Kresekk kresekkk
Langkah kecil seorang anak terdengar sibuk sekali di dapur. Entah apa yang dia lakukan di sana, tapi lalu anak itu keluar dari dapur rumahnya yang sempit dan tak karuan itu dengan membawa baki berisi secangkir teh dan dua buah roti isi.
Kaki kecilnya melangkah ke satu-satunya kamar yang ada di rumah kontrakan kecil itu. Seorang pria dewasa tampak tertidur pulas dengan posisi tengkurap. Tangannya menggantung di samping tempat tidur.
Anak itu meletakkan baki itu di meja yang ada di samping tempat tidur. Ia melangkah kecil, mengendap-endap ketika melewati pria itu lalu menuju ke kakinya.
Klitik klitik klitik
Gadis kecil itu menggelitik telapak kaki pria yang sedang tidur itu. Pria itu sontak terbangun dan langsung menangkap anak itu.
"Kamu! Berani gangguin Ayah? Sini kamu, sini nggak. Hahaha. Sini, gantian Ayah sekarang." Pria yang ternyata ayah dari anak itu memeluk dan menggelitik pinggang anaknya.
"Hahaha.... Yah, lepasin! Geli! Ayah! Hahaha!" Anak itu tertawa geli. Ayahnya terus menggelitikinya sambil tertawa. Rasanya bahagia sekali melihat mereka berdua.
Beberapa saat kemudian Sang Ayah menghentikan gerakan jarinya yang membuat Sang Putri merasa geli. Lalu ia melihat baki itu, tapi ia berpura-pura tidak melihat dan pergi begitu saja.
"Ayah!" teriak gadis itu tampak kesal.
"Apa Nina sayang?" tanya Sang Ayah santai.
"Itu nggak dimakan?!" gerutu Nina, putri semata wayang ayahnya itu.
"Oh iya. Ih pinter banget sih anak Ayah. Udah bisa bikin sandwich. Ayo sini, kamu juga makan." Sang Ayah mengajak putrinya itu makan bersama di kamar sederhana yang mereka punya sekarang.
Setelah makan, Sang Ayah tampak cuek saja membawa baki bersama isinya kembali ke dapur. Ia tak peduli lagi dengan putrinya. Tapi tampaknya Nina, putrinya, sedang menunggu sesuatu. Tapi Si Ayah tampak tidak sedang ingin memberikan atau melakukan sesuatu.
Sudah menunggu lama, tapi masih belum ada tanda-tanda kalau ayahnya mau memberinya sesuatu, Nina akhirnya marah.
"Ayah! Nina ulang tahun! Kadonya mana?!" teriak Nina marah pada ayahnya.
"Oh, kamu ulang tahun ya? Yah, Ayah lupa. Gimana dong? Ayah nggak punya kado nih. Gimana dong Sayang?" Ayah Nina tampak benar-benar lupa kalau hari ini putrinya sedang berulang tahun.
"Ayah jahat! Nina nggak mau ngomong sama Ayah!" Gadis kecil itu marah dan menangis.
"Adududu... Anak Ayah ngambek. Jangan ngambek dong Sayang." Sang Ayah mengambil sesuatu di lemari pakaian di kamar.
Ternyata ia sudah menyiapkan kado untuk anaknya itu. Sebuah hadiah dengan ukuran yang cukup besar. Berbungkus kertas kado bergambar kartun Hello Kitty, kado itu membuat mood Nina kembali ceria. Wajah sedihnya kembali bersinar melihat Ayahnya tak lupa dengan ulang tahunnya. Apalagi saat melihat kado itu.
"Wah kadooo!!!" Anak itu berlari memeluk ayahnya sambil berteriak, "Makasi Ayah! Nina sayang Ayah!"
"Iya Sayang. Ayah juga sayang sama Nina. Ayo buka dong kadonya." Mendengar perkataan ayahnya, Nina makin semangat untuk membuka dan melihat isi hadiah itu.
Dengan tangan mungilnya, Nina merobek kertas kado itu sembarangan. Ia sangat tidak sabar untuk melihat isi kadonya.
"Tas sekolah! Yeayyyy! Ada Hello Kitty-nya juga! Makasih Ayah!" teriak bocah itu sangat senang. Rupanya Hello Kitty sudah menjadi karakter favoritnya sejak lama. Dipeluknya erat tas sekolah berwarna pink dengan gambar Hello Kitty itu.
"Nina suka tasnya?" tanya Sang Ayah.
"Suka banget! Makasih Ayah!" seru anak itu lagi.
Nina sibuk dengan tas barunya. Begitu juga dengan ayahnya yang terlalu senang melihat anaknya berbunga-bunga dengan tas barunya. Sampai lupa kalau hari ini anak itu masih harus ke sekolah.
Saat dilihatnya jam dinding, waktu sudah menunjuk pukul 6.15 pagi. Itu artinya setengah jam lagi Nina harus masuk sekolah.
"Astaga Tuhan! Udah jam segini! Nina, mandi Nak. Udah siang ini! Taruh dulu tasnya, biar Ayah yang masukin bukunya," seru Sang Ayah panik.
Sekecil itu, Nina sudah menjadi anak yang mandiri. Sepeninggal Ibunya, hanya Ayahnya yang mengurusnya. Tapi Ayahnya juga harus bekerja. Karenanya, anak itu menjadi lebih dewasa dari usianya.
Mendengar seruan ayahnya, anak itu langsung bergegas masuk ke kamar mandi, dan lalu merapikan dirinya. Hanya dalam beberapa menit, anak itu sudah siap dengan seragamnya.
"Ini tasnya. Bukunya udah masuk. Sekarang berangkat. Ayo sayang!" Nina digandeng ayahnya dan langsung naik ke motor untuk langsung bergegas ke sekolahnya.
"Ayah lebih kenceng lagi jalannya!" seru Nina yang duduk di tangki depan motor ayahnya.
"Tunggu dulu Sayang. Ini jalanan kota, nggak boleh ngebut di sini. Sabar ya." Sang Ayah berusaha memberi pengertian pada anaknya.
Melihat mereka berkendara dengan kecepatan tinggi dan berpacu dengan waktu, membuat adrenalin terpacu rasanya. Jantung ikut berdebar, tangan ikut mengepal.
"Ayah! Cepat! Ayo Yah! Nina telat lagi!" seru Nina tak sabaran.
"Iya Nak, bentar lagi nyampe." Motor mereka berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Tapi sayang gerbang sekolah sudah ditutup. Nina terlambat. Terpaksa anak itu harus mendapat poin pelanggaran dari sekolah.
Dengan wajah menggerutu pada Ayahnya dan juga takut pada gurunya, Nina masuk ke sekolah. Ayahnya hanya mengantar sampai di gerbang dan melihatnya masuk ke kelas. Setelah dipastikannya anaknya itu sudah masuk ke kelas, dipacunya motor itu dan pergi dari sekolah itu.
Di kelas, Nina mendapat teguran dari gurunya, "Nina, kamu sering sekali terlambat. Kenapa?"
"Gara-gara Ayah Bu," sahut anak itu.
"Ayah kamu kenapa lagi? Kalau besok kamu terlambat lagi, Ibu akan panggil orang tua kamu kesini. Sekarang kamu duduk." Nina berjalan ke tempat duduknya sambil menunduk.
Sepertinya ini bukan kali pertama anak itu terlambat datang ke sekolah. Gurunya sampai kesal seperti itu. Tapi memang benar kalau alasan keterlambatan anak ini selalu adalah ayahnya.
Ayahnya itu orang yang sangat malas dan tak teratur. Itu sebabnya, Nina sering sekali terlambat datang ke sekolah. Dan karena sudah tak punya Ibu, tak ada yang mengurus Nina dengan baik.
Sejak kecil,Nina sudah harus mengurus dirinya sendiri. Ayahnya memang sangat menyayanginya. Ia juga selalu memberikan apapun yang Nina mau. Tapi kedisiplinan tak pernah Nina dapatkan di rumah. Bagaimana mau mengajari Nina untuk disiplin, kalau ayahnya sendiri sangat cuek dan tak teratur.
"Baik anak-anak. Sekarang keluarkan buku Matematika kalian." Bu Guru meminta para siswa mengeluarkan buku mereka.
Nina membuka tasnya dan mencari buku itu. Tapi ternyata, Ayahnya salah memasukkan jadwal. Buku-buku yang Nina bawa sekarang adalah buku untuk mata pelajaran besok.
Dengan wajah tertunduk dan sangat takut, "Bu, Nina nggak bawa bukunya."
Bu Guru tampak marah, tapi ia berusaha untuk bicara halus pada Nina.
"Nina sayang, sekarang kamu belajar di luar dulu. Yang tidak bawa buku bisa belajar di luar juga." Bu Guru menyuruh Nina belajar di luar, dan lagi-lagi ini semua karena ayahnya.
Dengan wajah kesal. Nina terpaksa keluar dari kelas dan menunggu sampai pelajaran Matematika selesai.
Brumm brumm bruuummm
Ayah Nina dan sepeda motornya sampai di sebuah kedai roti. Sepertinya kedai itu adalah miliknya, karena nama kedai itu Kedai Nina.
Diparkirkannya motor itu di depan kedai. Lalu bergegas membuka pintu kedai dan mempersiapkan segala keperluan untuk berjualan hari ini.
"Lukas! Sudah datang kau rupanya!" sapa seorang pria pada Ayah Nina yang ternyata bernama Lukas.
"Pak Yunus. Iya Pak, baru dateng kok." Lukas menyapa balik sapaan Pak Yunus.
Pak Yunus itu adalah salah satu pekerja di kedai itu yang seharusnya datang lebih awal daripada Lukas. Tapi hari ini, entah kenapa dia datang terlambat.
"Asshhh.... Panas.." keluh Lukas yang kepanasan saat memegang roti yang baru ia keluarkan dari oven.
"Aishh.... Lukas, Lukas. Buat apa kau kerja begini? Sudah enak-enak kau dulu. Apa tak ada niatmu untuk kembali ke sana?" tanya Pak Yunus yang hendak memulai untuk membuat adonan roti di dapur belakang kedai.
"Halah Pak. Ini aja udah cukup kok. Sekarang juga sudah ada Nina. Aku masih harus urus dia Pak. Nggak mau aku, balik lagi ke sana," ucap Lukas seraya mencomot kue kering yang ada di etalase depan kedainya.
"Kalau kau kembali kesana, Kas. Kau bisa naik pangkat. Kerjamu tak perlu susah kali macam ini." Pak Yunus terus mengatakan pada Lukas supaya ia kembali pada pekerjaannya yang dulu.
"Ah, sudahlah Pak. Aku sudah nyaman di sini. Lagipula aku juga udah janji sama Bening untuk nggak balik lagi ke sana dan jaga Nina. Tempat dan kondisi ini udah paling aman buat Nina. Jadi mau apa lagi aku ke sana." Lukas masih kuat dengan pendapatnya sendiri.
"Yah, kalau sudah kau bawa nama istrimu itu, tak bisa lagi aku bicara. Aku pun udah menganggapnya seperti anakku sendiri." Pak Yunus mengakhiri pembicaraan itu, karena Lukas sudah membawa nama istrinya.
Bening adalah nama istri Lukas. Dia juga ibunya Nina. Cinta pertama dan terakhir Lukas. Tapi takdir seakan tak ingin melihat mereka bahagia. Kebahagiaan itu direnggut begitu saja, bahkan ketika Nina belum lama merasakan kehadiran ibunya.
Klinting
Bel yang ada di atas pintu kedai berbunyi, itu artinya ada seseorang yang datang.
"Silahkan! Mau beli apa?" tanya Lukas tanpa melihat siapa yang datang.
"Ayah!" teriak seorang anak.
Ternyata itu adalah Nina. Anak itu datang bersama seorang perempuan.
"Pagi Pak!" sapa perempuan itu.
"Pagi!" jawab Lukas. "Kamu kok pagi banget pulangnya? Kenapa Sayang?" tanya Lukas pada Nina. Ia bingung, perasaan baru saja ia mengantar anak ini ke sekolah, kenapa sudah di sini sekarang?
"Iya Yah. Ada pemadaman listrik mendadak di sekolah. Katanya sampe sore, jadi disuruh pulang deh," ucap Nina polos.
"Opung Yunus!" seru Nina berlari ke arah Pak Yunus yang sudah ia anggap seperti kakeknya sendiri.
"Halo, Nina!" Pak Yunus membawa Nina masuk ke dapur belakang. Tersisa Lukas dan perempuang yang mengantar Nina tadi, di kedai.
"Maaf Pak. Sekolah tidak memberi tahu, karena pemadamannya juga mendadak. Dan memang sampai sore. Kami kasihan kalau anak-anak harus belajar gelap-gelapan." Perempuan yang mengantar Nina memulai pembicaraan dengan Lukas.
"Oh gitu. Iya, nggak apa-apa. Kalau boleh tahu, Ibu ini siapa?" tanya Lukas.
"Saya Shinta. Saya gurunya Nina." Perempuan itu menyodorkan tangannya mengajak Lukas berjabat tangan. Ternyata nama guru itu Shinta.
"Saya Lukas," balas Lukas.
"Baik Pak Lukas. Kalau begitu saya pamit pulang dulu. Saya masih ada urusan yang lain," ucap guru itu pamit.
"Oh iya Bu. Sekali lagi terima kasih banyak sudah mau ngantar anak saya." "Baik Pak, mari." "Iya mari silahkan Bu."
Guru itu pergi meninggalkan kedai milik Lukas. Lukas masuk kembali ke kedai. Nina dan Pak Yunus sedang asyik di dapur belakang. Entah apa yang dia lakukan di sana.
Lukas sibuk menata roti di etalase kedai. Hari semakin siang, para pembeli mulai berdatangan. Beberapa memang sudah langganan bahkan sudah menganggap Lukas sebagai teman.
Ketika hari menjelang sore, guru itu datang lagi ke kedai. Ia datang dengan pakaian yang jauh lebih santai. Dan itu membuatnya tampak lebih cantik.
"Sore Bu Shinta!" sapa Lukas.
"Sore Pak! Saya mau jemput Nina. Tadi saya sudah janji untuk mengajaknya ke pasar. Apa boleh saya bawa Nina?" tanya Shinta.
"Oh gitu. Boleh Bu. Kasian juga dari siang di dapur sama Pak Yunus. Nina! Sayang! Ada Bu Guru Nak! Nina!" teriak Lukas memanggil putri kecilnya itu.
"Bu Shintaa! Ayah, Nina mau ke pasar sama Bu Shinta ya? Ayah nggak mau ikut?" Nina sudah menggandeng tangan Shinta.
"Iya Nak, boleh. Tapi Ayah nggak ikut ya. Ayah masih ada kerjaan. Nanti kalau Ayah udah selesai, Ayah susul aja ke pasar ya." Lukas mengizinkan Nina pergi.
"Oke Ayah. Dadah Ayah!" Nina melambaikan tangannya.
"Dah Sayang!" Lukas juga melambaikan tangannya.
"Mari Pak. Saya ijin bawa Nina." Pamit Shinta.
"Iya Bu, silahkan." Lukas mengantar mereka dengan senyum.
Setelah Nina dan Shinta pergi, Lukas kembali bekerja. Pak Yunus juga melanjutkan pekerjaannya di dapur. Meski tak sampai penuh, tapi pelanggan selalu saja ada. Itu yang selalu Lukas syukuri.
Klinting! Gubrakk Brakk
Mungkin setengah jam dari sejak Nina pergi bersama Shinta, tiba-tiba ada orang yang dengan tergopoh-gopoh masuk ke kedai Lukas. Orang itu adalah Minto, kuli panggul di pasar.
"Minto! Kenapa kamu Min?!" teriak Lukas panik.
"Mas Lukas, itu! Itu! Anaknya! Nina!" Minto terengah-engah seperti habis berlari dengan jarak jauh.
"Nina kenapa?! Minto!" tanya Lukas panik.
"Itu Nina! Nina..." ucap Minto masih terengah-engah.
"Kau ngomong yang jelas. Jangan bikin aku panik kau Minto!" Giliran Pak Yunus yang tak sabar menunggu Minto bicara.
"Nganu Mas, itu Nina kecelakaan... di pasar." Minto akhirnya berhasil mengatakan apa yang terjadi pada Nina.
"Kecelakaan?! Kok bisa?!" Lukas langsung berlari keluar dari kedai dan hendak menuju ke pasar.
Tapi sebelum ia berlari jauh, Minto memberitahunya hal lain, "Mas Lukas ke puskesmas aja! Nina udah di sana!"
Mendengar itu, Lukas langsung berbelok ke arah puskesmas yang Minto maksud. Ia tak peduli lagi. Nina adalah hidupnya, tak ada yang lebih penting dari Nina.
"Suster, pasien anak kecil yang barusan kecelakaan dimana?" tanya Lukas panik pada perawat yang ada di depan puskesmas.
"Di ruang rawat 1 Pak. Itu yang mengantar duduk depan ruangannya." Perawat itu menunjuk ke arah Shinta yang sedang duduk cemas di kursi tunggu.
Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Lukas langsung bergegas menuju Shinta.
"Anak saya mana?!" bentak Lukas pada Shinta.
"Di dalam Pak. Saya minta maa..." "Udah nanti aja!" Lukas langsung memotong kata-kata Shinta dan bergegas masuk ke dalam uang perawatan.
Di luar, Shinta hanya bisa menangis dan merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Nina.
"Nina! Sayang. Kamu kok bisa gini? Maafin Ayah ya, Ayah nggak bisa jaga kamu Nak." Lukas masuk ke dalam ruangan dimana Nina dirawat dan melihat anak itu terbaring di tempat tidur.
Ternyata kondisi bocah itu tak terlalu mengkhawatirkan. Hanya ada beberapa luka gores karena terkena aspal. Selebihnya Nina baik-baik saja.
"Ayah, Nina nggak apa-apa kok. Nih Nina cuma ada plester di sini. Tuh kan Nina nggak apa-apa." Nina, anak itu selalu bisa menenangkan ayahnya, meski usianya masih sangat muda.
"Aduh Sayang, sakit ya? Sini Ayah cium, mana yang sakit." Lukas mencium tangan Nina yang sudah diperban oleh dokter.
Lukas merasa sangat sedih saat melihat putrinya terluka. Ia tak pernah rela Nina terluka, sekecil apapun itu. Matanya selalu berkaca-kaca kalau melihat anaknya terluka. Padahal bocah itu sama sekali tak pernah mengeluh. Nina adalah bocah yang sangat kuat dan ceria.
"Permisi Pak, biar kami selesaikan dulu perawatan untuk pasien. Bapak bisa tunggu di luar sebentar." Dokter yang baru saja datang meminta Lukas untuk menunggu di luar.
Lukas melambaikan tangannya pada Nina dan melangkah keluar dari ruang itu. Nina juga membalasnya dengan senyum dan lambaian tangannya.
Di luar, Shinta masih duduk tertunduk merasa bersalah. Air matanya sudah tak tahan untuk keluar. Tapi Lukas tak peduli dengan itu, ia tetap tak terima putrinya terluka.
"Bu! Anda ini gimana?! Saya sudah titipkan anak saya, kenapa bisa jadi seperti ini?! Beruntung lukanya hanya kecil, kalau terjadi apa-apa bagaimana?!" bentak Lukas marah pada wanita itu.
"Saya minta maaf Pak. Sekali lagi saya minta maaf. Tadi di pasar, ada beberapa orang yang mengganggu kami, lalu untuk membela diri saya menampar orang itu. Tapi sepertinya mereka tidak terima. Waktu saya mau ajak Nina pulang, tiba-tiba ada motor yang menyerempet kami. Sekali lagi saya minta maaf Pak, saya tidak bermaksud melukai Nina. Saya minta maaf Pak." Shinta menangis dan meminta maaf. Ia menceritakan semua kejadian yang terjadi di pasar tadi.
Lukas hanya diam dan masih geram. Tapi ia tahu kalau ia juga tak bisa begitu saja menyalahkan guru ini. Semua ini adalah perbuatan orang-orang sialan itu.
"Selamat sore Bapak, Ibu." Tiba-tiba seorang polisi menyapa Lukas yang masih geram dan Shinta yang masih basah matanya.
"I-iya?" sahut Lukas bingung.
"Kenapa ada polisi di sini?" batinnya.
"Apa benar Bapak ini ayah dari korban kecelakaan bernama Nina?" tanya polisi itu.
"I-iya Pak." Lukas semakin bingung, apa hubungannya polisi ini dengan Nina? Kenapa mereka bertanya tentang itu? Lagipula Lukas juga tak pernah memanggil polisi setelah kecelakaan Nina.
"Baik. Bapak silahkan ikut kami ke kantor, untuk memberikan keterangan terkait laporan kasus kecelakaan yang dialami oleh anak Bapak." Polisi itu mengajak Lukas ke kantor.
"Loh Pak, tapi saya nggak buat laporan apa-apa. Saya nggak mau ada urusan sama polisi Pak." Lukas menolak untuk ikut.
"Saya yang buat laporannya Pak. Saya pikir ini akan adil untuk Nina. Dan orang-orang itu bisa ditangkap dan dihukum." Shinta menyela pembicaraan Lukas dan polisi itu.
Lukas geram. Ia menepukahinya dan menghela nafas.
"Kenapa Ibu panggil polisi?! Kenapa nggak tanya saya dulu?!" tanya Lukas, benar-benar geram.
"Saya kira, Bapak juga akan melakukannya. Jadi saya lebih dulu melaporkannya ke polisi." Shinta menjawab dengan serba salah. Lukas semakin geram. Ia merasa guru ini sok tahu dan semakin mempersulit keadaan.
"Pak Polisi, saya tidak jadi melapor. Laporannya saya tarik aja. Sudah ya, saya nggak usah ke kantor ya Pak. Anak saya lagi sakit Pak." Lukas mencoba lagi untuk menolak ajakan polisi itu ke kantor.
"Maaf Pak. Kalau mau mencabut laporan, Bapak juga harus tetap ikut bersama kami untuk tanda tangan surat penarikan laporan." Polisi itu hendak menarik tangan Lukas.
"Aishhh. Ya udah iya Pak. Tapi nggak usah di bawa-bawa gini. Saya jalan sendiri aja. Kamu Bu Guru, kamu harus ikut sama saya. Sok tahu sekali menghubungi polisi! Saya tidak pernah mau berurusan dengan polisi, tapi kamu malah buat lapor ke polisi tentang kecelakaan Nina." Lukas menarik Shinta untuk ikut dengannya ke kantor polisi bersama petugas itu.
Mereka sampai di kantor polisi. Petugas tadi meminta Lukas melengkapi semu persyaratan untuk menarik kembali laporannya. Shinta hanya diam, tapi ia sendiri bertanya-tanya kenapa Lukas tak ingin berurusan dengan polisi.
"Selamat Sore Pak!" Polisi yang tadi membawa Lukas menyapa seorang polisi atasannya.
"Selamat Sore. Ada kasus apa ini?" tanya inspektur itu.
"Bapak ini mau menarik laporannya atas kecelakaan putrinya." Polisi itu menjawab pertanyaan atasannya dengan tegas.
"Kenapa mau ditarik Pak? Kami bisa membantu kok. Putri bapak akan dapat keadilan dan pelakunya akan kami tindak Pak. Biarkan kami lakukan tugas kami Pak." Inspektur itu berusaha memberi pemahaman pada Lukas yang masih menunduk menandatangani surat pencabutan tuntutan itu.
"Saya nggak ada masalah dengan orang-orang itu Pak. Anak saya juga nggak apa-apa kok. Saya juga nggak rugi sama sekali. Jadi tuntutan ini nggak penting. Lebih baik bapak-bapak sekalian mengurus urusan yang lain kan?" Lukas menutup bolpoinnya dan mengangkat kepalanya.
Melihat wajah Lukas, Inspektur itu seperti terkejut dan mengenali wajah Lukas. Tapi sepertinya ia juga tak yakin dengan ingatan samarnya itu. Ia merasa pernah melihat Lukas tapi ia tak tahu dimana dan siapa dia.
"Maaf, tapi apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Inspektur itu dengan wajah penasaran tapi juga curiga akan sesuatu yang entahlah apa itu.
Mendengar pertanyaan itu, wajah Lukas berubah. Ia seperti ketakutan dan panik mendengar inspektur itu mengenalinya. Ia hanya diam dengan tatapan mata yang berusaha mengindar dari inspektur itu.
"Pak? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Siapa nama anda Pak?" tanyanya itu lagi, setelah Lukas diam dan tak memberi jawab apapun padanya.
"Ehm.. Ehmm... Sepertinya nggak Pak. Bapak salah ingat mungkin. Nama saya Lukas. Lukas Damarjati." Lukas berusaha mengalihkan perhatian inspektue itu dengan alasan salah ingat.
"Bapak kan kapolres, pasti sudah banyak bertemu dengan orang. Banyak orang yang mungkin mirip sama saya Pak. Jadi mungkin Bapak salah orang," lanjutnya.
"Hmm... Bisa jadi. Tapi kenapa aku merasa yakin kalau aku pernah bertemu dengan anda Pak Lukas?" Inspektur itu bergumam tak jelas. Lukas tak begitu mendengar kata-kata itu.
"Ya sudah. Urusan saya di sini sudah selesai. Saya boleh pergi Pak?" tanya Lukas pada petugas yang tadi.
"Silahkan Pak." Petugas itu mengambil surat yang sudah Lukas tanda tangani dan mempersilahkannya pergi.
Lukas dan Shinta yang sejak tadi mengikutinya pergi dari ruangan itu. Shinta seperti menyimpan pertanyaan. Ia merasa aneh dengan sikap Lukas yang sepertinya antipati dengan polisi dan sikap salah tingkahnya saat mendengar pertanyaan dari Inspektur polisi tadi.
"Tunggu, Bara Mahardika!" seru inspektur itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!