I wanna be a billionaire so fuckin' bad
Buy all of the things I never had
Uh, I wanna be on the cover of Forbes magazine
Smiling next to Oprah and the Queen
Oh every time I close my eyes
I see my name in shining lights
A different city every night oh right
I swear the world better prepare
For when I'm a billionaire
Ku bersenandung lagu Bruno Mars yang tengah diputar di radio mobil yang tengah kukendarai. Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB. Jalanan di TB Simatupang saat ini sedang macet-macetnya karena jam bubaran kantor. Namun kali ini semua kemacetan tak mengurangi rasa kebahagiaanku. Kepuasan yang kudapat hari ini harus aku rayakan. Aku baru saja selesai meeting bersama Om Frans, beliau adalah kolegaku sekaligus tempatku meminta ilmu. Om Frans memiliki banyak relasi pejabat dan pengusaha ternama. Saat ini Om Frans ditunjuk menjadi konsultan Startup yang kini sedang berjamur di Indonesia.
Aku sudah bertahun-tahun merintis perusahan di bidang teknologi. Aku adalah seorang IT yang sudah belasan tahun berkutat dengan produk-produk digital. Aku juga seorang yang visioner. Banyak orang yang berpikir aku ini gila, banyak ide liar yang ada di otakku yang harus aku wujudkan. Apalagi di jaman yang serba digital ini semuanya harus berbasis teknologi, peluangku banyak sekali untuk bisa mendulang rejeki.
Bip bip bip bip bip bip
Terdengar suara getar ponsel yang kuletakkan di dashboard mobilku. Rupanya aku lupa mengembalikan mode dering sehabis meeting barusan. Begitu aku sampai di lampu merah, aku buka ponselku dan terdapat banyak missed call. Rupanya istriku meneleponku sebanyak 5 kali.
“ Halo mam, papa masih di jalan Simatupang nih. Bentar lagi masuk tol ke arah BSD” ujarku begitu telepon tersambung dengan seseorang yang tengah menungguku di rumah.
“ Oh cepet juga pap meeting-nya. Gimana tadi ketemu investornya? Lancar?” tanya istriku di sebrang sana.
“ Alhamdulillah lancar, investornya tertarik dengan proposal yang aku buat. Sepertinya deal nih. Rejeki buat anak-anak mam “ sahutku sambil tak kuasa menahan euphoria yang sedari tadi kutahan.
“ Alhamdulilllaaaaahhhh, serius nih?. Ya Allah rejeki Kila, Kica sama dede di perut ni pap. Papa belum makan kan, mama udah masakin ayam kuning sama telor balado kesukaan papa” seru istriku yang tak kalah kegirangan mendengar berita baik dariku.
“ Wah enak tuh ayam goreng sama telor. Siap mam bentar lagi papa sampe rumah ya” jawabku pada istri yang sudah menemaniku selama 8 tahun pernikahan.
Saat ini istriku tengah mengandung anak ketiga kami. Tak pernah terbersit bagi kami untuk kembali memiliki anak, sampai suatu hari anak kedua kami meminta adik di ulang tahunnya. Aku menyerahkan kembali pada istriku apakah dia sanggup untuk memiliki anak lagi, mengingat dia sudah mengurusi sendiri anak-anak selama 8 tahun lamanya.
Istriku sangat concern dengan perkembangan anak-anak dari mulai hal kesehatan, pendidikan, tumbuh kembang hingga model baju yang mau dia beli. Gak boleh terlalu pendek lah, warna harus pastel jangan terlalu genjreng lah. Aku pasti kalah kalau berurusan soal gaya pengasuhan. Daripada ribut aku mengalah saja, tugasku hanya mencari nafkah dan memastikan kebutuhan keluargaku tercukupi.
Anak-anakku adalah anak yang manis dan penurut. Kila anak pertamaku, ia anak yang tertutup namun cerdas. Akademis di sekolahnya tak kuragukan lagi. Istriku paling semangat kalau mengajari Kila karena anaknya bisa belajar tanpa drama. Kica anak keduaku, ia anak yang lucu dan humoris. Gayanya petakilan, lari kesana-kemari setiap hari. Usianya sudah 5 tahun, tapi kelucuannya tak habis-habis. Mereka adalah penyemangatku untuk terus semangat mengais rejeki. Mereka anak yang sangat aku banggakan, anak perempuan yang membasuh keletihan begitu aku pulang kerja seharian.
Tidak terasa mobilku sudah sampai di depan rumahku. Jalan tol sangat lancar, kulirik jam tanganku hanya 15 menit dr tol JORR ke rumahku. Kudorong pagar rumahku, lalu kudengar suara khas yang menjerit-jerit memanggilku.
“ papa pulaaaang, papa pulaaaaang, papa pulaaaaang “ jerit kedua anakku yang tengah berdiri di depan pintu. Sambutan seperti itu sudah pasti kutemui setiap aku pulang kerja, kecuali jika aku pulang malam pastinya anak-anak sudah tertidur lelap.
“ papaaaa, kamu pulang cepat sekarang. Aku mau kasih liat prakarya teropong yang aku buat di sekolah pa “ sambut Kica anak keduaku yang tengah menenteng prakarya berbentuk teropong.
“ waaah, anak papa hebaaaat. Sini cium dulu anak-anak papa “ sahutku setelah aku memarkirkan mobilku ke dalam garasi. Aku memeluk kedua putri cantikku. Tercium semerbak harum sabun bayi, rupanya mereka baru saja mandi.
Istriku menghampiriku sambil membawa minum, ia menyodorkan gelas mug besar milikku. “Selamat ya papa, kamu hebat” Ujar istriku sambil memeluk diriku. Aku memeluk tubuh istriku dan mencium pipinya. Tak lupa kuelus perut istriku, perutnya sudah mulai terlihat besar.
“ Dede papa pulang, alhamdulillah ini rejeki kamu ya de” bisikku lembut sambil mencium perut istriku.
Senyum kami berdua merekah. Kica menarik-narik tanganku, rupanya ia ingin digendong. Kila tak mau kalah, ia lompat ke punggungku dan kubiarkan mereka “gelendotan” di badanku sambil tertawa terbahak-bahak.
Rania istriku tengah mengepak beberapa stel pakaian selama aku meeting di Bandung bersama Pak Hardian. Dengan cekatan tangannya memasukkan segala keperluanku mulai dari alat mandi, handuk, pakaian, kaos kaki hingga charger ponsel. Tak henti-hentinya dia bertanya kapan aku akan pulang. Selain itu dia sudah sibuk menyiapkan daftar permintaan untuk kubeli di Bandung.
“ Pap nanti jangan lupa ya Batagor sama cireng yang di jalan Cipaganti itu. Nanti cirengnya yang rasa original aja ya, aku ngidamnya yang rasa oncom soalnya. Trus cilok setiabudi nya juga ya “ bujuk Rania sambil mengemas barang-barangku.
“ Iya siap nanti aku beliin ya, mudah-mudahan aku sempet muter-muter ke Cipaganti sama Setiabudi. Aku juga udah lama kangen makan batagor sama cireng Setiabudi mam “ sahutku sambil mengoleskan pomade ke rambutku.
Rania kemudian berdiri di belakangku. Tangannya memeluk erat pinggangku. Kali ini pelukannya terganjal perut yang membesar. Kubalikan badanku dan kutatap istri yang berada di depanku. Rambutnya masih semrawut, ia belum mandi pagi ini. Rania baru saja menyiapkan semua keperluan anak-anak dan keperluanku. Rania masih berbalut daster batik yang sudah sedikit lusuh warnanya. Rania masih suka mengenakannya, katanya adem enak dipakai pas hamil tua. Rambutnya diikat asal dan berantakan, sepertinya Rania lupa kapan terakhir ia memotong rambutnya.
Namun Rania inilah yang menemaniku saat aku merintis karirku. Jatuh bangun bersama, sejak kami masih tinggal di rumah kontrakan. Suka duka kami lalui berdua. Aku masih ingat pada tahun 2015, aku memulai startup pertamaku. Perusaanku harus tutup karena investornya menghentikan suntikan dana karena tersandung masalah. Semua Board Of Director angkat kaki satu persatu, termasuk aku yang selama dua bulan tidak bisa menghidupi anak-istriku. Kami tidak memiliki penghasilan, aku hanya bekerja secara freelance di rumah. ongkos bensin saja aku tak punya untuk pergi meeting keluar rumah. Rania dengan sabar menerima kenyataan pahit kondisi kami. Biaya makan saja kami dibantu tetangga yang memiliki usaha catering. Katanya bayarnya nanti-nanti saja kalau ada rejekinya.
Masih kuingat dengan jelas saat Kila dan Kica meminta wafer kesukaannya. Kami hanya punya uang dua ribu rupiah. Itupun biaya untuk sekolah belum kami bayar. Invoice dari klien-klienku belum ada yang cair satupun. Rania memutar otak bagaimana caranya anak-anak masih bisa makan sehari-hari.
Sampai suatu hari aku mendapat pekerjaan sebagai programmer di salah satu perusahaan startup. Gajinya memang kecil, CEO nya saja segan menawariku pekerjaan itu. tapi karena aku memerlukan uang, aku terima saja. Tekadku hanya menfkahi anak-anak, aku tak peduli diterima di posisi apa.
Rania mengajakku mengunjungi anak Yatim saat itu. Gajiku harus kami sisihkan untuk bersedekah. Mungkin dulu kami kurang sedekah, sehingga Allah menguji kami sampai di titik ini. Setelah itu kehidupan kami berubah. Seling 6 bulan dari aku bekerja di perusahaan startup itu, kawanku menawariku pekerjaan di sebuah pekerjaan di Kedutaan Besar dengan gaji fantastis. Tak henti-hentinya kami bersyukur, semua perjuanganku dan kesabaran Rania berbuah manis.
Sejak saat itu kami bisa membeli sebuah rumah. Tawaran freelance pun tak henti-hentinya berdatangan. Banyak rekanku yang sering menghubungi untuk berkonsultasi tentang dunia startup. Pengalaman jatuh bangunku bisa menjadi masukan bagi orang-orang yang ingin memulai bisnis ini.
Namun pada saat tahun 2017 akhir, kontrak dengan kedutaan besar harus diputus karena sesuatu hal. Kami kaget bukan main. Bagaimana caranya bisa bertahan hidup dengan gaji setara di Kedutaan. Anak-anakku udah aku masukkan ke sekolah swasta di BSD. Tapi kali ini aku tak menyerah, aku pernah di posisi jatuh sebelumnya, kali ini aku pasti lebih kuat.
Sampai pada akhirnya aku dikenalkan dengan Pak Hardian, ideku untuk membuat aplikasi penyewaan property akhirnya disetujui. Pak Hardian menjadi investor tunggal dan aku dipercaya menjadi CEO di perusahaan tersebut. Tepat saat Rania hamil anak ketiga, rejeki itu mengalir untuk kami semua.
“ Mudah-mudahan lancar ya pap semua urusannya. Beberapa bulan lagi aku lahiran, semoga keuangan membaik ya pap “ sahut Rania sambil masih memeluk pinggangku.
“ Aamiiin, kamu doain aku aja. Tugas kamu hanya mengurusi anak-anak, jangan pikiran uangnya darimana. Keuangan biar aja yang pikirin, kalo kamu mikirin bisa stres kamunya “ jawabku sambil mengusap kepala Rania.
Kukecup keningnya perlahan. Kudekap tubuhnya dan kucium lembut perutnya. Sebentar lagi, bayi ini akan menambah kebahagiaan di hidup kami. Tambah anak tambah rejeki, anak ini pastinya kehidupan kami akan baik-baik saja.
Kuangkat koperku dan Rania mengikutiku dari belakang. Kumasukkan koper ke dalam bagasi. Rania mengikutiku sambil berdiri di samping mobilku. Tangannya penuh dengan tumbler dan kotak makanan berisi buah-buahan.
“ Ini ada buah sama snack buat kamu di jalan ya, di tol Bekasi pasti macet. Biar kamu ga ngantuk pap” serunya sambil memasukkan tumbler dan kotak makan di kursi depan. Rania mencium tanganku, lalu aku memasuki mobil sambil menyalakan mesin. Rania masih setia tak beranjak dari teras. Kuinjak pedal gas dan mengucap bismillah. Masih tampak Rania menatapku sambil melambaikan tangannya. Kubalas lambaian tangan Rania sambil menutup kaca jendela mobilku. Bandung, aku datang!!!
“ Selamat Mas Ray, semoga RENTZ menjadi aplikasi yang berguna bagi kaum urban khususnya di kota Bandung “ ucapan selamat dari staf Pak Hardian dan beberapa kolega sang big boss yang sedang menyalamiku. Satu persatu jajaran direktur dan staf menyalami Pak Hardian dan diriku di sebuah Hall di Hotel milik Pak Hardian. Kini adalah acara ramah tamah sekaligus perkenalan dengan seluruh petinggi di Hardja Sukses Group.
“ Mudah-mudahan aplikasinya cukup membantu kami untuk memasarkan property kami, mengingat pertumbuhan properti saat ini sedang moncer pak “, sahut Pak Ronald yang merupakan dirut sebuah hotel kenamaan di Bandung. Beliau merupakan kolega dari Pak Hardian yang bisnisnya berinvestasi di sejumlah hotel di Bandung.
“ Amin Pak Ronald, visi saya RENTZ ini bisa menjadi jembatan antara penyewa dan pengguna secara langsung tanpa ada calo. Properti yang disewakan juga beragam, mulai dari hotel, vila, kantor, resto, gedung pertemuan, hingga unit apartemen untuk menginap. Jadi pengusaha di Bandung saat ini memasarkan dengan mudah dan cepat pak“ sahutku optimis di depan para petinggi ini.
Ada sebagian dirut yang serius memperhatikan penjelasanku, ada sebagian yang hilir mudik mengambil minum dan kudapan yang tersaji di meja prasmanan, dan sebagian lagi sibuk dengan ponsel masing-masing. Aku tak habis pikir dengan orang-orang ini, mereka ini jajaran direktur tapi ada yang bertingkah bak anak magang saja. Aku berusaha mengacuhkan orang-orang yang tidak antusias dengan penjelasanku tadi.
Kulihat Pak Hardian memperhatikanku sambil melempar senyum optimis. Sesekali ia menarik koleganya untuk memperkenalkannya padaku. dia sangat bangga dengan produk yang aku buat ini, dia optimis bahwa aplikasi yang aku buat bisa mendongkrak usaha properti miliknya.
“ Saya sangat yakin dengan adanya RENTZ pemasaran properti kita akan naik 200%. Ray ini punya target bisa tembus 100 downloader dalam sehari. Bukan begitu kan Ray”, pertanyaan Pak Hardian yang sedikit membuatku gelisah.
Namun aku harus mengiyakan pertanyaan Pak Hardian. Keraguan akan aplikasi yang aku buat akan menjatuhkan karirku. Aku harus optimis dan tidak ada salah kali ini. Aku sudah berjalan sejauh ini, bisa mendapatkan investor tunggal merupakan prestasi di dunia startup. Kesempatan yang kuraih tak boleh disia-siakan. Pak Hardian ini sangat manut akan semua ideku. Beliau orang yang konservatif, memula bisnis digital ini merupakan hal yang baru baginya. Aku heran dengan semua staf dan direktur di grup ini sangat segan pada Pak Hardian. Mulai dari Pak Hardian memasuki ruangan, memimpin rapat, hingga bercengkrama saja semua staf sangat sungkan padanya. Banyak direktur-direktur tipikal “yes man” yang berusaha menjilat pak bos agar kedudukannya aman. Semua yang dikemukakan Pak Hardian mereka ikuti mentah-mentah. Namun tidak bagiku, perusahaan yang akan aku bangun ini adalah suatu produk baru baginya. Justru beliau yang banyak bertanya padaku dan tak banyak menentang semua konsep yang kubuat. Hal inilah yang membuat dirut dari grup lain terlihat kurang menyukaiku karena aku adalah orang baru yang dengan sekejap bisa menjadi orang kepercayaan Pak Hardian.
“ Mas Ray gimana kantor barunya?. Sudah dapat tempat mas?”, tanya Bu Atik yang merupakan salah satu staf keuangan menghampiri diriku. Disampingnya ada Pak Daniel yang sedari tadi melemparkan tatapan sinis padaku.
“ Belum nih bu, masih bingung antara di Jl Braga atau di Jl Dago. Bapak sih menyarankan di Dago saja, soalnya ada ruko punya bapak yang tinggal direnovasi sedikit. Saya tinggal panggil orang desain interior nantinya “ ujarku sambil mengabaikan tatapan sinis Pak Daniel yang berusaha menguping pembicaraan kami namun tiba-tiba ia menyela perkataanku.
“ Ruko yang Dago itu terlalu besar untuk kantor sekelas RENTZ. Ruko itu lebih baik disewakan bisa untuk restoran atau café untuk tempat nongkrong anak muda. Omset nya sudah pasti menjanjikan daripada untuk dijadikan kantor startup yang entah kapan balik modal “ serunya sambil menatapku tajam. Kedua tangannya terlipat di dada menandakan dia orang yang sangat angkuh dan sangat meremehkan kemampuanku. Belum sempat kubalas kata-katanya, lelaki itu sudah keburu beranjak pergi bergabung dengan dirut-dirut lainnya.
Bu Atik melihat gelagat diriku yang nyaris naik darah. Tanganku terkepal dan mukaku terasa panas. Bu Atik mencoba mengalihkan pembicaraan dengan membahas sejumlah property yang bisa aku tempati untuk kantor baruku nanti. Kulihat dirut yang berkumpul bersama Daniel memperhatikan kami. Kurasa mereka membicarakan diriku. Sungguh aneh perusahaan ini, saling sikut dan saling jilat rupanya hal yang biasa agar mereka bisa mempertahankan posisi. Belum lagi cerita tentang berbagai kasus hingga skandal yang terjadi dalam manajemen. Bu Atik memperingatkanku untuk berhati-hati. Di grup ini dinding saja bisa berbicara, jadi gosip internal perusahaan bisa dengan mudah terdengar ke semua divisi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!