Aduh ya ampun kesiangan lagi kan, ahh! Kenapa sih tidak ada yang bangunin aku satupun?! Hari ini kan hari pertama masa orientasi sekolah. Mana belum mandi, belum sarapan. Laper juga perut ku sejak bangun tadi. Mana belum...
CETTARR...PRANGG!!!
"Heh Andin! Sudah jam berapa ini?" (ucap Ummi sembari menunjuk jam yang menempel di dinding kamar)
"Jam delapan kurang lima belas menit, Ummi." (Andin menunduk dalam)
"Mau berangkat sekolah atau dihukum?"
"Berangkat sekolah Ummi..."
Andin masih menunduk dalam, bukti menghormati Ummi. Sebuah panggilan untuk Bu Nyai, pengasuh asrama tempat Andin tinggal.
"Gih siap-siap jangan sampai hal ini terulang kembali!"
Tukas Ummi kepada Andin. Lalu ia segera berbalik badan, meninggalkan Andin yang masih menunduk.
Sesampainya di Depan Gerbang Sekolah MAN 102 Bandung. Andin berdiri tepat di ambang gerbang dengan memegangi jeruji gerbang.
Luar biasa, aku tetap berangkat ke sekolah padahal sudah telat sekali. Hemm, ngomong-ngomong bagaimana caranya masuk ya? Gerbangnya kan digembok. Pak satpam pergi kemana sih heran! Sepertinya, tidak perlu juga gerbang nya dijaga oleh pak satpam. Toh sudah bisa berdiri sendiri, kan. Hehe.
Maaf pak satpam hanya bercanda. Bapak itu sangatlah berjasa.Terimakasih ya pak, sudah senantiasa menjalankan tugas mulia yaitu menjaga gerbang setia setiap saat. Sekarang, anda dimana?
Andin celingukan ke kanan dan ke kiri. Berharap ada seseorang yang dapat membantunya. Tetapi usahanya sia-sia. Nihil. Tak ada satu orang pun yang terlihat di matanya.
"Apa aku pulang saja ya?" (lirih Andin)
Tetapi ia urungkan niatnya untuk kembali lagi ke asrama. Ia tahu, Ummi akan memarahinya kembali.
Lalu apa yang harus aku lakukan?
Setelah beberapa saat, tiba-tiba seorang laki-laki menepuk pundak kanan Andin. Hal itu membuat Andin terlonjak kaget.
"Kenapa kau berdiri seperti patung disini? Panas-panasan di depan gerbang, heh?" (ucapnya dengan nada tinggi)
Kenapa? Memangnya apa urusannya denganmu? Dan apa kau tidak bisa berbicara lebih manis lagi di hadapan perempuan seperti ku?!
Ah, lihatlah. Sepertinya dia salah satu anggota OSIS di sekolah ini. Hemm, aku harus lebih berhati-hati berbicara dengannya. Lagipula, walau dia terlihat keras, tetapi tak dapat dipungkiri, dia terlihat menawan.
"Kenapa kau melamun?! Apa kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa?!" (ucapnya)
"Atau jangan-jangan kau sedang terpesona dengan ketampanan ku? Ya ya ya, memang aku akui, aku memang setampan itu. Tetapi bisa tidak, jangan melamun ketika sedang berhadapan denganku, heh? Tidak tahu diri sekali!" (ucapnya lagi)
Ah Ya Tuhan. Aku menarik ucapanku kembali, yang mengatakan bahwa dia menawan.
"Benar-benar tidak memiliki sopan santun! Aku sedang berbicara denganmu, heh!"
"Eh iya kak, maaf. Aku tadi terlambat berangkat karena habis sholat shubuh, aku langsung tidur kembali. Oleh karena itulah, aku kesiangan. Dan tentu karena tidak ada yang bangunin aku kak. Terus aku belum sarapan, odol ternyata sudah habis, dan juga di marahin terlebih dahulu. Lalu setelah itu..."
"Bisa tidak jangan terlalu banyak berbicara? Sudah jelek, cerewet lagi."
Apa? Memaki-makiku? Memangnya kau siapa, hah? Ah, sabar Andin. Kau harus sabar berbicara dengannya. Togor Listrik. Ya, nama yang tepat untuknya. Tinggi seperti togor, dan juga nada bicaranya seperti sengatan listrik.
"Hehe iya kak, aku memang sangatlah jelek dan cerewet. Maaf ya kak." (ucap Andin)
Andin masih berusaha bersabar. Ia yakin, laki-laki di hadapannya itu, bisa membantunya masuk ke dalam kelas. Ya, tentu karena anggota OSIS memang berpengaruh di sekolah itu.
"Hahaha, kau saja mengakui nya. Memandang wajah mu saja, pasti akan membuat mataku bengkak!"
Aku doakan matamu benar-benar bengkak kak! Camkan itu!
"Aku minta maaf ya kak, wajahku membuat matamu sakit. Sekarang, apa kau bisa membantuku masuk ke kelas?"
Laki-laki itu terlihat berpikir sesaat, hingga akhirnya ia mengiyakan.
"Hemm, baiklah. Karena aku baik hati, aku akan
membantumu masuk kelas orientasi."
"Terimakasih banyak kak, aku tahu kakak memang orang yang baik hati."
Andin mengulas senyum yang dibuat-buat, khusus dipersembahkan kepadanya.
"Tapi dengan 10 syarat!"
"Apa?!"
Hanya meminta bantuan untuk masuk kelas orientasi, ditukar dengan 10 syarat?! Benar-benar tidak masuk akal!
"Kalau tidak mau ya sudah."
Laki-laki itu pun melengos hendak meninggalkan Andin. Andin sontak saja mencegat.
"Tunggu kak! Tentu saja aku mau kak. Jika tidak berkat bantuan kakak, aku tidak mungkin bisa masuk ke kelas orientasi hari pertama ku."
Andin tersenyum dengan sangat dibuat-buat kembali. Lebih tepatnya, senyum yang sangat tidak ikhlas.
"Hemm, kalau begitu minta maaf terlebih dahulu karena hampir menolak syarat dariku."
Cih! Orang dalam memang selalu benar.
"Aku minta maaf." (ucap Andin)
"Yang benar!" (bentak laki-laki itu)
Andin mengutuki laki-laki itu. Tetapi ya, lagi-lagi Andin harus lebih bersabar.
"Aku minta maaf ya kak, aku yang salah, aku tadi hampir menolak syarat dari kakak. Padahal kan kakak sudah berbaik hati ingin membantuku masuk kelas orientasi."
"Hemmm"
Cuma hemm?! Togor listrik gila!
"Jadi bagaimana kak caranya supaya bisa masuk kelas?"
"Heh kebon karet! Bisa tidak jangan terlalu banyak berbicara?!"
Apa?! Kebon Karet?! Kau memanggil perempuan menawan seperti ku dengan sebutan kebon karet?! Lihat saja nanti, kau pasti akan tergila-gila denganku. Kau pasti akan memuja-muja ku. Dan setelah itu, aku akan menolak mu!
"Ayo ikut aku..." (ucap laki-laki itu)
Andin mengernyitkan keningnya. Melihat laki-laki di hadapannya itu, hendak berputar arah.
"Kemana kak?"
"Ke Mall sebentar, kita shopping."
"Ke Mall? Kau tadi mengatakan bahwa akan membantu ku masuk kelas orientasi, kak?"
Andin menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Ia benar-benar dibuat bingung olehnya.
"Heh! Kau pikir aku punya banyak waktu untuk pergi ke Mall? Apalagi bersama kebon karet model seperti mu." (ucapnya arogan)
"Ke Mall juga tidak apa-apa kak. Lebih asik, menyenangkan juga. Disana aku bisa membeli es krim, main game, dan yang lainnya."
"Diam! Ikuti aku terus. Aku akan mengantarmu ke kelas mu."
Andin terus melangkah mengikuti laki-laki itu. Mereka terus berjalan, hingga sampai di lorong yang berada tepat didepan mereka.
"Wah, ada lorong rahasia. Sungguh tak disangka-sangka, akan ada lorong menuju pintu rahasia. Ini sangat unik kak." (ucap Andin terkagum-kagum)
Ucapan Andin tak direspon sedikitpun oleh laki-laki itu. Tiba-tiba dia mengetuk pintu, dan tak menunggu waktu lama keluarlah seorang laki-laki.
"Hei man! Darimana saja kau. Membeli minuman saja seperti pergi naik gunung, haha." (ucap nya)
"Ada sedikit urusan penting tadi, Dit."
"Eh, siapa nih man. Kenalin dong. Wah pertama kali nih seorang ketua OSIS Ziban yang terhormat, dengan prestasi gemilang, kesayangan guru-guru berduaan sama perempuan. Bisa jadi trending gosip nih."
Oh, jadi Togor Listrik ini namanya Ziban. Dan dia adalah ketua OSIS. Sama sekali tidak membanggakan, menurutku.
Raditya terlihat kaget dan terkagum-kagum oleh pemandangan yang dilihatnya. Ya, siapa lagi kalau bukan Andin lah bintang nya.
"Dia anak baru. Peserta orientasi Ruang Dahlia."
Raditya mengamati Andin dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Okey, pasti telat kan. Biar aku anterin, man." (pinta Raditya pada Ziban)
"Tidak usah. Biar aku saja. Minggir!"
Ziban menyelonong masuk ke dalam dan menuju Ruangan Dahlia.Tentu terdapat buntut yang setia mengikuti. Tidak lain tidak bukan ialah Andin seorang.
Sesampainya mereka berdua di depan pintu bertuliskan Ruang Dahlia, Ziban mengetuk pintu.
Tok...tok...tok...
Seorang perempuan membukakan pintu. Andin mengamatinya.
Sudah jelas, dia pasti anggota OSIS yang tengah bertugas di Ruang Dahlia. Dari wajahnya saja, dia sudah terlihat sangat galak.
"Hai Kak Ziban, ada yang bisa saya bantu? Wah siapa yang ada di belakang mu, kak?"
Perempuan itu tersenyum sangat manis. Hal itu membuat dugaan Andin terbukti salah.
"Benar-benar diluar dugaan..."
Tiba-tiba saja, Andin tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak berbicara.
Duh kenapa harus keceplosan seperti ini, sih.
"Bisa diam tidak?!" (ucap Ziban)
"Hehe maaf kak."
Ziban tak mempedulikan ucapan Andin. Lalu ia mengajak perempuan itu berbicara.
"Kak Rinta, ini kebon karet. Tadi dia terlambat berangkat." (ucap Ziban)
"Ooh, eh tapi kenapa bisa masuk kak? Biasanya kalau sudah terlambat sedetik saja, kan sangat mustahil untuk masuk ke sekolahan apalagi ke ruangan?" (ucap Rinta)
Rinta memicingkan matanya, berusaha mereka-reka apa yang telah ia lewatkan. Dan tentunya dengan sesekali melihat ke arah Andin.
Apa? Memangnya seketat itu, kah? Ah! Benar-benar tidak bersahabat dengan kebiasaan terlambat ku. Aaaaaaa, kenapa aku harus masuk ke sekolah bak neraka ini si! Mamah, Andin mau pulang saja! Jemput aku mah, tolong.
BERSAMBUNG...
Jangan lupa tinggalkan like untuk setiap episode ya, teman-teman satu planet ❤️. Jangan anggap sebagai bayar parkir yaa, hehe. Anggap saja, sebagai sebuah dukungan dari kalian untuk author amatiran seperti saya. Percayalah, semua kebaikan yang kalian beri, akan mencari-cari kalian suatu saat nanti. 🥰🙏🏿
Setelah Rinta menanyakan kepada Ziban, mengapa Andin dapat masuk ke ruangan padahal sangat terlambat, terlihat Ziban yang membisikkan sesuatu di telinga Rinta. Dan sejurus dengan itu, Rinta pun refleks menganggukkan kepalanya tanda memahami bisikan dari Ziban.
Andin meyakini, sesuatu hal yang dibisikkan Ziban kepada Rinta adalah kalimat-kalimat hinaan seperti,
"Hei kak Rinta, apa kau tidak melihat wajah kebon karet yang menyedihkan itu? Lihatlah wajahnya, yang bahkan bisa membuat semua orang bengkak mata. Atau kemungkinan, tadi dia menggoda pak satpam untuk bisa masuk ke sekolah. Biarkan saja Kak Rinta, nanti kita akan menjadikan dia boneka dan mengerjainya habis-habisan."
Benar-benar menyakitkan kata-katamu togor listrik, hiks.
"Baiklah, ayo masuk ke ruangan. Eh siapa namamu?"
Rinta menanyakan pada Andin dengan menyedakepkan kedua tangannya di depan dadanya.
"Namaku Andin Puspita Arga, panggil saja Andin, Kak Rinta."
"Okey, cepat masuk!" (ucap Rinta tegas)
Andin pun langsung mengikuti Rinta masuk ke ruangan dan sedikit menoleh ke belakang. Dan ternyata Ziban pun pergi meninggalkan Ruangan Dahlia.
Apa! Bisa-bisanya Kak Rinta langsung berubah misterius seperti ini sih, atau jangan-jangan semua penghuni di sekolah ini misterius semua. Aaaaa, kenapa dugaanku selalu salah sih, benar-benar membuat kepalaku pening. Cih!
Andin pun dipersilakan masuk dan disuruh untuk memperkenalkan diri di depan semua siswa baru lainnya. Andin menuruti semua perintahnya. Lalu setelah selesai memperkenalkan dirinya, ia segera duduk. Terlihat hanya bagian kursi di belakang sendiri lah yang kosong. Itupun terdapat satu makhluk yang menghuni, itu artinya Andin harus berbagi tempat duduk semeja berdua dengan makhluk itu.
Ciri-ciri makhluk itu menggunakan seragam putih abu-abu sama sepertiku, tetapi dia sedikit tinggi dan berisi. Makhluk itu perempuan atau laki-laki sih? Kan harus liat ehem-ehem nya dulu baru tau dia laki-laki atau perempuan kan? Eh tunggu! Makhluk itu mempunyai rambut cepak dan tidak memakai kerudung sepertiku. Fiks banget sih dia pasti laki-laki. Hehe.
Lagi-lagi andin mengutuki kegilaannya sendiri dalam memprediksi seseorang. Ia cekikikan sendiri di dalam hatinya.
Kegiatan Andin di hari pertama orientasi selesai. Tentu saja dengan duduk bersebelahan dengan Arif alias Jin Tomang. Yang benar-benar membuat Andin menggelengkan kepalanya berkali-kali karena tingkah konyolnya. Lebih tepatnya tingkahnya yang benar-benar membuat Andin muak.
Terlihat semua siswa tengah mengemasi tas mereka. Itu pertanda kegiatan orientasi hari pertama benar-benar telah usai. Mereka pun bersiap-siap untuk kembali ke rumah tercinta mereka masing-masing. Dan ya, begitupun dengan Andin. Ia pun harus kembali ke asrama tepat pada waktunya.
"Apa kau mau aku antar ke rumah mu, Ndin?" (ucap Arif)
"Tidak usah."
Andin menjawab ucapan Arif tanpa melihat ke arahnya.
"Ayolah Ndin, aku kan hanya takut kau kenapa-kenapa saat perjalanan pulang. Aku boleh mengantar mu ya, Andin ku?"
Arif memasang raut wajah sok imut yang menurut Andin sangatlah menjijikan.
Apa dia bilang? Andin ku? Berhenti memanggil ku dengan sebutan Andin ku, Jin Tomang!
"Aku bilang tidak, itu berarti tidak!"
"Ayolah Ndin, kita kan sahabat karib..."
Sahabat karib? Sahabat dekat maksudnya? Sejak kapan kita sahabatan? Pergi menjauh sana!
"ANDIN AKAN PULANG DENGAN AKU!"
Tiba-tiba saja terdengar seseorang berucap cukup keras. Dan seketika itu pun Andin dan Arif melihat ke arah sumber suara. Arif terperangah melihat siapa yang datang.
"Wah sang ketua osis paling populer datang. Hai Kak Ziban, senang kau datang kak." (ucap Arif)
Arif terlihat sangat bersemangat ketika menyapa Ziban. Andin melihat ke arah Arif sejenak. Lalu ia mengernyitkan keningnya. Ia tidak memahami apa yang tengah dilihatnya.
Apa?! Arif kan laki-laki, mengapa dia terlihat begitu mengagumi kak Ziban, yang sesama laki-laki? Layaknya pandangan suka ke lawan jenis? Semua hal yang aku saksikan benar-benar menjadi tidak masuk akal akhir-akhir ini, hiks.
Andin memandang Arif dan Ziban secara bergantian.
"Aku akan pulang sendiri saja, tidak denganmu Arif dan tidak juga dengan Kak Ziban,"
"Sampai jumpa daaaah."
Andin pun berlari sembari membenarkan tas ransel di pundaknya, menjalankan misi suci mulianya. Yaitu kembali ke asrama dan tentunya meninggalkan Arif dan Ziban.
......................
Di tempat lain, tepatnya di asrama pesantren. Terlihat dua orang yang tengah berbincang sesuatu.
"Mbak Zulfia, tolong panggilkan Andin." (ucap Ummi)
Zulfia adalah santri kepercayaan Ummi satu-satunya. Sebagai kepercayaannya, Ummi memang kerapkali mengandalkan Zulfia. Dan tentu Zulfia pun dengan senang hati melayani nya.
"Ya Ummi, sebentar..."
Zulfia segera pergi ke lantai atas dengan tujuan kamar C12. Yaitu kamar Andin dan teman-teman nya, yang berpenghuni lima orang. Andin, Meta, Viola, dan si kembar Riana, Riani.
Zulfia membuka pintu kamar C12. Lalu ia menyusuri sekeliling kamar berukuran sedang tersebut yang terdapat tiga ranjang susun. Masing-masing ranjang menampung dua orang. Itu artinya, terdapat satu ranjang yang hanya ditiduri oleh satu orang. Yaitu, Putri Andin seorang.
Zulfia hanya melihat si kembar Riana dan Riani yang berada di meja belajar. Mereka terlihat sedang sibuk membaca buku. Zulfia pun segera menanyakan perihal Andin kepada Si Kembar.
"Mbar, memangnya Andin belum pulang, kalian bukannya seangkatan sekolahnya, kan? Lagian ini sudah sore." (tanya Zulfia)
"Kan beda sekolahnya mbak. Andin di aliyah, kami di kejuruan. Nanti juga pasti pulang mbak, walaupun Andin terlihat selalu semaunya sendiri, tetapi dia sebenarnya tau aturan dan baik hati kepada semua." (ucap Riana)
"Iya benar sekali, nanti juga pasti akan pulang sebentar lagi." (sambung Riani)
Hanya Riana lah yang sejenak menutup bukunya. Sedangkan Riani masih saja menatap novel yang tengah dibacanya tanpa melihat ke arah Zulfia.
"Baiklah, jika nanti sudah pulang katakan kepadanya, Ummi mencarinya. Aku akan turun ke bawah mengatakan kepada Ummi bahwa Andin belum pulang." (ucap Zulfia)
"Okay mba..."
Riana dan Riani menjawab dengan bersamaan. Dan Zulfia pun bergegas kembali turun ke bawah untuk menemui Ummi.
......................
Masih ditempat yang sama, tempat yang ditinggalkan Andin tadi. Ya, Ruangan Dahlia. Masih berdiri dua makhluk meresahkan yang mengganggu Andin di hari pertamanya orientasi. Entah hanya di hari pertama orientasi saja, atau berlanjut. Hanya Tuhan yang mengetahuinya.
Arif dan Ziban tengah sama-sama berdiri. Tetapi tentunya dengan pikiran yang berbeda-beda. Yang satu sedang memikirkan Andin, yang satu lagi sedang mengagumi sosok didepannya yang dianggapnya sangat keren.
"Kak Ziban! Kita mau sampai kapan disini kak, semua sudah pulang. Begitupun dengan Andin."
Ucap Arif memecah keheningan. Hal itu membuat Ziban baru tersadar akan sesuatu.
"Oh tuhan! Sampai jumpa besok Rif, aku pulang dulu." (ucap Ziban)
Ziban pun berlari terburu-buru. Meninggalkan Arif sendirian di Ruangan Dahlia.
Yayaya, ditinggal sendirian kapanpun dan di manapun aku berada, adalah takdirku sepertinya!
Ziban masih berlari mengejar seseorang. Ya, siapa lagi kalau bukan Andin lah bintang utamanya. Ziban mengejar Andin, tentu saja terdapat alasan tertentu. Tidak mungkin seorang Ziban yang sangatlah terhormat, berlari mengejar seorang perempuan. Yang bahkan dengan sangat mudah ia dapatkan bermodal tampang, pesona, dan juga prestasinya. Lagi-lagi, hanya ia dan tuhannya saja lah yang mengetahui apa tujuannya.
"Ah kenapa aku sampai kelupaan seperti ini, sih!" (ucap Ziban lirih)
Ziban berhenti di depan pintu gerbang sekolah dengan nafas ngos-ngosan naik turun dan juga sedikit terbatuk-batuk. Itu pertanda ia benar-benar bersungguh-sungguh dalam berlari mengejar Andin.
Cih! Kali ini kau lolos, Andin! Tunggu saja besok. Kau akan menerima akibatnya!
Geram Ziban dengan mengepalkan tangannya. Lalu memukul keras tembok gerbang, yang bahkan tak mengetahui apa-apa.
......................
Sesampainya Andin di asrama pesantren.
Benar-benar hari yang melelahkan, hari ini semua orang seperti sudah berjanjian saja dengan membuatku repot. Nasibku disini benar-benar memprihatinkan, hiks.
Tiba-tiba saja Meta datang. Membawa secangkir teh dari dapur. Meta memang sahabat dekat Andin, dan tentunya paling memahami semua tentang Andin baik suka maupun duka.
Wah, Meta membuatkan ku teh hangat. Ah, dia memang sahabat ku yang paling top.
"Ndin, sudah pulang? Kenapa sampai sore seperti ini? Bukannya masih orientasi..." (ucap Meta)
Meta menyeruput secangkir tehnya yang masih mengepul.
"Aku kira teh nya untukku, Met. Bisa-bisanya kau memberiku harapan palsu, huhu." (ucap Andin cemberut)
"Enak saja, buat sendiri sana!"
Meta kembali menyeruput tehnya, dengan mimik wajah meledek yang sangat dibuat-buat tentunya.
Aku menarik kembali kata-kataku, yang mengatakan bahwa Meta adalah sahabatku paling top. Sahabat macam apa, cih!
"Met, lihat ke arah pojok dinding. Kenapa aku baru menyadari bahwa disana ada sarang lebah. Wah, wah, sepertinya terlihat membahayakan. Dan sepertinya juga, kita harus segera lapor ke pihak pengurus."
Andin berbicara sembari menunjuk ke arah dinding. Meta pun segera ikut melihat ke arah dinding yang ditunjuk Andin.
"Apa? Dimana lebahnya?!"
Meta menyusuri dinding. Ia terlihat sangat panik. Meta memang sangat takut dengan serangga yang satu itu. Melihat Meta yang tengah serius menyusuri dinding, Andin pun segera mengambil kesempatan tersebut. Ia meneguk tandas secangkir teh milik Meta. Dan setelah itu, Andin segera berlalu secara diam-diam.
Beberapa saat Meta merasa dibohongi Andin, Meta pun segera berbalik arah, hendak meminta penjelasan Andin. Tetapi, sayangnya nihil. Yang ada hanya cangkir kosong tak bersisa. Menandakan seseorang telah meneguk habis tehnya. Hal itu berhasil membuat Meta benar-benar naik pitam.
"Andiiiiinnnn!!!!!!!!!!!!"
Dibawah ujung tangga terakhir, Andin cekikikan sendiri mendengar umpatan-umpatan Meta, sahabat dekatnya.
BERSAMBUNG...
Semburat mentari pagi menerobos paksa masuk melewati sela-sela jendela kamar C12. Andin yang membuka mata terlebih dahulu dari penghuni lainnya, segera menyibakkan gorden berwana hijau botol. Tiba-tiba getar notifikasi berbunyi, ya, itu pertanda getar notifikasi dari email. Andin membuka dan membaca isinya di dalam hati.
"Andin, apa kabar,?"
"Kau sekarang lanjut sekolah dimana?"
"Lama tidak memberi kabar, kau sehat kan?"
"Andin, please bales. Kalau memang kau masih menganggapku sebagai temanmu!"
Andin menghembuskan nafas pelan, lalu mengetikkan beberapa kalimat untuk dikirim.
"Hahaha, tentu saja kau masih temanku yang cerewet dan banyak bertanya,"
"Aku sehat Rossie, aku melanjutkan ke pesantren, dan sekolah juga di MAN 102 BANDUNG."
Tak menunggu waktu lama, teman Andin waktu kecil, Rossie, membalas email nya.
"Apa kau benar-benar menempuh pendidikan di situ atas kemauan mu sendiri, Ndin?"
Andin menghembuskan nafas berat kembali.
Setidaknya disini tidak ada yang mengekang ku, Rossie.
Lalu Andin kembali mengetik.
"Aaaaa, sudah jangan khawatirkan aku. Tentu saja ini atas kemauan ku sendiri. Nanti lagi ya, aku mau mandi."
Percakapan selesai. Andin melempar pelan ponselnya ke meja, sementara di seberang sana masih banyak pertanyaan yang terlintas di benak gadis bernama Rossie, mengenai teman kecilnya, yaitu Andin.
Rossie, maafkan aku. Aku hanya ingin melupakan masa kecilku. Tapi sungguh aku tidak akan melupakanmu, aku hanya ingin menjauh dari sesuatu yang akan mengingatkanku pada masa kecilku.
Aku akan mengabari mu nanti setelah aku benar-benar sudah berdamai dengan masa kecilku, aku berjanji.
Terdengar suara seseorang menggeliat, pertanda ada penghuni lain yang mulai membuka matanya.
"Hei Ndin! Kesambet apa kau, tumben di jam sepagi ini sudah bangun, biasanya terakhiran." (ucap Riana)
Meta rupanya ikut terbangun dari tidurnya. Ia masih terlihat sangat mengantuk.
"Kalau lagi rajin, jangan dibilang. Hoamm." (ucap Meta)
"Ah diam kalian berdua, mood ku sedang tidak baik untuk sepagi ini. Jadi tolong jangan ganggu aku!"
Ucapan Andin sedikit memberi penekanan. Hal itu hanya mengundang gelak tawa antara Riana dan Meta. Membuat Violla dan Riani terbangun membuka mata karena mendengar suara tawa yang pecah.
Cih! Kenapa mereka menertawai ku?! Dasar tidak berguna! Tidur lagi sana, jangan bangun sekalian!
"Hahaha, seorang Andin sedang gundah gulana rupanya."
Meta dan Riana semakin meledek Andin dengan asumsi yang mereka ciptakan sendiri disertai gelak tawa yang semakin pecah.
"BISA DIAM TIDAKKK! KALIAN ITU MENGGANGGU TIDURKU!"
Violla berucap dengan nada tinggi dan mimik wajah yang tidak bersahabat. Karena memang ia tidak suka diganggu oleh siapapun, apalagi jika ia sedang tidur.
Riana dan Meta pun langsung menyudahi gelak tawanya, disusul dengan beberapa kali menelan salivanya.
Haha, rasakan. Bagaimana rasanya dibentak sama Violla?Dia memang sangatlah galak dan tidak bisa diganggu. Tahu rasa kan, karena sudah menertawai ku sejak tadi.
"Iya Meta, Riana. Jangan terlalu keras jika tertawa, nanti Ummi mendengar juga bagaimana?" (ucap Riani)
Riani memang lebih polos dan pendiam dibandingkan Riana yang memang tidak bisa diam.
Tiba-tiba saja, Riana dan Riani saling berpandangan. Mereka mengingat sesuatu tentang Ummi. Dan mereka pun serempak mengatakan hal yang sama, seperti sudah berjanjian.
"Andin, kemarin Ummi ingin bertemu denganmu!" (ucap Riana dan Riani)
"Hah? Kenapa kalian baru mengatakannya, sih?!" (ucap Andin)
"Maaf Ndin, lupa hehe." (ucap Riani cengar-cengir)
"Yaelah, namanya juga lupa. Ya udah gih sana, nanti setelah sholat berjamaah kau datang menemui Ummi." (ucap Riana)
Kenapa Ummi ingin bertemu denganku? Ada apa?
......................
Setelah selesai sholat shubuh berjamaah, Andin langsung menuju dapur asrama. Ia mencari sesosok perempuan.
Yap, ketemu!
"Mbak Zulfia, aku ingin menemui Ummi. Apa Ummi sedang berada di ruangannya?" (ucap Andin)
"Ummi sedang membaca buku di taman belakang Ndin. Kau kesana saja, dan jangan lupa jaga bicaramu ya." (ucap Zulfia)
"Hehe, baik mbak. Terimakasih."
Beberapa saat, Andin telah sampai di taman belakang. Ia melihat Ummi yang tengah duduk sembari membaca buku.
Ah itu Ummi, tapi bagaimana cara untuk memulai bicara dengannya, ya?
"Hai, Ummi. Apakah benar kau mencariku, kemarin?"
Ah tidak, tidak. Itu sangat buruk. Bagaimana jika...
"Sedang apa Ummi disini? Sendirian saja, apa perlu aku temani?"
Benar-benar tidak sopan.
Andin masih berpikir keras. Ia memikirkan kata-kata apa yang tepat untuk mengawali pembicaraan dengan Ummi. Sebelum ia menemukan kata-kata yang tepat, tiba-tiba Ummi menyadari kedatangan Andin di sekitarnya.
"Andin?"
"Kemari lah."
Andin sedikit terkejut, tetapi ia segera melupakan keterkejutan nya itu. Ia pun segera mendekat ke Ummi.
"Ya, Ummi."
"Kau sangat sibuk bersekolah, Ndin? (tanya Ummi)
"Tidak Ummi, baru masa orientasi." (ucap Andin)
"Hemm, apa kau sudah beradaptasi di asrama ini? Apa kau merasa nyaman?"
"Sedikit demi sedikit sudah berlatih menyesuaikan diri, Ummi."
"Apa mamah mu mengabari mu lewat ponsel?"
"Tidak Ummi, tidak ada yang mengabari ku sejak aku diantar kesini."
"Kemarin ada paket surat dari mamah mu, ada di kamar Ummi. Nanti Mbak Zulfia yang akan mengantar ke kamar mu."
Paket surat? Kenapa harus surat? Kenapa tidak lewat ponsel saja? Oh iya, aku baru mengingat sesuatu. Cih!
"Iya Ummi, terimakasih banyak."
"Kembalilah ke kamar mu, bukankah hari ini adalah hari kedua orientasi mu? Jangan sampai terlambat lagi seperti kemarin." (ucap Ummi)
"Baik, Ummi."
Andin meminta izin beranjak kembali ke kamarnya. Lalu Setelah itu, ia bersiap-siap ke sekolah.
......................
"Semoga hari kedua di sekolah, akan lebih bersahabat denganku." (lirih Andin)
Andin terus saja berjalan menuju kelas orientasinya. Tiba-tiba seseorang memanggil Andin.
"Andin ku!"
"Siapa yang memanggil, ku?"
Yang memanggil dengan sebutan Andin ku kan hanya...
Andin segera mempercepat langkahnya tanpa menggubris panggilan dari Arif.
Rasakan! Kau tidak mungkin dapat mengejar ku! Dasar jin gembrot.
Setelah memastikan bahwa Arif sudah tidak terlihat lagi, Andin merasa sedikit lega.
Ah, hari ini aku akan berjalan lewat koridor saja, mumpung masih banyak waktu sebelum bel masuk kelas berbunyi.
Andin berjalan santai dengan tas ransel hitam yang selalu setia menemaninya ketika di sekolah. Ia Menyusuri taman-taman yang luas dengan sesekali memetik bunga yang terdapat di taman itu. Dan tak jarang pula, siswa lainnya melihat Andin dengan tatapan sinis. Dari tatapan mereka, seperti menyiratkan...
"hei anak kampung! Apa kau belum pernah melihat bunga di taman?! Jangan memetiknya dengan tangan kotormu itu!"
Persetan dengan tatapan kalian! Aku hanya sedang menikmati pagiku. Aku bukanlah kalian yang bahkan bisanya hanya julid saja! Cih.
Ketika Andin sampai di koridor sekolah yang lengang, tiba-tiba seseorang menarik lengannya dengan cepat. Lalu mendorong Andin ke pojok koridor, hingga tubuh Andin menempel di dinding koridor.
"Apa-apan sih kak! Benar-benar tidak sopan!" (ucap Andin)
Andin lalu mendorong tubuh Ziban. Yang sudah berani-beraninya menarik lengan Andin dan mendorongnya seenaknya sendiri.
"Jangan terkejut! Karena wajahmu benar-benar bertambah memburuk ketika sedang terkejut." (ucap Ziban)
Andin melengoskan wajahnya.
"Nanti jika ada yang melihat kita bagaimana?" (tanya Andin)
"Apa? Memangnya kita sedang melakukan apa? Kita tidak melakukan hal-hal aneh."
Ziban menjawab pertanyaan Andin dengan sikapnya yang tetap tenang.
"Ya,bkan kita tidak tahu dengan jalan pikiran orang lain."
"Tidak akan ada yang lewat koridor ini, sampai urusanku selesai." (ucap Ziban)
Apa?Jadi maksudnya dia memblokir akses ke koridor? Ini kan jalan umum? Orang sinting! Memangnya seberapa berkuasanya dia di sekolah ini hah?!
"Katakan apa yang kakak inginkan?" (tanya Andin)
"Aku hanya ingin menagih janji mu."
Janji? Janji apa sih?
"Janji?"
"Mengenai kontrak berisi 10 syarat yang harus kau penuhi, karena aku sudah membantumu kemarin."
Ziban melemparkan map berukuran sedang yang sejak tadi berada di tangannya tanpa Andin sadari. Tentu saja Andin sangat gelagapan dalam menerima map yang Ziban lemparkan sembarangan kepadanya.
Astaga, ini isinya apaan sih?! Yang pasti, bukanlah surat warisan. Cih!
"Jika kau bisa membaca, pahami isi dari map itu. Jangan sampai membantah untuk setiap jengkal isinya!"
Ziban berlalu pergi meninggalkan Andin sendirian yang masih memegang erat map berukuran sedang yang entah apa isinya itu.
Cih! Tentu saja aku pandai membaca. Jika tidak percaya, tanyakan saja kepada mamahku! Rupanya kau benar-benar ingin aku mengutuk mu menjadi batu, wahai iblis!
Sedangkan di tempat lain, masih di MAN 102 Bandung.
Dering ponsel bergetar mengagetkan seseorang yang tengah duduk di ruangan kebesarannya. Ia terlihat tengah fokus membaca laporan-laporan akhir bulan mengenai kegiatan belajar mengajar di sekolahnya. Bukan, bukan sekolahnya. Tetapi lebih tepatnya sekolah milik nya. Setiap akhir bulan ia memang kerap kali terlihat beraktivitas di sekitar sekolah itu.
"Siapa yang menelepon sejak tadi, sih?"
Ia segera meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Dan ia pun bberniat untuk mengangkat panggilan itu, setelah mengetahui siapa yang menghubunginya.
"Halo, Assalamualaikum tuan. Ada apa gerangan hingga tuan menghubungi saya?"
"Waalaikumsalam. Laporan setiap minggunya di tunggu. Kirim ke email ku seperti biasa."
Terdengar suara dari seberang sana. Ia menjelaskan apa maksud dan tujuan menelepon si pemilik sekolah itu.
"Tentu tuan. Akan segera saya kirimkan ke email seperti biasa."
"Baik, terimakasih."
Sambungan terputus dari seberang, tanpa memberi kesempatan si pemilik sekolah untuk mengucapkan salam penutup.
Anda selalu mengkhawatirkan soal itu, tuan. Tenang saja, saya akan berusaha semaksimal mungkin dalam menjalankan tugas dari anda.
BERSAMBUNG...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!