"Kalian kapan tengkarnya sih, kok aku lihat tiap hari sweet terus?" ucap Alin.
Ia menopang dagu dengan kedua tangannya, melihat kemesraan sahabatnya bersama kekasihnya.
"Memang kamu ngarep kita tengkar, Lin?" tanya Abel, ia beralih menatap sahabatnya.
"Ya enggak juga sih, cuma kalian berdua tuh bikin aku yang jomblo iri tahu nggak." sahutnya.
Naja terkekeh mendengar obrolan kedua gadis itu. Tapi ia malas menganggapi perkataan sahabat kekasihnya. Naja malah beralih melingkarkan tangannya pada pundak Abel.
"Sayang, malam minggu besok kita tunda dulu ya nontonnya." sebelah tangannya terangkat mengusap lembut pipi mulus gadis yang sudah ia pacari sejak dua tahun ini.
Abel menoleh menatap heran pada pemuda di sampingnya itu, "kenapa? Ada bola ya?"
Naja tersenyum mendengar pertanyaan Abel. Ia mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Mau nonton di mana? Mau aku temenin?" tawar Abel.
Gadis itu memang sedikit tomboy, mungkin karena ia terlahir tanpa seorang ibu. Karena sifat Abel itulah kenapa hubungan mereka selama dua tahun ini selalu adem ayem. Dan salah satunya karena hobi mereka sama. Sama-sama suka motor, sama-sama suka bola, sama-sama suka game online, terlebih Abel adalah pacar yang sangat pengertian.
Ia tidak pernah melarang apapun yang dilakukan pacarnya, selama itu positif. Abel adalah gadis yang bisa menempatkan diri, kapan saatnya ia jadi pacar Naja dan kapan saatnya ia menjadi temannya Naja.
Naja merasa beruntung memiliki Abel dalam hidupnya. Ia sangat menyayangi Abel, apalagi hubungan mereka sudah mendapat restu penuh dari keluarga kedua belah pihak. Walau saat ini mereka berdua masih duduk di bangku XII SMA.
"Kamu mau nemenin aku, ya udah kita nonton di rumah aja. Kebetulan Papa, Mama lagi keluar kota dan aku males kalau harus nginep di rumah Om Ansel. Setidaknya kalau ada kamu, Mama tidak akan menyuruh aku ke sana."
Abel mengangguk, "oke nanti aku izin, daddy."
"Thank you, sayang." Naja mencium pipi gadisnya dengan wajah berseri.
"Ih gemas banget deh, Nia, lihat kalian. Abang Gio, pacaran yu!" Nia menoleh pada pemuda di sampingnya.
"Nia nembak Gio?" tanya Gio menunjuk dirinya sendiri.
Nia menggeleng pelan dengan wajah polosnya ia menjawab, "Nia nggak bisa nembak, Bang."
"Hadeuh." Gio menepuk keningnya sendiri, ia lupa kalau teman perempuannya yang satu ini terlalu polos untuk seukuran gadis SMA.
"Sabar, orang sabar tambah lebar." Alvin merangkul bahu sahabatnya seolah ikut prihatin, padahal bibirnya tengah berusaha menahan tawa seperti yang dilakukan teman-teman yang lain. Yang jelas-jelas sudah menertawakannya.
"Ja, kita bareng aja kalau gitu nonton bola nya." ucap Hadi, setelah ia puas menertawakan kesialan sahabatnya tadi.
"Boleh, Di. Cewek-cewek mau pada ikut nggak?" Naja mengedarkan pandangan pada ke tiga gadis sahabat kekasihnya.
"Mau lah, asal sama yayang Alvin aku ikut." sahut Meta. Yang dihadiahi usapan gemas pada puncak kepalanya dari sang pacar, Alvin.
"Itu sih maunya kamu, Ta. Nah kita yang jomblo gimana?" seru Alin merasa tak terima dengan keputusan Meta.
"Kan masih ada Gio dan Hadi, kalian bisa double date. Iya kan?" ucap Abel dengan tatapan menggoda pada kedua sahabatnya itu. Ia tahu jika Alin diam-diam menyimpan rasa terhadap Hadi.
"Pintar banget sih pacarnya, Naja." ucap Naja seraya kembali mengecup pipi Abel sekali lagi.
"Ambil banyakan aja, Sayang."
Naja mengusap kepala Abel. Membuat gadis itu spontan menoleh saat mendengar ucapan Naja dari belakang.
"Sekalian aja sama cemilan dan minumannya, Ja." seru Alvin saat melihat Abel mengambil beberapa beberapa jenis makanan di rak.
"Nggak usah kebanyakan juga, camilan kayak gini, itu nggak sehat." ucap Abel mengingatkan.
Naja tersenyum mendengar ucapan Abel barusan, usapan lembut itu kembali mendarat namun kali ini di pipi cantik Abel.
"Makin cinta deh, Naja, sama Abel." Abel yang sudah kebal akan setiap gombalan Naja hanya menanggapi dengan senyum tipis.
"Ya sudah kalau gitu ambil buah aja. Kalau nggak nanti kita beli cilok di depan komplek itu." usul Alin yang diacungi jempol oleh Hadi.
"ih bener tuh, Nia juga suka cilok itu." seru Nia dengan antusias.
Delapan anak muda tersebut kini tengah berbelanja di salah satu supermarket. Mereka membeli segala sesuatu keperluan untuk acara nobar nanti malam di rumahnya Naja.
Selepas berbelanja kini mereka memutuskan untuk pulang terlebih dahulu ke rumah masing-masing. kecuali Abel, karena daddy nya yang sedang sibuk di kantor dan tidak pulang lebih awal maka ia langsung saja pulang ke rumah Naja.
"Kita nggak apa apa nih di rumah berduaan?" tanya Abel, ia meletakkan beberapa plastik belanjaan di meja makan.
Walaupun mereka tidak benar-benar berduaan di rumah itu, namun Abel tetap saja merasa risih karena saat ini orang tuanya Naja sedang tidak berada di rumah.
"Ya enggak apa-apa dong, Sayang." jawaban aja seraya memeluk kekasihnya itu dari belakang.
Abel terhenyak saat kedua tangan aja melingkar di perutnya. Ia melepas perlahan tangan Naja dan bergeser meninggalkan pemuda itu.
"Loh kenapa, Sayang?" Naja mengerutkan keningnya melihat tingkah Abel.
"Nggak kayak gitu ah, nggak enak tahu dilihatin para pelayan." Abel mengerucutkan bibirnya lucu.
Naja terkekeh melihat tingkah lucu kekasihnya itu. ia kembali mendekati Abel sebelah tangannya terangkat mengusap lembut rambut Abel.
"kamu itu lucu tau nggak, emang tadi aku mau ngapain? Makanya pikirannya jangan ngeres ah." goda Naja.
Wajah Abel semakin kesal mendengar ucapan aja. Padahal jelas-jelas tadi Naja yang memeluknya duluan.
"Ah tau ah kesel, aku ganti baju aja." Abel berlalu meninggalkan aja dan segera masuk ke kamar tamu. Kamar yang biasa ia tempati ketika berada di rumah itu.
Naja gelagapan melihat Abel meninggalkan dirinya, ia segera mengejar Abel yang sudah berlalu dari hadapannya.
"Sayang, aku tadi cuma iseng loh. Jangan marah gitu dong!" Naja mengetuk pintu kamar Abel beberapa kali namun tak juga terdengar sahutan dari dalam.
Pintu kamar terbuka sedikit dan muncullah kepala Abel. "bodo!"
Abel kembali menutup pintu dengan kasar setelah mengatakan itu. Membiarkan pacarnya yang masih berdiri di depan pintu.
"Siapa suruh iseng," ucap Abel, ia berlalu menuju kamar mandi.
Sementara Naja yang masih berdiri di tempatnya hanya bisa nyengir dengan sebelah tangan terangkat menggaruk belakang kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal.
"Padahal niatnya cuma iseng, tapi kok berakhir ditinggalin." gumamnya.
Naja berlalu dari depan kamar Abel, ia pun harus segera mandi. Setelah pulang sekolah tadi, mereka semua tidak langsung pulang. Alhasil di waktu yang sudah mulai gelap mereka baru saja tiba di rumah.
"Sayang, mau kemana?"
Naja menghampiri Abel yang tengah memasukan dompet ke dalam tas selempang kecil miliknya. Mendengar pertanyaan Naja, Abel tak lekas menjawab. Ia malah keluar dari kamar menuju ruang tengah tempat teman-temannya berkumpul.
"Sayang, kamu masih marah?" Naja memeluk Abel dari belakang, menghentikan langkah gadis itu.
"Apa sih, siapa yang marah?" Tanya Abel seraya melepaskan tangan Naja.
"Terus kamu mau kemana?" kini Naja beralih ke depan Abel, menatapnya curiga.
"Bel, ayo buruan!" seru Alin, "sory, Ja, tapi aku pinjam dulu Abelnya. Nanti aja mesra-mesraannya.
Alin menarik tangan Abel dari genggaman Naja. Tapi sepertinya pemuda itu enggan melepaskan tangan kekasihnya.
"Emang kalian mau kemana sih?" ucap Hadi, ia melempar stik PS pada Alvin. Kemudian bangkit menghampiri ketiga temannya itu.
"Kita mau ngambil cilok yang tadi kita pesan. Udah ah, yu, Lin!"
"Aku ikut, bentar." Naja berlari meninggalkan ketiganya untuk mengambil kunci mobil.
Mana mungkin ia membiarkan pacarnya itu pergi berdua bareng Alin, apalagi ini sudah jam sembilan malam. Hadi pun ikut mengambil jaketnya, ia berencana akan ikut bersama Naja.
"Kenapa jadi ribet gini sih?" gerutu Alin, yang diangguki Abel.
Akhirnya mau tidak mau kedua gadis itu mengalah, dari pada kedua cowok itu bikin ribet. Lebih baik mereka membiarkan keduanya mengantarnya, padahal mereka pergi hanya ke depan komplek.
"Yang, McD dulu boleh ya!" pinta Abel, ketika mereka melewati sebuah resto cepat saji. Yang masih di sekitar kawasan komplek perumahan Naja.
Naja yang tengah mengemudi pun mengangguk dengan senyuman. Ketika Abel sudah kembali manja padanya, ia tahu jika gadisnya itu sudah tidak marah lagi.
Sementara Alin dan Hadi yang duduk di kursi penumpang serasa jadi obat nyamuk, karena sedari tadi Naja yang memang hobi memamerkan kemesraan seperti sengaja ingin membuat mereka berdua iri.
Sesampainya di restoran cepat saji itu, Naja lebih dulu mengantri bersama Hadi dan membiarkan kedua gadis duduk menunggu.
"Ja, lu nggak nobar di Kafe si Setan."
Naja menoleh saat sebuah tepukan ia dapatkan di pundaknya. Ia melihat seorang pemuda tengah menenteng plastik dengan logo Indoapril itu tersenyum padanya.
"Kagak, gua mau nobar di rumah, bareng anak-anak. Lu mau ke kafe?" pemuda itu mengangguk.
"Lu jangan bilangin, si Setan kalau gua ngajak anak-anak ke rumah. Bisa ngamuk tuh Om Ansel ke Gua." lanjut Naja.
"Takut amat sih lu sama Om lu itu."
"Nah bener tuh kata si Deo," Hadi yang sedari tadi diam menyimak kini ikut nimbrung.
"Bukannya takut, tapi malas aja kalau udah debat sama Om Ansel. Lu juga tahu kan gimana ribetnya bokap-bokap kita." kedua pemuda itu mengangguk mengiyakan.
Memang ke empat ayah mereka itu super kompak dalam hal apapun termasuk mendidik putra mereka. Walau Sean dan Deo berbeda sekolah dengan Naja dan Hadi. Darrel Papa dari Naja, Ansel Papa dari Sean yang biasa mereka sebut Setan, Rio Papa dari Hadi, dan Ivan Papa dari Deo.
"Yang, lama banget sih. Ini anak-anak keburu rusuh nanti di rumah." Abel datang dan langsung melingkarkan tangannya pada lengan Naja.
"Oh iya lupa, Di, lu pesan gih buruan." Hadi kembali ikut ke antrian kali ini di temani Alin, menggantikan posisi Naja.
"Pantes lu pengin nobar di rumah, ada Abel sih." gumam Deo, yang hanya di balas kekehan oleh Naja. Sementara Abel hanya tersenyum tipis pada teman kekasihnya itu.
"Makanya, lu cari pacar. Biar malam minggu kagak kesepian. Si Hadi aja udah mulai jalan tuh." Naja menunjuk Hadi yang terus memepet Alin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!