Perceraian di dalam rumah tangga sesuatu yang paling menyakitkan bagi setiap pasangan yang sangat mencintai, inilah yang terjadi di dalam rumah tangga Altha Rahendra, polisi muda yang bekerja di bagian divisi kejahatan.
Pekerjaan Altha yang berbahaya, juga jarang pulang ke rumah membuat istrinya Citra Rahayu yang berprofesi sebagai seorang dosen di fakultas yang bergengsi mulai lelah . Berkali-kali Citra meminta Altha meluangkan sedikit waktu untuk dirinya juga ketiga buah hati mereka.
Berjuang bersama sejak keduanya lulus sekolah di pendidikan tingkat atas sampai akhirnya lulus kuliah, Altha menikahi Citra diusianya mereka yang masih sangat muda, Altha mengejar cita-citanya menjadi polisi, hingga ada di posisi sekarang, begitupun dengan Citra yang memang sangat pintar bisa menyelesaikan kuliah cepat juga menjadi seorang ibu.
Menjalani bahtera rumah tangga selama 10 tahun keduanya lalui dengan suka dan duka, soal keuangan mereka tidak pernah kekurangan, karena Altha dari usai 17 tahun sudah berbisnis peninggalan orangtuanya, hanya saja dia memiliki mimpi menjadi polisi, karena pernah kehilangan sosok ayah dan ibu yang meninggal karena kasus penangkapan badar narkoba.
Kehidupan lama yang membuatnya trauma, menjadikan seorang Altha pria yang dingin dan sangat keras dalam banyak hal kecuali kepada istri tercinta dan putra putrinya.
“Aku ingin cerai Altha, capek.” Air mata Citra menetes menatap putri kecilnya yang masih menyusu.
“Aku minta maaf sayang, jangan bicara sembarangan. Keegoisan kita bisa saja mengorbankan kebahagian anak-anak. Ada Arjuna, Atika dan Amora, aku mohon Citra kita akhiri perdebatan kita hari ini.” Altha langsung membuka pintu, membalik badan mendengar teriakan Citra.
“Kami butuh kamu Al, butuh perhatian kamu, butuh waktu bersama. Apa sesulit itu untuk memberikan sedikit waktu? Apa hanya aku orang tua mereka di sini? Hanya ada mama, Mama dan Mama lalu ke mana Papa? Kamu hanya memiliki jawaban kerja.” Bayi kecil amora diletakkan di atas ranjang, Citra menatap suaminya tajam.
Citra melangkah mendekati suaminya, memberikan map yang berisikan surat cerai. Keputusan Citra sudah bulat, dia ingin bercerai jika Altha tidak meninggalkan kepolisian.
“Tanda tangan di sini, jika kamu masih mencintai aku tinggalkan pekerjaan kamu, jalankan bisnis saja, tapi jika kamu menolak maka aku akan angkat kaki dari rumah ini.” Tatapan tajam juga penuh kemarahan terlihat, Citra menginginkan jawaban yang sebenarnya dirinya sudah tahu.
“Lalu bagaimana anak-anak? Kamu tega kepada mereka.” Kepala Altha tertunduk, membuang map. Dia tidak ingin bercerai, juga tidak bisa meninggalkan pekerjannya karena ada janji yang harus dia penuhi.
Kepala Citra menggeleng, dia tidak perduli dengan penolakan Altha, langsung mengambil koper memasukkan bajunya membawa si kecil Amora yang masih berusia delapan bulan.
“Citra!” suara Altha sangat tinggi merampas putrinya Amora, meminta asisten rumah tangganya membawa Amora.
“Kamu tidak mengizinkan aku membawa Amora, oke tidak masalah Altha.”
“Aku yang keluar dari rumah ini, kamu bisa tinggal bersama anak-anak. Kita renungkan lagi masalah ini, jangan mengambil keputusan saat emosi.”
“Tidak, aku hanya akan membawa Amora, dia masih membutuhkan ASI, sedangkan Arjuna dan Atika bersama kamu, mereka sudah bisa mandiri.” Citra meminta sopir membawa kopernya, langsung mengambil Amora kembali.
“Atika juga masih kecil Citra, dia masih sangat membutuhkan kamu. Putri kita baru berusia empat tahun, putra kita baru berusia delapan tahun. Tolong jangan lakukan ini, kasihan anak-anak.” Air mata Altha akhirnya menetes, sungguh sangat menyakitkan membayangkan nasib putra putrinya yang harus ditinggal ibu juga dipisahkan dari adiknya.
Citra tidak perduli apapun ucapan Altha, pertengkaran keduanya semakin panas sampai Arjuna dan Atika melihat dan mendengarnya.
Memohon, menangis, meminta maaf, bahkan Altha berjanji akan meninggalkan pekerjaannya setelah satu kasus selesai, tapi tidak bisa mengubah keputusan Citra. Tekatnya sudah bulat untuk berpisah, kesabarannya sudah habis memberikan Altha waktu.
“Aku ingin cerai Altha, pokoknya kita cerai. Kamu tidak perlu memberikan sedikitpun harta cukup kita berpisah, karena aku sudah tidak tahan lagi. Hidup bersama kamu membuat hidupku menderita, cinta aku kepada kamu sudah lenyap. Aku tidak memilki perasaan itu lagi, kamu baik Al hanya saja kamu terlalu egois.” Tangisan Citra pecah meminta Altha menjaga kedua anak mereka.
“Aku akan memperbaiki diri, kita berjalan bersama lagi citra.”
“Terlambat, saat aku melahirkan kamu di mana? Saat Amora sangat cengeng selalu menangis tengah malam, aku bertahan sendiri belum lagi menghadapi Atika yang masih rewel, juga banyak maunya. Aku lelah Al, kamu jahat membuat aku tersakiti mengurus anak-anak kita.”
“Pembicara kita tidak bisa menemukan titik terang, aku akan mengalah demi kebaikan. Aku harap kamu berpikir kembali dan mengubah keputusan, aku sangat mencintai kamu selalu menunggu kesempatan kedua dari kamu.” Altha hanya bisa diam menatap anak istrinya angkat kaki dari rumah.
“Mama, Tika ikut mama.” Tangisan Tika terdengar langsung ditangkap oleh Altha.
“Berikan Mama sedikit waktu untuk menenangkan pikiran, Papa akan berjuang agar kalian tidak berpisah.” Altha memeluk erat putrinya yang terus memanggil Mama.
Arjuna mengusap matanya, melihat retaknya keharmonisan keluarga mereka. Diam menjadi pilihan terbaik, hanya berharap keluarganya akan untuk kembali.
Malam semakin larut, Altha tidur bersama putrinya, masih belum bisa terlelap memikirkan perceraian mereka, bahkan surat cerai sudah dilayangkan, berarti Citra sudah lama menggugatnya.
“Maafkan aku Citra, kebersamaan kita berakhir dengan cara seperti ini, kamu harus tahu aku sangat mencintai kamu, tidak mungkin bisa melepaskan kamu. Buka sedikit saja pintu hatimu agar keluarga kita bisa bersama kembali.” Altha melihat ponselnya, ada pesan dari bawahan soal kasus mereka.
Pekerjaan Altha menjadi masalah dalam rumha tangganya, sungguh Altha tidak bisa memilih. Bukan uang yang dia cari, tapi keadilan. Cintanya kepada Citra sangat besar, begitupun rasa cintanya terhadap negara juga pekerjaannya.
Seberat ataupun sesulit apapun Altha tetap tidak mengeluh, baginya nyawanya ada di setiap pengejaran para penjahat, tapi kecintaannya terhadap pekerjaannya menjadi bumerang di dalam rumah tangganya.
Pernikahan yang mereka jalani selama sepuluh tahun akhirnya harus kandas, menjadikan tiga anak yang harus terpisah dari salah satu orangtuanya.
Altha meremas rambutnya, dadanya sesak melihat hancurnya rumah tangga yang dia jaga selama ini, juga tidak bisa membayangkan nasib anak-anaknya.
“Tuhan, jangan pisahkan kami, jika aku salah hukum aku, tapi jangan buat anak istriku tersakiti. Satukan kami kembali dalam janji suci, bisa bersama sehidup semati.
Altha mencium kening putrinya, Al langsung melangkah pergi menggunakan jaket, topi juga membawa senjatanya. Meskipun ada konflik dalam rumah tangganya, Altha tidak bisa meninggalkan tugasnya yang belum selesai.
“Papa, tidak bisakah kita terus bersama? Kenapa Papa tetap ingin menjadi detektif yang membahayakan?” tatapan Arjuna tajam.
“Arjuna, Papa akan bertahan untuk Mama kembali. Kamu jaga Tika, Papa masih punya pekerjaan.” Altha menutup pintu melangkahkan pergi.
***
JANGAN LUPA LIKE COMENT DAN TAMBAH FAVORIT, JUGA HADIAHNYA.
FOLLOW IG VHIAAZAIRA
***
Aliya Natusha, dia biasanya di panggil Al. Wanita cantik yang hidup dengan bebas tanpa pengawasan kedua orangtuanya.
Saat ini usia Aliya sudah dua puluh tahun, tapi dia belum lulus sekolah tingkat atas, karena terlalu banyak ketinggalan kelas.
Orang lain dapat selesai dalam tiga tahun, sedangkan Al hampir enam tahun belum juga lulus.
Kenakalan Al membuat siapapun keluarganya tidak perduli, bagi mereka Aliya hanyalah anak pembawa sial yang merusak citra keluarga.
Pergi pagi, pulang subuh terkadang juga Aliya tidak pulang sama sekali sampai tiga empat hari.
"Masih hidup kamu Aliya?" tatapan mata tajam, melihat ke arah Aliya yang baru pulang.
"Emh, buktinya aku masih berjalan tidak mungkin mayat hidup." Al melangkah masuk ke dalam kamarnya, melihat kamar yang berantakan.
"Kenapa kamu tidak mati saja Aliya?" pintu kamar terbuka, langsung menendang kaki Al.
"Akan aku pikirkan cara mati paling enak seperti apa? silahkan keluar, jangan lupa tutup pintunya."
"Anak kurang ajar." Rambut Al ditarik, langsung dipukul.
Tendangan kuat menghantam perut wanita yang biasanya Al panggil Mama, wanita yang sudah menghacurkan hidupnya sampai ibunya bunuh diri.
"Aliya." Tamparan kuat menghantam wajah Al, darah keluar dari bibir dan hidung Al.
Tidak ada air mata, hanya suara tawa terdengar. Aliya membanting pintu kamarnya kuat sampai barang berjatuhan.
Tubuh Aliya langsung terpental ke arah tempat tidur, memejamkan matanya tidak perduli dengan darah juga rambutnya yang berantakan.
Besok ujian sekolah, Al tidak seperti anak lainnya yang belajar dia lebih pilih tidur. Tubuhnya terlalu lelah, membutuhkan energi untuk hari esok.
Suara anjing menggonggong terdengar, Aliya langsung mengangkat kepalanya melihat alarm. Langsung dimatikan, cepat Al masuk ke kamar mandi untuk pergi sekolah.
Suara keributan terdengar di dalam rumah mewah keluarganya, Al tidak mempedulikan sama sekali langsung melangkah pergi.
"Aliya, sebaiknya kamu pergi dari rumah ini. Papa tidak mengganggap kamu anak lagi, tolong berhenti membuat aku gila Aliya." Teriakan Papa Al masih menggema, sedangkan Aliya tidak perduli sama sekali.
Asap mengepul, Al duduk di dalam mobil sambil menghidupkan sebatang rokok. Sopir tidak berani memperingati Al, hanya bisa diam saja.
"Hidup aku sama seperti rokok, terbakar lalu dibuang dan dilupakan." Senyuman Al terlihat, dengan santainya masuk ke sekolah dengan bau rokok.
Suara teriakan teman-teman Al terdengar, mereka langsung berbagi kunci jawaban. Menyembunyikan di balik paha, lalu di lem dengan isolasi.
"Al, kamu tidak butuh contekan?"
"Tidak."
"Kenapa? ada masalah lagi."
"Tidak, aku tidak perduli soal kelulusan."
"Setidaknya kamu harus memiliki cita-cita, meskipun kita peringkat satu dari belakang." Susan tertawa, memukul kepala Helen yang mencoret pahanya untuk mendapatkan jawaban.
"Mungkin ini tahun terakhir aku di sini, jika tidak lulus aku akan menjadi wanita malam." Al memakan permen karet melangkah ke arah kelasnya.
"Wow, cita-cita kamu bagus sekali Al. Jika nanti kamu menjadi senior Om-om, tolong bantu aku mencari sugar Daddy." Helen tertawa merangkul Al yang langsung memukul kepalanya.
"Anak di bawah umur jangan banyak tingkah, jika tidak ingin hamil di luar nikah." Al tertawa langsung merangkul teman lelakinya untuk masuk kelas bersama.
Ujian terakhir, juga menjadi penentu kelulusannya. Hari terakhir Aliya menginjakan kakinya di bangku sekolah.
Guru pengawas masuk, melakukan pemeriksaan. Bau asap rokok tercium dari tubuh Al, kepala guru pengawas menggeleng meminta Al mengikutinya.
"Kamu masih merokok?"
"Iya, bahkan aku sudah bisa minum-minuman, sebentar lagi aku akan menggunakan obat-obatan. Kenapa bapak kepo sekali? urus saja hidup bapak sendiri, jangan capek-capek menasehati saya." Tatapan Al sinis langsung ingin pergi ke kelas, tapi tangannya ditahan.
"Kamu tidak pernah mencintai diri sendiri, setiap orang punya masalah Al, kamu jangan terpuruk hanya karena kamu tidak seberuntung orang lain."
"Pak Roby punya istri atau anak? jika belum punya malam ini ingin Al temani cukup bayar sepuluh juta satu malam." Al mengedipkan matanya kepada guru agama yang masih muda dan tampan.
Tidak akan ada yang bisa mengubah pendirian Al, sekalipun malaikat maut. Bagi Al hidupnya lebih menyenangkan jika hancur, dari pada berdiri dengan kata aku baik-baik saja.
Di dalam ruangan ujian, kertas soal langsung ditutup. Al melingkari lembar jawaban sesuka hatinya.
Teman-teman Al hanya bisa tertawa melihat tingkah Aliya yang menggoda guru pengawas, mata Al terpejam, langsung tidur menunggu jam ujian usai.
"Kamu tidak punya niat sekolah lebih baik pulang."
"Baiklah, saya pulang dulu pak. Selamat siang, jangan lupa makan, jika tidak nanti mati." Tangan Al mengusap wajah gurunya, langsung ditepis membuat satu kelas heboh.
"Bapak jangan munafik, jika sudah ada di atas Al nantinya ketagihan." Susan mengejek pengawas, membuat kelas semakin heboh.
"Punya bapak juga tidak terlalu besar, muat di dalam lubang." Al langsung berlari keluar kelas.
Guru hanya bisa menggelengkan kepalanya, sungguh prihatin melihat pergaulan Al yang tidak pantas untuk seorang murid.
Sepulang sekolah Al sudah dijemput oleh geng lamanya untuk bersenang-senang, suara teriakan ingin ikut terdengar.
"Siapa dia Al?" Avi menatap dua wanita muda.
"Dia Susan dan Helen, usia mereka baru tujuh belas tahun belum berpengalaman." Al meminta teman-temannya masuk.
"Sialan kamu Al, mengajari anak kecil jalan yang sesat." Avi berkenalan dengan Susan dan Helen.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, balap-balapan sudah hal biasa bagi Al.
Mobil tiba di apartemen sederhana milik Avi, mereka semua langsung turun dan masuk ke dalam apartemen yang berisikan banyak lelaki.
"Aliya, murid paling bodoh yang tidak lulus."
"Diamlah, sebelum mulut kamu aku sobek, lebih baik kumpulan dana untuk kita dugem malam ini." Al membuka bajunya, tidak perduli ada laki-laki di depannya langsung mengganti baju seksi.
Rencana malam ini mereka akan melakukan transaksi jual obat, Aliya hanya tersenyum saja melihat teman-temannya yang menyusun rencana.
Mereka akan bertemu dengan seorang pengusaha kaya, juga ada beberapa anak muda yang akan terlibat di dalam perdagangan obat terlarang.
"Aliya, kamu hari ini ikut bergabung?"
"Aku tidak perduli apa yang kalian lakukan, tapi setidaknya aku ingin bersenang-senang."
"Kita harus berhati-hati malam ini, mungkin saja sudah ada beberapa polisi yang sudah mengincar keberadaan kita." Avi menatap teman-temannya yang menganggukkan kepala.
Susan dan Helen duduk di samping Al, beberapa tangan mulai menyentuh paha Susan.
"Singkirkan tangan kamu, jika tidak ingin putus." Al menatap tajam, meminta Susan menjauh dari pria mesum yang tidak bisa membayar mahal.
"Pelit sekali kamu Al?"
"Jika kamu belum kaya, juga belum bisa menjamin hidup enak, jangan coba-coba menyentuh mereka yang hanya untuk memuaskan keinginan bejat kamu." Nada bicara Al sangat dingin.
***
JANGAN LUPA LIKE COMENT DAN TAMBAH FAVORIT JUGA HADIAHNYA.
Suara musik berdentum, Aliya masuk bersama teman-temannya yang sudah berpencar untuk melakukan tujuan masing-masing.
"Kak Al, apa yang akan kita lakukan sekarang?" Senyuman Susan terlihat, melambaikan tangannya melihat teman-teman sekolah mereka juga berhasil masuk.
"Jangan ada yang minum malam ini, lihat di sana ada polisi. Jika kita sampai ketahuan seorang siswa, orang tua kalian akan dipanggil ke kantor polisi." Al memperingati teman-teman untuk segera mencari ruangan private.
Aliya pergi mencari Avi dan teman-teman lamanya yang sedang melakukan transaksi, hanya untuk mengingatkan jika ada beberapa polisi yang menyamar.
"Ada apa Al"
"Kalian harus hati-hati, ada beberapa polisi yang sudah menyebar."
"Kamu mengenali mereka?"
"Tentu, karena aku sudah beberapa kali ditahan polisi saat tawuran." Aliya menepuk pundak, pria tampan yang pernah satu angkatan dengan dirinya untuk memperingati yang lainnya.
Aliya masuk ke dalam ruangan yang sudah di pesan oleh teman sekelasnya untuk mereka berpesta.
"Kak Al."
"Kenapa kalian semua bisa masuk? padahal masih dibawah delapan belas tahun."
"Hal mudah." Tio mengedipkan matanya, sebagai anak orang kaya dia bisa melakukan apapun.
"Aku harap kali ini kamu beruntung Tio, jangan sampai kita terkena masalah." Aliya tertawa langsung menghidupkan musik.
Suara musik berdentum terdengar, Susan sedang bernyanyi dengan suara yang sangat besar, sedangkan Al dan yang lainnya berjoget.
Suara keributan di luar tidak terdengar, anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah masih asik berjoget dan bernyanyi.
"Susan, suara kamu jelek sekali?" Al menarik mix.
Tendangan kuat membuat Al terpental, suara tawa terdengar langsung membantu Aliya berdiri karena tidak sengaja menabrak bibir Tio,
Pintu ruangan mereka terbuka, musik langsung dimatikan melihat beberapa orang berbadan besar berdiri menatap tajam Al dan Tio yang masih berdekatan.
Senyuman Al terlihat, menatap seorang pria tampan yang baru saja masuk menggunakan baju santai, jaket hitam juga topi.
"Bawa mereka semua, karena masih di bawah umur."
"Kalian tidak bisa menahan kami, di sini tidak ada minuman keras juga barang terlarang." Al berteriak menantang aparat kepolisian.
"Saya tidak perduli, orang tua kalian harus tahu pergaulan anak mereka yang tidak pantas."
"Kenapa anda ikut campur dengan keluarga orang? memangnya keluarga kamu sendiri bisa dijaga, atau putri anda juga salah satu dari kami." Al tersenyum melihat tatapan sinis yang langsung melangkah pergi.
Altha melepas tembakan ke atas, tidak ada yang diizinkan keluar dari area diskotik. Beberapa anggota polisi gabungan langsung melakukan pemeriksaan.
"Kak Al, dia juga yang memimpin pengrebekan ini." Susan memeluk lengan Aliya.
"Sepertinya ada pengejaran bandar obat terlarang secara besar-besaran." Al melihat seseorang berlari ke arahnya menyerahkan sesuatu ke tangannya.
Aliya tertawa, melihat ke arah Pras yang memberikan barang terlarang ke tangannya. Tangan Aliya langsung mendorong Susan dan Helen untuk menjauhinya.
Secepat kilat, Al berhasil menghilang dari kerumunan. Ada banyak polisi yang berjaga di toilet, Al tidak punya kesempatan untuk menyingkirkan benda sialan yang ada ditangannya.
Senyuman licik Al terlihat, menatap beberapa polisi yang sedang berbicara. Obat terlarang Al masukkan ke dalam kantong salah satu polisi langsung mengambil air mineral membersihkan tangannya.
"Sedikit saja kalian lengah, maka target akan hilang." Senyuman Al terlihat mengejek orang-orang berpangkat yang tidak bisa profesional bekerja.
Langkah Aliya terhenti, seseorang berdiri tepat dihadapannya. Mata keduanya bertemu, sama-sama dengan ekspresi wajah yang dingin.
"Di mana obat yang kamu bawa?"
"Obat apa?"
"Jangan bermain-main, aku tidak suka basa-basi." Altha menatap tajam Al.
"Pak, anda punya otak silahkan digunakan. Jika memang memiliki, aku tidak akan memberitahu kamu." Tatapan Aliya tidak kalah tajam, sudah biasa baginya mengatasi polisi seperti Altha.
"Al."
Aliya dan Altha sama-sama menoleh, melihat seseorang membawa obat yang ada di jaketnya.
"Periksa wanita ini, bisa juga dia pemakai atau pengedar." Altha menatap tajam Aliya.
"Ahjussi ... kamu cari masalah." Al tersenyum melihat satu polisi membawa Al ke toilet untuk mengambil air urine.
Selesai pemeriksa, Aliya dan teman-teman dibawa ke kantor polisi. Keributan terdengar sampai pagi pemeriksa bergilir belum juga kelar.
"Sebutkan nama kalian?" Polisi menatap Aliya dan teman-teman yang terlihat santai semua.
Semuanya hening, tidak ada yang mengeluarkan suaranya. Aliya menguap karena baru bangun tidur.
"Jika kalian tidak ingin menjawab, maka jeruji besi menjadi tempat tinggal kalian." Nada tinggi mulai terdengar.
Aliya menatap tajam polisi di depannya, meletakan kedua tangannya untuk menopang dagu.
"Kalian bekerja sangat keras, tidak tidur dan makan juga istirahat yang cukup. Apa bayaran kalian seimbang dengan kerja keras?"
"Kenapa? apa itu penting? ini tugas kami, sudah menjadi sumpah untuk mengabdi."
"Tidak semua orang akan bertahan dengan yang namanya proses, jika ada cara cepat kenapa harus lambat?"
"Nama?"
Al menatap ke arah pria yang baru saja muncul, menatap dengan dingin Aliya dan teman-temannya.
"Siapa?"
"Kamu?"
"Aku?" Aliya tertawa, mengedipkan matanya melihat Altha yang sangat tampan.
"Siapa nama kalian?"
"Saya langit pak." Kepala Tio tertunduk.
"Saya bumi pak." Susan menatap Al yang menutup mulutnya tertawa, Tio juga menatap Susan yang berubah menjadi bumi.
"Sa laut Pak." Helen binggung melihat teman-teman berubah nama.
"Lucu, apa nama kamu sungai?" Altha menatap anak laki-laki di samping Tio.
"Bukan pak, nama saya Udin."
Suara tawa Aliya langsung pecah, perutnya sakit melihat tingkah teman-temannya yang sangat konyol.
Pukulan meja terdengar kuat, Altha meminta semua dimasukan ke dalam tahanan. Menunggu sampai orang tua mereka sendiri yang datang, karena tidak ada yang ingin menyebutkan nama.
"Pak, saya sudah jujur pak nama saya Udin. Masuk ke tempat diskotik baru pertama kali, belum juga bernyanyi pak sudah ditahan."
"Apa saya harus menunggu sampai kamu selesai bernyanyi?"
"Semestinya pak, karena kita masuk ke sana bayar." Udin menatap teman-temannya meminta persetujuan.
"Kalian tahu salah kalian apa?"
"Tidak ada salah pak, kita tidak merugikan bapak, keluarga bapak, perkejaan bapak juga, kita hanya merugikan Tio yang menjadi bandar kita. Benar teman-teman?"
Altha menarik nafas panjang, melihat Aliya yang tidak berhenti tertawa. Tidak terlihat sama sekali perasaan takut.
"Pak."
"Diam!" Tatapan Altha tajam meminta Udin diam, langsung melangkah pergi setelah mendapatkan panggilan soal hasil tes para pemakai obat terlarang.
Suara Udin mengomel masih terdengar, dia menyesal mengikuti para anak-anak kota yang memiliki keturunan luar berbeda dengan dirinya yang berasal dari desa.
Suara teriakan terdengar, tamparan kuat menghantam wajah Aliya. Semuanya berdiri kaget, mendengar caci dan maki orangtua Tio.
***
JANGAN LUPA LIKE COMENT DAN TAMBAH FAVORIT JUGA
FOLLOW IG VHIAAZAIRA
HADIAHNYA JUGA VOTE UNTUK MENDUKUNG KARYA BARU AUTHOR
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!