Sania sudah 3 jam menunggu di bandara untuk dijemput oleh orang tuanya.
"Ayah dan Ibu di mana sih? Katanya akan menjemputku hari ini, tapi ini sudah 3 jam dan mereka belum datang juga!" Gerutu Sania dengan suara pelan sambil memandangi orang yang berjalan lalu lalang di bandara itu.
"Permisi nona, apakah Anda adalah Nona Sania?" Seorang gadis yang masih muda menyapanya.
"Ya, saya sendiri."
"Saya dari wedding organizer yang menangani pernikahan Nona. Saya sudah diperintahkan untuk menjemput Nona untuk diantar ke gedung pernikahan."
"Hah? Gedung pernikahan? Menikah?" Sania bertanya dengan bingung sebelum akhirnya tawanya pecah "Mbak, mungkin Anda salah orang, nama saya Sania Loran. Apakah Mbak mendatangi orang yang salah?"
"Sepertinya tidak Nona, saya memang mencari gadis bernama Sania Loren bahkan saya memiliki foto nona di sini." Ucap gadis itu seraya menyerahkan ponselnya dengan wajah Sania terpampang di sana.
Sania memandangnya foto itu lalu mengerutkan bibirnya "Baiklah, saya akan mengikutimu, tapi kalau sampai kau salah orang kau harus bertanggung jawab!"
"Tentu Nona." Ucap gadis itu kemudian membantu Sania membawa kopernya dan mereka keluar dari bandara.
Segera mereka tiba di sebuah hotel yang sederhana di mana Veronica sudah menunggunya.
"Ibu?" Tanya Sania dengan bingung ketika melihat ibunya dengan pakaian kebaya layaknya seorang ibu yang siap mendampingi anaknya yang akan menikah.
"Sayang akhirnya kau di sini. Cepatlah berdandan karena pengantin pria sudah menunggumu di dalam." Veronica begitu bersemangat menarik anaknya dan membawanya ke ruang rias.
"Ibu, tunggu! Apa yang sebenarnya terjadi?" Ucap Sania sambil berusaha menghentikan langkah ibunya, tapi tidak bisa, karena ibunya terus menariknya.
"Penjelasannya nanti saja, ayahmu bisa marah-marah kalau kau terlambat lebih lama lagi."
Begitulah akhirnya Sania yang sangat menuruti keinginan ayah dan ibunya berakhir menikah dengan seorang lelaki yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil.
...
"Kita sudah sampai?" Tanya Sania pada pria yang kini duduk di sampingnya yang tak lain merupakan suami barunya yang tidak ia kenal.
"Ya sayang." Ucap Aris dengan lembut seraya membuka pintu mobil dan berlari ke pintu mobil yang lain membukanya untuk istrinya.
Sayang sayang! Dia pikir aku senang mendengarnya?
Sania masih dalam kekesalannya sambil turun dari mobil itu dan memperhatikan rumah barunya yang akan ia tempati bersama suami barunya. "Ini rumahmu?" Tanyanya pada Aris yang sedang menutup pintu mobil.
"Bukan, ini bukan rumahku." Jawab pria itu seraya berlari ke belakang mobil untuk mengeluarkan barang-barang milik Sania.
Sania bernafas lega dalam hatinya mendengar jawaban suami barunya itu karena rumah yang tepat berada dihadapannya itu memang rumah yang tidak layak untuk ia tinggali "Kalau ini bukan rumahmu mengapa kita ada di sini? Bukankah kau bilang kita akan tinggal di rumahmu?"
Aris membawa sebuah kardus besar saat ia menjawab Sania "Ini bukanlah rumahku tapi rumah kita berdua."
Seketika Sania menoleh pada Aris dengan wajah masamnya. "Kau bilang kita akan tinggal di rumah yang layak untuk ku tapi apa ini? Apa ini rumah kucing?" Gerutu Sania pada suami barunya.
"Kalau kau menganggap kita berdua adalah kucing maka ini adalah rumah kucing." Ucap Aris seraya berjalan masuk ke dalam rumah.
"Ap? Apa?! Kapan aku mengatakan kalau kita berdua adalah kucing?"
"Bukankah kau baru saja mengatakannya?" Lagi kata Aris seraya meletakkan kardus yang ia bawa di atas sebuah meja di ruang tamu.
"Kau!" Sania begitu marah pada suami barunya itu, tapi ia tidak dapat menumpahkan kemarahannya karena suaminya sudah keluar dari rumah meninggalkannya sendirian di ruang tamu.
"Sial! Kenapa aku harus menikah dengan pria miskin seperti dia?" Sania menggerutu sambil membuka pintu kamar di rumah itu.
"Ckk,, ck.. kamar ini bener-bener kecil, aku tidak akan menggunakan kamar ini." Ucapnya seraya menutup pintu kamar itu.
"Di rumah ini hanya ada satu kamar, kalau kau tidak mau menggunakan kamar ini kau bisa tidur di ruang tamu dan aku akan tidur di dalam kamar." Ucap Aris.
"Apa? Hanya ada satu kamar?" Sania begitu kaget seraya memperhatikan rumah itu yang memang hanya terdiri dari empat ruangan yaitu ruang tamu, kamar tidur, dapur dan sebuah kamar mandi.
"Bagaimana lagi, hanya rumah ini yang kupunya. Tapi kalau ada rejeki kedepannya, aku janji kita akan membeli rumah yang lebih besar." Kata Aris dengan sabar kemudian berjalan ke dapur.
"Tidak perlu menunggu sampai kau punya uang, aku punya banyak uang di tabungan ku, kita bisa menggunakannya dan membeli rumah yang lebih layak."
"Tidak! Yang harus menyiapkan tempat tinggal dan kebutuhan sehari-hari untukmu ialah aku. Simpanlah saja uangmu dan gunakan untuk berlibur atau hal-hal lain yang kau anggap menyenangkan."
"Yang menyenangkan? Yang menyenangkan itu ialah memiliki suami yang tampan, kaya, bisa menyediakan semua kebutuhan ku, memiliki rumah yang mewah, mobil yang mewah dan pekerjaan yang mapan. Dan sekarang? Hahaha...." Sania tertawa pada dirinya sendiri lalu berjalan memasuki kamar tidur sambil membanting pintu kamar dengan keras.
Aris tidak mengatakan apapun, tapi hatinya begitu sakit mendengar istrinya berbicara seperti itu. Dengan menahan amarahnya ia melanjutkan aktivitasnya membuat minuman untuk istrinya.
Setelah minumannya siap, ia kemudian berjalan ke arah pintu kamar hendak memberikan minuman itu pada Sania. Sayangnya, tangannya yang hendak mengetuk pintu kamar harus berhenti di udara ketika ia mendengar suara tangisan dari dalam kamar.
Dengan hatinya yang sakit ia meletakkan minuman yang telah ia buat di atas meja di ruang tamu lalu duduk di sofa sambil menunggu Sania berhenti menangis.
Pada akhirnya, sore itu berlalu hingga pada pukul 08.00 malam, Aris tidak berani mengganggu istrinya yang masih mengurung diri di kamar.
Aris telah membuat makan malam untuk mereka berdua, ia hanya memasak telur dadar dan nasi tanpa ada makanan lain.
Dengan menguatkan diri, ia kemudian berjalan ke arah pintu dan mengetuk pintu kamar di mana istrinya sedang merajuk.
Setelah 3 kali ketukan akhirnya pintu itu terbuka juga. "Aku lapar!" Ucap Sania dengan kesal.
Aris merasa lebih baik saat melihat istri barunya itu masih mau membuka pintu "Aku sudah membuat makan malam untuk kita, ayo makan bersama." Ucap Aris dan segera berjalan mendahului Sania untuk duduk di meja makan. Sebelum ia duduk, ia terlebih dulu menarikkan kursi untuk Sania.
Sania dengan wajah sembabnya memperlihatkan kemarahannya pada Aris, tapi ia tetap duduk pada kursi yang telah disiapkan oleh Aris untuknya.
Aris diam di tempatnya, tidak mau mengatakan apapun. Ia hanya memperhatikan raut wajah Sania yang terlihat tampak tidak senang dengan apa yang tersaji di atas meja makan.
"Aku tidak pernah makan makanan seperti ini di rumahku." Komentar Sania setelah keheningan selama beberapa waktu.
"Maaf, aku hanya bisa memasak ini hari ini, tapi besok, aku janji akan menyiapkan makanan yang lebih baik untukmu."
Dengan wajah kusutnya Sania tidak mengatakan apapun dan hanya meraih piring dan sendoknya lalu menaruh nasi putih dan sepotong telur dadar untuk dirinya sendiri.
Aris merasa lega ketika Sania sudah memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya, ia kemudian melakukan hal yang sama dengan Sania, menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri.
Setelah makan malam, Sania kemudian mandi. Setelah Sania siap untuk tidur ia membuka pintu kamar dan melihat suami barunya berada di ruang tamu masih sibuk di depan laptop.
"Aku akan tidur di kamar, kau tidak boleh masuk ke dalam kamar ini mulai dari sekarang! Dan besok, aku mau semua barang-barang mu yang ada di dalam kamar ini sudah kau pindahkan!"
"Baik, selamat tidur." Jawa Aris dengan singkat sebelum terdengar pintu kamar yang dibanting.
Ya ampun, satu minggu saja aku menikah dengan wanita itu dan aku yakin pintu kamar itu akan hancur berkeping-keping. Atau mungkin rumah ini akan segera rata dengan tanah.
Keesokan harinya Sania bangun pada pukul 11:00 karena keributan di depan rumahnya.
"Sial! Apa apaan orang di luar itu sangat berisik! Apa mereka tidak tahu kalau ini ialah hari libur dan beberapa orang perlu tidur lebih lama?" Gerutunya sambil bangun dari tempat tidur dengan rambut acak-acakan membuka pintu kamarnya.
Ia sangat terkejut ketika ia akhirnya tiba di ruang tamu dan membuka sedikit gorden untuk melihat suaminya sedang dikerumuni oleh beberapa gadis-gadis dan ibu-ibu kompleks.
"Pak ganteng, jangan lupa datang ya."
"Iya, semua orang nungguin Bapak lho."
"Pokonya besok, Bapak harus datang supaya kami para gadis ada tempat cuci mata. Maklum, di kompleks ini kan cowok paling ganteng cuma Bapak doang."
"Eh eh eh!!! Kalian ini! Nak Aris sudah saya jodohin sama anak gadis saya. Jadi jangan suka kegatelan di depan calon mantu saya!"
"Halla, ibu ini, anak gadis ibu mana cocok sama Pak Aris!"
"Iya Bu, anak gadis ibu gak ada cantik-cantiknya. Mendingan sama saya saja yang jago dandan. Ya kan Pak Aris?"
Aris yang sedari tadi berdiam diri di sana memegang sapu lidinya, hanya bisa tersenyum ke arah semua orang-orang itu.
"Jawab atuh Pak." Desak gadis berbaju biru.
"Ehh, maaf ya semuanya, tapi saya sudah ada yang punya." Kata Aris kemudian.
"Apa!!!!?" Serantak semua orang di depan Aris menjawab dengan suara kaget tak percaya.
"Iya, maaf ya, saya masuk dulu." Lagi kata Aris tanpa mau mendengarkan jawaban orang-orang itu dan berlari masuk ke dalam rumah.
"Eh! Pak Aris tunggu!" Terdengar suara mereka dari belakang.
"Sial! Dia datang kemari." Sania segera menutup gorden jendela dan berlari kembali ke kamarnya.
Baru setelah ia selesai menutup pintu kamarnya dan menguncinya lalu ia tersadar. "Kenapa aku bersembunyi? Aku tidak salah apapun! Lelaki itu lah yang salah karena ia telah beristri dan masih membiarkan gadis-gadis kampung itu menggodanya!
Tunggu!
Untuk apa aku marah?
Aku bahkan tidak mencintainya!"
"Sayang? Kamu masih tidur?" Terdengar suara Aris dari balik pintu.
Sial!
"Kau sangat berisik! Jangan mengganggu tidurku!" Bentak sania seraya kembali melemparkan dirinya ke atas ranjang.
"Tapi ini sudah hampir tengah hari. Kau sebaiknya bangun sebentar untuk sarapan. Aku sudah memasak makanan kesukaanmu." Bujuk Aris dengan sabar.
Sania memegang perutnya, memang benar ia sudah lapar, apalagi kemarin ia tidak makan dengan benar karena makanan yang disediakan Aris benar-benar tidak sesuai dengan seleranya.
"Hah! Baiklah, aku kan keluar."
Aris tersenyum mendengar jawaban Sania. Ia baru saja akan kebelakang untuk menyiapkan piring yang akan digunakan Sania untuk makan ketika seseorang kembali berteriak di depan rumah mereka.
"Bang, Bang Aris.." Feni seorang gadis yang dijuluki perawan paling cantik di kompleks itu berdiri menunggu tuan rumah untuk keluar.
Aris segera berjalan ke arah pintu mendapati Feni berada di sana dengan senyumannya. "Bang, saya ingin minta tolong."
"Minta tolong apa Neng? Silahkan masuk dulu." Kata Aris dengan ramah.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Feni segera masuk ke dalam rumah membawa beberapa berkas di tangannya.
"Ini nggak papa nih Bang? Kita berduaan ajah." Ucapnya setelah memperhatikan rumah yang sunyi itu.
"Oh, nggak papa, saya juga tidak sendirian, saya bersama is,"
"Kenalin, saya Sania, sepupu Bang Aris." Sela Sania yang sudah muncul dari dalam kamar.
"Wah, ini sepupu Bang Aris," Feni terlihat bersemangat.
"Tidak, dia bukan sepupu saya, dia adalah is,"
"Apa? Kau tidak mau mengakuiku sebagai sepupumu? Aku akan melaporkanmu pada Nenek nanti!" Bentak Sania memotong perkataan Aris.
Aris merasa sesak mendengar istrinya berbicara. Bagaimana istrinya itu tidak mau mengakuinya sebagai suami.
Tapi ia menahan diri "Baiklah, baik, duduklah dan temani Feni lebih dulu. Aku akan membuatkan kalian minuman."
Segera Sania tidak memperdulikan suaminya dan memilih duduk bersama Feni di ruang tamu.
Aku harus mendapatkan hati sepupu Bang Aris supaya ia mau membuatku terus dekat dengan Bang Aris. Gumam Feni dalam hati.
"Kalian terlihat begitu dekat satu sama lain. Baru saja aku melihatmu tadi dan aku sudah tahu kalian pasti keluarga. Yang satu tampan dan yang lainnya cantik."
"Hahaha... Terimakasih atas pujiannya." Maksudku jilatannya, lagi pula siapa yang mau menganggap Aris itu tampan? Tidak! Sama sekali tidak tampan!
"Aku tidak memuji, itu benar-benar sesuai kenyataan." Lagi tambah Feni. "Kenalkan namaku Feni, aku tinggal di kompleks ini juga." Feni mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Sania.
Dengan senyum, Sania menerima uluran tangan Feni "Sania," ucapnya.
"Apa yang bisa aku bantu?" Ucap Aris ketika ia sudah muncul dari belakang dengan nampan berisi minuman di tangannya.
"Pak Aris, terima kasih minumannya, aku hanya ingin meminta tolong untuk diajari membuat surat lamaran pekerjaan."
"Oh, tentu bisa, mari saya lihat."
Feni segera membuka berkas-berkas yang ia bawah dan menyerahkannya pada Aris.
"Aku akan kebelakang sebentar," ucap Sania kemudian tanpa di gubris kedua orang yang sedang sibuk itu.
Cih!
Apa-apaan!
Istri berbicara malah sibuk dengan yang lain!
Dengan kesal, Sania berdiri dari kursinya dan berjalan ke dapur mencari makanan.
Sania membuka tudung saji pada meja makan dan kekesalannya langsung lenyap ketika melihat semua makanan kesukaannya tersaji di atas meja makan itu.
Ayam kecap, sup kepala ikan...
Sania tidak membuang lebih banyak waktu dan segera menyantap makanan itu.
Belum setengah dari makanannya habis dan ia sudah kesal ketika mendengar pembicaraan dari rumah tamu.
"Bang Aris, besok bisa tidak Abang antarin aku sebentar menyerahkan surat lamaran kerja ini?"
"Aduh Neng, saya besok kan mengajar di SMP."
"Ya kan, besok aku tinggal bilang ke Bapak supaya memberi ijin sama Bang Aris. Bapak pasti mengerti."
"Aduh, gimana ya neng, tapi saya harus minta ijin dulu sama is,, maksudnya Sania."
"Lah, kok minta ijin sama Sania Bang? Kan dia cuma sepupu Abang. Lagi pula, dia kan cuma tinggal numpang di rumah Abang."
"Bukan, bukan begitu, tapi,,"
"Tidak apa Bang, kalau Abang tidak mau, saya bisa bilang ke Bapak supaya mindahin Abang ke SMP di kampung sebelah!"
Sania semakin kesal.
Ia segera berdiri meninggalkan makanannya dan berjalan ke ruang tamu "Aku ngijinin Abang kok buat nganterin Feni. Jadi tidak usah mengelak lagi. Ganggu orang makan tau gak, namanya di bawa-bawa begitu!"
"Tuhkan, Sania memang pengertian. Jadi besok jadi dong Abang nganterin aku." Feni kegirangan.
Sedangkan Aris yang duduk di sofa segera berdiri dan menarik Sania ke dalam kamar.
"Bang, apaan sih! Aku kan udah bilang kalau kamu tidak boleh lagi masuk ke kamar ini! Ini sudah jadi kamar aku!" Bentak Sania pada Aris.
"Pelankan suaramu!"
"Kenapa? Kenapa aku harus memelankan suaraku? Huh?"
Aris menggertakkan giginya. Ia hanya ingin menjelaskan situasinya pada istrinya itu, tapi sepertinya istrinya pun bahkan tidak perduli kalau ia pergi dengan perempuan lain.
Hatinya terasa sakit saat dengan pasrah ia melepaskan genggamannya pada tangan Sania dan keluar dari kamar.
"Jam berapa Abang mengantarmu besok?" Tanyanya pada Feni.
"Kita berangkat pagi ya Bang, besok jemput aku di rumah."
"Baiklah."
Setelah berada di dalam kamar selama beberapa waktu lamanya Sania kemudian keluar dari kamarnya mendapati Aris sedang berkutat dengan laptopnya lagi.
"Gadis kompleks itu sudah pergi?"
Tanpa menoleh ke arah Sania Aris menjawab "Sudah."
"Kalau begitu cepat pindahkan semua barang-barang mu di dalam kamarku. Aku tidak suka ada barang-barang pria di dalam kamarku."
"Baiklah." Kata Aris seraya meletakkan laptopnya di atas meja lalu bangkit berdiri memasuki kamar milik Sania.
Sania tetap berdiri di ambang pintu memperhatikan Aris yang sedang membereskan semua barang-barangnya. "Mulai sekarang setiap ada orang yang menanyakan status kita, kita adalah sepupu. Kau bebas berhubungan dengan wanita manapun begitu juga sebaliknya. Lagi, kita tidak akan mencampuri urusan satu sama lain, bahkan kau tidak perlu memberiku uang bulanan atau apa pun itu."
Aris yang sedari tadi menahan kekesalannya segera meletakkan buku-buku yang ada di tangannya dan berdiri menatap Sania. "Aku tidak setuju dengan apapun yang kau katakan itu. Saat ini kita adalah suami istri dan kau adalah istriku, aku bertanggung jawab atas keselamatanmu dan aku bertanggung jawab untuk mendidikmu. Aku pun bertanggung jawab untuk menafkahimu, jadi semua yang kau butuhkan harus aku penuhi."
"Pokoknya tidak! Kau harusnya ingat kalau kita menikah karena terpaksa. Tidak, hanya aku saja yang terpaksa menikah denganmu karena kau sepertinya benar-benar suka menikah denganku. Jadi kalau kau mau pernikahan ini tetap berlanjut kau harus menuruti semua keinginanku! Karena aku sebenarnya siap saja kalau kau sudah mau bercerai dengan ku!"
Jeder!!!
Bagai disambar petir siang bolong, Aris merasa dirinya kehilangan seluruh jiwanya. Baru sehari mereka menikah dan istrinya sudah mengatakan kata cerai dengan begitu mudahnya.
"Ingat ya, kalau kau tidak suka dengan semua yang aku katakan kau boleh menemui Ayah dan Ibu supaya kita segera bercerai. Sekarang cepat bereskan barang-barangmu dan keluar dari kamarku, dan jangan pernah mencampuri urusan pribadiku."
"Baiklah." Ucap Aris dengan pasrah seraya kembali membereskan barang-barang miliknya.
"Satu lagi, nanti sore aku akan keluar bersama temanku, kau sebaiknya tetap ingat bahwa kita adalah sepupu yang kebetulan tinggal bersama!" Sambung Sania sebelum berbalik keluar dari kamar itu menuju kamar mandi.
Aris menghela nafasnya sambil bergumam, apa aku salah memilih orang untuk menjadi istriku?
....
Awal mula Aris menikahi Sania....
Sore itu di rumah yang baru saja Aris beli, ponsel Aris terus berdering.
Aris yang baru saja keluar dari kamar mandi segera meraih ponselnya dan melihat nomor tak dikenal sudah memanggil lima kali berturut-turut.
"Halo, ada yang bisa saya bantu?" Ucapnya pada orang di seberang telpon ketika panggilan itu telah diangkat.
"Nak," suara seorang lelaki paru baya dari seberang telpon.
"Ayah?" Ucap paris tidak yakin.
"Ya, ini aku ayahmu."
"Ayah, mengapa Ayah baru menelpon aku sekarang? Bagaimana kabar ayah, apa ayah baik-baik saja? Bagaimana dengan Ibu?"
"Ayah baik-baik saja, Ibumu juga demikian. Maaf karena kami belum bisa kembali, di desa ini ada banyak sekali warga yang membutuhkan bantuan kami berdua."
"Tapi Ayah, aku juga merindukan Ayah. Ini sudah bertahun-tahun lamanya kita tidak bertemu." Suara Aris sedikit serak karena ia begitu merindukan kedua orang tuanya.
"Nak, dengarkan Ayah, Ayah dan Ibu sudah memutuskan supaya kau segera menikah. Pergilah ke alamat yang akan ayah kirimkan dan berbicaralah dengan teman Ayah yang bernama Agus Loran. Katakan saja Ayah yang menyuruh mu untuk menemuinya. Ayah dan Ibu berjanji akan kembali menemuimu setelah kau menikah dengan putri teman Ayah."
"Tapi Ayah..." Panggilan segera terputus.
Dengan pesan dari ayahnya Aris tidak membuang-buang waktu dan segera menuju ke alamat yang telah dikirimkan oleh ayahnya.
Lagipula, ia sangat merindukan orang tuanya sehingga ia akan melakukan apapun untuk membuat orang tuanya kembali.
Di ruang tamu keluarga Loran.
"Selamat siang Pak." Ucap Aris pada seorang pria paruh baya yang baru saja keluar dari kamarnya untuk menemuinya.
"Selamat siang anak muda." Ucap Agus seraya duduk di salah satu sofa tunggal.
"Perkenalkan nama saya Aris Mandana. Saya disuruh oleh Ayah saya yaitu Santoso Mandana untuk menemui bapak."
"Ahhh,, Santoso... Iya, aku ingat teman lama itu."
"Ayah saya menyuruh saya kemari untuk melamar anak bapak."
"Jadi dia sudah memutuskannya."
Aris sedikit terkejut "Maksud bapak?"
"Tentu saja maksud bapak tentang perjodohan ini. Kau dan putri saya sudah dijodohkan sejak SMA. Kami menyepakatinya diam-diam, dan karena sekarang Santoso sudah mengirimmu kemari, maka tidak ada alasan untuk ku menolak lamaran itu. Jadi kapan rencananya kau akan menikahi putriku?"
Jadi kami sudah dijodohkan sejak SMA, kenapa aku tidak tahu apa pun?
Lagi pula, kenapa bapak ini mau putrinya menikah denganku, sementara aku hanyalah seorang PNS biasa, dan orang ini terlihat seperti berasal dari kalangan atas, rumahnya saja sebesar dan semewah ini.
Gumam Aris dalam hati karena ia kebingungan.
"Sepertinya Nak Aris sedang memikirkan sesuatu." Selah Agus membuyarkan semua pemikiran Aris.
"Begini Pak, sebenarnya saya juga belum mengenal anak Bapak. Saya hanya tahu datang kemari menemui bapak setelah mendapat telepon singkat dari Ayah saya."
"Hahaha saya mengerti maksudmu. Kau boleh mengenal putri saya lebih dulu, dan mencari tahu bagaimana putri saya. Kalau kau memang tidak menyukai putri saya maka kau bisa mengatakannya pada saya dan perjodohan ini akan saya pertimbangkan untuk dibatalkan."
"Bapak serius?"
"Tentu saja, tapi jangan pernah berpikir kau boleh mendekati putri saya, kau hanya boleh mengenalinya dari jauh dan mengamatinya dari jauh, jangan sampai putri saya tahu kau sedang mengamatinya."
Aris kebingungan, bagaimana ia akan mengenal seseorang jika ia tidak bisa lebih dekat atau bahkan bersapa temu dengan orang tersebut.
"Saya mengatakan ini karena putri saya sedang berada di luar negeri. Kemungkinan ia akan kembali dalam satu minggu lagi, dan kau punya kesempatan untuk mengenalnya dalam satu minggu ini."
Agus kemudian mengeluarkan 1 foto milik Sania dan memberikannya pada Aris.
Aris melihat foto itu dan ia begitu terkejut "Ini, ini anak bapak?"
"Bagaimana? Kau sudah mengenalnya bukan?"
"Tentu saja Pak, dia adalah teman SMA saya." Bukan hanya teman dia pun adalah cinta pertama saya dan yang membuat saya rela menyendiri setelah sekian tahun tidak bertemu dengannya.
"Jadi kalian sudah saling mengenal, apa kau masih perlu waktu untuk mengenalnya lagi?"
"Tidak saya setuju untuk menikahi anak bapak."
"Haha..... Itu bagus, tapi kau harus berjanji pada saya kalau tidak ada kata cerai di dalam pernikahan kalian, dan kau harus siap menerima anak saya apa adanya."
Aris begitu bersemangat. "Tentu Pak, tapi saya hanyalah seorang PNS biasa...."
"Saya tidak mempermasalahkan apapun pekerjaanmu, yang paling penting kau mau setia dan menjadikan anak saya satu-satunya di dalam hatimu."
"Hanya itu Pak?" Aris begitu terkejut.
"Tidak ada yang lebih berharga selain dari kata setia. Ada banyak laki-laki di luar sana yang menginginkan putri saya, tapi berapa banyak lelaki yang mau menjadikan putri saya satu-satunya di dalam hatinya?"
"Apa Bapak percaya pada saya?"
"Aku begitu mengenal Ayahmu, ia adalah orang yang setia, bijaksana dan dermawan. Saya selalu percaya kalau buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Kalau begitu, sudah diputuskan kalian akan menikah begitu putri saya pulang dari luar negeri."
"Baik Pak."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!