NovelToon NovelToon

STORY OF ADITYA

MORNING SPIRIT

Cit.. Cit.. 

Suara sepeda yang di ayuh oleh seorang pemuda penjual kopi keliling. Dia terlihat segar dan bersemangat. 

Di usianya yang belum lama menginjak 25 tahun, ia harus bekerja keras membantu ekonomi kehidupan keluarganya. 

Menjadi tulang punggung kedua setelah Ayahnya. 

Tak ada gengsi atau rasa malu di benaknya. Selama itu masih halal dan benar ia pun mau mengerjakanya. 

"Kopi.. Kopi.., yang haus yang haus. Ayo ngopi dulu." Aditya menjajakan dagangannya. 

Tak berselang lama, datanglah beberapa pembeli padanya. 

"Dit, semangat benar pagi ini." sapa kang Jumri seorang polisi pasar. 

"Harus atuh kang, harus semangat." Adit tersenyum.

"Dit, akang pesen kopi itemnya." pinta Jumri pada Adit.

"I ya, kang, boleh." Adit langsung menuangkan air panas ke dalam cangkir plastik yang telah berisi kopi hitam.

Dan tak begitu lama, setelah selesai mengaduknya, Adit pun memberikan kopinya pada Jumri.

"Bagaimana Dit, sudah dapat panggilan kerjanya?" tanya Jumri sambil meminum kopinya secara perlahan. 

"Alhamdulillah, sampai saat ini belum kang." Adit menggeleng kepalanya.

"Kamu yang sabar saja Dit, Akang yakin suatu saat kamu akan sukses." Jumri menepuk pundak Adit. 

"Amin, kang. Terima kasih doanya." Adit tersenyum  senang. 

"Baiklah, akang harus kembali ke pos, Dit." Jumri pamit dan berlalu meninggalkan Adit. 

Adit terlihat sedikit keteteran melayani pembelinya, Dan Alhamdulillah, gorengan buatan ibunya telah habis terjual. 

Matahari sudah mulai terik, dan suasana pasar pun kini mulai sepi. 

"Mang, saya mau keliling lagi." Aditya pamit pada beberapa orang yang berada di sekitarnya. 

Kini target selanjutnya adalah terminal, karena di terminal, biasanya selalu ramai dengan kendaraan, dan lalu lalang orang yang keluar masuk. 

Di terminal, Adit nongkrong di pinggir jalan. Dekat dengan pintu terminal, yang memang sedikit strategis untuknya berdagang.

Sesekali ia tersenyum dan tertawa bersama beberapa supir dan kernet yang kebetulan membeli kopi padanya. 

"Tunggu sebentar Teh, " Adit bangun dari tempat duduk untuk melayani beberapa pembeli yang baru saja datang padanya. 

"Kang saya minta susu 2, dan kopi hitamnya 1saja." pinta pembeli itu pada Adit. 

"I ya, teh. Siap." Adit tersenyum tampan pada konsumenya. 

Hingga membuat beberapa konsumen atau pembeli merasa GR di buatnya. 

"Ini teh, susu 2 sama kopi hitamnya." ucap Adit. 

"Berapa semuanya kang?" tanya si pembeli. 

"Murah Teh, 9000 saja." Adit kembali tersenyum pada si pembeli. 

"Ini kang uangnya," si pembeli menyodorkan selembar uang 10ribuan.

Adit membuka laci, dan tak menemukan uang kembali seribuan. 

"Aduh, kembalianya gak ada teh." Adit yang tak menemukan uang seribuanya. 

"Ya sudah sih kang, kalau tidak ada mah. Tidak apa apa." jawab si pembeli. 

"Terima kasih atuh neng, kalau begitu mah." Adien kembali memberi senyuman mematikanya pada si pembeli. 

Terdengar suara adzan ashar di telinga Aditya, ia segera berpamitan pada petugas terminal, yang kebetulan berada di situ dengannya. 

Adit mengambil sepedanya, dan berlalu pergi meninggalkan terminal. Ia memutuskan untuk kembali pulang menuju rumahnya. 

Di perjalanan pulang, Aditya menyempatkan dirinya untuk mampir di warung Ibu Enoy. Ia harus membeli beberapa bahan gorengan, dan beberapa ranting kopi dan susu. Untuk dia jual kembali 

Setelah selesai, Adit mengayuh kembali sepedanya. Melanjutkan perjalanan pulang yang sempat terhenti beberapa saat. 

Tak berselang lama, sampailah ia di depan rumahnya. Rumah yang tidak begitu besar, akan tetapi cukup untuk dirinya berlindung dari dinginnya malam. 

"Asalamu alaikum mak," Adit mencium tangan ibunya. 

"Wa'alaikum salam Dit." jawab ibunya.

Adit duduk di sebelah ibunya, dan mengeluarkan uang hasil daganganya hari ini. 

"Ini Bu, uangnya ke potong beli terigu sama kopi." Adit menyerahkan uang daganganya. 

"Ya sudah, kamu mandi dulu sana. Habis itu kamu makan Dit." titah Rukmana ibunya Adit. 

Di dalam kamarnya, Aditya terlihat sedang melamun. Dengan kedua tangan yang terlipat menjadi bantalan kepala dan mata yang melihat langit langit kamarnya. 

Kapan... ya, aku bisa jadi orang sukses.

"Darrrr." Galuh membuyarkan lamunan Kakaknya. 

"Ah, kamu Dek. Bikin kaget Kakak saja, ada apa?" tanya Adit. 

"Ha..Ha..Ha, lagian sore begini malah ngelamun." Galuh tertawa puas. 

"Cepat mandi!, Ibu sudah menyiapkan makan untuk Kakak." Galuh bangun dari duduknya dan berlalu meninggalkan Aditya. 

Dengan malas, Adit mengambil handuk dan menuju kamar mandi. 

Setelah selesai dengan ritual mandinya, Adit segera mengganti baju, dan menyusul Ibu dan Adeknya yang telah menunggunya di ruang makan. 

"Maaf, Mak. Gara gara Adit, semua jadi menunggu." Adit yang baru saja duduk di kursi meja makan. 

Galuh mengambilkan nasi beserta lauk pauknya untuk di berikan kepada Kakaknya. 

"Ini, Kak." Galuh memberikan piring yang sudah berisi nasi dan lauk pauknya. 

"Terima kasih, Dek." Adit menerimanya sambil tersenyum. 

Ketiga orang tersebut terlihat menikmati acara makanya. Dan setelah selesai Adit membantu Galuh menumpuk piring bekas dan membawa ke dapur untuk di cuci. 

"Sudah Kak, biar Galuh saja." ucap Galuh. 

"Tidak apa apa Dek, santai saja." jawabnya. 

Setelah memberikan tumpukan piring bekasnya, Adit kembali menemui ibunya di ruang tamu. 

"Mak, tumben Bapak belum menelepon. Biasanya, seminggu sekali Bapak kasih kabar?" tanya Adit yang baru saja duduk di sebelah ibunya. 

"Emak juga tidak tahu Dit, tapi perasaan emak kok, tidak enak ya?" ucap Mak siti sambil memegang dadanya. 

"Mak, mak tidak berpikiran yang buruk tentang Bapak. Insya alloh, Bapak baik-baik saja disana." Aditya mencoba menenangkan ibunya. 

"I ya, Dit. Emak cuma cemas saja." Mak siti mengangguk. 

TOK.. TOK.. TOK..

Terdengar suara pintu di ketuk seseorang, menjeda obrolan antara Ibu dan anaknya. 

"Asalamu alaikum." seru seseorang di luar. 

Adit dan ibunya bangun dari duduk dan menghampirinya. 

"Wa'alaikum salam, I ya. Sebentar." Adit membuka pintunya. 

Terlihat dua orang lelaki bertubuh tegap dan tinggi, keduanya menggunakan costume hitam layaknya Bodyguard. 

"Maaf, Bapak Bapak ini, kalau boleh saya tahu. Mencari siapa ya?" tanya Adit dengan sopan. 

"Betul ini rumah Bapak Herman koesdiansyah?" tanya kedua orang itu pada Adit. 

"Betul Betul, Betul sekali Pak." Jawab Adit. 

"Ada sesuatu yang harus kami sampaikan." ucap kedua orang tersebut. 

"Mari silahkan masuk dulu Pak, kita bicara di dalam." ajak aditya pada kedua orang tersebut. 

"Terima kasih," kedua orang itu mengikuti Adit masuk ke dalam rumahnya. 

"Mari silahkan duduk Pak." Adit mempersilahkan kedua orang tersebut. 

"Sebelumnya, kami berdua ingin minta maaf. Karena kedatangan kami kemari, ingin memberitahukan. Bahwa Bapak herman sekarang sekarang di rumah sakit." kedua orang tersebut memberitahukan pada Adit dan ibunya.

Mak siti terlihat lemas, dan hampir saja pingsan di buatnya. 

PERJANJIAN ALFONSO

"Kalau boleh tahu, memang Bapak saya kenapa ya Pak?" tanya Adit lagi. 

"Bapak Herman, sedang menjalani operasi jantung. Akan tetapi keadaanya malah semakin kritis." tandasnya. 

"Di rumah sakit mana ya Pak, Bapak saya di rawat?" Adit mencoba tenang walaupun hatinya sudah cemas. 

"Di rumah sakit Eka pradipta, kami di tugaskan Pak baron, untuk menjemput Ibu sekeluarga agar segera berangkat ke sana." kedua orang itu menjelaskan. 

"Ayo Dit, kita segera kesana. Beritahu juga Galuh adekmu." pinta mak Siti. 

"Kalau begitu, tunggu sebentar ya Pak. Kami akan segera bersiap." Adit berlalu memberi tahu Galuh agar segera bersiap membawa segala sesuatu yang di perlukan di sana. 

Tak berselang lama, mereka telah siap dengan segala sesuatunya. 

"Mari Bu," ajak kedua orang tersebut pada Mak siti sekeluarga. 

Mereka semua masuk ke dalam mobil, dan perlahan, mobil yang mereka tumpangi berlalu pergi meninggalkan kediaman Herman. 

Sepanjang perjalanan yang memakan waktu hampir 6 jam itu, benar benar hening, dan tak ada obrolan sama sekali. 

Semuanya terlihat tegang, dan tak sabar ingin segera sampai di tempat tujuan. 

6 jam kemudian. 

Sesampainya mereka di rumah sakit, mereka langsung keluar dari mobilnya. 

"Maaf Pak, bisakah kita segera menemui suami saya?" pinta Mak siti pada kedua orang suruhan Pak baron. 

"I ya, Bu. Kita semua akan segera menemui Pak Herman." jawab pesuruh Baron. 

Kedua pesurh Baron, berjalan menuju rumah yang di ikuti keluarga Adit.

Di tempat receptionis, kedua pesuruh itu langsung menanyakan di mana ruangan Herman di rawat. 

"Mari, Bu." ajak kedua orang itu setelah tahu dimana Pak Herman di rawat. 

Tak berselang lama, sampailah mereka di tempat Herman di rawat. 

Kedua orang itu berhenti di depan pintu kamar tempat Herman di rawat, dan salah satu dari orang suruhan Baron, terlihat menghubungi seseorang. 

"Maaf, Bos. Kami sudah membawa pihak keluarga Pak Herman." mereka menginformasikan. 

"Bagus, langsung saja kalian suruh masuk mereka." titah Baron. 

"Siap, Bos." mereka menutup panggilan teleponnya. 

"Mari kita masuk Bu," Pesuruh Baron membuka pintu dan masuk, di ikuti Adit dan ibu dan adeknya. 

Di dalam ruangan, Mak siti melihat suaminya terkapar tak berdaya, dengan tubuh yang telah di penuhi alat kedokteran. 

Mak siti akan memeluknya, tapi Adit langsung menahan dan menggelengkan kepala sambil memandang Ibunya. 

"Mak, mak jangan mengganggu Bapak. Adit tahu Mak sedih, tapi ini semua demi kebaikan Bapak." Adit memeluk ibunya mencoba menenangkan. Di ikuti Galuh yang menangis memeluk ibunya dari belakang. 

Keluarga pasien." panggil seorang suster. 

"I ya, saya Sus." jawab adit mewakili Ibunya. 

"Maaf Pak, Dokter Raihan ingin bertemu dengan anda sekarang, mari ikut saya Pak." ajak Suster tersebut pada Adit. 

"I ya, Sus." Adit mengikuti Suster tersebut dari belakang. 

Sementara Galuh dan ibunya lebih memilih menunggu di ruang Herman di rawat untuk menjaganya. 

Tak berselang lama, kini Suster yang membawa Adit telah sampai di depan pintu ruangan Dokter Raihan. 

Tok.. Tok.. Tok.. 

"Permisi Dok," seru suster dari luar pintu ruangan. 

"I ya, silahkan masuk." jawab Dokter Raihan. 

Mereka berdua masuk ke dalam ruangan Dokter Raihan. 

"Maaf Dok, ini keluarga pasien dari Bapak Herman." Suster memberitahu. 

Dokter Raihan bangun dari duduk dan menjabat tangan Adit. 

"Silahkan duduk Pak Adit." titah Raihan. 

"Terima kasih Sus, anda sudah bisa kembali." titahnya. 

"Baik, Dok." Suster yang mengantar Adit berlalu pergi keluar dari ruangan. 

"Jadi begini, Pak Adit." Dokter mulai menjelaskan pada Adit. 

"Disini saya sebagi Dokter yang menangani Pak Herman, saya hanya ingin memberitahukan kepada anda, bahwa kemarin Pak Herman belum sempat kami Operasi. Semua itu karena keadaan Pak Herman tiba tiba kritis, dan kami tidak berani mengambil resiko tanpa sepengetahuan pihak keluarga pasien. 

Adit mengangguk, mendengar semua yang di tuturkan Dokter Raihan padanya. 

"Dok, apakah ada harapan sembuh untuk Bapak saya?" tanya Adit. 

"Kami sebagai tim Dokter, hanya bisa berusaha Pak. Tetap tuhan lah yang menentukan." jawabnya. 

Dokter Raihan, mengeluarkan berkas atau formulir yang harus di tanda tangani keluarga pasien. 

"Ini bisa Pak Adit cek terlebih dahulu, setelah selesai silahkan Pak Adit membubuhkan tanda tanganya di sini." seraya memberikan formulir berkas tersebut pada Adit. 

Aditya membacanya dengan seksama, dengan tanpa pikir panjang lagi, semua demi kebaikan keluarganya. Ia pun menanda tanganinya. 

"Ini, Dok." Adit menyerahkan kembali berkas tersebut pada Dokter Raihan. 

"Terima kasih, Pak Adit. Anda sudah bisa kembali sekarang." Dokter Raihan kembali menjabat tangan Adit. 

"Terima kasih, Dok." Adit berlalu keluar dari ruangan Dokter Raihan. 

Raihan melangkah kembali menuju ruangan dimana ayahnya di rawat. Di situ Adit melihat ibunya yang telah tertidur dengan posisi duduk di sebelah Herman. 

Sedang Galuh tak hentinya ia menangisi keadaan Bapaknya yang menyedihkan. 

"Sudah Dek, jangan menangis terus!, doakan bapak agar cepat sembuh ya." Adit yang baru datang dan duduk di sebelah Galuh. 

"I ya, Kak." Galuh memeluk Adit menumpahkan kesedihanya. 

Ya alloh ya tuhanku, tiada tuhan melainkan engkau. Tolonglah hamba yang sedang sulit ini. 

"Sekarang, kamu tidur saja ya!,biar Kakak gantian yang jaga Bapak." titah Adit yang di balas anggukan Galuh. 

2 minggu kemudian. 

Kini keadaan Herman berangsur pulih paska oprasinya. Disini Dokter hanya menyarankan, di usia Herman yang telah senja, lebih baik agar Herman memperbanyak waktu istirahatnya. Dan Dokter pun telah mengizinkan Herman untuk pulang ke rumah. 

Adit dan Galuh terlihat sedang mempacking baju yang akan segera di bawanya pulang. 

"Mas adit," Panggil seseorang berbadan tegap seperti bodyguard. 

"I ya, Pak." Adit menghentikan packingnya. 

"Bisa ikut kami sebentar?" ucap Bodyguard. 

"Bisa, Pak." Adit melangkah mengikuti bodyguard itu dari belakang. 

"Kita mau kemana Pak?" Adit yang belum tahu ia akan di bawa kemana. 

"Pak baron alfonso, ingin menemui anda di sana." Bodyguard tersebut menunjuk satu restoran dengan tanganya. 

Di dalam restoran Adit langsung di bawa menghadap seseorang yang terlihat seperti mafia Itali. 

"Duduklah!" titah Baron pada Adit. 

Adit mengangguk dan tersenyum. 

"Terima kasih Pak." jawabnya. 

"Kau tahu, kenapa aku memanggilmu kesini?" baron mengangkat sebelah kaki dan menumpangkanya pada lutut. 

"Tidak tahu, Pak." Adit menggeleng. 

"Cody berikan bukti pengeluaran Herman, dari mulai masuk rumah sakit sampai sekarang!" titahnya sambil menyalakan serutu kubanya. 

Cody memberikan Jumlah nota pengeluaran Herman selama ia di rumah sakit pada Adit. 

"Apaaa!, 300juta." Adit berdiri, dengan mata terbelalak setelah mengetahuinya. 

"Santai anak muda, duduk!" titah Baron. 

"Cody, berikan dia Dokumen perjanjianya!" titahnya. 

"Baik, Bos." cody mengangguk dan mengeluarkan dokumen perjanjian di materai kepada Adit. 

MUSIBAH

Adit membacanya dengan seksama, dan terlihat wajah kecewa setelah ia membacanya. 

"Kau keberatan?, gampang!, berikan kembali uangku yang telah kalian pakai!" Baron tersenyum penuh kemenangan. 

Adit mengangguk pasrah, tak ada perlawanan yang bisa ia lakukan. Dan ia pun langsung menanda tanganinya. 

"Bagus," Baron tertawa puas melihat semua berjalan dengan lancar. 

"Cody, kau ambil berkasnya dan antarkan dia kembali." titahnya yang tak bisa di bantah. 

"Siap Bos," Cody pergi bersama Adit meninggalkan restoran. 

Sepanjang perjalanan kembali menuju ruangan Herman, Adit terlihat terus melamun. 

Ia terus teringat akan isi perjanjian yang di buat Alfonso yang benar benar berat baginya. 

Di depan pintu ruangan Herman di rawat, Adit menarik nafas dan membuang secara perlahan. Ia tak mau kedua orang tua dan Adeknya mengetahui apa yang telah terjadi padanya. 

Ceklek... ... 

Adit membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan Herman. 

"Darimana kamu nak?" tanya mak siti yang terlihat cemas. 

"Adit tadi menemui bagian Adiministrasi Mak." Adit menjawab tanpa memandang kedua orang tuanya. 

Adit membawa tas yang berisi baju yang telah selesai di packing galuh adeknya. 

"Ayo Pak, Bu." Adit mengajak kedua orangtuanya. 

Keluarga Herman kini keluar meninggalkan ruang rawat, dan melangkah meninggalkan Rumah sakit. 

Di area parkir rumah sakit, Baron Alfonso telah menyuruh orang agar mempersiapkan mobil untuk mengantar keluarga Herman kembali ke rumahnya. 

Adit membuka pintu belakang mobil, dan memasukkan beberapa tas yang ia bawa. Dan ia menyusul masuk duduk di Jok depan sebelah bangku kemudi. 

Pesuruh Baron kini menghidupkan mesin mobil dan menancap pedal gas secara perlahan, meninggalkan rumah sakit. 

Sepanjang perjalanan yang melelahkan, Herman terus memperhatikan Adit yang terlihat gusar dan cemas dalam duduknya. 

Kenapa anakku terlihat tidak nyaman seperti itu. Apa Pak Baron mengajukan sesuatu hingga membuatnya seperti ini. 

Perjalanan panjang kini telah berakhir, keluarga Herman kini telah selamat dan sampai tujuan. Sedang orang pesuruh Baron langsung pamit meninggalkan kediaman Herman. 

Adit masuk ke dalam rumah sambil membawa beberapa tas bawaanya. Tak banyak kata darinya, karena ia lebih memilih untuk beristirahat melepas rasa lelahnya. 

Ke esokan harinya, Adit telah menyiapkan seluruh amunisinya untuk di bawanya berdagang keliling. 

"Dit, apa kamu tidak lelah nak?" Herman menggeleng melihat Adit yang sudah siap mengais rezekinya. 

"Adit sudah tidak lelah kok Pak." Adit mencium punggung tangan Herman yang duduk di kursi. 

"Mak, Adit berangkat dulu ya. Doakan Adit ya, mudah mudahan rezeki Adit hari lebih banyak dan berkah." Adit mencium punggung tangan Ibunya dan berlalu kekuar dari rumah. 

"Bismillah...," dengan mengucap basmalah Adit mulai mengayuh sepeda meninggalkan rumahnya. 

Seperti biasa target pertama Adit di pagi hari adalah pasar, karena di pagi hari banyak sekali orang berbelanja di pasar. 

"Sampeee." Adit berhenti dan menstandarkan sepedanya. 

"Kopi.. Kopi.. Kopi..,yang haus yang haus." Adit kembali menjajakan daganganya. 

"Wihhh, kemana saja Dit?, kok baru kelihatan. Biasa, kang Jumri pesan kopi hitamnya satu." Kang Jumri yang baru datang. 

"Kemarin Bapak masuk rumah sakit kang," Adit mengaduk ngaduk kopinya. 

"Memangnya sakit apa Dit, Bapak kamu?" tanya lagi Jumri. 

"Kemarin Jantung Bapak kumat, sampai Dokter bilang harus mengoprasinya." Adit memberikan kopi pesananya pada Jumri. 

"Yang sabar ya Dit," Jumri menyodorkan uang 5 ribuan pada Adit.

"Kembalianya belum ada kang?, nanti saja ya." ucapnya. 

"Gampang itu mah Dit, sudah saya kembali ke pos dulu." Jumri meninggalkan Adit. 

Adit terlihat menjajakan kembali kopi dan susunya. Dan perlahan satu persatu orang datang, menghampiri Adit untuk membeli kopi dan gorenganya. 

Matahari kini kembali terasa panas membakar kulit, seperti biasa Adit pamit untuk berpindah lokasi ke terminal yang lebih strategis untuk mangkal dirinya sampai sore. 

Alhamdulillah, hari itu rezeki adit memang benar benar sedang hoki, gorengan dan kopi susu yang ia jual kini telah habis sebelum sore. 

Adit memutuskan untuk pulang lebih awal dan pamit kepada teman teman terminalnya. 

Senyum manis merekah dari wajah tampanya. Hari ini ia benar benar bersyukur sekali. Di prempatan menunjukkan lampu hijau, dan Adit terus melajukan mengayuh dengan cepat sepedanya. 

Hingga ketika Adit melewati persimpangan, sebuah mobil berwarna merah melaju dengan kencangnya menghantam sepeda yang Adit gunakan. Adit terpental jatuh menghantam mobil yang sudah berhenti di sampingnya.

Beberapa orang yang melihat kejadian itu, segera membantu Adit yang tergeletak sambil memegang pingganya yang kesakitan akibat benturan keras.  

"Gak apa apa Dek?" tanya seseorang yang membantu membangunkan Adit. 

"Saya tidak apa apa Pak, terima kasih."  Adit masih menahan pinggangnya yang terasa sakit. 

"Tidak apa apa, apanya?, lihat jidat kamu berdarah Dek, cepat obatin!" ucap seseorang di sebelah Adit. 

"Sudah Pak, saya mau pulang saja. Saya akan obati di rumah saja." Adit berlalu menuju sepeda yang terlihat hancur akibat hantaman keras mobil. 

"Sudah jangan ngeyel." ucap seseorang yang mengajak Adit duduk di pinggir jalan dan mengobati luka di jidatnya. 

Sementara beberapa orang, membantu mengangkat sepeda Adit yang telah hancur. 

Setelah selesai Adit meminta pamit kepada orang-orang yang telah menolongnya dan membawa kembali sepeda yang sedikit telah di benarkan. 

Sepanjang jalan Adit mengerang sakit menahan pinggang bekas terhantamnya. 

Di depan rumah Adit, dirinya menyenderkan sepeda di pinggir pohon mangga. Ia lebih memilih memutar lewat samping untuk menuju kamar mandinya. Dia tak mau orangtuanya melihat dan tahu keadaan dirinya yang menyedihkan. 

Di dalam kamar mandi yang letaknya di belakang dan terpisah dari rumah, Adit melepas jaket dan kaos oblongnya secara perlahan. 

"Auwwww." Adit merintih kesakitan. 

Adit melirik bagian pinggang, dan ternyata ada memar berwarna biru. 

"Pantas saja," Adit baru mengerti ternyata lukanya tak bisa di anggap enteng. 

Sementara, terlihat Galuh yang baru saja pulang dari sekolahnya. Dia berjalan dan masuk ke halaman rumahnya. 

"Tumben, Bang adit udah pulang." Galuh yang mendapati sepeda kakanya bersender di pohon. 

"Tapi kok, kenapa Box daganganya bisa hancur?" Galuh semakin cemas. 

Galuh berlari masuk ke dalam rumah tanpa mengucap salam lagi. 

"Bu, Pak. Kak Adit mana? tanya Galuh yang terlihat cemas. 

"Adit?" tanya lagi Mak siti yang memandang Herman. 

"Galuh, Kakak mu belum pulang sedari tadi juga, mungkin sebentar lagi." jawab Herman dengan santai. 

"Kamu ini kenapa sih Neng?, Kok kaya orang habis melihat hantu saja." Mak siti yang heran melihat Galuh cemas. 

"Ayo, Mak." Galuh mengajak ibunya untuk segera keluar dari rumah."

Galuh mengajak ibunya menuju pohon mangga di halaman depan rumahnya.

"Tuh, lihat mak!, Bagaimana Galuh gak khawatir coba." Galuh memperlihatkan box dagangan Adit yang telah hancur. 

"Masya alloh Pak," mak siti kaget bukan kepalang. 

Galuh dan ibunya kembali masuk ke rumah. 

"Ada apa sih, Bu?" tanya Herman akan tetapi mak siti malah mengabaikanya. 

Dia mencari cari adit, di kamar dan di belakang rumah, tapi tetap tak menemukanya.

"Tunggu sebentar Bu," Galuh yang mendengar seseorang di dalam kamar mandi. 

"Kak, kak Adit. Kakak gak apa apa kan?" Galuh menggedor pintu kamar mandi. 

Di dalam kamar mandi, Adit semakin bingung. Dia mengambil handuk dan menutupi badanya. 

CEKLEK...

Adit membuka pintu kamar mandi dan menghampiri Adik dan Ibunya.

"Ada apa sih, bikin orang kaget saja?" tanya Adit yang baru keluar dari kamar mandi. 

Galuh memperhatikan Adit dari ujung kaki sampai ujung kepalanya. 

"Kakak gak apa apa kan?" tanya lagi Galuh. 

Adit memandang galuh dan beralih memandang ibunya. 

"Adit gak apa apa kok."  Adit berputar di depan adik dan ibunya. 

Tapi tak bisa di pungkiri, pinggang Adit tiba tiba saja sakit, dan membuatnya memekik. 

"Auwwww." Adit meringis kesakitan. 

"Kamu jangan pernah bohongin emak Dit!" ucap mak siti sambil mengajak Adit masuk ke dalam rumah. 

Di dalam rumah adit di periksa oleh ibunya. Ia melepas handuk yang melilit di pingganya, dan Adit hanya menggunakan boxer saja. 

Mak siti kaget dan tercengang, ia mendapati luka memar yang serius di pinggang Adit. 

"Kamu kenapa nak?, kenapa tidak Jujur kepada ibu." Mak siti menangis. 

"Galuh cepat kau panggil tukang urut kesini!" titahnya pada Galuh yang langsung ia kerjakan. 

Herman hanya menggeleng kepala, hatinya begitu sakit melihat keadaan anak sulungnya. 

Ya alloh ya tuhanku, kenapa ini bisa terjadi pada anaku, ia mencari uang demi keluarga sampai seperti ini. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!