Seorang wanita cantik dengan rambut sebahu berjalan sepanjang Terminal II, sebuah bandara. Tangan kanannya menyeret koper berukuran besar, sementara pandangannya menjelajah sekitar tempat itu untuk mencari sosok yang amat dirindukannya.
“Candra!” pekik sebuah suara, membuat beberapa pasang mata menatapnya.
“Ckck, urat malunya belum nyambung ternyata.”
“Hiks, akhirnya lo balik juga. Gimana? Dapet apaan lo pergi selama lima tahun?”
"Astaga, Vina. Jangan mancing gue, deh!” ucap Candra. “Lo sendirian? Mana calon laki lo?”
“Sibuk dia, bentar lagi mau nikah. Jadi dia tambah rajin cari duit, buat honeymoon nanti,” kata Vina cengengesan.
“Coba kalo lo nggak tiba- tiba kirim undangan, fashion show gue nggak batal,” decak Candra sebal.
Ya, wanita cantik ini adalah Candra. Sahabat sehidup- semati Vina. Kini dua orang ini telah dipertemukan kembali setelah sekian tahun lamanya berpisah. Vina yang setelah lulus SMA melanjutkan studinya ke luar kota, sementara Candra terbang ke luar negeri untuk mengasah kemampuan menggambarnya.
Walau jauh, mereka masih sering berkirim kabar. Dan kabar terakhir yang di dapat Candra, bahwa sebentar lagi sahabatnya itu hendak melangsungkan pernikahan bersama dengan seorang pria yang entah siapa.
Mulut Vina masih belum berhenti ngoceh sejak dari bandara tadi, sementara Candra sudah sangat lelah meladeni sahabatnya itu. Vina masih sama seperti terakhir kali Candra lihat. Perubahan terjadi pada Candra yang terlihat lebih kalem, walau mungkin jika Vina memancingnya. Perilaku gilanya semasa sekolah dulu akan muncul.
“Lo beneran mau nikah sama Dafa?” tanya Candra masih tidak percaya.
Vina menabok lengan Candra, membuat sang empunya menjerit kesakitan. “Bukan Dafa yang dulu elah. Gue udah pernah cerita kenapa lo nggak percaya sih? Liat aja kalo lo ketemu sama calon laki gue. Lebih baek daripada si kutu itu.”
Candra mencibir ucapan sesumbar Vina yang sangat membanggakan calon suaminya itu. Namun Candra masih tidak menyangka jika Vina sudah benar- benar menyelesaikan perasaannya dengan Dafa. Bahkan bisa berakhir dengan damai dan sampai sekarang hubungan keduanya baik- baik saja.
“Oh ya, rencana alumni kita mau adain reuni. Lo bisa dateng?” tanya Vina.
“Hmm, entahlah. Gue juga nggak lama di Indonesia. Masih banyak kerjaan gue yang belum kelar di sana.”
“Dih, lo janji mau temenin gue sampai sah.”
“Ya elah, lo ngibulin gue, kan? Lo nikah masih bulan depan, gue dengan begonya langsung terbang ke sini,” sebal Candra.
Sementara Vina hanya tertawa ngakak, berhasil mengerjai sahabatnya ini. Sebenarnya Vina tahu, Candra sedang tidak baik- baik saja. Candra yang sekarang berbeda dengan Candra yang dulu, menurut Vina.
Candra melempar tubuhnya ke kasur, raganya benar- benar lelah setelah perjalanan selama berjam- jam dengan pesawat. Dia sudah tidak peduli dengan keberadaan Vina yang sedang menatap datar pada Candra.
“Can, gue balik ya? Nanti sore gue jemput lo,” pamit Vina.
“Hmm,” gumam Candra dan setelahnya dia sudah jatuh ke alam mimpi.
Vina mendengus sebal dan segera keluar dari kamar Candra, tapi sebelumnya ia sempatkan untuk merapikan selimut yang Candra pakai.
“Selamat tidur dan semoga mimpi indah,” gumam Vina dan setelahnya benar- benar keluar dari kamar Candra.
...👠👠👠...
Candra mengerjapkan mata, kepalanya terasa sangat pusing dan perutnya terasa sedikit mual. Matanya melirik pada jam dinding di kamar itu, jarum jam menunjukkan angka tiga. Candra sudah tertidur cukup lama sejak kedatangannya ke rumah ini. Bahkan sang Mama tidak berani mengganggu tidur putri semata wayangnya.
“Mama masak apa?” tanya Candra.
“Mama nggak masak, kata Vina nanti kalian mau keluar. Jadi Mama nggak masak,” jawab Bu Maya – nama Mama Candra –.
“Apa iya? Kok gue nggak inget?” gumam Candra duduk di sebelah Bu Maya yang sedang nonton drama Korea.
“Kamu balik ke Paris lagi kapan?” tanya Bu Maya tanpa mengalihkan pandangannya.
“Baru juga sampai, Ma,” jawab Candra mengerucutkan bibirnya.
“Ckck, paling juga minggu depan kamu balik lagi. Heran Mama sama kamu, betah banget di sana. Lima tahun bener- bener nggak pulang. Sekalinya pulang karena si Vina,” omel Bu Maya geleng- geleng kepala.
“Suruh Papa pensiun dulu. Baru nanti Candra tinggal di sini selamanya,” ucap Candra dengan wajah serius.
“Sana ngomong sendiri ke Papamu,” sewot Bu Maya.
Papa Candra bernama Haris, seorang berpangkat Letnan Kolonel yang masih bertugas walau di usianya yang sudah senja. Walau kini hanya bertugas di Komando Distrik Militer di kota ini, tetap saja seharusnya Pak Haris sudah waktunya untuk pensiun.
Berbeda dengan Bu Maya yang memutuskan untuk pensiun lebih dini, Pak Haris memang seorang pekerja keras juga keras kepala. Sudah berkali- kali Candra meminta agar sang Papa mengajukan pensiun dini, tapi Papanya itu tetap saja ngotot masih ingin bekerja.
“Kalau Papa tetep ngotot kerja, Candra nggak bakal pulang ke rumah,” ancam Candra kala itu.
“Kamu mengancam Papa?” tanya Pak Haris dengan suara lantang seperti biasa.
'Mampus,’ batin Candra menelan ludahnya.
Namun dengan tekad kuatnya, dia balik menatap mata Pak Haris. Sementara Bu Maya hanya menonton pertengkaran ayah dan anak itu dengan tenang.
“Iya, Candra ngancam Papa. Candra akan hidup di Paris selamanya,” ucap Candra.
Pak Haris tertawa terbahak mendengar ucapan putrinya itu, lalu menatap meremehkan. “Heh? Yakin bisa hidup tanpa Papa dan Mama?”
Candra mendengus mendengar pertanyaan mengejek dari Pak Haris. “Huuu, mana bisa?”
Selalu seperti itu, pasti Candra yang kalah setelah melancarkan serangan pada sang Papa. Pak Haris selalu bisa mengalahkan putri cantiknya itu.
...🥊🥊🥊...
Candra menatap datar pada dua orang di depannya ini. Tidak menyangka jika ternyata dia akan dijadikan obat nyamuk oleh Vina. Kini mereka berada di sebuah café untuk makan malam bersama dan Vina mengajak calon suaminya. Pertama kali Candra bertemu dengan calon suami Vina, dia benar- benar syok. Calon suami Vina benar- benar di luar ekspetasinya. Menurut Candra, calon suami Vina lebih oke daripada Dafa si mantan.
“Kenapa ngajak gue sih? Lagian lo berdua mau kencan, kan?” sebal Candra menyedot minumannya.
“Salah sendiri lo jomblo,” jawab Vina pedas.
“Bisa- bisanya lo suka sama tuh cewek,” kata Candra pada Dafa – calon suami Vina –.
“Dia baik dan cantik,” jawab Dafa kalem.
“Astaga,” gumam Candra menepuk dahinya.
Sementara Vina hanya melet- melet pada Candra, bermaksud mengejek sahabatnya itu. Semenjak putus dari Juno hingga sekarang, Candra benar- benar tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun. Candra masih menutup rapat hatinya untuk orang- orang yang ingin mengajaknya menjalin hubungan.
“Cari pacar makanya,” kata Vina.
“Nggak usah dicari, nanti juga datang sendiri,” balas Candra santai.
...👠👠👠...
Tertanda: Otor Keceh 🙂
Candra kembali terbang ke Paris untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum diselesaikannya, termasuk sebuah pagelaran peragaan busana yang terpaksa harus diundur beberapa hari. Tangan Candra berkeringat dingin beberapa jam sebelum acara tersebut di mulai. Walaupun acara ini bukan pertama kali, tetap saja Candra pasti akan merasa gugup.
“Tenang, Can. Acara ini pasti berjalan lancar,” gumam Candra mencoba menyemangati diri sendiri.
“Calm down, Baby. You can do it. Trust me,” ucap seseorang yang tiba- tiba saja memegang kedua bahunya.
“Kaget gue!” pekik Candra menoleh ke belakang, tapi setelahnya dia mendengus sebal ketika mengetahui siapa yang mengejutkannya.
“Iya- iya, gue yakin acaranya lancar kok. Jadi… nggak usah pegang- pegang,” sewot Candra menurunkan kedua tangan orang itu yang masih bertengger di bahunya.
Lalu Candra meninggalkan orang itu yang masih menatapnya dengan memuja. Seorang pria tampan asli kelahiran Paris juga model yang Candra gunakan dalam peragaan busana kali ini. Namanya Eric dan sangat tergila- gila oleh Candra.
“You promised to date me after this event,” ucap Eric mengejar langkah Candra.
“Is it true? When did I say that?” tanya Candra tanpa menoleh, ia sibuk merapikan tatanan busana yang dipakai salah satu modelnya.
Eric mengerucutkan bibirnya, tapi Candra tetap tidak tertarik. Wanita itu menyuruh Eric untuk kembali ke posisinya, karena sebentar lagi acara akan di mulai.
...👠👠👠...
Acara yang di nanti sudah tiba, satu persatu model yang memamerkan semua hasil jerih payah Candra berlenggak- lenggok di catwalk. Berbagai tamu penting juga hadir. Setelah semua modelnya selesai memamerkan semua hasil karya Candra, giliran sang perancang busana yang keluar dari belakang panggung. Suara riuh tepuk tangan ditujukan untuk Candra. Seorang model memberinya buket bunga dan confetti beterbangan jatuh membuat acara bertambah meriah.
“Congratulation!” ucap beberapa tamu pada Candra.
“Thank you,” jawab Candra dengan senyum menawannya.
“Senang berjumpa dengan anda. Ah ya kenalkan saya Nayla, dari Indonesia juga. Saya fans berat Mbak Candra,” ucap seorang gadis sangat antusias.
Candra membulatkan matanya terkejut, tidak menyangka ada seorang penggemar mendatanginya. Dia pun mempersilakan Nayla duduk dan mengobrol.
“Mungkin Mbak Candra lupa, tapi aku dulu junior Mbak Candra waktu SMA,” jelas Nayla.
“Hah? Jadi lo junior gue? Kita pernah ketemu?” tanya Candra bertubi- tubi.
“Pernah, Mbak. Cuma sekali tapi, wajar Mbak Candra lupa.”
“Jadi lo jauh- jauh ke Paris bener cuma buat acara gue?”
“Iya, Mbak. Ehm, rencananya sih mau minta tolong juga,” ucap Nayla.
“Minta tolong?”
“Jadi sebentar lagi aku mau tunangan, Mbak. Aku mau yang rancang baju aku, Mbak Candra.”
‘Gila, tajir nih pasti,’ batin Candra.
...🥊🥊🥊...
Selepas acara, kini Candra dan para kru yang membantunya sedang mengadakan pesta dalam rangka kesuksesan dan keberhasilan acara. Candra mentraktir semua yang membantunya makan- makan. Sebenarnya, pesta ini juga merupakan perpisahan. Candra memutuskan mengambil job dari Nayla dan berencana akan menyelesaikannya di Indonesia. Sementara pekerjaan di Paris dia limpahkan kepada orang kepercayaannya.
“Untuk keberhasilan kita semua!” pekik Candra mengangkat gelasnya tinggi- tinggi.
“Yey!” teriak semuanya, walau tidak paham dengan ucapan Candra.
Candra meneguk minumannya dengan sekali teguk. Wajahnya memerah, tapi kesadarannya belum hilang. Eric menghampiri Candra yang masih terus meneguk minumannya.
“Stop! You’re drunk!” ucap Eric merebut gelas yang di pegang Candra.
Candra menoleh dan mengernyit. “Gue nggak mabuk.”
“Kamu mabuk. Come on, I’ll take you home,” kata Eric menuntun Candra.
Setelah pamit pada para kru, Eric berjalan bersama dengan Candra keluar dari resto. Sementara Candra berjalan sempoyongan.
“Wait here!” perintah Eric.
Eric pergi meninggalkan Candra di depan pintu resto untuk mengambil mobilnya. Sementara Candra di sisa kesadarannya, dia melihat sekitarnya. Lalu pandangannya tertuju pada pot bunga dengan bunga yang bermekaran. Candra jongkok di depan pot itu, menikmati bunga bermekaran di pot itu.
“Jadi inget gambar bunga waktu itu,” gumam Candra terkekeh.
“Come on, Baby,” ajak Eric, pria itu mengernyit melihat Candra jongkok di depan pot bunga.
Eric yang tidak sabar hendak menggendong Candra, tapi ditepis oleh tangan wanita itu. Eric mendengus dan membiarkan Candra berbuat sesukanya.
“Eh?” kaget Eric ketika Candra jatuh tersungkur.
“Are you allright?”
“Yeah, I’m fine. Gue nggak mabuk, cepet antar gue balik,” jawab Candra dan langsung masuk ke dalam mobil Eric.
Eric menghembuskan nafas lelahnya, bertahun- tahun mengenal Candra, pria itu sudah kebal dengan sikap aneh wanita itu. Entah bagaimana bisa dimatanya Candra terlihat sangat mempesona dan manis.
...👠👠👠...
Mobil yang dikendarai Eric sudah berhenti di depan apartemen milik Candra. Namun wanita itu sedang tertidur di mobil Eric. Pria itu pun tidak berniat membangunkan sang pujaan hatinya, sebaliknya dia malah sedang memandang wajah cantik wanita itu.
Candra pun tidak merasa terusik dengan tatapan teduh yang Eric berikan. Perlahan dengan tangan gemetar, tangan Eric berusaha menyentuh wajah Candra. Diusapnya lembut pipi itu, membuat Candra makin jatuh tertidur dalam buaian jemari Eric.
“Cute, like a baby,” gumam Eric tersenyum.
Perlahan Eric mendekatkan wajahnya, tujuannya hanya satu. Yakni bibir ranum milik Candra. Deru nafas Eric bahkan sudah menerpa wajah Candra, tapi wanita itu masih belum terusik dari tidur lelapnya. Gerakan Eric terhenti ketika melihat dahi Candra berkerut dan keringat dingin mulai mengucur deras membasahi dahi wanita itu. Hampir saja Eric berteriak kaget saat tiba- tiba Candra membuka mata.
“Huekkk…”
“Damn!”
Candra meringis merasa bersalah pada Eric yang bajunya kotor akibat muntahannya. Sementara Eric menatap dongkol Candra. Setelah memberikan air minum pada Candra, mereka berdua memutuskan untuk keluar dari mobil mencari udara segar.
“Sorry,” ucap Candra.
“No problem,” jawab Eric tidak ikhlas. “I’m going home now.”
“Okay, be careful on the road,” ucap Candra.
Candra masih bertahan di sana hingga mobil yang Eric kendarai tak terlihat lagi. Dia memegang dadanya yang berdegub kencang.
“Untung gue muntah,” gumam Candra.
“Hampir aja bibir gue nggak perawan lagi.”
“Ckck, udah mulai berani dia. Awas aja kalo ke ulang, bener- bener gue tabok muka sok cakepnya itu,” ucap Candra dan berjalan memasuki apartemennya.
Sesampainya di unit apartemennya, Candra segera membersihkan diri dan bersiap untuk tidur. Hari ini benar- benar membuatnya lelah juga pening.
“Kayaknya gue kebanyakan minum,” gumam Candra, matanya sudah sangat berat. Padahal selama perjalanan pulang tadi dirinya sudah tertidur.
Candra kembali terlelap dalam beberapa menit kemudian. Kamarnya menjadi hening, hanya suara detik jam dan pendingin udara yang memecah keheningan.
“Candra!” panggil seseorang dengan suara sayup- sayup.
...🥊🥊🥊...
Tertanda: Otor Kyut 😗😗😗
Candra membuka kedua matanya, tapi seketika matanya menyipit karena silau oleh sinar matahari yang sangat terik. Ia mengernyit heran karena samar- samar melihat wajah seseorang yang berada di depannya.
“Candra!” panggil orang itu.
Candra masih belum menyahut walau dirinya dengar jelas orang itu memanggilnya. Wanita itu masih mencoba membuka matanya agar bisa melihat dengan jelas siapa sosok itu. Dilihat sekilas jika sosok itu adalah seorang pria.
‘Tunggu! Pria?’ batin Candra.
Matanya langsung terbuka lebar, begitu ingat jika terakhir kali dia berada di apartemennya seorang diri. Lalu bagaimana bisa tiba- tiba ada seorang pria masuk?
“Candra, bangun!” panggil sosok itu.
“Siapa?”
“Aku Juno. Mantan kamu,” jawab sosok itu tersenyum manis.
...👠👠👠...
Keringat dingin membasahi dahi hingga sekujur tubuh Candra. Wanita itu langsung terduduk dengan mata terbeliak, napasnya tidak beraturan. Candra baru saja mendapat mimpi buruk. Ya, dia baru saja memimpikan sang mantan laknat itu. Arjuno. Cowok laknat yang hobi taruhan.
“Bakal ketiban sial kayaknya gue,” gumam Candra memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.
Dengan langkah lunglai, Candra berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Tenggorokannya terasa sakit akibat terlalu banyak minum semalam.
“Ahh, lega,” gumam Candra setelah meneguk segelas air.
Lalu Candra melangkahkan kakinya menuju kamar kembali untuk merapikan tempat tidurnya dan sekalian membersihkan diri.
“Ah ya, gue belum pesen tiket,” gumam Candra. “Berangkat besok aja kali, ya?”
Selesai berberes, Candra kembali sibuk di dapur untuk memasak sarapannya seorang diri. Dia memang lebih senang memasak sendiri daripada membeli di luar. Selain bisa mengisi waktu luangnya, juga bisa menghemat pengeluarannya.
“Ngapain nih Vina telepon?” gumam Candra yang sedang berkutat dengan penggorengannya.
Candra sengaja membiarkan telepon dari Vina, tidak berniat menjawabnya untuk saat ini. Dia kembali fokus pada kegiatan memasaknya. Setelah selesai, Candra membawa hasil masakannya ke ruang tengah.
“Aih, enak nih,” gumam Candra.
Dering telepon kembali menginterupsinya, lagi- lagi Vina yang menelponnya. Candra mendengus sebal.
“Nggak kerja dia?"
“Halo, Vin?”
“Lo sibuk, ya?”
“Hmm, nggak sih. Kenapa?”
“Kenapa telpon gue nggak lo jawab, Bege?” pekik Vina dari seberang sana.
“Astaga, gue belom bangun tadi. Kenapa lo telpon?”
“Lo ikut reuni, ya? Please! Lo nggak kangen sama Lia dan kawan- kawan apa?”
“Kapan sih reuninya?” tanya Candra memutar bola matanya malas.
“Minggu depan,” jawab Vina cengengesan.
Candra memang sengaja belum memberitahu siapa pun perihal kepulangannya besok, rencananya dia ingin memberi kejutan pada orang- orang di sana. Namun dia kembali berpikir, jika tidak memberitahu, siapa nanti yang akan menjemputnya?
“Besok gue balik, Vin,” ucap Candra akhirnya.
“Lho? Cepet amat? Lo udah nggak betah di Paris?”
“Kagak, gue ada kerjaan di Indonesia. Jemput gue besok, ya?”
“Jam berapa?”
“Besok penerbangan gue pagi, malem paling sampe Indo. Besok gue kabarin lagi deh.”
“Oke, hati- hati di jalan. See you.”
Telepon di akhiri, Candra kembali menikmati sarapannya. Tangan kirinya sibuk dengan remote televisi. Wanita itu tertawa ngakak ketika melihat wajahnya terpampang di sebuah siaran berita lokal.
“Cantik juga gue,” gumam Candra.
Selesai sarapan, Candra mulai membereskan apartemennya. Mengemas pakaian yang hendak dibawa besok. Selama beberapa jam Candra benar- benar berkutat di dalam apartemennya.
“Huh, capek juga,” ucap Candra merebahkan diri di atas karpet kamarnya.
“Anjier, kok udah jam segini?”
Wanita itu bergegas mandi dan berpakaian. Rencananya Candra hendak jalan- jalan disekitaran kota untuk mencari inspirasi guna gaun yang akan dipakai Nayla nanti, juga beberapa gaun yang sedang dikerjakannya. Candra memutuskan untuk berjalan- jalan di Sungai Seine, menikmati pemandangan malam dari tepi sungai ini. Candra sudah sering datang kemari, entah sendiri atau beberapa kali bersama dengan Eric.
“Laper,” gumam Candra memperhatikan sekitarnya untuk mencari penjual makanan.
Pilihan Candra jatuh pada sebuah resto terapung dengan dekorasi romantis. Dalam hati Candra merasa menyesal memilih datang ke Sungai Seine.
“Ckck, harusnya gue ajak si Eric.”
Candra memesan beberapa makanan dan secangkir kopi sebagai penutup. Selesai dengan makanannya, Candra mulai sibuk dengan kertas dan pensilnya. Sesekali matanya memandang kerlip lampu di Sungai Seine. Candra menopang dagunya, tersenyum samar menikmati suasana malam di tempat ini.
Memejamkan mata sejenak menikmati semilir angin yang berhembus membuat Candra terbuai. Suara ramai disekitarnya perlahan memudar, terganti dengan alunan musik lembut. Candra masih bertahan di resto ini, tempat ini ternyata mampu membuatnya betah.
“Kenapa gue baru ke sini sih? Kemarin- kemarin kemana aja gue?” gumam Candra, kembali mencoret- coret kertasnya.
Lama- kelamaan mulai terlihat sebuah sket dan desain abstrak sebuah gaun. Candra tersenyum puas dengan hasil gambarnya.
“Lumayan juga,” gumam Candra.
Wanita itu mengeluarkan ponselnya dan mengambil gambar kertas- kertas itu, lalu dia kirimkan kepada Vina untuk pamer. Sudah sejak lama sahabatnya itu ingin terbang ke Paris, tapi belum ada waktu dan akhirnya sampai sekarang belum bisa terwujud.
“Yakin si Vina komuknya jelek banget,” ucap Candra tertawa puas.
“Eh, tapi tuh orang paling juga udah tidur.”
...🥊🥊🥊...
Malam makin larut, udara malam pun semakin terasa menusuk. Candra memutuskan untuk mengakhiri perburuan idenya. Lagipula besok pagi dirinya akan ada penerbangan. Candra tidak mau terlambat untuk besok. Selama jalan pulang, Candra masih menyempatkan diri mengambil beberapa foto tempat- tempat yang dilewatinya.
“Au Revoir,” gumam Candra.
Dia akan sangat merindukan suasana kota ini juga orang- orang di sini. Tiba- tiba perasaan sedih menghinggapi pikirannya. Candra sudah terlanjut jatuh cinta dengan kota ini. Sebenarnya berat baginya meninggalkan kota yang menjadi saksi bisu bagaimana perjuangan Candra dari titik terendah hingga kini mulai mencapai suksesnya.
“Kenapa gue jadi mellow gini sih? Tenang, Can!” gumam Candra mendongakkan kepala, menahan agar air matanya tidak jatuh membasahi pipi.
“Lo sesedih ini kayak nggak bakal balik ke sini lagi. Inget, Can! Hidup lo di sini, lo pasti balik lagi. Lo cuma pergi sebentar, tempat lo pulang di sini. Iya, kan?”
Air mata yang sudah meleleh segera di hapus dan Candra kembali melanjutkan langkahnya menuju apartemen. Jarak apartemennya sudah dekat. Namun langkahnya terhenti ketika melihat seseorang berdiri di dekat pintu masuk apartemen. Candra mengernyit melihat Eric berdiri di sana.
“What are you doing here?” tanya Candra mengernyitkan dahi.
“I am waiting for you.”
“What’s wrong?”
“Can you not go?” tanya Eric, membuat kernyitan di dahi Candra bertambah.
“Je t’aime,” tembak Eric untuk kesekian kalinya.
“Mais je ne t’aime pas,” jawab Candra tegas. “How many times have I said that?”
“Can’t you give me a chance?” tanya Eric dengan wajah memelas dan berharap.
“Nggak bisa,” jawab Candra dengan gelengan kepala.
Eric mengangguk paham. “Alright, but don’t forget this.”
CUP!
Mata Candra membulat sempurna, merasakan benda kenyal di bibirnya. Tiba- tiba saja dia terdiam membeku.
...👠👠👠...
Tertanda: Otor Cangtip ☺☺☺
Sungai Seine
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!