Dalam gulita malam, serta temaram sinar purnama yang tampak bulat sempurna. Terdengar rintihan pilu seorang wanita yang akan melahirkan. Ditemani desau dedaunan, suara jangkrik dan burung hantu yang bertengger di ranting pohon saga. Menambah suasana pada waktu itu terasa sangat mencekam.
Rumah yang didominasi kayu dan dinding anyaman bambu, saksi bisu akan terlahirnya jabang bayi dari keluarga biasa.
Di depannya ada seseorang seperti dukun bayi yang akan membantu sang wanita melahirkan, ditemani lelaki paruh baya yang terlihat tengah menyemangati. Di sebelahnya lagi ada seorang ibu-ibu sudah berumur, kemungkinan dia adalah orang tua dari wanita yang akan melahirkan itu.
Terlihat jika wanita itu sangat kepayahan saat akan melahirkan. Namun, hal yang membuat aneh, tiba-tiba rumah di mana tempat bayi itu dilahirkan, terlihat banyak makhluk mengerikan. Beterbangan dan bertengger di atap, berkerumun mengintip di jendela, bahkan ada yang berusaha masuk.
Ketika sang jabang bayi terlahir pun, dia dalam keadaan tidak menangis sama sekali, dan itu membuat semua orang yang ada di sana panik, mereka berusaha membuat bayi yang masih merah itu menangis, dengan menepuk-nepuk tubuhnya.
Benar-benar pemandangan yang sangat mengerikan, mungkin siapa pun yang menyaksikan akan menelan kasar salivanya saat melihat bayi yang baru dilahirkan dan tanpa dosa, ternyata sudah di dekati makhluk-makhluk menyeramkan seperti itu.
.
.
.
Jika hidup berpikir hanya harta yang akan bisa membuat bahagia, maka berbagai cara akan ditempuh untuk mendapatkannya, walau dengan cara menggadaikan keimanan.
Ini adalah kisah mistis yang masih kental di negara kita, tentang pesugihan, walau banyak macamnya.
Kisah Ini hanya cerita fiktif belaka, mohon bijak dalam membaca.
.
.
.
~®~
Bab 1. Pergi Merantau
Dia adalah Disa Pratiwi, gadis desa biasa yang kini telah berumur 23 tahun. Terlahir dari keluarga sederhana dengan mata pencahariannya sebagai petani. Ayahnya bernama Agus Pramudya dan ibu Nuning Sulastri, dia memiliki seorang adik laki-laki bernama Bagas Prasetyo.
Karena bencana alam banjir melanda desanya dan memorak-porandakan padi mereka yang belum siap panen, Disa memutuskan untuk merantau ke kota untuk mengumpulkan modal agar kedua orang tuanya bisa bercocok tanam kembali.
.
.
.
Malam menjelang, suasana perpisahan seakan terasa begitu berat, terutama bagi Nuning. Seorang ibu yang baru pertama kali akan di tinggal pergi merantau anak gadisnya.
"Apa kamu sudah yakin, Nduk? Kita bisa pinjam bank kalo hanya untuk modal beli bibit," bujuk ibu kepada anak gadisnya itu.
"Hutang bank ‘kan harus di cicil tiap bulannya Bu ... dari mana untuk mencicilnya? Kalo kita saja harus menunggu hasil panen agar bisa mendapatkan uang."
Sang ibu pun menghela napas, yang di katakan anaknya itu memang ada benarnya, tapi untuk melepasnya merantau di kota, dirinya masih belum rela.
"Lagian kan, aku ndak luntang lantung, Bu. Aku kan sudah tau majikanku siapa." Disa mencoba menenangkan ibunya.
"Ya sudah, tapi Ibu pesen, jangan lupa selalu kabari kami, ya?" pintanya sambil mengusap rambut panjang anak gadisnya yang esok pagi akan pergi merantau itu.
Disa dan ibunya pun keluar dari kamar setelah membantu mengepak pakaian yang akan anaknya bawa itu.
Mereka duduk di ruang TV, di sana sudah ada bapak beserta adiknya.
Bercengkerama untuk terakhir kalinya, karena esok Disa akan meninggalkan mereka pergi merantau ke kota.
Disa mengadu nasib sebagai pelayan toko, dia sudah tau siapa majikannya. Majikannya itu bernama Mariska, dia adalah kakak kelas Disa dulu dan juga tetangga bibinya.
Ya, Disa mendapatkan pekerjaan itu dari bibinya, bibinya adalah ipar dari ayahnya. Saat Disa dan keluarganya sedang bingung bagaimana nasib mereka nanti, sang bibi memberi tahu jika tetangganya sedang membutuhkan pelayan untuk di kota, dan Disa pun setuju. Di samping keluarganya membutuhkan uang, Disa juga tau akan bekerja pada siapa.
Ke-esokkan harinya, Disa sudah masuk mobil Travel yang akan mengantarkannya ke rumah sang majikan, sang ibu sebenarnya masih berat melepas anak gadisnya itu, entah kenapa hatinya merasa tak tenang, walaupun dia tau siapa majikan anaknya itu, tapi tetap saja ada yang mengganjal di hatinya.
"Inget loh, Nduk. Jangan tinggalkan ibadahmu, sesibuk apa pun kamu, terus jangan lupa sering-sering kabari kami," pinta sang Ibu.
"Iya Bu. Doakan Disa selamat sampai di sana, ya Bu?" pamit Disa.
Mobil pun berangkat meninggalkan kampung halaman Disa. Desa yang sangat berat untuk ditinggalkan, selain suasananya yang sangat asri, sebagian besar tanahnya masih dipergunakan sebagai persawahan yang sangat terbentang luas. Sejauh mata memandang.
Perjalanan yang ditempuh akan cukup panjang, istirahat siang pun harus mereka lakukan. Mobil berhenti di tempat peristirahatan. Disa duduk di bangku pengunjung dan hanya memesan teh hangat, karena dia sudah membawa bekal makanan dari rumah.
Saat sedang memakan makanannya, ada seorang wanita yang izin untuk duduk bersamanya. Disa tau dia salah satu penumpang yang sama dengan dirinya, sehingga tanpa pikir panjang Disa pun mempersilahkan orang tersebut duduk di hadapannya.
Seorang wanita paruh baya, mungkin seumur dengan bibinya. Wanita itu pun memakan bekal bawaannya dari rumah, sama seperti Disa. Setelah selesai, mereka pun merapikan kembali bekal mereka dan berbincang-bincang.
Wanita itu lantas bertanya kepada Disa. "Kamu mau ke mana, toh Nduk?"
"Saya mau ke kota xxx Bu."
"Namaku Retno." Wanita itu memperkenalkan diri, Disa pun balas memperkenalkan dirinya.
"Mau kerja apa di sana?"
"Jadi pelayan toko, Bu."
"Oh ... siapa toh majikanmu?"
"Saya kerja sama keluarga Pak Arya Winangun Bu."
Retno heran karena sepengetahuannya keluarga yang di katakan Disa, tak ada yang merantau. "Setau saya keluarga Pak Arya ngga ada yang merantau—"
Namun Retno mengingat jika putri dari keluarga Arya Winangun ada yang di kota. "Eh, ada juga anaknya yang di boyong mertuanya sih, merantau di kota xxx."
"Iya Bu saya ikut putri beliau mbak Mariska."
"Oalah ... kamu itu berarti kerja sama keluarga Pak Hanubi. Hemmm ... kamu hati-hati ya Nduk kerja di sana. Kalo memang niatmu kerja, ya kerja saja. Tak perlu mengurusi masalah majikanmu," nasihat Retno.
Dia merasa sedikit tersinggung dengan nasihat Retno. 'Memang kapan aku ikut campur urusan orang,' pikirnya.
Mereka pun kembali ke dalam mobil karena perjalanan akan segera di lanjutkan.
Di perjalanan, Disa pun tertidur karena saat melintasi jalan bebas hambatan mobil macet tak dapat bergerak.
"Ada kecelakaan." Sang sopir memberi tahu.
Saat Disa baru memejamkan mata dia di kagetkan suara ketukan di jendela mobilnya. Disa pun menoleh, ternyata hanya seorang peminta-minta, pikir Disa.
Seorang lelaki tua dengan tampilan agak kumuh dengan jaket hijaunya, berambut putih dan berjanggut putih, dengan wajah yang pucat.
Disa lantas membuka kaca mobil hendak memberi uang untuk kakek-kakek itu. Saat ia akan menutup jendelanya kembali, Kakek tua itu berpesan agar selalu berhati-hati, Disa berpikir tak ada yang aneh dari pesan si Kakek.
Hingga mobil kembali berjalan, ia melihat terus kaca spion memperhatikan si kakek. Disa melihat kakek tua itu masih melihat ke arahnya, dan tiba-tiba kakek itu menghilang.
Disa yang panik segera bangkit berdiri dan melihat ke arah belakang sambil memegang jok mobil, memastikan jika penglihatannya salah.
Retno yang duduk di belakangnya bertanya, "Ada apa toh Ndok, kok kaya bingung gitu?"
"Bu, liat ngga tadi kakek-kakek yang ngetuk jendela mobil? yang saya kasih uang Bu, saya kira peminta-minta, pas saya lihat dari spion hilang Bu!" ucap Disa dengan nada waswas.
Penumpang lain tertawa mendengar perkataan Disa, mereka menganggap jika Disa hanya mengigau saja.
Retno juga bingung dengan ucapan gadis di depannya ini. "Kamu ada-ada aja Nduk, kamu mimpi, ya? Dari tadi ngga ada yang ngetuk, kamu juga ngga buka kaca, loh! Udah duduk lagi, baca doa jika hendak tidur, Nduk," nasehatnya.
Disa pun kembali duduk, dia yakin dia tidak bermimpi, tapi tak ada yang mempercayainya, jadi Disa memutuskan mungkin ia hanya berhalusinasi saja. Mungkin dia bosan sudah terlalu lama berada di dalam mobil.
Karena memang, dia tak pernah berada di mobil selama ini. Disa kembali memandang ke arah samping jendela mobilnya, saat mobilnya melintasi area kecelakaan. Disa bisa melihat satu mobil remuk menghantam trotoar jalan, di depannya ada mobil ambulans yang sedang mengangkat para jenazah.
Nahasnya, Disa melihat para perawat yang sedang mengangkat salah satu korban ke dalam mobil ambulans itu, dan apa yang Disa lihat membuatnya seketika membeku.
Ya, Disa melihat kakek yang tadi mengetuk jendela kaca mobilnya, sedang di tandu masuk ke dalam mobil ambulans. Disa tak tau kakek itu masih hidup atau tidak. Disa gemetaran, tubuhnya bergetar hebat, orang yang duduk di sampingnya bahkan sampai mengguncang tubuhnya berusaha menenangkannya.
Firasatnya tiba-tiba memburuk, dia berpikir apa akan terjadi sesuatu dengan dirinya, dia ingin pulang, tak tau kenapa perasaannya menjadi kacau.
.
.
.
Bersambung ....
Disa masih dalam perjalanan, satu persatu penumpang di antar ke tempat tujuan mereka, tersisa tiga penumpang termasuk Disa.
Disa melihat plang yang menunjukkan arah tujuannya terlewat. Disa pun berkata kepada sang sopir bahwa tujuannya terlewat, dia panik karena takut sang sopir membawanya ke tempat lain, pikirnya.
Sang sopir pun menjawab, "Sabar, kamu nanti yang terakhir saya antar, karena saya sudah mendapat pesan kamu yang paling akhir."
Ada yang aneh menurut Disa, kenapa dia harus di antar paling akhir, padahal jika menurut arahnya, harusnya ia terlebih dulu di antar ketimbang sisa penumpang lainnya.
Retno pun pindah duduk di sampingnya. "Sabar ya? Nanti juga pasti di antar, kalo ke perumahan keluarga pak Hanubi, memang sudah biasa seperti ini, setau Ibu," ucap Retno, yang malah terlihat semakin janggal di mata Disa.
Disa pun hanya bisa mengangguk pasrah, saat semua penumpang telah di antar termasuk bu Retno, sang sopir pun berbalik arah hendak mengantar Disa.
Di jalan sang sopir pun mengisi bahan bakar mobilnya, dan Disa yang kebetulan ingin buang air kecil, lantas pamit ke toilet dan di anggukan oleh sang sopir.
Ini sudah larut malam, keadaan jalan pun sudah semakin lengang, apalagi pom bensin tampak sepi. Disa segera masuk ke dalam toilet, setelah selesai dia berniat mencuci mukanya. Namun, samar-samar dia merasa bahwa dirinya tidak sendiri. Membuat bulu kuduk di tengkuknya meremang, dan hawa di dalam toilet terasa semakin dingin.
Di dalam toilet ada 2 pintu lagi, satu pintu terbuka karena memang Disa sehabis dari sana, satu pintu masih tertutup.
Disa pun mencoba bertanya, "Mbak ... Bu ... apa ada yang masih di dalam toilet?" Sambil terus menatap ke arah pintu toilet. Namun, setelah cukup lama tak ada jawaban. Disa pun mendekat, memberanikan diri mengetuk untuk memastikan.
Sisi dalam nuraninya berkata untuk segera pergi dari sana, tapi entah kenapa kakinya malah melangkah mendekat. Saat sudah sampai di depan pintu toilet, Disa pun mengetuk.
"Bu ... Mbak ... ada orang di dalam ngga, ya?"
Masih tak ada jawaban, tapi samar-samar Disa mendengar suara lirih seperti seseorang tengah terisak.
Disa pun mengetuk lagi, dan masih tak ada jawaban, hingga Disa pun menempelkan telinganya ke pintu untuk mendengar suara tadi, memastikan apa suara itu berasal dari sana atau bukan.
Disa masih belum berpikir macam-macam, dia hanya khawatir terjadi apa-apa dengan seseorang di dalam sana.
Disa mendengar suara lirihan itu semakin jelas, suara terisaknya semakin jelas, dan malah itu membuat semua bulu kuduknya meremang.
Tampak samar-samar dia mendengar suara. "Kembalilah." Secara berulang-ulang. Tidak sampai di sana ketakutannya, tiba-tiba pintu itu seperti di ketuk dari dalam, seolah seseorang di dalam sana tak suka dengan apa yang Disa lakukan.
Pandangannya teralihkan saat pintu toilet utama terbuka, seorang gadis langsung masuk ke arah pintu toilet bekas Disa tadi, gadis itu memandang aneh Disa.
Yang membuat Disa terkejut, pintu toilet yang ia ketuk sudah terbuka lebar, dan tidak ada siapa pun di dalam sana.
Disa lantas berjalan tergesa-gesa ke arah mobil Travel. Melihat raut wajah Disa yang tampak aneh, sang sopir pun bertanya, "Kamu kenapa, kok wajahmu pucat sekali, sakit?"
Disa pun menggeleng. "Pak, apa tujuan saya masih jauh?" ucapnya dengan suara gemetar.
"Sebentar lagi. Ya sudah ayo kita jalan." Sang sopir pun kembali melajukan kendaraannya.
Disa melihat gapura nama perumahan tempat tinggal majikannya, Disa bergumam dalam hati, ternyata majikannya tinggal di pinggiran kota, terlihat dari masih banyaknya tanaman di sekitar sini.
Perumahan itu tampak sepi, Disa lantas mengeluarkan gawainya untuk melihat alamat yang bibinya berikan, dia berpikir mungkin beberapa gang lagi. Benar saja, saat memasuki gang menuju rumah majikannya di gang itu, malah tampak lebih sepi dari gang yang lain.
Setiap gang hanya terdiri dari 10 rumah yang berhadap-hadapan, Disa pun sampai di depan rumah majikannya, Disa yakin jika majikannya membeli rumah 3 baris sekaligus, karena tampak rumah itu yang lebih besar ketimbang rumah yang lainnya.
Rumah ini pun buntu, akses masuk hanya lewat satu jalan saja. Pak sopir pun menekan bel rumah majikannya. Sedang Disa masih menatap rumah di hadapannya ini, sekilas Disa melihat jika seseorang baru saja menutup gordennya, dan mengintip ke arah dirinya, Disa tak tau siapa itu dan di ruangan apa.
Tak lama lelaki paruh baya yang sepertinya seorang penjaga rumah membuka pintu, kami tak di persilahkan masuk, pak sopir hanya berbicara lalu lelaki itu kembali ke dalam, mungkin memberi tahu orang rumah.
Lelaki paruh baya itu pun datang dengan seorang perempuan paruh baya, setelahnya, perempuan tadi memberi uang kepada pak sopir dan menyuruh Disa masuk.
Pak sopir pun pamit, Disa pun mengikuti perempuan yang berjalan di depannya ini.
Disa memang di besarkan dengan adat yang masih mempercayai hal mistis, saat dia berjalan dia pun tak henti-hentinya mengedarkan pandangannya ke penjuru rumah.
Disa mengagumi rumah ini, tampak luas dan sangat mewah, tapi ada kesan ganjil menurutnya, dimana Disa merasa jika suasana rumah ini terasa anyep.
Disa pun masih berpikir positif mungkin memang ini sudah tengah malam, dan hawa juga semakin dingin.
Disa dibawa masuk melalui samping rumah, jadi dia bisa melihat pemandangan rumah majikannya. Saat pandangan menangkap arah gazebo, di sana gelap gulita. Yang tampak hanya sinar temaram lampu tanam saja.
Disa seperti melihat ada sekelebat bayangan yang lewat, Disa masih terpaku menatap, walau kakinya tetap berjalan mengikuti perempuan di depannya ini. Tiba-tiba perempuan paruh baya tadi berhenti, dan Disa pun terkejut lantas langsung berhenti dan menundukkan wajahnya.
Ada rasa sungkan saat menatapnya, Disa merasa seperti tertangkap basah sedang mengagumi hal indah milik orang lain. Mungkin seperti itulah perasaannya, walaupun sebenarnya itu hal wajar, tapi entah kenapa seperti tabu di rumah ini.
"Nama saya Bu Sumarni, saya kepala pelayan di rumah ini," ucap Bu Sumarni tegas.
"Nama kamu Disa kan?" lanjutnya.
"Iya Bu," jawab Disa yang masih menunduk.
"Ini kamar kamu, sementara kamu tinggal di sini dulu, besok baru berbincang dengan yang lainnya, ingat ... jangan keluyuran malam-malam!" ucap Bu Sumarni tegas, nadanya terdengar seperti ancaman, dan ada sangsi jika dilanggar. Entahlah, Disa merasa seperti itu.
"Baik Bu." Hanya itu yang bisa Disa ucapkan, lagi pula badannya sudah sangat lelah, dia ingin sekali merebahkan tubuhnya.
Bu Sumarni pun mengetuk pintu kamar Disa, Disa pun bernafas lega ternyata dia tidak tidur sendiri di tempat asing ini.
Aneh memang padahal di kampung dia memiliki kamar tidur sendiri, tapi semenjak melihat hal-hal aneh yang dia alami hari ini, di tambah rumah ini yang masih terasa asing, Disa bersyukur dirinya memiliki teman berbagi kamar.
.
.
.
Bersambung ....
Pintu kamar dibuka, Disa di sambut oleh seorang perempuan yang sepertinya lebih tua darinya, perempuan itu pun sama, menundukkan kepalanya tanda ia juga menghormati Bu Sumarni.
"Iya Bu ... mari masuk." Gadis itu berdiri merapat ke pintu mempersilahkan Bu Sumarni dan Disa untuk masuk.
"Disa ... ini Yanti. Kalian akan tinggal satu kamar untuk sementara. Langsung istirahat, mengobrolnya besok saja, ini sudah larut malam, mengerti?" perintah Bu Sumarni yang langsung dijawab Disa dan Yanti bersamaan.
Disa pun masuk, kamar yang tak terlalu luas, jika di lihat dari bentuk rumah majikannya, mungkin karena kamar pembantu, batin Disa.
Disa lantas memperkenalkan dirinya dengan menyalami perempuan di depannya ini. "Saya Disa mbak."
"Saya Yanti, alah jangan panggil mbak, kayaknya kita seumuran," tukas Yanti.
"Umurmu berapa Dis?" tanya Yanti kemudian.
"23 Mbak, eh Yan."
"Oalah kan kita cuma beda setaun, saya 24 Dis, panggil Yanti saja, ya?" pintanya.
"Iya Mbak, eh Yan." Mereka tergelak karena kekakuan Disa.
Tiba-tiba pintu di ketuk dan seseorang langsung berbicara, "Ibu sudah bilang, kan. Langsung istirahat, ngobrolnya besok saja!" Suara Bu Sumarni memperingati.
Disa dan Yanti lantas meminta maaf bersamaan, keduanya pun berbisik-bisik agar suara mereka tak terdengar sampai keluar.
.
.
.
Keesokan paginya, semua sudah bangun, Disa dikenalkan oleh Yanti dengan dua orang pembantu lainnya.
Mita ini lah yang paling muda di antara mereka, dia baru berusia 20 tahun, dan ada Fatmah yang lebih tua dari mereka semua, dia berusia 30 tahun dan dia seorang janda dengan dua orang anak.
Saat Disa memperkenalkan diri, hanya Fatmah yang sepertinya menerima baik dirinya, sedangkan Mita, dia bersikap sangat angkuh terhadapnya.
Fatmah yang paling lama bekerja di sini di antara mereka, dia sudah di sini selama 2th, setelah itu Mita, semenjak lulus sekolah Mita langsung merantau ke kota untuk menjadi pembantu di rumah ini. Sedang Yanti, dia baru 3 bulan bekerja di rumah Kanjeng Ibu.
Menurut Yanti, tadinya Mita yang tidur di kamar sendirian, tapi saat mendengar akan ada seseorang yang datang, dan tinggal bersama mereka, Mita memutuskan untuk tidur dengan Fatmah, Mita enggan tidur dengan orang baru.
.
.
Terlihat Fatmah sedang membantu Bu Sumarni menyiapkan sarapan untuk majikan mereka.
Dapur terdiri dari 2 ruang, di mana dapur utama di khususkan untuk menyimpan bahan makanan untuk majikan, dengan ukuran yang besar dan perabot yang komplit, para pembantu tak boleh mengambil bahan makanan dari sana, atau pun memakan makanan menggunakan perabot dari dapur utama.
Sedang dapur ke dua adalah dapur untuk memasak, dan menyimpan makanan untuk para pembantu atau pengurus rumah lainnya.
Memang di dapur utama ada kompor, tapi tidak di gunakan untuk masak, kompor di gunakan hanya untuk memasak air atau jika majikan mereka ingin memasak sendiri makanannya.
Masakan untuk majikan di masak di dapur kedua, setelah menghidangkan makanan untuk para majikan, barulah salah satu dari para pembantu memasak hidangan untuk mereka sendiri.
Walaupun di bedakan, bukan berarti majikan mereka tak memberi para pekerjanya makanan tak layak, mereka pun di sediakan bahan makanan yang sehat dan bergizi, hanya di bedakan tempat penyimpanannya saja.
Mereka juga di sediakan daging-dagingan dan buah-buahan, bahkan makanan ringan.
Di sini mereka akan bergantian memasak, jika masakan untuk majikan khusus di masak oleh Bu Sum.
Di rumah ini, majikan mereka ada lima orang, terdiri dari Pak Hanubi kepala keluarga, Kanjeng Ibu, Tuan Irwan dan istrinya Nyonya Mariska, dan anak mereka Ndoro Putra yang berusia 4th.
Ada satu lagi anak Kanjeng Ibu yang perempuan bernama Nona Wulan dia sedang menempuh pendidikan kuliahnya di Negara tetangga, dan akan segera wisuda, dia seumuran dengan Disa.
Disa mengenal Nyonya Mariska, walau pun begitu, di sini dia hanyalah seorang pembantu, jadi dia tetap harus menghormati beliau.
Mariska menikah saat berusia 20th, saat ini usianya 25 tahun, dia adalah kakak kelas Disa saat di Sekolah Menengah Atas.
.
.
.
Mereka semua sedang sarapan setelah membersihkan rumah, saling bertanya satu sama lain, hanya Mita yang masih tampak sinis dengan Disa, entah karena apa.
Bu Sumarni adalah kepala pelayan yang makan bersama dengan para majikan, karena beliau yang melayani para majikan di meja makan, jadi sekalian dia makan di sana dan hanya dia yang di perbolehkan.
Disa ingin sekali bertemu dengan Nyonya Mariska, saat dia memandang ke meja makan tak ada sosoknya di sana, Disa pun heran tapi tak berani bertanya.
Setelah itu Bu Sumarni menghampiri mereka "Nanti bereskan meja makan, dan kamu Disa ayo ikut saya, kanjeng Ibu ingin bertemu denganmu" ucapnya ke arah Disa.
Mereka pun melakukan apa yang Bu Sumarni suruh, dan Disa pun kembali berjalan mengikuti Bu Sum, menghadap kanjeng ibu, majikan utamanya.
Disa seperti di ajak ke sebuah ruang baca, di sana ada satu set sofa dan banyak buku di pajang di sepanjang rak yang menempel di dinding.
Ada satu lukisan besar yang membuat Disa terpana, Di lukisan itu ada seorang wanita dengan sanggul dan baju adat jawa, tengah duduk, di belakang lukisan wanita itu ada kaca besar, Disa tak mengerti maknanya, tapi lukisan itu membuatnya merinding.
Wajahnya tampak tak asing, tapi Disa tak bisa memandangnya lebih lama karena Bu Sumarni sudah menyikut dirinya, Disa terkejut dan malu, dia tak mendengar panggilan Bu Sumarni, segera ia menundukkan pandangannya. Berharap itu tak menjadi masalah di hari pertamanya bekerja.
Bu Sumarni duduk di kursi satu dudukan, bersebelahan dengan Kanjeng Ibu yang duduk di sofa panjang, sedang Disa dia duduk bersimpuh di bawah.
"Kenapa dengan lukisan itu? Apa sangat indah? Sampai kau tak mendengar panggilan Sumarni," ucap Kanjeng Ibu.
Suaranya begitu halus, dan berwibawa, membuat Disa merasa kecil.
"Siap namamu Nduk?" ucap Kanjeng ibu.
"Saya Disa, Bu."
"Sebenarnya kamu akan saya tempatkan untuk membantu di toko sembako di kota, tapi saya kekurangan tenaga di rumah ini. Jadi, untuk sementara kamu bekerja di sini, ya? Merawat dan menjaga anak mantu saya," ucap Kanjeng Ibu.
Disa pun kaget. "Anak mantu? Apa mbak Mariska sakit? Pantas dia tak terlihat tadi, sakit apa, ya?'' gumam Disa.
"Baik Kanjeng Ibu," jawab Disa.
Disa sudah di beri tahu, panggilan masing-masing majikan, dan yang paling penting Disa tak boleh menyela atau pun bertanya tentang apa pun yang majikannya itu suruh, dia hanya boleh menjawab BAIK.
Biasanya Bu Sumarni lah yang menjelaskan, atau pun jika ingin bertanya hanya boleh kepada Bu Sum, agar beliau yang menyampaikan kepada kanjeng ibu.
.
.
.
Disa keluar bersama Bu Sumarni, mereka menuju dapur utama. Di sana Disa melihat Bu Sumarni menyajikan bubur di mangkuk dan menaruhnya di nampan bersama air putih dan kotak obat.
"Ayo bawa, kamu akan saya ajak ke kamar Nyonya Mariska, ingat ... saya tahu jika Nyonya Mariska adalah teman kamu di kampung, tapi di sini beliau adalah majikan kamu, jangan sampai kamu sembarangan melayaninya, mengerti!" peringatan Bu Sumarni.
Disa heran apa Bu Sumarni tau semua tentang dirinya, atau beliau mengenal bibinya? Entahlah, lagi pula Disa tau diri siapa dirinya dan Nyonya Mariska pikirnya, tak mungkin dia akan bersikap seenaknya.
Disa lagi-lagi membuntuti Bu Sumarni, saat sampai di depan pintu kamar Nyonya Mariska, Bu Sumarni pun mengetuknya.
Pintu-pintu kamar utama Mempunyai 2 daun pintu, dengan ukiran-ukiran yang megah, dan di atas ujung kusen pasti terdapat ukiran wayang, menurut Disa sangat menyeramkan.
Entahlah memang rumah ini sangat mencekam menurut Disa.
.
.
.
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!