Hai para pembaca yang baik, pertama-tama terima kasih saya sampaikan pada semua pembaca setia novel pertama saya yang berjudul Zora’s Scandal yang selalu ganti cover dan judul (maafkan saya akan hal itu). Semua dukungan dari kalian sangat memotivasi saya untuk selalu ingat untuk menulis dan akhirnya menyelesaikan satu novel dengan baik walau ada beberapa dari kalian yang belum puas tentunya, maka untuk itu saya selalu menerima kritik dan saran dari kalian untuk perkembangan saya ke depan.
Kali ini, saya hadir lagi lewat novel ini untuk menemani hari-hari kalian. Semoga novel yang kedua ini bisa terselesaikan dengan lebih baik lagi.
Cerita dalam novel ini adalah sambungan dari novel yang pertama namun dari sudut pandang yang berbeda (maka sangat disarankan untuk baca novel "Zora's Scandal" terlebih dahulu).
Tokoh utama dalam novel ini adalah Agni Aditya, anak dari sepasang suami Aditya dan Zora (baca lebih lanjut Zora’s Scandal bagi yang belum baca agar ceritanya lebih nyambung lagi).
Tanpa berpanjang lebar lagi, langsung saja nikmati sajian cerita di bawah ini, jangan pernah lupa memberi dukungan ya, hehehe.
Episode 1: Berkejar-kejaran
Seorang perempuan muda berlari dari kejaran polisi. Lorong yang sempit itu membuatnya sedikit beruntung karena sekarang motor polisi tidak lagi mengalami kesulitan untuk masuk menembus lorong sempit itu. Perempuan yang dikejar itu sudah ngos-ngosan. Dia berhenti, mengambil nafas sebentar, dan berlari lagi sesaat dia melihat bayang-bayang beberapa polisi yang mengejarnya. Dia tidak mau tertangkap, akan panjang urusannya kalau dia harus tertangkap polisi, dia akan dipaksa mengakui kesalahan yang bukan kesalahannya.
Permpuan itu berbelok ke kanan, ada jalan buntu, dia menerobos masuk ke dalam salah satu rumah. Polisi-polisi itu memang masih jauh, namun jika pemilik rumah berteriak karena ada orang yang menerobos masuk ke dalam rumahnya, dia akan tertangkap, maka sebelum pemilik rumah itu berteriak, dia mendekap mulut perempuan setengah baya itu, tidak sulit baginya karena perempuan itu sudah sakit-sakitan, dia tidak berdaya di tangan perempuan muda yang menerobos masuk rumahnya itu.
“Jangan teriak, aku akan memberimu imbalan yang pantas untuk tidak teriak, aku tidak lama di sini,” perempuan muda itu mengeluarkan segepok uang biru dari tas kecil yang sedari tadi dipegangnya, sedangkan salah satu tangannya yang lain masih mendekap mulut perempuan yang tidak berdaya itu.
“Mengangguklah kalau kau setuju!”
Perempuan tua itu mengangguk kepayahan. Mulutnya dilepas setelah dia mengangguk. Dia memandang perempuan yang sedang ngos-ngosan itu.
“Di mana saya bisa sembunyi?”
Perempuan pemilik rumah itu menunjuk lemari tua yang sudah rewot, tangannya yang lain mengambil uang biru yang dilempar di kasurnya dan memasukkannya ke dalam bh-nya.
Perempuan penerobos itu kebingungan, dia mengangkat bahunya.
“Tubuhku akan merobohkan lemarimu itu, tidak ada tempat yang lebih aman untuk bersembunyi?”
Perempuan tua itu tampak berpikir. Dia menunjuk ke bawah tempat tidur.
Setelah perempuan penerobos itu telentang di bawah tempat tidur yang pengap itu, perempuan tua itu menutupnya pakai kain dan pura-pura tidur di atas kasur tua yang sudah mulai mengeras dan berwarna kecoklatan.
Tak lama setelah itu, 1 orang polisi memasuki rumah itu. Perempuan itu tidak bergerak sama sekali seperti perempuan penerobos yang kini ada di bawah kasurnya masuk menerobos ke dalam rumah petak kecil itu.
“Permisi, ibu, kami mencari perempuan berbaju hitam, apakah ibu melihatnya?”
Wanita itu tidak menjawab, dia pura-pura sakit, dia menggeleng-gelengkan kepalanya di atas bantal buluknya.
Polisi itu sedikit ragu dengan ibu itu, matanya menyuri sudut-sudut ruangan kecil itu. Tampaknya memang tidak ada apa-apa di sana. Pandangannya memang terbatas karena tidak ada sinar di dalam rumah itu, panasnya Jakarta karena matahari sedang terik-teriknya tidak sampai di sana, rumah-rumah kecil di sana terlindung dari sinar matahari karena banyaknya bangunan pencakar langit yang mengelilingi lorong kecil itu.
“Ibu, perempuan itu sangat berbahaya, bicaralah kalau ibu melihatnya, ibu aman karena kami saya ada di sini!” Polisi itu mencoba membujuk perempuan tua yang tampaknya tidak berdaya itu agar memberitahukannya kalau-kalau dia melihat perempuan muda berbaju hitam atau dia sengaja menyembunyikan perempuan itu di sana.
Polisi itu tidak mendapat jawaban dari polisi yang ragu-ragu itu. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, wajahnya datar, tidak ada ketakutan yang mencurigakan di wajahnya.
Polisi itu putus asa, dia mendapati kawannya ada di luar rumah.
“Bagaimana? Di sini juga tampaknya tidak ada. Sepertinya kita harus mengejar ke arah sana, sebelum dia menghilang lagi!”
“Baik,” rekan polisi yang lebih gempal itu kemudian berlari menuju arah telunjuk tangan kanan rekannya.
***
“Terima kasih bu, nih tambahan, aku pamit dulu ya!” Perempuan muda itu memberikan segepok uang biru lagi pada perempuan tua yang pura-pura sakit itu.
Perempuan itu sudah bangkit dari tidurnya beberapa menit setelah polisi itu keluar dari rumah kecil yang sumpek lagi gelap itu.
“Terima kasih!” dia memasukkan uang itu ke dalam bh-nya lagi.
“Saya permisi dulu!”
“Baik!”
Saat penerobos itu hendak melangkah keluar pintu, perempuan tua itu menangkap tangannya, membuat penerobos itu heran, sedikit kesal karena dia sedikit terkejut karena tangan yang kini menggenggam pergelangan tangannya.
“Kalau mau lari lagi, mampir ke sini lagi ya!”
“Ye, maunya! Lepaskan aku masih ada urusan penting!” perempuan muda itu menarik kasar tangannya hingga lepas dari genggaman lemah perempuan tua yang kini tersenyum menggoda.
“Canda…, tegang banget sih, sekali lagi, makasih ye!” dipukulnya bh-nya, di mana uang kini aman di dalam sana.
“Iya, iya, aku pamit, terima kasih juga ya, aku akan mampir sesekali ke sini!” mulut penerobos itu tanpa beban, namun di dalam hatinya dia memaki karena banyak sarang laba-laba menempel dibaju dan rambutnya.
Sebentar dipastikannya kembali jika sarang laba-laba itu sudah tidak ada lagi di baju dan rambutnya. Perempun tua itu turut membantu, memukul pelan pundak penerobos yang dermawan itu karena dia melihat ada laba-laba kecil sedang berjalan di sana.
“Sudah, sudah bersih! Selamat jalan, hati-hati, jangan sampai ketangkap!”
Tanpa melirik ke arah perempuan tua penghuni rumah, penerobos itu keluar dari rumah, sebelumnya dia memastikan jalanan gang sempit itu sudah aman dari polisi yang mengejarnya.
Dia berjalan pelan dan hati-hati sepanjang lorong, tatapannya ke depan tapi matanya bergerak ke kiri dan ke kanan, kalau-kalau ada polisi yang masih mengintainya di sana.
Dia lega karena tidak ada polisi di sepanjang lorong itu, hanya mata orang-orang di sepanjang jalan menatapanya tajam, seolah menghakiminya sebagai kriminal yang pantas ditangkap polisi, atau entah mereka kasihan padanya yang harus dikejar-kejar polisi.
Orang-orang itu bertanya-tanya apa gerangan kesalahan yang dilakukan perempuan itu, semua pertanyaan dilontarkan di dalam hati masing-masing. Mereka sudah terlalu biasa dengan kejar-kejaran antara kriminal dengan polisi di gang itu, jadi saat siang ini, perempuan itu dikejar polisi, semuanya menonton dan kalau ditanya polisi, semua kompak menjawab tidak melihat siapapun yang mereka kejar, padahal mereka semua tahu pasti ke mana perempuan tadi mengamankan diri.
***
“Halo, Agni, kali ini kau tidak bisa lari lagi!”
Tepat di ujung gang yang sempit itu, seorang polisi menyergapnya.
Perempuan yang bernama Agni itu dengan sigap balik kanan dan hendak lari lagi ke dalam gang sebelum dia sadar ada polisi yang gempal sudah menghadangnya dari belakang, entah dari mana polisi itu muncul, dia tidak memperhatikan jika ada polisi yang sedang bersembunyi di sana.
Agni menambrak polisi gempal itu, namun tenaganya tidak cukup kuat untuk merobohkan badan gempal polisi itu, dia berhasil dilumpuhkan dengan gampang.
Agni bersungut di dalam hati. Uang hilang, kini dirinya juga sudah tertangkap.
“Jangan melawan, semakin kau melawan, semakin sakit tanganmu!” sedikit berteriak, polisi yang gempal itu mengingatkan Agni untuk tidak bergerak dan berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangannya. Dia diborgol, seperti penjahat yang berbahaya, dia digiring menuju mobil polisi.
Jangan lupa tinggalkan jejak dulu ya kak, tungguin cerita selanjutnya. Tekan favorit agar dapat notifikasi kalau kelanjutan ceritanya sudah di-up lagi, terima kasih sudah mampir 🙏🤗
Casting:
⚠️ Ini hanyalah gambaran penulis saja untuk para tokoh yang ada di dalam novel ini, karena novel ini adalah cerita fiksi maka semua kejadian yang digambarkan dalam novel ini bukan merupakan gambaran karakter/perilaku para aktor/aktris berikut ini"
Im Yoon-ah (sebagai Agni) dikenal juga sebagai YoonA adalah penyanyi, aktris, penari, model, dan presenter asal Korea Selatan. Ia merupakan anggota Girls' Generation termuda kedua setelah Seohyun. (Sumber: Wikipedia).
Ji Chang-wook (sebagai Victor) adalah aktor asal Korea Selatan. Ia memperoleh kepopuleran karena perannya sebagai Dong-hae dalam drama harian Smile Again, diikuti oleh drama-drama sejarah, Warrior Baek Dong-soo dan Empress Ki (Sumber: Wikipedia).
Flash back on
Agni masuk di SMA favorit di Jakarta. Banyak anak-anak yang ingin masuk ke sekolah itu, terutama orang tua mereka, sekolah itu memiliki reputasi yang tidak usah dipertanyakan lagi. Semua siswanya dari tahun ke tahun pasti lulus 100% dan lulusannya rata-rata kuliah di kampus-kampus ternama di Indonesia, tidak sedikit juga yang kuliah di luar negeri juga. Bisa dibayangkan kekuatan ikatan alumninya.
Agni, putri satu-satunya pasangan Zora dan Aditya menjadi siswi yang populer di sekolah itu. Bagaimana tidak, Agni selalu juara 1 di kelas dan otomatis selalu menjadi perwakilan sekolah bila ada perlombaan-perlombaan tingkat SMA.
Semua itu tentu tidak membuat Agni menjadi jumawa. Orang-orang tidak tahu kehidupannya di rumah seperti apa. Walau secara materi memang dia memiliki semua yang dibutuhkannya, tetapi sepertinya dia kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Ibunya, Zora, sibuk dengan kegiatan amalnya dan selalu keluar kota bersama supirnya Jono. Kalau Agni beruntung, Jono akan tinggal di rumah menemaninya bila Zora tidak membutuhkan Jono ada bersamanya. Sedangkan Aditya, bapaknya, jarang di rumah, dia seorang pebisnis, kalian pasti tahu sibuknya menjadi seorang pebisnis. Pada kasus Aditya, lebih beda lagi, dia harus tinggal lebih lama di Singapura mengurus bisnisnya dan hanya 1 atau 2 hari di Indonesia, akan lebih lama lagi bila dia benar-benar ada urusan dengan klien atau dengan teman-temannya. Maka waktu untuk Agni nyaris tidak ada.
Kalau Agni bertanya pada ibunya, jawabannya hanya: papa kan sibuk sayang, itu juga untuk kebaikanmu juga, untuk mencukupi semua kebutuhan kita. Selalu itu yang diulang-ulang ibunya.
Kesepian yang dimiliki Agni tidak digunakannya untuk meratapi nasibnya terlalu lama, dia menyibukkan diri dengan membaca, dia lebih senang mengurung di kamar untuk membaca. Sekarang kalian tahu, mengapa dia selalu menjadi juara 1.
Kalau dulu Om Jono masih sangat perhatian padanya, kini juga tidak terlalu, entah perasaannya saja, Jono seperti menjaga jarak padanya. Agni juga merasa canggung tiap kali Jono ada di dekatnya, seiring bertambahnya usia Agni, Jono menjadi lebih berjarak dengannya. Namun, pun demikian, Agni tahu, dia tidak pernah terlepas dari perhatian dan kasih sayang Jono. Bila Agni meminta waktu pada Jono untuk sekadar berbincang tentang pria-pria yang mulai mendekatinya, Jono selalu ada untuknya. Tapi tidak jika Agni tidak meminta, Jono akan pura-pura sibuk dengan pekerjaannya.
***
Sejak Agni berada di kelas 12, Agni semakin aktif di luar. Tadinya dia pasti langsung ke rumah bila tidak ada kegiatan lagi di sekolah. Sudah 1 bulan Agni tidak lagi mau dijemput ke sekolah oleh Jono.
“Om, nanti nggak usah jemput ya!” Agni melepas sit belt, karena kini mereka sudah dekat dengan gerbang sekolah.
“Baik, non!” Jono tersenyum. Dia bertanya-tanya di dalam hatinya mengapa Agni semakin ke sini tidak mau lagi dijemput ke sekolah.
Agni membalas senyuman Jono kemudian keluar dari mobil. Dia menunggu mobil itu bergerak meninggalkan dia, dilambaikannya tangannya pada Jono, seperti biasa, Jono mengangguk dan melukis senyum di bibirnya.
Agni membalikkan badan dan hendak masuk ke dalam sekolah saat seseorang memanggilnya dari seberang jalan.
Agni membalikkan badan lagi, dia melihat ke arah datangnya suara itu. Dia melihat sahabatnya, Elisa, melambaikan tangan padanya. Agni tersenyum dan menunggu Elisa.
“Tugas matematika sudah belum?” Elisa ngos-ngosan.
“Aduh, gw lupa, gimana dong?” Agni menepuk jidatnya.
“Ye, kok lupa sih?” Elisa menendang pelan kaki Agni.
“Lu sudah?” Agni balik bertanya.
“Kalau gw sudah, ngapain gw nanya lu!” Elisa melotot.
“Mau nyontek lagi, kebiasaan, ayo ke kelas, kita coba kerjakan!” Agni menarik lengan Elisa saat bel sekolah berbunyi, tandanya mereka harus masuk ke kelas dan guru les pertama akan segera memasuki kelas.
“Terlambat, Pak Regar pasti sudah sampai di kelas sebelum kita sampai di sana!” Elisa mengingatkan Agni.
“Terus, gimana dong?” Agni kebingungan, dia tahu kebiasaan Pak Regar jika ada siswanya yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah.
Agni panik, dia tidak pernah lupa untuk mengerjakan rumah. Dia mengutuk diri sendiri karena tidak langsung pulang ke rumah kemarin. Dia menyesal telah mengikuti ajakan Elisa dan teman-teman yang lain untuk hang out.
Saat Agni masih panik dan tidak tahu harus berbuat apa karena takut karena pekerjaan rumahnya tidak selesai, Elisa menariknya keluar pagar sekolah. Agni menarik Elisa, menolak tarikan Elisa. Dia tahu jika Elisa akan mengajaknya bolos sekolah, dia sudah tahu track record Elisa bagaimana.
Tenaga Elisa lebih kuat, dia bisa menarik Agni dengan gampangnya.
“Kau tidak mau kan dikeluarkan dari kelas dan harus mendengar Pak Regar mengajar dari dalam kelas? Malu tahu! Percuma juga masuk kelas kalau pe er mu tidak selesai, jangan ambil resiko!” seperti seorang penasihat ulung Elisa melotot ke wajah Agni yang kebingungan.
“Iya sih, tapi…,”
“Nggak ada tapi-tapi, kita bolos!”
Benarlah dugaan Agni, Elisa akan mengajak Agni bolos, dan ini merupakan sejarah besar, saat Agni pertama kali bolos dari sekolah. Seorang juara umum di sekolah bolos karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah, matematika.
“Lu yakin?” Agni menghentikan langkahnya.
“100% yakin, lu kali yang belum yakin, kalau tidak yakin, silakan masuk kelas, gw mau lihat seorang Agni harus mengintip dari luar kelas dan mendengarkan guru mengajar di dalam!” Elisa melepaskan tangan Agni dan meletakkan kedua tangannya di pinggang kiri dan kanannya.
Agni tidak menjawab. Dia mematung. Mata elisa mulai bermain, dibesarkannya bola matanya kea rah Agni, meminta Agni segera memutuskan apa yang akan dilakukannya.
“Kita tidak mengerjakan pe er dan terlambat pula! Fix, kita bolos. Jangan cari gara-gara!” Elisa menarik tangan Agni lagi.
Agni pasrah. Dia mengikuti langakah kaki Elisa yang cepat-cepat itu, sebelum ada yang memperhatikan niat mereka.
“Kita ke mana?” Agni tergagap.
“Gak usah banyak bacot, gw nggak akan bawa lu ke neraka jahanam!” Elisa menghentikan angkot.
“Mau ke mana?” Agni bertanya saat angkot sudah berada di depan mereka.
“Ikut nggak?” Elisa melotot lagi.
Agni melangkah masuk ke dalam angkot, baru kali ini dia naik angkot. Dia bingung akan ke mana Elisa membawanya sepagi ini.
“Minggir ya bang!” Elisa teriak.
Agni dan Elisa turun di toko buku bekas.
“Lu ada uang berapa sekarang?”
“Cash?”
“Ya, cash! Nggak mungkin juga gw nanya uangmu semua, pasti nggak kehitung!”
“Ada satu juga, mau ngapain?”
“Good, kita beli buku dulu!”
“Untuk siapa?”
“Lu akan tahu, nanti, kita beli dulu, mau kan? Gw minta 200 rebu saja!”
Agni membuka tas dan mengambil uang dari dalam dompetnya. Diserahkanya dua lembar 100.000 pada Elisa.
Elisa memilih beberapa majalah anak-anak dan beberapa buku tulis dan pulpen. Kemudian dia menarik tangan Agni lagi memasuki lorong-lorong gelap, rumah kumuh di tengah gedung pencakar langit.
Jangan lupa tinggalkan jejak ya (vote boleh banget), nantikan episode selanjutnya 😉
Jangan lupa tekan favorite, agar dapat notif kalau novelnya sedang up! 🙏
“Mau ke mana sih?” Agni masih penasaran.
“Lu akan segera tahu, sebentar lagi kita sampai,” Elisa masih menarik tangan Agni tanpa menoleh sedikitpun pada Agni yang mengikutinya tertatih-tatih.
Agni diam, dia melompat karena ada genangan air di depannya, hampir saja dia menginjak genangan air itu. Dia mengumpat pada Elisa yang masih menarik tangannya dengan sedikit kasar.
Mereka sampai di pendopo kecil, bekas rumah seseorang yang dirobohkan untuk membuat pendopo di antara rumah-rumah petak yang kecil itu.
Agni melihat ada tikar tergulung di sana. Tidak ada siapa-siapa di sana. Elisa mengajaknya duduk di sana. Kemudian dia berdiri Agni hendak ikut berdiri.
“Duduk dulu, aku mau ke rumah itu sebentar!” Elisa menyuruh Agni duduk lagi.
“Mau ke mana?” Agni bingung mengapa dia harus duduk di sana sementara Elisa harus meninggalkannya. Agni sudah punya gambaran sebenarnya sejak Elisa membeli majalah dan beberapa buku tulis serta pulpen di toko buku loak tadi. Namun mendapati pendopo kecil itu tak berpenghuni, dia jadi bingung lagi.
“Aku mau nanya ke ibu yang tinggal di rumah itu, di mana anak-anak yang biasanya belajar di sini!” Elisa menunjuk lagi rumah yang tidak jauh dari tempat dia berdiri.
“Oh, ok!” Agni kini mengerti maksud Elisa, diam-diam dia mengagumi niat baik Elisa, walau uangnya juga yang harus membeli oleh-oleh untuk anak-anak yang Elisa maksudkan.
“Tunggu di sini ya, nggak usah takut, orang di sini baik-baik kok!” Elisa menangkap signal dari wajah ragu Agni.
“Oh, ok!” Agni hanya bisa mengucap itu, seolah dia tidak mau Elisa tahu jika dia sedang tidak nyaman bila harus ditinggal di sana sendirian.
Agni melihat Elisa mendekati rumah yang ditunjuknya tadi, kemudian seorang ibu keluar dari rumah setelah Elisa mengetuk pintunya, mereka tampak berbincang sebentar. Kemudian seorang anak kecil keluar dari dalam rumah dan berlari keluar dari gang gelap itu.
Elisa kembali datang menuju pendopo. Dia tersenyum pada Agni memberikan signal baik pada Agni, dia ingin Agni juga merasakan kelegaan yang dia rasakan.
“Gimana?” Agni bertanya.
“Aman!”
“Apanya yang aman? Emang dari tadi kita tidka aman ya?” Agni bingung.
“Bukan, anak-anak segera berkumpul di sini, kita tunggu mereka sebentar,” Elisa duduk di samping Agni.
Agni melirik sebentar pada Elisa yang tersenyum lebar.
“Terima kasih ya!” Elisa memegang tangan Agni.
“Kenapa? Karena bolos denganmu?”
“Hahaha, bukan!”
“Terus? Karena uang tadi?”
“Bukan!”
“Terus kenapa?” Agni makin bengong.
“Karena lu mau mampir di sini!”
“Bukan maunya gw!” Agni tidak melirik.
“Ya, setidaknya lu mau dipaksa, hahaha!” Elisa memeluk Agni dari samping.
“Dasar, gw kira ntah ke mana!”
“Gw dah ngomong, bukan ke neraka jahanam, kok!”
“Iya, tapi…”
“Iya, nggak usah diperpanjang, begitulah nasib orang miskin, harus terima keadaan!”
“Gw haus!”
“Oh, haus, kirain!” Elisa memukulkan badannya pada badan Agni.
Tidak lama kemudian ibu tadi, yang diajak Elisa berbincang datang membawa teh manis panas dari rumahnya.
“Nah, pucuk dicinta, ulam pun tiba!” Elisa sedikit teriak, seolah dia mau mengatakan pada ibu itu jika sahabatnya itu sedang kehausan.
“Apaan sih?” Agni malu.
“Nggak usah malu-malu di sini!” Elisa tahu jika sahabatnya itu malu pada ibu yang membawa teh itu.
“Silakan diminum de, hanya bisa kasih ini!” Ibu itu meletakkan gelas-gelas berisi teh itu di depan Agni dan Elisa.
“Terima kasih, bu,” kompak Elisa dan Agni berterima kasih pada Ibu itu.
“Iya sama-sama! Halo de, saya Hanum,” Bu Hanum mengulurkan tangannya pada Agni.
“Agni bu!” Agni hendak berdiri menyalam bu Hanum.
“Duduk saja, ibu ke rumah dulu, ada sedikit yang harus kukerjakan, aku tinggal dulu ya Sa!” Bu Hanum meninggalkan pendopo.
“Kelihatannya, kau sudah akrab dengan orang-orang di sini!” Agni berbisik pada Elisa, karena Bu Hanum belum terlalu jauh dari mereka.
“Hehehe, begitulah!” Elisa tersenyum pada Agni.
Tidak lama setelah Bu Hanum masuk ke dalam rumah, ada beberapa anak yang berlarian menuju pendopo. Ada 11 orang, mereka langsung menyalami Elisa yang sudah berdiri, disusul Agni yang ikut berdiri, menyalami mereka yang baru tiba.
Tanpa dikomando, semua anak itu duduk melingkar di dalam pendopo, Elisa dan Agni termasuk dalam lingkaran itu. Mereka mendunggu Elisa berbicara, ada beberapa yang berbisik-bisik sambil menunjuk bungkusan yang ada di depan Elisa dan Agni.
“Baik, hari ini…” Elisa membuka suaranya dan berhenti sebentar. Serempak anak-anak yang berbisik-bisik tadi langsung diam dan memperhatikan apa yang hendak Elisa katakan.
“…kita kedatangan guru baru, kakak ini akan mengajar kalian hari ini…”
“Horeeee!”
Belum selesai Elisa berbicara, anak-anak sudah berteriak kegirangan. Mereka kompak mengangkat tangan ke atas.
“Ok, kita beri waktu kakak kita memperkenalkan diri dulu ya, mau kenal kan dengan kakaknya?” Elisa teriak, seperti seorang sales yang sedang ingin membangkitkan semangat para pendengarnnya.
“Mauuuuuuuu!” serentak anak-anak itu menjawab Elisa dan menunggu Agni mengeluarkan suaranya, mereka benar-benar ingin tahu siapa yang sedang berada di hadapan mereka sekarang.
“Ok, silakan kak!” Elisa memandang Agni.
Agni melempar senyum sambil menarik nafas. Dipandanginya satu-satu wajah anak-anak itu.
“Selamat pagi semua!”
“Pagi, kaaaaak!” lagi-lagi anak-anak itu serentak menjawab sapaan Agni.
“Apakah mereka selalu begitu?” Agni berbisik pada Elisa.
“Halah, pakai nanya, mereka sudah menunggumu memperkenalkan diri tuh!” Elisa berbisik lagi pada Agni. Walau sebenarnya Elisa tahu jika bisikannya itu pasti bisa didengar oleh anak-anak.
“Saya, Agni, temannya kakak Elisa!”
Anak-anak masih menunggu kelanjutannya, begitupun Elisa, namun tampaknya Agni sudah selesai dengan perkenalannya.
“Itu doang?” Elisa menyikut Agni.
“Mau bilang apa lagi?” Agni membalas, menyikut Elisa.
“Ok, baik, bulan lalu kita belajar apa?” Elisa bertanya pada anak-anak.
Anak-anak itu diam, mereka tidak ingat apa yang sudah mereka pelajari bulan lalu, sudah terlalu lama mereka tidak belajar. Elisa sudah semakin jarang mengajari mereka di sana.
“Baik, nggak apa-apa, kita memang manusia kadang lupa!” Elisa melanjutkan kalimatnya.
Agni tergelak, dia hendak ngakak tapi ditahannya ketawanya itu.
“Sekarang kita akan diajari kakak Agni bagaimana menghitung, mau ya?!”
“Mau kaaaaaak!” Serentak anak-anak itu menjawab pertanyaan Elisa.
“Ok, silakan kak!” Elisa melihat ke arah Agni.
Agni masih menahan tawanya. Melihat itu Elisa kembali menyikut Agni aga dia segera berhenti menahan tawa dan mulai mengajari anak-anak berhitung.
“Oh, iya, sebelum mulai, David, sini, bagi pulpen dan buku untuk teman-temanmu!” Elisa memanggil seorang anak untuk datang padanya dan menyerahkan buku dan pulpen padanya untuk dibagikan pada anak-anak.
Setelah semua anak memperoleh satu pulpen dan buku tulis Agni mulai mengajari mereka bagaimana menambah dan mengurang.
Ada dua anak yang masih belum paham bagaimana menambah dan mengurang, Agni dan Elisa mengajari konsep tambah dan kurang pada kedua anak itu, sementara yang lain mengerjakan soal yang diberikan Agni untuk melatih kecakapan mereka menambah dan mengurangi.
Ehem, jangan lupa tinggalkan jejaknya ya kakaks 😉 Terima kasih 🙏🙏🙏
Jangan lupa tekan favorite, agar dapat notif kalau novelnya sedang up! 🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!