"Arunaaa...."
Dekik pipi di sebelah kiri menambah paras ayu wajahnya yang lugu. Kulit putih kuning langsat khas perempuan jawa nampak bersinar kemerahan di terpa silaunya matahari yang beranjak dari peraduan. Seperti arti dari nama Aruna dalam buku Sanskerta, yang berarti bersinar kemerahan-merahan.
"Ya Bude?"
Suara lembut keluar dari bibirnya yang tipis. Aruna beranjak, menutup diary usang yang disembunyikan di balik punggung.
"Bawakan teh ini ke depan!"
"Ada tamu?"
"Iyo... Nak Aryo, gih sana temui, dia sudah nunggu."
"Bude sajalah." Aruna memohon, tak ingin menemui pria yang sudah beberapa bulan ini rutin mengunjungi. Dia pria tampan, baik dan juga mapan. Tapi entah kenapa sulit sekali untuk Aruna membuka hati.
"Ndo.... Nak Aryo jauh-jauh datang kemari, dia kepingin ketemu kamu. Wis jangan mbantah, kamu mau cari bojo seperti apa lagi, kasian dia.... kamu sudah gadis, cukup umur untuk menikah. Bahagia itu bukan hanya karena cinta, tapi juga butuh materi. Percaya sama Bude, cinta itu akan datang setelah kalian sering bersama."
Wejangan Bude membuat matanya berair, bagaimana bisa dia membantah. Bude adalah orang tua pengganti setelah kedua orang tuanya sudah tiada.
Merantau di Ibu Kota sudah menjadi pilihan Bude waktu itu, membawa Aruna kecil yang tak pernah lepas dari pangkuannya. Tubuh kurus yang sudah letih untuk bekerja, tak membuat ia mengeluh, ada Aruna yang menjadi tanggungjawabnya saat ini, mendekap layaknya anak kandung yang harus ia didik dan ia besarkan dengan penuh kasih sayang.
"Iya Bude, Arun mau menikah dengan Mas Aryo."
Akhirnya keputusan besar itu Aruna ambil, senyuman yang diiringi tangis haru begitu kentara di pipi dan keningnya yang sudah berkeriput. Mengucap syukur kepada sang khaliq saat Aruna menerima pinangan Aryo, pria baik yang mencintai dan menerima Aruna yang bukan siapa-siapa,"Kamu akan bahagia Ndo.... kamu akan hidup berkecukupan."
Aruna tersenyum getir, demi Bude ia harus memupus segala angan dan khayalannya akan seseorang. Bayangan semu yang selalu ia ukir di dalam mimpi. Dalam sekejap ia harus tenggelamkan ilusi itu, mengubur dalam-dalan segala harapan yang selama ini dia damba.
Menikah hanya sekali seumur hidup, dan cinta, itu hanya sebuah kata yang mengandung makna yang sangat dalam, yaitu pengorbanan.
Usia sepuh membuat tubuh Bude mengeluh sakit. Ia tergolek lemah tak berdaya, menatap Aruna dengan kasih, mengusap pipinya yang sudah basah karena air mata,"Sekarang Bude bisa pergi dengan tenang, Nak Aryo akan menjagamu. Jadi istri yang solehah, manut sama suami, jangan bantah apa kata suami. Dia yang akan bertanggung jawab akan nasibmu di akhirat kelak."
Aruna menangis sesegukan, amanah terakhir yang Bude katakan saat hembusan nafas diakhir hayatnya.
"Bude... Arun kangen." Aruna mengusap batu nisan yang bertuliskan Sri Winarti, nama budenya yang kini sudah terbaring di dalam tanah satu tahun yang lalu. Dan sekarang ia tak memiliki siapapun selain Aryo, pria yang sudah menikahinya dua tahun silam.
Air mata Aruna berderai, menggenggam tanah yang ia kepal kuat-kuat,"Kenapa nasib Arun seperti ini Bude... sampai kapan Arun bisa kuat menjalaninya." Aruna menepuk-nepuk dadanya yang menganga karena luka, rumah tangga yang ia bina selama dua tahun kini berujung dengan sebuah pengkhianatan, kesetiaan akan suaminya Aryo sedang di uji.
"Siapa dia Mas?"
"Dia hanya klien ku dari luar kota."
"Lalu apa maksud pesan ini?" Aruna menunjukan pesan yang tak sengaja dibukanya kala Aryo sedang berbenah diri dalam kamar mandi.
Aryo merebut gawai itu, seketika gugup namun berusaha tenang untuk menutupi,"Run biar aku jelaskan, kamu jangan salah paham dulu."
"Bagaimana aku tidak salah paham, dia panggil sayang sama Mas, dia mengucapkan terima kasih karena Mas sudah menemaninya malam ini, bagaimana aku tidak salah paham?"
Aruna menepis tangan Aryo yang hendak menyentuhnya,"Kamu selingkuhi aku Mas."
"Biar aku jelaskan dulu."
"Kamu bermain gila dengan wanita itu, kamu tega Mas." Air mata yang sedari tadi Aruna tahan akhirnya berguguran. Hatinya hancur, kepercayaan penuh yang selalu ia berikan kepada Aryo pupus seketika.
"Run, kamu terlalu jauh mengartikan.... aku tidak sedekat itu dengan dia, ini hanya kedekatan aku sebagai kontraktor dan klien, aku hanya memberikan bunga sebagai ucapan terima kasih karena perusahaannya mau bekerja sama dengan PT ku, dan tadi aku mencarikannya Hotel untuk menginap malam ini, makanya aku pulang agak malam."
Aruna menggeleng, tubuhnya merosot. Kaki ini terasa lemah menopang tubuhnya yang dalam pesakitan,"Kamu khianatin aku Mas."
Aryo bersimpuh,"Run lihat aku....," Aryo meraih pipi Aruna,".... aku hanya mencintai kamu, tidak ada wanita lain yang ada di hatiku selain kamu, tolong percaya sama aku.... aku hanya ingin bahagia denganmu, aku tidak mau kehilangan kamu, aku tidak tahu jadinya kalau kamu tidak lagi mempercayaiku."
"Kamu bohong."
"Aku masih sangat mencintaimu."
"Tapi kenapa kamu lakukan ini sama aku." Suara Aruna bergetar, membenamkan wajah di kedua lutut yang ia peluk dengan erat, meminta kekuatan, berdamai dengan keadaan, kalau hatinya harus mampu menghadapi ketidaksetiaan Aryo.
Dua tahun lamanya ia berusaha membuka diri, belajar mencintai Aryo dengan sepenuh hati, mengabdi layaknya seorang istri yang sangat mencintai suaminya.
Aryo menarik kepala Aruna untuk dia dekap,"Maafkan bila aku salah, beri aku kesempatan untuk memperbaikinya. Aku terlalu sibuk hingga kamu merasa sendiri dan tidak diperhatikan, maafkan aku Run... aku akan memutuskan kerjasama dengan perusahaannya kalau itu membuatmu percaya. Aku rela bila perusahaan ku rugi besar, asal kamu mau memaafkan ku."
Kata-kata ampuh yang berhasil memenangkan Aruna, sentuhan lembut dan kata-kata merayu, membuat Aruna yakin kalau Aryo memang sangat mencintainya. Ini hanya sebuah kesalahpahaman, ini hanya sebuah ujian pernikahan yang menemui batu kerikil di setiap perjalanannya. Fase pasang surut yang harus ia jalani agar tetap kuat untuk bertahan, mengarungi bahtera rumah tangga yang seperti Bude katakan, dia akan bahagia.
Aryo meraih pundak Aruna, menuntunnya duduk di tepi ranjang yang selama ini jadi saksi, dimana Aruna dengan berat hati merelakan kesuciannya untuk Aryo, suami yang belum sepenuhnya ia cintai. Namun kata wajib dalam hukum Islam harus Aruna jalani, melayani suami, memberikan hak atas dirinya yang sudah menjadi istri, ikhlas dan sukarela menjalani semuanya.
Namun sekarang, di saat hatinya sudah terbuka untuk Aryo, rasa sakit malah ia kukung dalam hati. Satu pesan mesra dari wanita yang entah itu siapa.
Aruna menatap Aryo dengan sendu,"Jangan lakukan itu lagi Mas, aku tidak memiliki siapapun selain kamu."
"Maaf...," Aryo memeluk Aruna,".... aku tidak akan mengulanginya lagi, beri aku kesempatan membuktikan semuanya."
Aruna balas memeluk, memaafkan segala kekhilafan suaminya di luar sana.
"Jangan kecewakan aku lagi." Menyusun kata sabar dan Ikhlas, dua kata yang akan dia coba jalani dan tafakuri, meyakinkan diri kalau suaminya akan berubah dikemudian hari.
Aryo mendaratkan sebuah kecupan hangat, sadar akan kesalahan yang melukai hati Aruna, istri yang selalu setia menunggu dan melayaninya selama ini,"Aku janji."
🥀
🥀
🥀
_ Bersambung _
Menebar senyuman ke seluruh karyawan, Aruna melenggang menapaki satu persatu lantai gedung hingga akhirnya sampai di bagian lantai tertinggi. Sepertinya ini akan menjadi kejutan besar untuk Aryo, membawa kotak makan siang yang berisi makanan kesukaannya.
Aruna menghela nafas dalam, mungkin ini adalah awal yang bagus untuk memulai semuanya dari awal. Membangun rumah tangga yang harmonis, dan kembali memupuk sedikit demi sedikit kepercayaan yang semula sudah terkikis.
Perlahan Aruna mendorong pintu kokoh yang menjulang tinggi, kosong tak ada siapapun di sana. Apa mungkin Aryo pergi makan siang di luar? Aruna berdecak, mungkin dia terlambat.
Namun benda pintar milik Aryo teronggok di atas meja, dan jas hitam yang dikenakannya tadi pagi, masih tersampir di sandaran kursi.
Aruna berderap lebih dekat, alisnya bertaut, menyambar jas lain yang bertumpuk dengan jas Aryo. Perasaannya mulai tak nyaman, merentangkannya lebar-lebar, tangan Aruna bergetar hingga jas itu jatuh di lantai. Blazer wanita.
"Aku mencintaimu Mas..."
Seketika mata Aruna menoleh, samar suara manja menusuk dari balik pintu yang tidak tertutup rapat. Aruna melangkah, mendekati kamar pribadi yang tersedia di ruangan itu.
Aruna tertegun, dadanya sesak terhimpit bongkahan batu yang menikamnya dengan satu kali pukulan, seketika hancur berkeping-keping,"Mas Aryo..." Meremas dada dan segera berpaling dari pandangan yang membuatnya mati arang.
🌿🌿🌿🌿
Kilatan cahaya yang menyilaukan mata di langit yang gelap menyadarkan dirinya untuk segera beranjak meninggalkan tanah kuburan yang sudah berjam-jam lamanya ia sambangi. Butiran air hujan pun satu persatu mulai turun, meninggalkan basah kesegarannya.
"Arun pulang dulu Bude." Ucapnya hampir tak terdengar, meraba batu nisan yang sekarang ini rutin dia datangi. Aruna beranjak, menenteng tas jinjing yang di simpan pada bebatuan tak jauh disampingnya.
Suara petir yang menggelegar bagai teriak kesakitan dari hatinya yang di dera kehancuran. Jejeran pohon palm sebagai penghias jalan, satu persatu ia lewati, membiarkan guyuran hujan menyamarkan air matanya yang mengalir deras.
Decitan ban yang bergesek dengan aspal membuat Aruna terlonjak, ditambah lagi jeritan klakson yang memekik, membuat deru jantungnya berlomba dengan kencang.
"Kalau nyebrang hati-hati Mbak, nanti ketabrak!" Seru si sopir yang melongok di kaca yang dibiarkan terbuka.
Mobil hitam metalic itu hanya berjarak tiga puluh senti dari tubuhnya yang mungkin akan terpelanting jika si pengendara tidak menginjak remnya dengan kuat.
"Maaf Pak." Aruna menyibak rambutnya yang basah, segera membawa tasnya dan berlalu pergi.
"Mbak tidak apa-apa?" Seruan kedua dengan suara yang berbeda, lembut namun meninggalkan kesan ketegasan.
Aruna kembali menoleh, melihat sekilas laki-laki berkacamata hitam yang duduk di kursi penumpang. Mungkin itu si Tuan yang memiliki kendaraan mewah itu.
"Saya tidak apa-apa." Jawabnya dengan langkah terburu-buru.
Mengambil jalan pintas, akhirnya Aruna sampai di depan rumah mewah bercat putih bergradasi kuning emas. Langkah gontai ia menggeret pagar tralis yang menyembunyikan keindahan taman yang sudah dua tahun ini dia rawat penuh suka cita.
Menghabiskan waktu berjam-jam, merawat semua bunga dan rumput hias, demi menghalau segala sepi.
"Loh Bu, kenapa Hujan-hujanan begini, kalau sakit bagaimana?" Tutur Bi Mimin, pembantu rumah tangga yang satu terakhir ini Aryo pekerjaan untuk membantu membersihkan rumah.
"Sebentar Bibi ambilkan handuk dulu."
"Nggak usah Bi...," Menarik tangan Bi Mimin yang akan pergi,"... Pak Aryo sudah pulang?" Tanyanya, karena mobil yang dikendarai Aryo sudah terparkir di depan rumah.
"Sudah dari tadi Bu, tadi Bapak nanyain Ibu... tapi setelah mendapat telepon, Bapak langsung ganti baju lalu pergi lagi, sepertinya dijemput seseorang, katanya ada meeting dadakan."
Hatinya kembali tercabik, ingin meraung, berteriak, menjerit, meluapkan segala rasa yang dipendamnya sejak tadi.
"Kalau begitu saya ke kamar dulu."
"Bibi buatkan minuman hangat ya Bu?"
Anak tangga urung dia pijaki, menoleh perempuan sepuh yang akhir-akhirnya ini sering izin tidak masuk karena sakit. Matanya seakan berkata kalau dia siap dijadikan sandaran keluh kesah, berbagi suka dan duka yang tengah dirasakannya, tapi Aruna tidak bisa, biar luka ini dia telan seorang diri.
"Nanti Bibi antarkan ke kamar, Bibi juga sudah buat pisang bolen kesukaan Ibu." Lanjutnya lagi.
Aruna mengangguk,"Iya Bi."
Kepulan teh jahe dengan satu piring pisang bolen sudah tersaji di atas meja. Aruna hanya duduk, melihat tanpa sedikitpun ingin meneguk dan mencicipi lelehan manis dari coklat yang berpadu dengan pisang yang biasanya selalu nikmat dia rasakan. Semua terasa pahit.
Air matanya kembali meleleh, pisang bolen yang mengingatkannya pada seseorang yang sangat ia rindukan, Bude Wati. Orang tua yang selama ini selalu menjadi sandaran keluh kesahnya.
"Bu...." Seru Bi Mimin dari balik pintu.
Diseka air mata kepedihan itu, Aruna beranjak membuka pintu. Mungkin Bi Mimin akan pamit pulang karena hari mulai merangkak gelap.
"Bibi mau pulang?" Tanyanya pada Bi Mimin saat pintu sudah terbuka lebar.
"Nggak Bu, Bibi tidak akan pulang, Bapak meminta Bibi untuk menemani Ibu malam ini."
Hatinya kembali tertusuk, Jadi dia tidak akan pulang malam ini???
"Di depan ada tamu Bu." Lanjut Bi Mimin membuyarkan lamunan Aruna.
"Siapa?"
"Katanya dari butik."
Mendengar kata Butik Aruna meragu, pasalnya dia jarang sekali membeli pakaian di butik, mempunyai kenalan orang butik pun dia tidak punya.
"Mau menemui saya?"
"Katanya begitu, apa Ibu mau menemuinya?" Tanya Bi Mimin ragu-ragu, melihat gelagat Nyonyanya yang sedang tidak baik-baik saja.
"Sebentar lagi saya turun, suruh tunggu sebentar."
"Iya Bu."
Menuruni anak tangga satu persatu, Aruna menemui karyawan butik yang berseragam rapi dalam balutan kain batik,"Ada yang bisa saya bantu?"
"Dengan istrinya Pak Aryo?"
"Iya betul."
"Ini Bu...." Karyawan wanita itu menyerahkan kotak persegi panjang berukuran besar,"... ini pesanan Pak Aryo untuk Ibu."
Aruna menerima kotak itu, membukanya dengan perlahan. Sebuah gaun cantik yang pastinya dengan harga yang tidak sedikit.
"Pak Aryo pintar sekali memilihkan gaun, sepertinya pas sekali untuk Ibu."
Aruna tersenyum tipis,"Terima kasih sudah mau mengantarnya kesini."
"Sama-sama... ini memang sudah menjadi tugas saya. Apalagi Pak Aryo merupakan pelanggan tetap kami tiga bulan terakhir ini."
Pelanggan tetap, sejak kapan Mas Aryo suka ke butik??? Tanyanya dalam hati. Aryo tipe orang yang lebih suka berbelanja online, menurutnya lebih simple dan efektif, tidak banyak membuang waktu.
"Kalau begitu saya permisi dulu, semoga Ibu suka dengan gaun rancangan butik kami."
Lamunan Aruna buyar, melihat wanita itu yang sudah beranjak dari duduknya,"Oh iya, silahkan."
"Saya hampir lupa, saya ucapkan selamat ulang tahun, semoga Ibu selalu bahagia dengan Pak Aryo." Ucapnya sambil menangkup kedua telapak tangan didepan dada.
Aruna mematung, sedangkan karyawan itu tersenyum simpul, melihat wajah Aruna yang seperti kebingungan.
"Sepertinya Pak Aryo berhasil membuat kejutan untuk Ibu, karena beliau mengatakan kalau Ibu memang pelupa." Tambahnya lagi tanpa ragu.
Senyuman palsu terpaksa ia suguhkan, menutupi rasa kecewanya yang semakin dalam.
"Kalau begitu permisi Bu, mari."
Tubuh Aruna merosot, mencengkram kotak yang tak lepas dari genggamannya, tergugu tanpa suara.
Semua kesakitannya belum berakhir, bahkan baru saja akan dimulai.
"Siapa kamu di luar sana Mas?" Jerit Aruna dalam hati.
Dengan kasar Aruna menghapus air matanya, berdiri sekuat tenaga, mencengkram kotak itu dengan keras. Diam dan terus tersakiti, atau memilih pergi sebelum mati.
🥀
🥀
🥀
_ Bersambung _
"Jinooooo.... kecilkan musiknya."
Gedoran pintu tak juga digubris oleh si pemilik kamar. Dentuman musik yang menggelegar membuat pendengarannya tuli, memainkan gitar di atas kasur layaknya gitaris kenamaan yang sedang beratraksi di atas panggung dengan ribuan penonton yang bersorak sorai memujanya.
"Jinooo..."
Seketika musik mati, suasana pun berubah hening. Jino memutar badan siap memeriksa apa yang terjadi dengan musiknya yang tiba-tiba senyap.
Jino meringis, mendapati Ratu Inggris sedang bertolak pinggang, mata melotot dan bibir yang berkerut kesal.
"Eh Mama." Perlahan Jino turun, menarik seprai dan bantal yang amburadul karena tendangan kaki yang berjingkrak-jingkrak. Tak lupa senyum manis yang dia pertontonkan kepada sang Mama, Adila Dimitri. Mantan model terkenal di eranya waktu itu.
"Seneng ya bikin telinga Mama tuli... Mama ini masih muda, Ibu pengusaha kalangan sosialita, masa iya penampilan mama yang cetar harus ditunjang dengan alat bantu pendengaran. Kamu mau keluarga kita jadi tranding topik besok pagi, Nyonya Aditya Pratama mengalami ketulian karena ulah anak bontotnya.... Apa kata dunia?" Cerocosnya tanpa henti.
"Jangan lebay deh Ma, Jino hanya mengapresiasikan bakat Jino yang selama ini terkubur seperti harta karun, Jino mau jadi gitaris hebat, dikenal seantero jagat. Kan Mama juga bisa numpang tenar nantinya."
Mata Mama Adila melebar,"Apa... numpang tenar, ada juga mimpi kamu yang numpang tenar." Mama Adila mendekat, menarik tangan Jino yang nampak lusuh dengan seragam putih abunya yang belum berganti sejak tadi.
"Sekarang kamu mandi, sebentar lagi Mas mu datang, kita harus sambut kedatangannya. Papah sudah menunggu dibawah, jadi ritual mandi mu jangan pake drama rok&roll dan segala ***** bengeknya."
Jino menepis tangan Mama Adila,"Kalau mau nyambut kenapa harus mandi segala sih Ma, begini juga kan Jino udah cakep."
Adila menarik sudut bibirnya, menarik telinga Jino dan membawanya ke kamar mandi,"Udah cepet mandi, Mas mu itu baru datang dari Jerman, masa iya kamu mau sambut dia dengan seragam lecek begini, apa kata Mas mu nanti."
Jino meraba telinganya yang panas,"Jino mau makan dulu, setelah itu baru mandi... Jino laper banget." Ngeloyor pergi melewati Mamanya yang semakin kelabakan dengan sikapnya yang ngoyo.
Adila menarik kerah seragam putihnya, hingga Jino kembali mundur,meraba lehernya yang terjerat, "Jangan ngeyel ya, cepet mandi. Kita makan kalau Mas mu sudah datang." Ucapnya sambil mendorong Jino masuk kamar mandi lagi.
"Tapi Ma... Kalau Jino pingsan gimana."
Mama Adila mengacungkan telunjuknya, tak mengubris sanggahan Jino,"Dandan yang cakep, pake baju yang rapi, jangan celana yang bolong-bolong kayak gembel."
Jino berdecak,"Itu kan..."
"Kalau tidak, uang jajan mu Mama potong lima puluh persen." Potongnya tak kehabisan akal.
"Anak kandung berasa anak tiri ini mah... Ma.... Maaaaa..."
Mama Adila tak memperdulikan celotehan Jino yang menurutnya hanyalah angin lalu belaka, Manja dan sangat kekanakan.
Jino menggeram,"Ya Tuhan buatlah hati Mama ku selembut sutra, seringan kapas yang terbang di angkasa, dan sesejuk angin yang berhembus di lembah pegunungan."
Adila yang mendengar seruan doa Jino kembali melongok,"Mama potong delapan puluh persen."
"Jangaaaan....." Menutup kamar mandi seketika.
Mama Adila terkikik, Anak laki-lakinya yang masih saja manja walau usianya sudah menginjak remaja. Sikapnya yang susah di atur, membuat ia harus mempunyai banyak mata, melihat pergaulan Jino di luaran sana. Apalagi Ibu Kota Jakarta merupakan kota yang sangat terkenal dengan pergaulan bebas.
"Mana Jino Ma?" Lirik Papa Aditya yang melihat istrinya yang hanya datang seorang diri.
"Anakmu itu loh Pah, ngeyelnya minta ampun... lama-lama wajah Mama bakal keriput kalau terus-terusan kayak gini."
Aditya menutup majalah bisnis yang dibacanya, memandang wajah sang istri yang sampai sekarang masih tetap cantik,"Biarkan Jino dengan dunianya, jangan terlalu di kekang."
Bibir Mama Adila mengerucut,"Coba aja kita masih tinggal di Surabaya, Mama nggak akan sekhawatir ini Pah. Mama pengen Jino kayak Mas nya, pinter, gampang di atur, nggak pernah bantah, fokus sama sekolah, nggak ngurusin perempuan terus."
"Ngurusin perempuan bagaimana?"
"Anak Papah yang satu itu sudah belajar jadi cowok playboy, pacarnya ada di setiap tikungan."
Papah Aditya tergelak,"Oh ya, bagus dong. Itu tandanya anak kita disukai banyak orang."
Mama Adila melotot,"Kok bagus sih."
"Mama, Mama...," Merangkul bahu Mama Adila dan mengelusnya hangat,"... Papah yakin Jino punya batasan, itu hanya cinta monyet di usia remaja, Mama ini seperti tidak pernah muda saja."
"Papah ini terlalu memanjakannya."
Papah Aditya terkekeh,"Mama tenang aja, setelah ini Jino akan diawasi Mas nya, selama ini kan Jino suka nurut sama Masnya."
Seseorang berdiri tegap, melihat kemesraan yang tak pernah hilang walau usia mereka tak lagi muda. Mama yang sedang merajuk, dan Papah yang berusaha menenangkan, membawa tubuh yang tetap ramping itu kedalam dekapan tubuhnya yang kokoh. Belaian dari tangannya yang kekar, mengurai kekesalan yang berubah menjadi cubitan manja penuh kasih.
"Mas Nunoooo...." PanggilanJino yang kencang membuyarkan sejoli yang sedang menantikan putra sulungnya. Jino berlari menyambut sang Kakak yang berdiri di ambang pintu dengan senyuman rindu, tiga tahun tak bertemu dengan keluarga tercinta.
Jino melompat, memeluk Kakak yang sudah melebarkan tangan menyambut pelukannya.
"Gimana kabar kamu?"
"Baik Mas." Jino mengurai pelukan, celingukan mencari sesuatu,".... Mas nggak bawa oleh-oleh buat aku?"
Mata Mama Adila yang berkaca-kaca karena haru, seketika buyar mendengar celetukan anak bontotnya,"Jino...."
"Apa sih Ma?"
"Mas mu baru datang, masih capek, bukan tawarin minum malah ditanyain oleh-oleh."
Jino memelas,"Selalu saja salah." Ngeloyor pergi, tak ingin mendengar ceramah panjang Mamanya yang membuat telinganya masuk IGD.
"Mau kemana lagi?"
"Ngumpet."
"Tuh kan Pah, selalu aja Jino itu kayak gitu kalau dibilangin."
Nuno terkekeh sambil merangkul bahu Mamanya,"Udah Ma, biarin aja."
"Kamu tuh sama aja kayak Papah, suka banget belain adik kamu yang bandel itu."
Nuno memapah Mama Adila untuk duduk, kerinduannya pada Mama sambung yang sudah seperti Mama kandungnya sendiri sudah habis terobati dengan suaranya yang berisik, rame dan banyak bicara. Dan ternyata itu menurun pada Jino.
"Gimana kabar Mama dan Papah, sehat kan?" Nuno meraih tangan Mama Adila dan Papah Aditya, duduk diantara mereka berdua.
Mama Adila mengangguk,"Mama tuh kangen banget sama kamu, kenapa kamu tidak pernah pulang kalau lagi libur."
Nuno balas tersenyum, melirik Papah yang seketika melempar pandangan.
Mama Adila mendelik,"Ini pasti ulah Papah mu kan, waktu libur mu harus dihabiskan untuk belajar tentang perusahaan."
"Kok nyalahin Papah." Sela Papah Aditya.
"Kalau bukan Papah siapa lagi?"
"Nuno yang mau kok Mah," Nuno menengahi.
Mama Adila mengelus rambut Nuno yang selalu tersisir rapi, terharu dengan sikap Nuno yang penurut,"Mama sayang sekali sama kamu."
"Sama aku nggak?" Seru Jino kencang, memecah kerinduan Mama Adila yang terbawa arus suasana yang mengharu.
"Ada Mas Nuno aja, lupa sama Jino, anak imut yang lagi kelaperan... adakah yang sudi memberikanku sepiring nasi." Serunya lebih keras.
"Mbook... tolong bawakan nasi tambah ikan asin, kucing manis ku belum dikasih makan." Balas Mama Adila tak kalah keras.
"Mamaaaa..." Teriak Jino, tak terima dengan candaannya yang selalu menyebutkan si kucing manis.
Semuanya tertawa, berdiri menghampiri Jino yang sudah cemberut di meja makan yang masih kosong. Mama Adila mengacak rambut Jino,"Kamu itu bikin Mama gemes." Mengecup puncuk kepala Jino.
"Kalian duduk dulu ya, Mama bantu dulu Simbok bawa makanannya kesini. Mama udah masak yang spesial buat kalian."
Ketiganya saling bertukar pandang, menelan air liur yang tiba-tiba serat. Masakan Mama Adila memang benar-benar spesial, memiliki cita rasa yang lain daripada yang lain, sangat aneh. Dan sekarang mereka hanya bisa pasrah, menyiapkan perut yang pasti akan protes tak ingin di isi.
🌿🌿🌿🌿
Nuno berderap menuju kamarnya dilantai dua. Perutnya sudah terisi penuh dengan masakan Mama Adila yang tidak bisa dia jabarkan dengan kata-kata, namun dia tetap memakannya, walau diiringi dengan drama Jino yang beberapa kali meringis, menenggak air yang dia habiskan satu jug besar seorang diri. Nuno sangat menikmati itu semua.
"No...." Mama Adila mendekati Nuno yang masih berdiri memandangi seluruh sudut kamarnya yang tidak banyak berubah, masih sama seperti saat dia tinggalkan dulu.
"Kamarnya bersih kan, Seminggu sekali kamar ini Mbok Iyem bersihkan."
"Makasih Ma."
Adila tersenyum,"Tadi jadi nyekar ke makam Kakek?"
Nuno menghela nafas berat,menyesali niatnya yang tidak kesampaian karena cuaca yang tidak memungkinkan, "Tadi hujannya besar sekali Ma, jadi aku hanya lewat saja. Mungkin besok pagi sebelum ke kantor."
"Papah nyuruh kamu langsung kerja?"
Nuno mengangguk,"Cuma pengenalan saja Ma." Menenangkan wajah Mamanya yang berubah kecut.
"Ih Papah itu emang kebiasaan, kamu kan baru sampai Indonesia, masa iya langsung kerja... suruh libur atau jalan-jalan dulu kek... biar Mama yang bilang sama Papah."
"Jangan Ma..."
Mama Adila mengacungkan telunjuk, menyuruh Nuno untuk diam, tak ingin pendapatnya dibantah sedikitpun.
"Pah... Papaaaah..."Mama Adila keluar dengan teriakannya yang sangat kencang.
Nuno hanya menggeleng dan tersenyum, inilah suasana yang sangat dirindukannya, suara Mama Adila yang berisik.
🥀
🥀
🥀
_ Bersambung _
Hai... hai... hai 🤗🤭🤭🤭
...Minal Aidzin Walfaidzin, Mohon maaf lahir dan Bathin🙏🙏🙏...
Maafkan Emak mu yang tersesat hampir dua bulan ini🙈🙈... Nyari jalan turun, eh malah nyebur, melanglang buana ke tujuh samudra🤭🤭
Emak tuh terharu, selalu ada aja yang kirim vote, hadiah, ngejapri and lain-lainnya😭😭🥳🥳 Kalian the best bingits❤❤
Akak otor, mbak, eteh, Ibu dan semua reader tercinta, tersayang, terkeren, terkece dan teeeer terrrrrrr lainnya.... selalu setia nunggu ini cerita yang nggak jelas juntrungannya, kek kue nastar, kadang di gulung, dicomot, dibulet-bulet😂
Smoga kalian tetap staytune yupp... kita menghalu lagi sama-sama🥳🥳🥳😘😘
Yang mau kasih Vote & Hadiah boleh banget, kalau nggak juga nggak masalah, slow aja👌
Tapi Jangan lupa tinggalin like & Coment yang cetar menggelegar, itu bikin mood Emak mu ini bergolak, kek rebusan air di godokan Indomie🙊
HappyReading❤❤❤
...🥀Pilih Aku, Aruna🥀...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!