Seorang wanita berpenampilan rapi. Memakai kemeja berwarna tosca serta celana panjang berbahan jeans sedang berdiri menatap cermin. Wajahnya terlihat sendu, berkali-kali matanya berkedip, mengadah ke atas. Sayang, jika polesan bedak dan maskara luntur terkena cairan bening itu.
"May, tamunya sudah datang," ucap wanita paru baya membuka pintu lalu masuk ke kamar, "Jangan buat mama dan Papa kecewa, May." Ia mengelus kedua lengan wanita itu. "Yuk, kita keluar!" katanya lagi.
"Mama, duluan aja dulu, nanti maya menyusul," pinta Maya sembari tersenyum, "mau beresin riasan sebentar."
Wanita itu bernama Maya Lestari, usianya 22 tahun. Ia bekerja di perusahaan jasa pelayaran daerah Jakarta. Sekarang ini, ia sedang merasakan apa yang dirasa oleh Siti Nurbaya, dijodohkan dengan pilihan orang tuanya.
Seminggu yang lalu, orang tua Maya sedang serius berbicara. Entah apa yang dibicarakan tetapi samar terdengar tentang pernikahan. Ia pun tidak terlalu menanggapi. Namun, ternyata yang mereka bahas adalah pernikahan dirinya.
Kata mereka 'pilihan yang terbaik adalah menerima perjodohan ini'. Mungkin karena calonnya berasal dari teman Sang Ayah. Namanya Prawira.
Maya tidak habis pikir di zaman yang semoderen ini masih ada yang namanya perjodohan. Sebenarnya ia tidak ingin ini diteruskan tetapi tidak ada alasan yang kuat untuk menolaknya karena sebulan yang lalu kisah percintaan Maya telah usai.
Maya menarik napas panjang membuangnya perlahan lalu keluar dari kamar, berjalan menuju ruang tamu. Di sana terlihat kedua orang tuanya, sepasang paru baya, dan satu orang lagi, mungkin itu yang bernama Prawira sedang bercengkrama. Ia mendekat–memasang sebuah senyuman.
"Wah ... ini 'nak Maya, ya? ternyata sudah besar ... cantik lagi," kata wanita paru baya yang diyakini Ibu dari Prawira.
Maya tersenyum–duduk di samping Ibunya. Raut wajah berubah total saat tadi sekilas menatap seseorang duduk di pojok sana. Ia berpikir, bagaimana bisa orang tuanya memilih calon yang berpenampilan seperti anak kuliahan? Bisa-bisa ia akan diejek oleh teman sekantornya karena calonnya berondong.
"Kerjanya bagian apa, 'nak Maya?" tanya Ibunya Prawira
"Bagian Keuangan, Bu," jawab Maya tersenyum.
"Jangan panggil ibu, Nak. Panggil aja 'bunda'. Bisa?" Maya mengangguk, menirukan panggilan calon mertuanya.
"Kalau om, panggil aja 'ayah', okey!" Lagi-lagi Maya mengangguk lalu mengikuti. Canggung dan gugup yang dirasa oleh Maya. Mereka tertawa saat mendengar suara Maya yang terbata-bata, tidak kecuali si Prawira.
"Makan malamnya sudah siap, Nyonya, Tuan." Suara Mbok Win mengalihkan pandangan mereka semua.
Orang tua Maya dan calon mertuanya beranjak menuju dapur, meninggalkan Maya dan Prawira yang fokus pada ponselnya. Tidak lama kemudian ponsel itu berbunyi.
"Hallo, Sayang," ucap Pria itu.
Bibir Maya ternganga saat mendengar panggilannya. Sayang? Bagaimana bisa yang seperti ini dijadikan calon suami. Maya menggeleng tidak percaya ini nyata.
"Ra, ayo makan!" ajak Maya.
"Iya, duluan aja. Pacar aku telpon," jawab Prawira dengan santai berlalu meninggalkan Maya.
Alis Maya terangkat sebelah merasa heran. "Dia mau menikah tetapi masih punya kekasih, Bagaimana nasip pernikahan ini?" tanya Maya di dalam hati.
🌷🌷🌷
Waktu menunjukkan pukul 5.00 WIB. Maya terbiasa bangun pagi untuk mempersiapkan segala sesuatu dari aktivitas sibuknya. Setelah solat subuh, ia membersihkan diri. Biasanya di kamar mandi Maya memerlukan waktu paling cepat setengah jam.
Setelah selesai berpakaian Maya keluar dari kamar. Bau wangi rempah khas indonesia menusuk hidung yang menghirupnya. Maya terbatuk-batuk saat masuk ke ruang dapur. "Mbok Win, lagi masak apa, sih?" Uhuk ... uhuk ... Maya menutup hidungnya supaya tidak terbatuk lagi.
"Ini, Non," ucap mbok Win menggeser tubuhnya, "nasi goreng tapi pedes. Permintaan tuan," katanya lagi.
"Papa?" Maya terheran, tumben sekali Ayahnya mau sarapan yang pedes dipagi hari. "Mama mana, Mbok?" tanya Maya. Biasanya pagi-pagi sudah nongkrong di dapur, membantu si Mbok.
"Nyonya sakit, Non," jawabnya.
"Sakit? sakit apa, Mbok? perasaan semalam baik-baik aja." Gidikan dari si Mbok sebagai jawabannya. Maya langsung berbalik menuju kamar utama.
Tok ... tok ... tok ....
"Ma ... Pa ... boleh maya masuk?" tanya Maya sedikit berteriak dari pintu.
Cklek!
Ayah Maya yang membukakan pintu, terlihat Sang Ibu sedang berbaring di tempat tidur dengan selimut yang menutupi hingga lehernya. Maya masuk–duduk di pinggir ranjang.
"Kenapa tiba-tiba Mama sakit, Pa? perasaan tadi malam masih biasa aja." Maya menoleh ke arah Sang Ayah lalu kembali menatap Ibunya.
"Gak tau papa juga. Mungkin, ingin kamu cepet-cepet menikah kali."
Maya menutup matanya sebentar, membuang napas secara kasar, tersenyum masam. Terlalu hafal dengan gelagat kedua sepasang paru baya ini. Konyol memang, beralasan sakit untuk memenuhi keinginannya. Ya sudah mau bagaimana lagi? Maya tidak mau dianggap anak durhaka. "Ma ... Mama mau apa? nanti maya kabulin?" tanya Maya menatap Sang Ibu.
Suara serak bercampur lirih terdengar. "Mama, hanya ingin kamu menerima Prawira," ucap Ibu Maya.
Lagi-lagi Maya memasang senyum. Namun, kali ini terpaksa. Ia mengangguk sembari berkata, "iya, maya terima Prawira, Ma."
Setelah itu Maya pergi dari sana dengan perasaan campur aduk. Ia berjalan menuju kamarnya–masuk lalu duduk di pinggir ranjang. Pandangannya lurus ke bawah menatap tidak jelas.
Pasalnya semalam setelah acaranya selesai Maya menghubungi sahabatnya. Bercerita panjang lebar tentang perjodohan ini dan berniat untuk menolak dengan alasan Prawira sudah mempunyai kekasih. Namun, jika sudah seperti ini apa boleh buat.
Suka tidak suka mau tidak mau Maya harus menerima Prawira apa adanya. Walaupun belum tahu sifat dan sikapnya seperti apa nanti.
Waktu menunjukan pukul 8.00 WIB. Maya sedikit terlambat pergi ke kantor, biasanya ia berangkat pukul 7.30 WIB, menggunakan sepeda motor. Jarak yang di tempuh lumayan cukup jauh dari rumahnya.
🌷🌷🌷
Saat sampai kantor, Maya tidak bisa berkonsentrasi saat bekerja. Berkali-kali melakukan kesalahan yang akhirnya terbengkalai. Ia memutuskan untuk meminta izin pulang lebih awal dengan alasan kurang enak badan dan pihak kantor mempercayainya.
Aneh memang, Maya mengatakan kalau orang tuanya konyol tetapi dia pun melakukan hal yang sama. Memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Maya tidak pulang, melainkan mampir ke kedai coffee. Di sana ia hanya memesan satu minuman dingin. Setelah pesanan datang, Maya bermain di ponselnya. Lama sudah satu jam berlalu tetapi bagi Maya seperti satu tahun.
Menunggu waktu memang hal yang tidak mudah melewatinya. Rasa bosan dan kantuk menjadi satu. Maya menidurkan kepalanya di atas meja, kedua tangan di lipat sebagai bantalannya.
Maya terusik dengan suara bising serta asap rokok yang membuatnya terbatuk-batuk. Setengah sadar ia terbangun.
"Maaf ... maaf bu," ucapnya mematikan rokok.
Maya melihat arloji di tangannya. Jam 12.00 WIB berarti ia sudah satu setengah jam berada di kedai.
"izin, Danre, ngantri tiga orang lagi." Seseorang datang menghampiri orang yang merokok di depan Maya tadi.
"Ya udah, tungguin ja." seseorang tadi hendak merokok.
"Jangan merokok! mbanya batuk-batuk."
Maya hanya tersenyum, memperhatikan mereka berinteraksi. Rambutnya cepak, tubuhnya kekar dengan urat yang terlihat keluar, serta wajahnya tegas membuat mereka terlihat seperti seorang abdi Negara. Walaupun tanpa seragam dan atributnya.
Maya membayangkan, seandainya saja pilihan orang tuanya seperti mereka. Mungkin tidak akan mempertimbangkannya terlalu lama.
Drrt ... drrt ....
Suara dering ponsel membuyarkan angan Maya.
"Iya, Ma," ucap Maya malas.
"............"
"Hm ...." Maya membereskan barang bawaannya. "Iya, nanti malam sama Prawira 'kan?" tanya Maya sembari pergi dari sana.
Seseorang tadi sedang fokus pada ponsel langsung teralihkan saat suara Maya melewati sampingnya.
Bersambung ....
“Iya, Ma.”
“May, mama lupa nanti malam ada undangan di rumahnya ibu Bambang. Kamu di rumah sama Prawira bisa ‘kan?”
“Hm ...” Maya fokus membereskan barang-barang sesekali melihat seseorang di depanya.
"Kamu denger mama gak, sih?” tanyanya di seberang sana.
Maya beranjak dari kursi. “Iya, nanti malam sama Prawira ‘kan?”tanya Maya sembari berjalan keluar. “Mama, sakitnya udahan?” tanya Maya mengejek, tahu betul kalau tadi pagi hanya pura-pura.
“Em ... ini mama paksain. Gak enak kalau gak datang. Kamu ‘kan tau sendiri hubungan mama dengan Bu Bambang seperti apa?” Maya hanya memutar bola matanya sembari membuang napasnya kasar.
Setelah selesai Maya mematikan sambungan teleponnya. Terlalu banyak pertanyaan yang harus dijawab dengan nada malas, apa lagi menyangkut masalah nanti malam. Ia harus menahan panasnya Jakarta untuk berbicara yang menurutnya tidak penting.
Dengan cepat Maya memesan mobil online, beruntung sekali tidak sampai sepuluh menit menunggu, mobil itu tiba di depannya. Ia membuka pintu, kedua alis matanya terangkat ketika melihat sang supir seorang perempuan. Sekali lagi keberuntungan berpihak kepadanya.
Tubuh Maya bersandar setengah tiduran pada kursi penumpang, kepalanya mengadah, menatap kosong pada AC mobil lalu terpejam. Memikirkan beban yang ada di hidupnya saat ini. Bagi dia pernikahan hanya dilakukan satu kali dan itu harus dengan pasangan yang saling mencinta, sedangkan dirinya belum mengetahui bagaimana sifat calon suaminya.
Suara anak kecil menyadarkannya Maya. Ia lupa kalau di depannya ada seorang yang wanita hebat. Bekerja sembari membawa anaknya, tidak habis pikir dengan pikiran suaminya yang membiarkan anak dan istri bekerja.
Maya ingin bertanya, di mana suaminya? kenapa anaknya sampai dibawa? apa tidak ada orang di rumah? tetapi pertanyaan itu diurungkan sebab tidak ingin membuat keduanya semakin terluka jika kebenarannya berada pada kesalahan sang suami.
Sesampainya di rumah. Maya disambut dengan beberapa pertanyaan dari sang Ibu, tetapi Maya hanya menjawab dengan mengangguk dan menggeleng saja. Terlalu malas menanggapi. Ia berlalu meninggalkan Ibunya ketika pembicaraan sudah mulai membahas nanti malam. Segitu istimewanya orang itu, sampai pakaian pun diharuskan rapi.
Memang bener kesan pertama adalah hal yang paling diingat. Apa lagi kalau sampai dapat kesan terbaik. Itu akan menjadi nilai plus buat diri sendiri. Maya mengerti ini bukan salah orang tua ataupun calon mertuanya, mungkin mereka hanya tidak tahu bahwa Prawira sudah mempunyai seorang kekasih.
Maya menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Memikirkan nanti malam membuat kepalanya serasa mau pecah. Orang tua yang aneh bisa-bisanya menitipkan anak semata wayang pada orang yang baru dikenal. Ia berjanji jika terjadi sesuatu pada dirinya, akan diusut hingga tuntas tanpa damai kekeluargaan.
🌷🌷🌷
Malam pun tiba. Sejak sore tadi ponsel Maya tidak berhenti bergetar. Ia mengira sang Ibu menghawatirkan dirinya tetapi kenyataannya dihubungi hanya untuk menanyakan beberapa hal yang tidak penting. Seperti 'Kamu pakai apa nanti? Saat ada dia jangan main ponsel, jangan dicuekin, jangan, jangan, dan jangan lainnya.' yang pada akhirnya ponsel Maya tersilent.
Terdengar seseorang mengetuk, Maya langsung membuka pintu. Sedari tadi memang ia duduk di sofa menunggu sampai tiga puluh menit berlalu. "Masuk, Ra," ujar Maya mempersilakan masuk sembari menunjuk sofa untuk diduduk, "mau minum apa?" tanya Maya lagi.
"Gak usah, kita keluar aja." Sedikit mengulum senyum di bibir Maya, tahu saja apa yang ada di dalam pikirannya. Terlalu canggung untuk duduk berdua tanpa ada pembahasan.
"Kalau begitu, aku ganti baju dulu," ucap Maya seraya melihat penampilannya.
Maya hendak pergi, tetapi tertahan oleh tangan prawira yang sedang memperhatikannya dari bawah hingga atas. Ia mundur selangkah terlalu risih ditatap seperti itu, lalu tersenyum masam saat pandangan mereka bertemu.
"Kamu kaya begini aja!" Dahi Maya mengkerut. "Cantik," kata Prawira lagi. Maya hanya menggeleng lalu tetap pergi ke dalam kamar.
Setelah mengganti pakaian. Maya keluar dari kamar, terlihat sederhana dan kasual. Menggunakan kaos berwarna putih dipadu dengan gardigan hitam serta celana jeans dengan gaya rambut terikat menggulung.
"Yuk!" ajak Maya.
"Nyamain ceritanya?" tanya Prawira membuat langkah Maya terhenti sebelum sampai ke arah dia.
"Huh?" Sedikit terkejut ditanya seperti itu.
"Ah ... biar seimbang aja. 'Kan gak lucu kalau kamunya santai akunya seperti resmi," kata Maya. Setelah berpamitan pada Mbok Win. Mereka pergi menggunakan sepeda motor.
Maya membuat jarak saat duduk di motor. Tidak banyak percakapan saat di perjalanan. Maya fokus pada pemandangan yang ia lihat dibalik helmnya. Lama kelamaan laju motornya memelan. Berbelok di sebuah rumah makan. Mereka berhenti di parkiran. Setelah turun dari motor, matanya mengitari setiap sudut.
Maya seperti baru pertama kali ke sini. Dipandangnya lampu-lampu kecil yang menggantung di seluruh lekuk bangunan. Tanaman hias yang tertata rapi di beberapa tempat, serta bangku-bangku kayu khas menjadikan suasana nyaman. Ia sedikit terlonjak saat tangan Prawira menyentuh pipinya. Terasa gugup membuat kelopak matanya terurus berkedip.
Maya berdehem ketika Prawira membuka lalu mengangkat helmnya. "I-ini di mana?" tanya Maya terbata-bata.
"Ini daerah kemang." Bibir Maya membentuk huruf O lalu mengangguk. "Yuk, masuk," ajak Prawira menggenggam tangan Maya.
Mereka masuk, mencari tempat yang kosong. Setelah dapat, mereka memesan makanan dan minuman yang ada di menu. Tidak ada pembicaraan diantara Maya dan Prawira hingga sebagian pesanan datang.
"Kerja di mana?" tanya Prawira membuka percakapan.
"Di daerah selatan," jawab Maya.
"Bagian?" tanyanya lagi.
"Keuangan." Singkat Maya.
Kelihatan sekali kalau Prawira hanya basa-basi. Mungkin karena bosan Maya sedari tadi hanya diam. Setelah itu, mereka kembali sibuk dengan ponselnya masing-masing.
"Hay." Seseorang datang.
Maya menatap dari ujung kaki naik perlahan hingga berhenti tepat di kedua bola matanya. Orang itu tersenyum, Maya pun membalas senyumannya. Wanita cantik, berkulit putih, berambut ikal serta tubuhnya ramping. Memakai kemeja berwarna pink muda dengan rok plisket cocok dengan fisiknya yang sempurna.
"Kenalin ini kekasih aku," ungkap Prawira.
Maya mengulurkan tangan pada wanita itu. "Maya."
"Kania," ucapnya sembari berjabat lalu duduk di sebelah Prawira.
Tidak lama kemudian pesanan yang lainnya datang. Terlihat mereka bercanda layaknya pasangan yang sedang kasmaran. Maya mengerutuki dirinya kenapa bisa menuruti kemauannya untuk keluar. Ia melirik pasangan di depannya "Tidak tahu malu bermesraan di tempat umum," ucapnya dalam hati. Ia diam sembari makan makanan yang dipesannya.
"Aku sudah selesai, aku pulang dulu, ya, Ra," dusta Maya lalu berdiri.
Prawira dengan cepat mengangguk lalu berkata, "Hm ... hati-hati, ya."
Maya mematung sejenak, menelan salivanya sembari berkedip. "Hm ... pergi, ya," pamit Maya.
Maya keluar dari sana, mengambil ponselnya–memesan mobil online. Lumayan lama ia menunggu yang akhirnya sebuah mobil fortuner berplat B XXXX TZA menghampiri. Segera ia masuk, bersandar pada kursi penumpang. Tujuan Maya sudah jelas tertera di ponsel, maka tidak harus lagi menjelaskan. ia mengambil earphone dari dalam tasnya lalu memasang di kedua telinganya. Alunan lagu sendu membuat matanya terpejam.
Maya memikirkan bagaimana nasip pernikahannya nanti, jika ia masih tetap mempertahankan Prawira, hatinya akan terluka. Tidak terasa butiran air mata mengalir begitu saja. Hatinya sakit diperlakukan seperti tadi. Walaupun Maya tidak ada status tetapi paling tidak jagalah perasaannya.
Ponsel Maya bergetar, membuat matanya terbuka. Terlihat nama yang tertera di ponsel adalah 'Putra'. Ia bingung, merasa tidak pernah menyimpan yang nama Putra di dalam kontak. Maya menjawab dengan ragu.
"Hallo," sapa Maya.
"Hay, apa saya mengganggu?" Suara husky terdengar.
"Tidak. Maaf ini siapa ya?" tanya Maya penasaran.
"Saya Putra yang tadi siang di kedai coffiee. Maaf, kalau saya lancang." Maya baru ingat. Pria yang mematikan rokoknya demi dirinya. Seketika Maya tersenyum.
bersambung ...
Setelah apel pagi selesai, kegiatan di batalyon sangat padat. Kabarnya lusa Pangdam akan berkunjung ke sana. Pengarahan dari Komandan pun segera dilaksanakan. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Butiran peluh mengalir mengikuti lekuk wajah serta tubuh dia, tangannya pun penuh dengan tanah.
Dia adalah Kapten Raditya Juha, yang artinya Cahaya dari Tuhan. Ia satu-satunya Komandan Baterai yang berstatus bujangan. Walaupun statusnya sebagai perwira, ia tetap turun tangan untuk membantu.
"Akhirnya selesai juga di sini," ucap Juha melihat sekelilingnya.
"Ijin Danre, di ujung sana belum," tunjuk salah seorang anak buahnya.
"Kalian saja duluan." Juha menaruh peralatan di pinggir jalan.
"Ijin, kalau mau bantu, jangan setengah-setengah, Danre," ucap salah seorang yang lain dengan nada becanda.
"Oho ... minta ditindak kamu?!"
"Siap salah!" Mereka serentak berucap dengan gestur tegak.
Danre yang paling asyik dan santai hanya Kapten Juha. Mungkin, karena dia belum berkeluarga, jadi lebih sering berbaur dengan yang lainnya. Juha memang tidak gila hormat. Bagi dia bersikap sopan dan tahu aturan saja itu sudah cukup.
"Beli minuman, gih!" seru Juha.
"Ijin, minuman apa?" tanya salah seorang yang bernama Putra.
"Terserah."
Setelah memberikan uang, Juha kembali ke barak. Ia berniat untuk membersihkan diri. Dua puluh menit berlalu, Ia keluar dari barak mengenakan kaos hitam serta celana pendek jeans.
"Loh ... kamu, belum beli minumannya?" tanya Juha saat bertemu dengan anak buahnya yang disuruh beli minuman.
"Ijin, belum, Danre. Tadi di suruh korve depan barak." Juha mengangguk.
"Ya sudah, kamu beli sekarang!" serunya, "Eh ... tunggu saya ikut, deh." Juha langsung melempar kunci motornya pada orang itu.
Mereka pergi, berkeliling di sekitar batalyon, mencari minuman yang cocok untuk di minum saat siang hari. Kedai Coffiee sebagai pilihan terakhir. Mereka masuk, terlihat banyaknya pengunjung di sana. Mungkin, sudah waktunya istrahat jadi banyak yang nongkrong di tempat ini.
"Ijin, Danre mau apa?" tanya Putra.
"Saya samain aja, Put," kata Juha. Saat jarak beberapa langkah Juha berkata lagi, "Put ... Putra tanyain berapa orang lagi." Putra mengangguk.
Juha tidak sengaja melihat seorang wanita tertidur di meja pojok dekat pagar dan seorang pengamen yang sedang memperhatikan wanita itu. Tiba-tiba ia berjalan dengan cepat mendekati–duduk dihadapan wanita itu, membelai kepalanya pelan seolah-olah Juha adalah kekasihnya.
Sekarang Juha tahu apa yang diincar oleh pengamen itu. Sebuah ponsel yang dibiarkan tergeletak di meja. Ia langsung mengambilnya, membuka layar kunci.
"Huh?" gumam Juha. Ia sedikit menoleh–melirik ke tempat pengamen berdiri yang ternyata sudah tidak ada. Ia tersenyum, membuka ponsel wanita itu hanya terkunci standar.
Bola mata Juha bergerak ke kanan dan ke kiri lalu tersenyum, seperti sedang merencanakan sesuatu, setelah itu tangannya bergerak mengutak-ngutik benda persegi panjang itu.
Ponsel Juha berdering sebentar. Ia terkikik menutupi bibirnya dengan tangan,, tidak mau membangunkan wanita cantik yang ada di depannya ini. Ia perlahan mengembalikan ponsel di tempat semula.
Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan pikir Juha. Ia masih tersenyum sembari mengambil lintingan tembakau di kotak kecil bertuliskan 'Um***', lalu dibakar–dihisapnya hingga mengeluarkan asap.
Uhuk ... Uhuk ....
Wanita itu terbatuk-batuk. "Maaf ... maaf bu," ucap Juha, rencana ingin menggodanya. Ia berpikir biasanya seorang wanita yang belum menikah akan protes jika dipanggil ibu-ibu, kecuali dia memang sudah menikah.
"izin, Danre, sekarang sisa tiga orang lagi." Putra datang mengacaukan rencananya.
"Ya udah, tungguin aja," ujar Juha. Putra hendak merokok. Namun, tertahan oleh Juha.
"Jangan merokok! Ibunya batuk-batuk."
Wanita itu tersenyum. "Manisnya," ucap Juha dalam hati. Ia mencuri-curi pandang saat berbicara pada Putra. Dahi Juha berkerut saat ponsel wanita itu berdering.
"Iya, Ma."
Bibir Juha langsung terangkat. Ia mengira kekasih dari wanita itu yang menghubungi, tetapi ternyata Ibunya. Kecewa di hati dia saat melihat wanita di hadapannya membereskan barang-barang lalu pergi.
"Iya, nanti malam sama Prawira 'kan?" Juha mendengar jelas ucapan itu. Ia tersenyum saat melihat nomer yang tertera di panggilan tidak terjawab. Setelah pesanan siap, mereka kembali ke batalyon.
Malam pun tiba, Juha belum sempat menghubungi wanita itu. Tadi setelah kembali dari kedai, ia dicari oleh Komandan dan disuruh menghadap ke kantornya. Entah apa yang dibicarakan membuat ia terlihat sedu.
Juha mendudukan dirinya di pinggir kasur, memandang kosong ke arah depan dengan kedua tangan di taruh kebelakang. Ia membuang napasnya kasar, mengambil ponsel di dalam saku celana, lalu mendial nomer wanita tadi siang itu.
"Hallo," sapa wanita itu.
"Hay, apa saya mengganggu?" tanya Juha sedikit ragu.
"Tidak. Maaf ini siapa ya?"
"Saya Putra yang tadi siang di kedai coffiee. Maaf, kalau saya lancang," ujar Juha.
🌷🌷🌷
"Ohh iya, Pak. Ada apa?" tanya Maya penasaran.
"Jangan panggil 'pak' donk," protes Juha.
"Maaf ... pa–, eh, maksud saya Bang." Terlintas dipikirannya seorang bertubuh kekar pasti sangat cocok dipanggil bang.
"Kamu lucu, De~"
"Maya, Bang. Nama saya maya," potong Maya, "maaf, Bang Putra saya sedang di jalan sebentar lagi sampai, nanti lagi teleponnya, ya." Sedikit berharap kalau Juha menghubunginya kembali.
"Ya, sudah, nanti kasih kabar kalau sudah sampai." Bibir Maya terangkat penuh hingga gigi bagusnya terlihat.
"Siap, Bang," ucap Maya sedikit tegas. Terdengar suara di seberang sana sedang tertawa. "Assalamualaikum," pamit Maya.
"Waalaikumsalam," balasnya lalu dimatikan panggilannya.
Maya tidak berhenti tersenyum, gemas hingga membuat kerutan dihidung mancungnya. Menatap layar ponsel dengan fokus pada tulisan Putra. "Berhenti di pagar merah itu, Pak!" serunya pada Sang supir. Setelah membayar, Maya turun dari Mobil online, berjalan ke gerbang rumahnya.
"Hay." Terdengar suara menyapa. Maya. Ia menoleh mendapati Prawira sedang berjalan mendekat. "Baik-baik aja 'kan selama diperjalanan?" tanya Prawira.
Maya bingung tetapi tetap mengangguk. "Kamu ngapain di sini?" tanya Maya.
"Hanya ingin memastikan kamu baik-baik aja. Ya sudah , aku pergi dulu," kata Prawira berbalik, "bye ...." Tangannya melambai dari atas kepala tanpa berbalik menghadap Maya.
Tidak jauh dari rumah Maya, terlihat Kania sedang menunggu di dekat motor Prawira.
Maya tersenyum menyapanya lalu berbalik. "Orang aneh," gumam Maya saat membuka pagar.
Maya masuk, terlihat di rumah tidak ada orang yang artinya kedua orang tua Maya belum pulang. Ia melanjutkan langkahnya ke dalam kamar. Menaruh tas di meja, lalu berniat membersihkan diri. Setelah selesai ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dengan matanya terpejam, memikirkan status hubungannya dengan Prawira yang sudah memiliki kekasih.
Maya mengingat sesuatu membuka matanya, bergeser sedikit ke atas, tangannya meraih tas lalu mengambil ponsel, mengetik di dalam pesannya.
[Saya sudah sampai rumah, Bang Putra] ✔️
[Terima kasih. Ya sudah kamu istirahat, selamat malam, Cantik]
[Hm, selamat malam, Bang.]✔️
Senyum Maya mengembang mengingat wajah Putra yang tampan itu, tetapi perlahan senyum itu hilang. Lagi-lagi ditampar oleh kenyataan bahwa dirinya bukan lagi sendiri.
Ponsel Maya berbunyi lagi, terlihat satu pesan masuk dari nomer yang tidak Maya kenal, lalu ia buka.
[Selamat malam, terima kasih untuk hari ini.]
bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!