertemu mantan juniornya di SMA dulu.

"Kamu benar-benar Senior gila itu?" Vino memastikannya lagi.

Nesya terkikik kecil mendengar pertanyaan yang dilontarkan mantan juniornya di pertemuan pertama mereka setelah sekian lama. "Apa aku masih terlihat gila di matamu sampai saat ini, Vin?" tanya Nesya dengan suara lembut dan jangan lupakan senyuman manis yang mengiringinya.

Deg

Vino terdiam, ia merasa jika saat ini jantungnya tengah berdegup kencang akibat menerima senyuman manis dari mantan seniornya. Apa dulu seniornya itu pernah tersenyum semanis ini? Ah, Vino rasa tidak pernah. Dan sekarang? Perubahan mengerikan macam apa ini? Ke mana Nesya yang tomboy dulu? ke mana seniornya yang urakan dan sering mengumpat? Ke mana .... ke mana siswa jabrik yang dulu sering masuk ruang BP?

"Kamu tidak membohongiku, kan? Kamu tidak mungkin seniorku dulu." Vino masih sulit percaya karena perubahan Nesya memang sedrastis itu.

Nesya ingin tertawa terbahak-bahak, namun urung ia lakukan demi menjaga imagenya di kantor, ia hanya terkekeh anggun menanggapi kebodohan Vino. Apa sebegitu drastis perubahan dirinya hingga mantan juniornya itu tak memercayai jika dia memang adalah Senior gila yang dimaksud.

"Aku harus bagaimana agar kamu percaya padaku, Vin, ah ... maksudku si rambut cepak?!" tanya Nesya dengan menggunakan panggilan masa lalunya pada Vino.

Deg

Vino terdiam lagi. Kali ini ia sudah yakin jika perempuan yang berdiri di hadapannya ini adalah benar seniornya. Senior yang dulu sering bersitegang dengannya. Senior yang berada dua tingkat di atasnya.

"Kalian saling mengenal?" Reina yang semula hanya mendengarkan, kini mulai membuka suara.

"Ya, nanti akan ku ceritakan."

"Ya sudah, ayo Nesya!" ajak Reina.b

"Aku duluan ya, Vin." Nesya pamit.

"Ya." Vino hanya berdehem, namun pandangannya tak pernah lepas dari paras cantik Nesya.

"Ah, tunggu!" henti Vino ketika Nesya juga Reina sudah melangkah menjauhinya.

Dua perempuan berbeda usia itu berbalik, "Apa?" itu Reina yang bertanya.

"Bukan dirimu, aunty." Mendengar itu Reina hanya bisa mengelus dada. Sudah dibilang jangan panggil aunty tetap juga dirinya yang masih muda ini dipanggil aunty.

"Senior, setelah jam kantor berakhir, bisakah kita mampir ke cafe untuk sekedar berbincang?" ajak Vino.

"Tentu," angguk Nesya.

"Ya. Aku akan menunggumu Senior!"

"Nesya. Cukup panggil namaku, Vin. Aku bukan seniormu lagi saat ini," pinta Nesya.

"Hn? Ah ... ya. Nesya." Darah Vino berdesir ketika memanggil nama Nesya untuk yang pertama kalinya.

"Sampai ketemu lagi." Kali ini Nesya benar-benar menghilang bersama Reina.

"Ada apa denganku?" Vino memegangi dadanya yang berdentum hebat.

.......

Setelah selesai bekerja, sesuai rencana kini Nesya dan Vino sudah berada di sebuah cafe dekat kantor.

"Aku tak menyangka jika akan bertemu lagi denganmu, Vin." Nesya memulai pembicaraan.

"Ya, aku juga. Senior banyak berubah."

Nesya terkekeh kecil, ia sangat mengerti dengan maksud perubahan yang dibicarakan Vino. "Banyak yang sudah terjadi dan inilah aku yang sekarang. Apa aku terlihat aneh?" tanya Nesya dengan wajah sedikit miring ke kanan mencoba bertingkah imut dan ternyata itu berhasil membuat Vino memalingkan wajahnya ke arah samping. Ada rona merah muda yang samar di pipi putihnya. Nesya terkekeh kembali.

"Sepertinya hanya aku yang berubah di sini."

"Ya?" Vino kembali menatap Nesya. Tak mengerti dengan maksud perkataan perempuan di depannya ini.

"Kau tak berubah, Vin, masih tetap tampan seperti sembilan tahun lalu."

BLUSH

Vino tahu dia tampan dan ia juga sudah sering mendapat pujian seperti itu, tapi entah kenapa kalau Nesya yang mengucapkan rasanya ada yang beda. Wajahnya tiba-tiba panas dan hatinya membuncah bahagia. Ada apa ini?

"Vin?" panggil Nesya saat dilihatnya si tampan tengah melamun.

"Y— ya? Ada apa, Senior?" balasnya gugup yang lagi-lagi menuai kekehan geli dari Nesya.

"Ck ... sudah ku bilang panggil namaku, bukan Senior - senior lagi!" protesnya.

"Ah, ya." Vino lupa. Bukan lupa sepenuhnya sih, hanya saja ia terlalu canggung untuk memanggil nama perempuan cantik itu. Ada sensasi aneh, ia belum siap.

"Oh ya, ku dengar kau merupakan wakil direktur di perusahaan?" tanya Nesya.

"Iya, dan direkturnya adalah pamanku. Adik kandung ayah," beritahunya dan Nesya hanya menganggukkan kepala paham.

"Selama ini kamu kemana saja, setelah lulus dari SMA aku tak pernah bertemu lagi denganmu dan menurut yang ku dengar dari paman, kamu dipindahkan dari perusahaan cabang?"

Nesya melotot mendengar ucapan panjang Vino. "Ini pertama kalinya ku dengar kamu berkata sepanjang ini, Vin ..." katanya takjub.

BLUSH

Lagi-lagi Vino memerah, bisa sekali Nesya menggodanya.

"Maaf," katanya. "Memang benar, setelah lulus aku kehilangan ayahku. Jadi aku, ibu dan kakakku memutuskan untuk pindah ke kampung halaman ibu. Selang beberapa tahun, ibuku juga pergi. Aku hidup berdua bersama kakakku. Aku kuliah dan bekerja di sana sampai perusahaan memindah tugaskanku ke sini," jelas Nesya panjang.

"Ya ..." Hanya respon seperti itu yang Vino berikan. Namun dalam hati ia berkata jika nasib mereka tak jauh berbeda. Mereka sama-sama sudah kehilangan orang tua dan hanya hidup bersama sang kakak. Kebetulan menyedihkan macam apa ini.

.......

Vino terus memandang dalam diam Nesya yang tengah berkutat dengan ponselnya. Ada debaran aneh di hatinya setiap menatap wajah cantik Nesya dan hal itu juga berlaku untuk sembilan tahun yang lalu. Saat seniornya masih dalam rupa yang tomboy dan urakan.

"Nes—,"

"Vin!" Baru saja Vino akan memanggil nama Nesya, tapi perempuan itu sudah mendahuluinya.

"Ya?"

"Aku harus pulang sekarang," katanya.

"Ku antar?" tawar Vino.

"Tidak perlu." Nesya menggeleng. "Aku sudah ada yang jemput."

"Ku antar ke depan." Nesya mengangguk

untuk tawaran yang satu itu.

Sampainya di depan cafe, Nesya pamit dan segera berlari menuju sebuah mobil sedan berwarna putih. Ada seorang pria yang sedang menunggu di luarnya.

Nesya langsung memeluk si pria begitu sudah berada di dekatnya. Dan tanpa disangka si pria berbadan tinggi tegap itu juga mengecup pucuk kepala Nesya.

"Ada hubungan apa mereka?" Sungguh Vino merasa hatinya saat ini memanas melihat pemandangan itu. Ia tak suka Nesya bersama pria lain. Apakah dia cemburu? Ah ... benar, dia cemburu.

Tak lama setelah kepergian Nesya dengan pria itu, Vino menghubungi seseorang.

"Di mana?"

"............"

"Bisa temui aku sekarang?"

"............."

"Di cafe dekat perusahaan."

"........"

PIP

Vino kembali memasuki Cafe dan menunggu seseorang di dalam sana.

... ....

Seorang pria yang tadi dihubungi Vino, sedari tadi terus mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Sudah lebih dari 10 menit orang yang menyuruhnya datang kemari belum juga angkat bicara, membuatnya lelah menunggu.

"Merepotkan, jadi apa yang mau lo bicarakan? Lo tahu? Demi lo, gue rela ninggalin istri gue yang hamil tua di rumah. Gue nggak bisa lama, cepatlah jika lo ingin berceri—"

"Dia kembali, Son," ucap Vino akhirnya.

"Dia?" Soni mengernyit heran. "Siapa yang lo maksud?"

"Senior gila."

"Senior gila?" Pria bernama Soni itu mencoba mengingat-ingat siapa gerangan senior yang disebut Vino dengan sebutan gila. Setelah flashback sejenak ia langsung mengingatnya. "Nesya Putri Adhinata?" tanyanya meyakinkan.

"Ya." Vino mengangguk.

"Apa? Yang benar?" Soni terlihat antusias.

"Ya."

"Senior yang dulu suka bertengkar dengan lo itu, kan? Senior tomboy itu?"

"Ya, dia sekarang bekerja di perusahan gue."

"Tak dapat dipercaya, lalu bagaimana? Apa lo seneng? Bukankah saat dia ngilang dulu lo begitu murung, tapi kenapa sekarang wajah lo masih kusut seperti itu?" Tanya Soni.

"Sebelum lo datang, kami minum di cafe ini."

"Lalu di mana dia?"

"Sudah pergi."

"Pergi?"

"Ya, dijemput oleh seorang pria."

"Hahahhaahaa ..." Tawa Soni langsung pecah setelah mendengar perkataan Vino. Sekarang ia mengerti kenapa wajah teman sedari kecilnya itu kusut dan masam. "Ternyata cemburu, toh," ucapnya setelah berhenti tertawa.

"Puas lo nertawain gue?" Vino mendelik tajam pada Soni.

"Sorry, tapi mungkin aja pria itu bukan kekasihnya."

"Mereka berpelukan dan pria itu juga mencium keningnya."

"Ppfft ..." Soni ingin tertawa lagi, tapi untuk sekarang ia tunda dulu. Ia tak ingin membuat Vino kesal. "Bisa saja itu saudaranya? Kakak mungkin?"

"Kakak?" Vino tampak berpikir. "Bisa jadi, Nesya bilang dia memiliki seorang kakak?" Seingat Vino sih begitu, tapi ia tak tahu apa kakaknya Nesya itu perempuan atau laki-laki.

"Sudahlah ... ini baru hari pertama. Masih banyak waktu untuk pendekatan. Jangan khawatir, jika dia jodohmu maka dia akan kembali padamu," ucap Soni.

"Hah? Pikiranmu terlalu jauh, Son. Gue aja belum sempat memikirkan tentang jodoh, pernikahan masih jauh buat gue."

"Makanya pikirkan mulai sekarang! Lo nggak ingin kayak gue, eh? Sebentar lagi punya anak."

"Ck, gue masih muda, belum berpikiran untuk menikah. Masih ingin menikmati masa sendiri."

"Lo pikir gue nggak menikmati masa muda, hah? Gue seneng bisa nikah muda. Saat pulang ada yang nyambut, ada yang masak makanan buat gue, memanjakan gue, dan menemani gue tidur. Lo yakin nggak iri, Bro?" goda Soni.

Skakmat, Vino terdiam. Jujur, ia juga ingin merasakan hal itu. Disambut oleh seseorang dengan senyuman manis di saat dirinya pulang ke rumah, memasakkan makanan enak untuknya setiap hari, memanjakannya, merawatnya saat sakit, menghiburnya di kala sedih dan yang terakhir menemaninya ketika tidur. Oh ... membayangkan yang terakhir membuat wajah Vino panas seketika karena apa yang dibayangkannya saat ini adalah Nesya sebagai objeknya.

"Gila lo!" Soni geleng-geleng melihat Vino yang sedang mengkhayal.

"Selamat berfantasi teman, gue pulang dulu, sudah rindu istri tercinta. Bye." Soni menepuk pelan pundak Vino sambil dirinya berlalu pergi meninggalkan cafe.

"Ya."

"Menikah, ya?" Dan dimulailah hari dimana Vino memikirkan satu kata itu.

.......

Nesya meletakkan barang belanjaannya di atas meja, sebelum pulang tadi ia dan sang kakak mampir dulu ke supermarket untuk membeli kebutuhan dapur.

"Tadi di cafe sama siapa?" tanya Naufal yang tengah melonggarkan ikatan dasinya.

"Ah ... bersama mantan juniorku di SMA dulu, namanya Alvino Pranaja." Nesya menghampiri Naufal dan menyodorkan segelas air minum untuk kakaknya.

"Makasih." Naufal menyesap setengah dari isi gelasnya dan kemudian mendesah lega. "Pranaja?" tanyanya ketika mendengar nama belakang yang disebutkan sang adik.

"Ya, dia juga termasuk keluarga yang memiliki perusahaan. Dia wakil direktur di sana."

"Hebat ya dia, masih muda sudah jadi wakil direktur," puji Naufal.

"Ck, apa susahnya sih, Kak, toh itu juga perusahaan keluarganya sendiri."

"Hahaha, kau ini." Naufal mengacak pelan surai hitam sang adik. "Apa Vino itu tampan?" godanya.

HAH?

Nesya melotot saat mendengar pertanyaan itu dari sang kakak. "Hm ... ya begitulah," jawabnya gugup dengan wajah yang sedikit merona.

"Wah ... jika melihat ekspresimu sekarang ini, kurasa yang namanya Vino itu sangatlah tampan. Benarkan?" Naufal menaik turunkan alisnya.

"Kak!" Nesya langsung cemberut karena Naufal terus menggodanya.

"Lihatlah sekarang adikku jadi senyum-senyum sendiri?" Melihat wajah menggemaskan sang adik, Naufal semakin gencar untuk menggodanya.

"Tidak, Kak. Aku hanya teringat kenangan masa SMA dulu. Kakak tahu? Satu bulan setelah kami bertemu, Dia baru sadar jika aku adalah perempuan. Hahahaahahah." Nesya langsung tertawa terbahak-bahak mengingat kejadian dahulu.

.......

Nesya yang baru menyudahi panggilan alamnya, memilih untuk segera keluar dari toilet.

Cklek

Setelah keluar, tanpa sengaja ia bertemu dengan Vino yang juga habis dari toilet, toilet laki-laki berada di depan toilet perempuan. Jadi sekarang posisi mereka saling berhadapan.

"Lo?!" seru Nesya dengan nada ketus.

"Ck, selain gila ternyata lo mesum juga, ya."

HAH?

"Woi!" Nesya tak terima. Tak ada angin tak ada hujan, junior songongnya yang satu itu langsung mengatainya mesum. Dengan napas menggebu-gebu, ia langsung menghampiri Vino, meraih kerah bajunya dan mencengkramnya kuat. Manik coklatnya menatap tajam pada manik hitam di hadapannya.

"Atas dasar apa lo ngatain gue mesum, hah?" tanya Nesya dengan nada penuh penekanan dan tatapan intimidasi.

"Gue rasa lo nggak buta untuk bisa melihat tanda di depan toilet." Tanpa ada rasa takut Vino membalas pertanyaan Nesya.

HAH

Nesya melepaskan cengkramannya pada kerah baju Vino dan kemudian menoleh ke belakang, tepat ke arah pintu toilet perempuan.

"Gue masih bisa lihat jika tanda itu adalah tanda orang menggunakan rok," jawab Nesya polos.

"Itu lo tahu, sementara lo?" Sasuke memandang remeh Nesya.

"Gue?" tunjuk si Jabrik pada dirinya. "Gue masuk toilet yang benar lah," ucapnya yakin.

Vino memandang Nesya dari atas sembari tersenyum meledek. "Maksud lo dengan celan—

—rok?"

Vino terdiam, ia memperhatikan kembali penampilan Nesya dari atas - bawah- atas lagi dan sekarang ia baru sadar jika orang yang berada di depannya ini adalah seorang perempuan. Tapi, dengan penampilan seperti ini? Rambut jabrik? Lengan baju yang digulung? Wajah kusam tanpa make up? Dia perempuan?

"L—lo perempuan?" tanya Vino gagap.

HAH

Nesya menganga lebar, tak percaya dengan kebodohan junior di hadapannya. Walaupun tomboy, selama ini Nesya selalu menggunakan rok kok kalau ke sekolah, tapi kenapa makhluk tampan yang satu ini baru menyadarinya. Padahal dalam sebulan ini mereka selalu bertemu dan juga sering bersitegang. Masa sih Vino tak sadar?

"Jadi selama ini lo pikir gue ini laki-laki? Yang benar aja ... mata lo katarak, ya?" ejek Nesya.

"Apa kata lo?" Vino sadar jika kali ini ia memang bodoh karena tak menyadari jika Nesya itu perempuan, tapi ia juga tak terima dikatai katarak.

"Hahahha ... dasar junior bodoh!" Nesya diiringi tawanya segera pergi meninggalkan Vino yang masih berdiri di depan toilet.

"*Senior gila!"

Nesya mengabaikan gerutuan junior tampannya itu*.

.......

"Hahahahaa ... Kakak tahu? Wajah Vino saat itu benar-benar lucu." Selesai bercerita Nesya kembali tertawa terbahak, namun tawanya tak berlangsung lama ketika ia melihat Naufal hanya diam sembari menatapnya datar.

"Kamu pikir itu lucu?" tanya Naufal.

"Apa?" Nesya mengernyit. Bingung kenapa respon sang kakak tidak seperti yang ia harapkan.

"Kamu terlihat bahagia sekali saat menceritakannya, tak salah lagi ... kamu pasti menyukai Vino, kan?" goda Naufal.

"Hm ... oh ya, bagaimana interview nya, Kak? Kakak dapat pekerjaannya?" tanya Nesya mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Dapat dong, siapa sih yang bisa menolak pesona kakakmu yang tampan ini?" balas Naufal bangga.

"Cih, tampan tapi Bujang Lapuk," ledek sang adik.

"Kamu juga, Perawan Tua!" balas Naufal sambil mencubit gemas hidung sang adik.

"Isshhh ... " Nesya mengusap hidungnya yang merah karena ulah sang kakak. "Ya sudah, aku mau bersih-bersih dulu setelah itu memasak makan malam." Nesya mundur dari hadapan sang kakak lalu beranjak menuju kamarnya.

"Semoga kamu mendapatkan seorang pria yang akan menggantikanku untuk menyayangi dan melindungimu,Sya ..." do'a Naufal.

.......

Nesya selesai memasak makan malam, juga telah menyelesaikan menghias cupcakenya. Itu semua tak luput dari bantuan sang kakak. Mereka sudah sering memasak bersama, membagi tugas rumah tangga. Masakan Naufal juga tak kalah enak dari masakan Nesya.

"Kak, aku keluar sebentar, ya?" pamit Nesya.

"Ke mana?" tanya Naufal.

"Aku mau memberikan ini pada tetangga baru kita." Nesya memperlihatkan box berisi beberapa cupcake coklat yang tadi ia buat. "Aku berkenalan dengannya tadi pagi," lanjutnya.

"Oh ... baiklah, cepat kembali! Sebentar lagi kita akan makan malam."

"Iya Kak, aku pergi dulu."

.......

Nesya melangkahkan kakinya menuju sebuah rumah yang berada tepat di sebelah rumahnya. Sampai di depan pintu ia langsung menekan bel.

Tak lama kemudian seseorang dari dalam membukakan pintu, seorang wanita tua dengan rambut yang sudah memutih.

"Selamat malam, maaf aku datang mengganggu," sapa Nesya ramah.

"Kamu tetangga baru itu, kan?" tanya wanita yang tak lain adalah bi Cici.

"Iya, namaku Nesya, Bi," ucap si cantik memperkenalkan diri.

"Silahkan masuk, Non!" ajak bi Cici.

"Tidak usah, Bi. Aku kemari hanya untuk mengantarkan ini." Nesya kemudian menyerahkan box berisi cupcake itu pada bi Cici.

Bi Cici sedikit mengintip isi di dalam box, "Terima kasih banyak, Non ..." ucapnya.

"Sama-sama, Bi dan juga aku akan sangat senang jika Bibi memanggilku Nesya saja," pintanya dengan senyuman manis.

"Tentu, Non Nesya." Bi Cici mengangguk dan tersenyum.

"Ya sudah, Bi, aku pulang dulu ya. Semoga suka dengan cupcake buatanku," katanya.

"Pasti, tuan Adrian pasti juga akan menyukainya," balas bi Cici dengan membawa-bawa nama sang majikan.

"Semoga."

Setelah berpamitan, Nesya segera kembali ke rumah di mana sang kakak tengah menunggunya untuk makan malam.

.......

"Aku pulang!"

Vino baru kembali ke kediamannya setelah beberapa menit kedatangan Nesya. Ia segera masuk dan menghampiri sang kakak dan bi Cici yang sedang duduk di meja makan.

"Vino? Terlambat sekali pulangnya?" tanya Adrian yang saat ini tengah mencoba cupcake coklat buatan Nesya.

"Ah, aku tadi menemui uncle Bara dulu sebelum pulang, Kak ..." jawab Vino sambil satu tangannya meraih gelas dan menuangkan air ke dalamnya.

"Ada apa?"

"Ada urusan sedikit," jawabnya kemudian meminum segelas air yang tadi ia tuang. Adrian hanya mengangguk-anggukkan kepala dengan pandangan lurus ke depan.

"Ya sudah, ayo makan!" ajak Adrian.

"Kakak duluan saja! Aku mau bersih-bersih dulu."

"Baiklah."

"Oh ya, Bibi bikin cupcake?" tanya Vino saat matanya melihat jika ada makanan itu di atas meja.

"Bukan Tuan, tetangga baru yang ada di sebelah mengantarkannya untuk kita," jawab bi Cici.

"Ini enak Vin, cobalah!" kata Adrian.

"Iya Tuan, cupcakenya enak terlebih orang yang membuatnya sangat cantik," beritahu bi Cici sembari tersenyum melirik ke arah Adrian dan Vino menyadarinya.

"Eh, ada apa ini?" tanya Vino dengan nada menggoda. "Kakak bertemu perempuan cantik di belakangku?"

"Ya Tuhan, kenapa jadi aku yang kena?" tanya Adrian yang tak tahu apa yang terjadi.

"Maaf Kak, aku bercanda. Aku ambil satu, ya." Vino mencomot satu cupcake dan memakannya sambil menuju kamar.

"Enak," gumamnya.

.......

"Kakak sudah tidur, Bi?" tanya Vino saat dirinya tengah mengambil air untuk dibawa ke kamar. Sementara bi Cici sedang mencuci piring.

"Sudah Tuan," jawabnya.

"Oh ya Bi, tadi kakak bertemu dengan siapa?" Vino masih penasaran.

"Tadi pagi ada seorang perempuan yang menolong tuan Adrian yang tengah kesusahan menjalankan kursi rodanya. Mereka berkenalan dan ternyata wanita itu tetangga baru. Rumahnya tepat di sebelah rumah kita." Vino hanya mengangguk paham mendengar penjelasan asisten rumah tangganya itu.

"Perempuan itu sangat cantik Tuan terlebih dia juga baik hati. Senyumnya juga tulus saat berbicara pada tuan Adrian," lanjutnya.

"Ya." Vino mengangguk lagi.

"Dan sepertinya tuan Adrian sedikit tertarik."

Deg

"Benarkah?" Vino sedikit kaget. Baru kali ini ia mendengar jika kakanya tertarik pada seseorang. Bahkan seorang perempuan cantik yang menjadi dokter fisioterapinya saja diabaikannya. Padahal sudah secara terang-terangan perempuan itu mengaku memiliki perasaan padanya. Ini sungguh diluar dugaan.

"Ya, Tuan."

"Memangnya seperti apa perempuan itu, Bi?" tanya Vino.

"Hm ..." Bi Cici coba membayangkannya.

"Dia perempuan cantik, kira-kira lebih muda usianya dari pada tuan Adrian. Ia memiliki surai hitam panjang dan manik indah berwarna coklat terang. Senyumannya juga manis dan terlihat begitu tulus." jelasnya.

Deg

Seketika Vino mengingat seseorang dengan ciri seperti itu.

"Nesya ..."

...Bersambung...

...Jangan lupa Vote & Comment ya, Readers......

...🙏🏻😊...

Awal Kedekatan

...🕊️Selamat Membaca🕊️...

"Surai hitam dan manik coklat terang?" seketika Vino mengingat seseorang dengan ciri fisik seperti itu.

"Nesya," pikirnya. Ah iya, dia baru ingat. Dia harus menghubungi mantan seniornya itu sekarang juga untuk mendapatkan klarifikasi mengenai pria yang tadi menjemputnya. Vino sudah mendapatkan nomor ponsel Nesya dari data-data yang ia peroleh dari Bara tadi sore.

Langsung, setelah ia mengambil minum, Vino segera melesat menuju kamarnya.

.......

Vino membuka nomor ponsel Nesya, namun dirinya belum memiliki keberanian untuk menghubungi perempuan yang dua tahun lebih tua darinya itu. Ia masih menyusun kata yang sekiranya dibutuhkan untuk memulai pembicaraan.

Beberapa menit kemudian, Vino menghirup napas dalam kemudian menghembuskannya pelan dan segera memencet tombol panggil. Ia menempelkan ponsel di telinga, panggilannya masih menyambungkan dan itu sukses membuatnya sesak napas.

"Halo?" suara di seberang sana menyapa gendang telinganya. Begitu merdu dan mendayu, membuat Vino terlena sesaat.

"Halo, ini siapa?" Suara itu kembali menyapa dan berhasil membuat Vino tersadar untuk segera menjawabnya.

"H—hi, ini aku, Vino," jawabnya sedikit gugup.

"Oh Vino, kamu dapat nomorku dari mana?" tanya Nesya-orang di seberang sana.

"Ah ... dari Uncle," akunya jujur.

"Oh ya, ada apa menelpon malam-malam begini?"

"Tanyakan tidak, ya?" Vino kembali berpikir. Apa tidak apa jika dirinya menanyakan mengenai pria yang tadi bersama Nesya? Bagaimana tanggapan mantan seniornya itu nanti? atau yang terburuk ternyata pria itu adalah kekasihnya, oh mungkin saja suaminya? Ah, itu tidak mungkin. Nesya belum menikah dan Vino tahu hal itu karena tadi ia melihat CV perempuan itu.

"Vino, kau masih di sana?"

"Ah iya,maaf Senior."

"Nesya, bukan senior lagi, Vino. Apa namaku terlalu buruk ya sehingga kamu tidak mau memanggil namaku?" ada nada sendu yang terdengar di seberang sana dan Vino seketika merasa bersalah.

"Bukan begitu. Maafkan aku, Sya," kata Vino tak enak. Mulai sekarang ia akan memanggil nama perempuan itu walau darahnya terus berdesir setiap mengucap nama Nesya.

"Itu lebih baik." Seseorang disana terdengar puas.

"Oh ya, kamu sedang apa?" tanya Vino kemudian. Basa basi dulu sebelum ke inti.

"Rencananya aku mau tidur sebelum kamu menelponku."

"Maaf, aku jadi mengganggumu waktu tidurmu." Vino jadi tak enak hati. Karena rasa penasarannya malah mengganggu waktu istirahat Nesya.

"Tidak apa, aku senang kamu menghubungiku."

Deg

Hati Vino langsung bahagia mendengarnya.

"Ekhm ... tadi kamu pulang bersama siapa, Sya?" Wah, Vino mengelap peluh imaginernya. Akhirnya pertanyaan ini ia tanyakan juga, tinggal menunggu jawabannya saja.

"Oh ... itu Kak Naufal, kakakku."

Seketika Vino merasakan angin segar di sekitarnya. Syukurlah ... ternyata benar dugaan Soni, pria itu hanyalah kakak dari Nesya, jadi masih ada kesempatan.

"Oh, baguslah." Tak sengaja kata itu terucap dari bibirnya.

"Bagus? Maksudnya, apa yang bagus, Vin?"

Sial! Vino merutuki mulutnya sendiri. Apa yang harus ia jawab sekarang.

"Vino?"

"Ah, baguslah ada yang menjemputmu, Sya. Jadi kamu akan aman," jawabnya berkilah.

"Ah iya, kakak memang perhatian padaku karena hanya aku satu-satunya keluarga yang ia miliki saat ini. Jadi Kakak tidak ingin hal buruk terjadi padaku," jelas Nesya.

Vino sangat mengerti perasaan itu karena dia juga merasakannya. Ia juga memiliki saudara yang harus ia jaga. Adrian adalah satu-satunya kakak yang ia miliki saat ini dan tentu saja sebagai adik, ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada sang kakak yang ia sayang.

"Sya, aku tutup teleponnya ya, kamu harus istirahat karena besok akan masuk kerja."

"Iya... kamu juga, kan?"

"Ya. Selamat malam, Sya."

"Selamat malam."

TIT

Vino mematikan sambungan telepon, meletakkan ponsel di atas kasurnya dan langsung memegangi dadanya yang tengah berdentum hebat. Ah, kenapa ia jadi seperti anak remaja yang sedang kasmaran begini.

"Ah, Nesya. Aku menyukaimu."

.......

Pagi sekali Vino sudah rapi dengan pakaian kantornya, ia segera duduk di meja makan dan menyantap sarapan paginya dengan kilat.

"Kak, aku berangkat dulu ya," pamitnya pada Adrian.

"Tidakkah ini terlalu pagi, Vin?" tanya Adrian heran.

"Ah, aku harus pergi ke suatu tempat dulu sebelum ke kantor Kak," jawabnya.

"Oh begitu, ya sudah hati-hati di jalan, ya. Menyetirnya pelan-pelan saja!" Seperti biasa nasehat yang satu itu tak pernah Adrian lupakan.

"Ya, Kakak juga jaga diri. Aku pergi dulu."

Vino segera menghilang dari balik pintu rumah, sementara Adrian kembali menyantap sarapannya yang belum habis.

"Tuan Vino terlihat bersemangat sekali hari ini," komentar bi Cici yang setia berdiri di samping Adrian.

"Aku juga merasakannya, Bi. Nada suaranya terdengar bahagia. Apa terjadi sesuatu padanya?" tanya Adrian penasaran.

"Entahlah Tuan, namun yang jelas ekspresi tuan Vino seperti seseorang yang sedang jatuh cinta," beritahu bi Cici. Dia sudah 60 tahun hidup di dunia ini dan dari ekspresi serta gerak-gerik Vino tadi sangat jelas menandakan jika tuan mudanya itu sedang jatuh cinta. Bi Cici yakin akan hal itu.

"Cinta? Vino? Wah, adikku sudah dewasa rupanya." Adrian hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Topik ini akan dia gunakan untuk menggoda Vino nanti.

.......

Hari ini Nesya diantar oleh Naufal ke kantor, kebetulan tempat kerja kakaknya searah dengannya jadi Nesya bisa menumpang.

"Kak, aku masuk dulu ya. Kakak hati-hati jalannya!" setelah berpamitan Nesya segera memasuki kantor sementara Naufal kembali melesatkan mobilnya menuju perusahaan tempatnya bekerja.

.... ...

Setelah memarkirkan mobil, Naufal langsung melangkahkan kakinya memasuki gedung perkantoran tempatnya bekerja. Di perjalanan tak jarang banyak mata yang memperhatikannya, kebanyakan itu adalah mata-mata wanita. Bagaimana tidak, karyawan baru itu memiliki wajah yang tampan dengan perawakan bak model, pantas banyak wanita yang mengaguminya.

Ruangannya berada di lantai empat, ia harus menaiki lift untuk bisa sampai di sana. Setelah pintu lift terbuka,Naufal segera masuk ke dalamnya. Hanya ada dua orang di dalam lift itu, dirinya dan seorang perempuan. Pria berambut gelombang itu melirik dengan ekor matanya pada perempuan yang berdiri tepat di sampingnya.

"Cantik dan anggun," pujinya dalam hati.

Setelah berapa lama, pintu lift terbuka. Perempuan yang tadi di dalam bersamanya memilih untuk keluar lebih dahulu dengan sedikit tergesa, Naufal mengikuti dari belakang. Tanpa diduga, perempuan itu malah tersandung kakinya sendiri dan hampir terjatuh jika saja Naufal tidak menahan pinggangnya.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Naufal. Saat ini posisinya, Naufal berada di belakang si perempuan dan salah satu lengannya tengah melingkar di area perut si perempuan.

Sadar akan posisinya yang sedikit rawan, pria itu segera melepaskan tangannya dari perut si perempuan. Dengan canggung ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Terima kasih banyak." Perempuan anggun itu menghadap ke arah Naufal, menundukkan kepala sebentar lantas mengucapkan terima kasih.

"Ah iya, sama-sama. Lain kali berhati-hatilah," jawab serta nasehat Naufal.

Perempuan itu hanya mengangguk dengan kepala menunduk.

Setelah itu keadaan hening, tak ada di antara Naufal maupun perempuan itu yang bergerak terlebih dahulu. Mereka seperti tenggelam dalam pemikiran masing-masing.

"Kenapa dari tadi dia hanya menunduk?' batin Naufal heran.

"Aku belum pernah melihat dia di kantor ini sebelumnya," suara hati si perempuan.

"Sandra!" suara panggilan itu segera mengambil alih atensi dua manusia berbeda gender yang tengah melamun tadi.

"Kakak?" si perempuan bersuara.

"Pak Sandi?" Naufal menyapa sembari menunduk hormat. Sandi adalah pemimpin tertinggi di perusahaan tempatnya bekerja.

"Kalian sudah bertemu?" tanya pria bernama Sandi, seseorang yang tadi memanggil nama Sandra. Naufal dan perempuan bernama Sandra itu mengernyit bingung.

"Apa maksudmu, Kak?" tanya Sandra.

"Eh?" Sandi memperhatikan mereka berdua bergantian. Pria berambut hitam klimis itu pikir mereka sudah berkenalan, ternyata belum.

"Perkenalkan ini Naufal Putra Adhinata, mulai sekarang dialah yang akan membantu pekerjaanmu. Maksudku, dia sekretrismu," beritahu Sandi.

Sandra melotot dengan wajah yang merona. "Apa tidak salah? Sekretarisku seorang pria?" teriaknya dalam hati. Sungguh, berdekatan dengan pria saja selama ini ia jarang kecuali ayah dan kakaknya, tapi kini ia harus bekerja dan bertemu setiap hari dengan pria asing. Kenapa tega sekali kakaknya mencarikan sekretaris pria buatnya. Tanpa sadar Sandra menggembungkan pipinya pertanda kesal pada sang kakak yang seenaknya mengambil keputusan tanpa meminta pendapatnya.

Sandi terkikik dalam hati melihat ekspresi sang adik, ia tahu jika saat ini adik cantiknya itu sangat kesal. Bukan tanpa alasan sebenarnya Sandi melakukan ini, ia hanya ingin adiknya itu mulai membuka diri pada lawan jenis. Selama ini Sandra hanya sibuk bekerja dan bekerja, melupakan jika dirinya juga bertambah tua. Sudah saatnya bagi Sandra untuk menikah dan memberinya keponakan yang lucu, hehe.

"Naufal sangat tampan, cocoklah jika disandingkan dengan adik cantikku," pikir Sandi.

"Kak?" seru Sandra.

"Ah..." Sandi tersadar dari pemikirannya yang berniat menjodohkan dua orang itu.

"Naufal, perempuan cantik ini adalah adikku, Sandra namanya. Mulai hari ini kau akan bekerja sebagai sekretarisnya," jelas Sandi.

"Baik, Pak." Naufal mengangguk paham. Sementara Sandra tambah cemberut karena sang kakak memuji dirinya di depan orang asing.

"Apa? Jadi perempuan ini yang menjadi atasanku? Wakil direktur di perusahaan ini? Tak dapat dipercaya!" entah kenapa pikiran remeh itu menggerayangi benak Naufal.

"Ya sudah, aku akan kembali ke ruanganku. Selamat bekerja Pak Naufal, Buk Sandra," kata Sandi sebelu m pergi meninggalkan mereka berdua.

"Menyesal aku meminta bantuan kakak untuk mencarikan sekretaris baru," rutuk Sandra dalam hati.

Menghembuskan napas sejenak, Sandra membenahi sedikit pakaiannya dan berkata dengan tegas. "Pak Naufal ikut aku! Akan ku tunjukkan di mana ruanganmu."

"Baik," angguk Naufal.

"Perempuan yang aneh," batin Naufal.

.... ...

"Vino?" Nesya dikejutkan dengan penampakan Vino di depan pintu ruangannya.

"Pagi, Sya!" sapa Vino.

"Hm, pagi," balas Nesya.n

Mereka berpandangan sesaat sampai Nesya kembali buka suara. "Apa yang kamu lakukan di depan ruanganku pagi-pagi begini?"

"Memberikan ini!" Vino menyerahkan sebuket bunga krisan merah untuk Nesya.

Mata Nesya terbelalak memandang buket bunga yang saat ini tengah disodorkan Vino padanya. Beberapa saat kemudian Nesya beralih memandang si pemberi bunga yang kini tersenyum tipis padanya, uh ... tampannya.

"Untukku?" tanya Nesya sambil menunjuk dirinya.

"Ya ..." Vino mengangguk.

"Dalam rangka apa?"

"Selamat bergabung di Pranaja Group," jawabnya.

"Eh?"

"Ambil ini!" Vino terpaksa menjejalkan buket itu pada tangan Nesya, karena perempuan itu belum mengambilnya.

"Eh?"

"Thanks," cicit Nesya.

"Aku ke ruanganku dulu, sampai nanti." Vino segera pamit undur diri.

"Ya ..."

Nesya memandang kepergian Vino dengan wajah sedikit merona, sebab baru kali ini ia diberi bunga oleh seorang pria.

"Semoga kamu tahu apa makna krisan merah yang ku berikan padamu, Sya."

.......

Saat jam makan siang, Nesya kembali dikejutkan dengan kemunculan Vino di depan pintu ruangannya.

"Makan siang bersama?" ajaknya.

"Baiklah." Nesya yang belum lepas dari keterkejutannya hanya bisa mengangguk, mengiyakan ajakan Vino untuk makan siang bersama.

Di sepanjang perjalanan menuju tempat makan, Nesya hanya sibuk memperhatikan Vino yang berjalan di sebelahnya.

"Apa Vino menyukaiku? Dia memberiku krisan merah, yang aku tahu bunga itu mengartikan bahwa si pemberi mencoba mengungkapkan perasaan cintanya pada orang yang diberi, tapi masa iya dia menyukaiku, sedang dulu kita sering bertengkar," pikir Nesya.

"Ah, mungkin saja dia tidak tahu makna bunga yang diberikannya. Asal pilih saja," pikirnya lagi mencoba mengenyahkan pemikiran tentang Vino yang memiliki perasaan padanya.

"Vino, Sayang!" seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan langsung bersigayut di lengan Vino. Nesya melotot melihatnya.

"Lepaskan aku Cecilia!" protes Vino tak suka.

"Sayang, kenapa makan siang tidak ngajak aku sih? Aku kan juga lapar, ayo kita makan bersama!" ajak Cecil yang sama sekali tak mempedulikan protesan Vino dan alhasil pria itu sendirilah yang melepaskan tangan Cecil dari lengannya.

"Kau tak lihat aku sudah punya partner untuk makan siang? Jadi jangan ganggu kami!" ucap Vino dengan nada dingin dan tampang datarnya.

"Vino sayang, aku kan juga ingin makan siang bersamamu," katanya manja.

"Makan saja dengan asistenmu!"

"Ayo, Sya!" dengan sengaja Vino menggandeng tangan Nesya dan membawanya pergi. Ia ingin menyadarkan perempuan manja itu jika ia tak menyukainya.

"Ck ... Lucky, segera cari tahu siapa perempuan yang tadi bersama Vino!" titahnya marah dan segera berbalik pergi.

"Baik, Nona."

.......

Tok....tok.....tok....

Seorang perempuan cantik, siang ini bertamu ke kediaman Pranaja bersaudara.

"Oh, nona Gina, silakan masuk nona!" setelah melihat siapa yang datang, bi Cici segera mempersilakan orang itu masuk. Dialah Ginara, dokter fisioterapinya Adrian.

"Terima kasih, Bi." Perempuan cantik dengan gaya rambut pony tail itu segera masuk.

Di dalam sudah ada Adrian yang menanti, memang hari ini adalah jadwal bagi Pranaja sulung untuk terapi.

"Siang, Adrian ..." sapa Gina seraya menghampiri pria yang duduk di kursi roda itu.

"Siang, Gin..." balasnya

Tanpa berpikir lama, Gina segera mendorong kursi roda Adrian menuju sebuah ruangan khusus, dimana ruangan itu memang digunakan untuk terapinya si tuan rumah.

Terhitung sampai sekarang sudah 2 tahun Gina menjadi dokter fisioterapinya Adrian dan sudah dua tahun pula pria itu duduk di kursi roda. Adrian mengalami kecelakaan dan divonis mengalami kelumpuhan, kecelakaan itu jugalah yang membuatnya buta.

"Bisa kita mulai sekarang?" tanya Gina sebelum memulai terapi pada kaki Adrian. Walaupun telah dipastikan jika ia lumpuh tapi Vino terus memaksa agar sang kakak melakukan terapi, katanya sih agar otot-otot kakinya tidak kaku.

"Hm," balas Adrian.

Adrian dan Gina merupakan teman semasa kuliah dulu, ah, tepatnya Gina adalah juniornya Adrian walau mereka beda fakultas. Saat ini umur si cantik bermanik hitam itu adalah 28 tahun.

Hampir 1 jam terapi berlangsung dan hal itu tak luput dari perbincangan hangat di antara keduanya.

"Hm, kamu istirahat dulu ya. Aku mau keluar sebentar," kata Gina setelah terapinya selesai.

"Ya..."

Gina berjalan menuju dapur dan disana ia bertemu dengan bi Cici.

"Bi, apa bahan-bahan untuk membuat lumpia pisang, ada?" tanyanya.

"Oh, ada Non, Nona mau membuatkannya untuk tuan Adrian?" tanya bi Cici.

Gina tersenyum lalu mengangguk.

"Biar bibi bantu," kata bi Cici.

"Tidak, Bi, biar aku sendiri. Bibi kerjakan yang lain saja," tolaknya.

"Baik, Non."

.......

Hampir satu jam waktu yang digunakan Gina untuk membuat lumpia pisang coklat-makanan kesukaan Adrian itu. Setelah menatanya di piring, Gina segera membawanya ke ruangan tempat Adrian berada.

"Yan, aku membut lumpia pisang untukmu. Cobalah!" katanya seraya meletakkan makanan itu di samping Adrian.

"Apa aku memintamu untuk membuatnya?" tanya Adrian dingin.

"Eh, bu—bukan begitu, Yan. Hanya saja aku—"

"Aku tidak butuh, Gin. Sudah berapa kali ku bilang, kamu jangan terlalu perhatian padaku!" bentak pria itu.

Deg

Gina terkejut mendengar Adrian membentaknya, tak terasa air mata mulai meleleh di pipinya. Memangnya apa salah jika ia memperhatikan Adrian, salah jika ia membuatkan pria itu makanan yang disukainya, apa salah ia melakukan semua itu?

"Kamu tidak perlu melakukan ini Gin, cukup jadi dokter terapiku saja. Jangan libatkan perasaanmu lebih jauh lagi karena sampai kapan pun aku tak akan pernah bisa membalasnya," jelas Adrian.

Mendengarnya, Gina berurai air mata. Menangis dalam diam sembari menutup mulut agar isakannya tak terdengar. Ini memang salahnya, salahnya karena tetap memainkan perasaannya walaupun pria itu sudah berulang kali menolaknya. Ya, Gina pernah menyatakan perasaannya pada Adrian dan berakhir penolakan. Ia bertekad untuk menghilang perasaannya, namun apa daya semakin berusaha melupakan, malah semakin dalam rasa cintanya pada pria tuna netra itu.

Cukup lama terdiam, akhirnya Gina memberanikan diri untuk bicara dan tentu saja itu setelah ia berhasil menetralisir suaranya agar Adrian tak tahu bahwa ia baru saja menangis.

"Maafkan aku Adrian, jika memang itu maumu, aku akan meminta Vino untuk mencarikan dokter fisioterapi yang baru untukmu. Aku tidak ingin kamu merasa tidak nyaman dengan keberadaanku, jadi aku memilih berhenti dari pekerjaan ini. Aku pergi dulu." Gina segera berlari pergi dari ruangan itu.

Adrian memejamkan matanya, merasa menyesal atas apa yang baru saja terjadi. Tak seharusnya ia bicara seperti itu pada Gina. Bagaimana pun juga Gina tetaplah temannya terlepas dari rasa suka yang dimiliki perempuan itu untuknya. Kalau sudah begini, mau apa lagi. Ia hanya berharap jika Gina segera melupakan pria cacat dan tak berguna seperti dirinya, pria yang sama sekali tak pantas untuk dicintai.

Gina kembali menangis saat dirinya sudah keluar dari ruangan Adrian, ia tak menyangka jika perasaannya akan membebani pria yang dicintainya. Ini sangat menyakitkan, terlebih saat ia mengatakan pengunduran dirinya, secara otomatis ia tak akan bisa bertemu lagi dengan Adrian. Mungkin memang sudah jalannya, ia harus melupakan pria yang menjadi cinta pertamanya itu.

"Nona, ada apa?" Bi Chiyo yang kebetulan lewat tak sengaja melihat Gina yang tengah berdiri di depan ruangan Adrian sambil menangis.

Gina segera menghapus air matanya dan tersenyum tipis, "Tak apa, Bi. Aku pulang dulu ya," dan ia segera berlari keluar rumah.

"Sepertinya telah terjadi sesuatu," lirih bi Cici.

.......

TIN

Gina berlari keluar dari gerbang kediaman Pranaja bersaudara, ia yang terlampau buru-buru tak menyadari jika ada sebuah mobil yang melaju ke arahnya.

"Aaaa..." pekiknya seraya berjongkok di jalan karena tak tahu apa yang harus ia lakukan.

Cukup lama berada di posisi itu, Gina tak merasakan jika ada hantaman pada tubuhnya, jadi dengan jantung yang dag dig dug, ia mencoba untuk membuka mata yang sempat terpejam.

"Maafkan aku, kamu tidak apa-apa?" tanya seorang pria yang baru saja keluar dari mobil yang sempat akan menabrak Gina.

"A—aku tidak apa-apa."

"Cantik."

...Bersambung...

...Jangan lupa Vote & Comment ya, Readers...🙏🏻😊...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!