NovelToon NovelToon

Cahaya

Menjadi penerang

Gerimis mulai berhenti, gagang payung berukuran besar dipegang erat oleh seorang laki-laki berusia 30-an. Badannya ia biarkan basah walaupun hujan tak begitu deras, yang terpenting seseorang yang sangat penting kehadirannya itu merasa nyaman dan bisa melaksanakan tugasnya tanpa risih karena bajunya yang basah.

"Maaf, Bu! seandainya saja saya bisa menjemput ibu dengan mobil pasti tidak akan seperti ini." ucap laki-laki yang berprofesi sebagai sopir pribadi itu.

"Tidak apa-apa, sudah biasa. Untung saja motormu seperti ini. Kalau saja motormu moge aku tidak akan bisa mengendarainya! hahaha." wanita yang usianya sepantaran laki-laki tersebut ternyata mempunyai selera humor juga.

"Sudah ayo masuk! letakkan saja payungnya. Basah sedikit juga tidak mengapa. Oh ... ya, kuncinya aku biarkan saja disini ya." perempuan itu membawa turun tas berwarna hitam yang ia letakkan di bagian bawah sepeda motor merah tersebut.

Suara rintihan sesekali disertai erangan kesakitan langsung tertangkap di pendengaran mereka. Bersamaan dengan itu seluruh lampu mati seketika. Pemadaman listrik yang tidak tepat waktu. Laki-laki yang bernama Arman itu menyalakan senter yang menyatu dengan korek gas yang selalu ada dalam saku celananya.

"Apa sudah ada air panas, Bu?" wanita yang berprofesi sebagai bidan desa tersebut berbicara dengan wanita sepuh yang mendampingi wanita yang sedang kesakitan sambil memegangi perutnya.

"Sudah, bu Bidan. Semoga cepat keluar ... mungkin si bayi tidak mau lahir sama eyangnya! Dari tadi pagi sudah sakit begini, tapi kok belum ada tanda-tanda mau lahir." perempuan sepuh yang ternyata mempunyai keahlian sebagai dukun beranak itu pun merasa tidak berguna. Selama ini ia menolong orang di kampung yang ingin melahirkan, tapi malah anaknya sendiri dia harus rela bidan desa yang mengambil alihnya. Semuanya karena menantunya takut istrinya kenapa-kenapa.

Percakapan mereka terhenti karena rintihan memilukan dari perempuan yang tampak sudah sangat keletihan.

"Sabar ya, Dek. Nikmati semua prosesnya. Tidak semua wanita dapat merasakan ini! ayo, mana senyumnya?!" bidan yang bernama Ningsih tersebut memberikan semangat kepada si ibu hamil.

"Alhamdulillah, sudah lengkap bukaannya. Sekarang kumpulin tenaganya ya. Mana masnya tadi? ayo sini kita mulai acaranya." bidan tersebut tersenyum memanggil Arman yang tampak ikut merasakan sakit yang dirasakan istrinya.

"Berikan semangat kepada istrinya ya, Man." ucap bidan itu, Arman tersenyum terpaksa. Tangan kanannya menggenggam erat jemari istrinya, ubun-ubun wanita yang penuh peluh itu ia kecup sangat lama.

Proses alami pun terjadi, hampir dua puluh menit akhirnya suara bayi terdengar memecah kesunyian malam, terangnya bulan masuk dari jendela yang terbuka, seperti sengaja menyinari bayi mungil yang baru saja lahir ke dunia itu.

"Alhamdulillah ... kehadiranmu membawa cahaya,Nak." dengan memegang kedua kaki bayi yang baru lahir itu bidan bertubuh tambun tersebut kegirangan.

"Alhamdulillah ya Allah. Terimakasih sayang, sudah berjuang melahirkan anak kita!"

"Cahaya, Man! namanya Cahaya?" walau seperti tidak sopan karena mencampuri,namun bidan yang sebenarnya adalah teman satu SMA dengan Arman tersebut tidak perduli.

" Iya, Mas. Aku suka dengan nama itu!" ucap ibu baru yang masih terbaring lemas

\=\=\=\=\=\=\=

Tujuh belas tahun berlalu, bayi yang lahir dengan bobot 2,8 kg itu kini sudah menjadi 45 kg dengan tinggi badan 165. Rambutnya yang lurus dan hitam selalu tergerai.

Menjadi gadis periang dan disayangi oleh semua orang. Aya ... begitu panggilannya.

Telepon selular satu-satunya yang ada di rumah itu berdering. Suara langkah yang di percepat dari arah dapur menyambar telepon yang terletak di rak lemari.

"Assalamu'alaikum, Ayah!" sapanya, gadis yang bau bawang itu masih menggunakan apron nya.

"Oke, Aya juga masih belum selesai masak ini. Pelan-pelan saja ya, Yah nyetirnya." telepon itu pun berakhir.

"Hm ... yang semangat menyambut kepulangan ayahnya! lupa deh sama Mbah putrinya!" wanita sepuh itu mencebikkan bibir keriputnya.

Kehilangan ... lagi

Matahari semakin meninggi, semua hidangan khas kesukaan lelaki yang paling di nantikan telah tertata rapi diatas meja, sengaja tidak ditutupi tudung saji. Kalau sesuai dengan perkiraan Arman akan tiba jam tiga sore ini.

Kepulangan Arman sang ayah, bukan sekedar mengunjungi anak dan mertuanya saja. Kali ini berbeda karena Arman akan kembali ke ibukota membawa serta anak semata wayangnya. Ya ... Cahaya akan melanjutkan pendidikannya di kota dan tinggal bersamanya. Sebelumnya Arman dan mertuanya akan berangkat umroh terlebih dahulu.

Lima tahun setelah Cahaya lahir, Arman harus bekerja di luar kota mengikut majikannya. Arman adalah supir pribadi keluarga kaya namun baik hati, sudah belasan tahun beliau mengabdi disana. Arman akan pulang mengunjungi anak dan istrinya enam bulan sekali. Pernah beberapa kali, cucu dari sang majikan ikut mengunjungi keluarganya di kampung.

\=\=\=\=

"Hallo, Selamat sore. Iya, benar saya anaknya. Ada apa ya, Pak? Kenapa hape ayah saya bapak yang pegang? bapak siapa?" kegugupan dari pemilik bulu mata lentik itu tidak bisa ia tutupi, perasaannya menjadi tidak karuan. Sebisa mungkin fikiran aneh ia jauhkan.

"Siapa, Nduk?" sosok sepuh yang sedang membaca Al-Qur'an itu pun menghentikan aktifitasnya.

"Ayah, Mbah. Ini yang telepon nomor ayah, tapi yang bicara orang lain." Cahaya berjalan mendekat.

"Coba ditanya yang benar, jangan panik dulu mungkin saja hape ayahmu terjatuh dan ditemukan sesorang. Gorene lah, men mbah seng ngomong!" benda pintar itu kini berpindah tangan.

"Hallo"

"Begini,Bu. Kami dari kepolisian ...." Telepon itu jatuh dari genggaman, pengeras suara yang sempat di aktifkan membuat pembicaraan antara si mbah dengan laki-laki yang ternyata adalah seorang polisi membuat runtuh semua impian Cahaya.

Arman mengalami kecelakaan beruntun. Truck tangki penuh muatan menjadi penyebab utamanya. Mobil yang dikendarai Arman ringsek, Arman mengalamai benturan keras dibagian kepala dan patah tulang karena terjepit.

Dua jam berlalu, Mbah Putri masih tidak sadarkan diri. Beberapa warga sudah mulai berkumpul dan bersiap menerima jenazah Arman. Pak Sani dan keluarga yang merupakan tetangga terdekat Cahaya yang berperan penting menjadi bagian dari keluarga mereka.

Cahaya hanya terduduk diam memeluk kedua kakinya. Menatapi mbah yang seperti tertidur lelap di seberangnya.

Suara Ambulance membuatnya panik, Cahaya berlari keluar rumah menuju asal suara. Mobil putih dengan tulisan merah yang sangat kontras dibadan mobil mengingatkannya pada kejadian sepuluh tahun lalu, saat ibu nya dibawa dengan mobil serupa.

"Ayah ...." suara itu semakin lirih terdengar. Cahaya bersandar di badan mobil, air matanya seperti hujan deras yang mengguyur bumi.

Jenazah Arman di keluarkan, sesuai permintaan keluarga jenazah Arman masih belum dimandikan hanya lukanya saja yang dibersihkan. Cahaya terus memeluk jasad yang sudah tidak bernyawa itu. Betapa merindunya ia, harapan untuk bisa tinggal bersama pupus sudah. Begitu susahnya Aya memantapkan hatinya untuk rela meninggalkan si Mbah untuk mengejar cita-citanya di kota besar, setelah semuanya mantap, Tuhan memberikan jalan lain. Mungkin Allah menginginkan Cahaya tetap bersama dengan wanita yang sudah menggantikan kewajiban ibunya.

Tubuh kaku tersebut di semayamkan, pelayat silih berganti memberikan doa dan semangat kepada Cahaya. Wajah cantik itu kini tidak lagi berseri, matanya semakin membengkak. Cahaya terus berada di sebelah sang ayah. Sesekali kembali memeluknya, dan mengajaknya bicara.

"Ayah, Aya sudah memasak makanan kesukaan ayah. Ayah bangun lah!" hanya itu kata yang terucap dari bibirnya. Tidak sedikit pelayat ikut meneteskan air mata, menatap iba kepada gadis yang kini yatim piatu itu.

Suara jeritan dari arah kamar membuat suasana tegang. Bu Sani keluar dengan wajah tegang.

"Mas, si mbah Mas!" Bu Sani yang sedari tadi menjaga mbah Putri memanggil suaminya. Pak Sani pun bergegas menemui.

\=\=\=\=

Bagaikan tersengat listrik beribu voll, bagai sekarat menuju kematian namun adjal masih belum menghampiri. Ibarat nyawa yang sudah di kerongkongan. Entah apa ungkapan yang sesuai untuk menggambarkan perasaan Cahaya saat ini. Dua kali tidak kuasa menahan perasaan yang tidak pernah dibayangkan, Cahaya jatuh pingsan.

Dua tubuh manusia yang paling ia sayangi di dunia ini sama-sama terbujur kaku. Kain putih telah menutup seluruh tubuh mereka. Arman dan mbah putri kini telah meninggalkan dunia.

Cahaya duduk bersandar, tubuh nestapa itu bersandar dan di peluk oleh wanita yang usianya sedikit dibawah almarhumah mbah putri, namun masih tampak awet dan segar, pakaiannya juga seperti bukan orang sembarangan.

"Menangislah jika menangis itu sedikit mengurangi beban dalam dadamu, Nak. Yang pasti kau harus ikhlas, ini sudah ketentuan dari yang maha kuasa. Kita tidak bisa protes. Jangan pernah berpikir kau sendiri, ada pak Sani dan bu Sani, dan juga masih ada saya. Saya bertanggung jawab untuk melanjutkan hidupmu. Itu janji saya kepada Arman." perempuan itu terus membelai lembut puncak kepala Cahaya.

"Aya ... mbah dan ayah akan segera di shalatkan. Nak Aya mau ikut? kita sholatkan di masjid, setelah itu langsung kita hantar ke pemakaman." ucap bu Sani penuh dengan kasih sayang.

"Iya, Wak. Aya ikut. Ini penghormatan terakhir Aya sama mbah sama ayah." Air mata masih menganak sungai, dengan suara serak Aya menjawab, kemudian berdiri dibantu oleh wanita yang dari tadi bersamanya.

"Oke, nenek juga ikut. Kamu ikut mobil nenek saja ya." ucap perempuan tersebut. Aya hanya menjawab dengan anggukan.

\=\=\=\=\=

Gundukan tanah merah yang bersusun sejajar namun di pisahkan dengan satu makan yang bertuliskan nama ibu dari Cahaya menjadi pemandangan tidak terlupakan bagi Cahaya. Ketiga orang terkasihnya mungkin saat ini telah bersama.

"Ayo kita pulang, Nak."

"Pulang kemana, Wak. Keluarga Aya disini. Aya disini saja. Uwak pulang saja." jawab Cahaya, tangannya terus mengelus nisan kayu yang bertuliskan nama ayahnya.

"Ayah ... Aya sama siapa? kenapa ayah pergi bawa mbah!" gadis itu kembali terisak.

Abang!!

Acara tahlilan telah selesai, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah menyalami para tamu yang berpamitan, Cahaya berjalan ke dapur. Bukan untuk makan melainkan tenggorokannya terasa sangat kering.

Dentingan suara sendok yang berlaga dengan piring membuat gadis itu mempercepat langkahnya. "Ayah sedang makan!" gumamnya

"Ayah!!" ucap Cahaya begitu melihat sosok laki-laki yang sedang makan dengan lahapnya dimeja makan.

"Oh, maaf ... saya pikir tadi ...." tatapan Cahaya kembali sendu, matanya pun berkaca-kaca. Laki-laki itu hanya menatapnya saja tanpa berkata sepatah kata pun.

Wanita tua yang sedari tadi bersama Cahaya datang bersama dengan bu Sani.

"Aya makan ya, Nduk. Dari tadi siang nggak ada makan loh. Nanti sakit." ucap bu Sani sambil memegang pundak Cahaya.

"Aya tidak lapar, Wak." jawab Cahaya memaksa tersenyum.

"Sini duduk! makan ya ... biar nenek suapin. Jangan menyiksa diri, jika Arman dan mbah putri ada pasti mereka tidak senang melihat gadis kesayangannya seperti ini." wanita yang mengucap dirinya nenek itu menarik kursi makan tepat disebelah laki-laki yang masih lahap mengunyah tempe bacem.

"Ini lagi, makannya lahap sekali. Seperti sudah lama sekali nggak ketemu bacem!" ucapnya mencubit lengan laki-laki tersebut.

"Aduh, Oma! enak ini bacemnya original ini sedap tanpa penyedap!" ucapnya tersenyum malu-malu. Cahaya terus memperhatikan laki-laki disebelahnya. Otaknya bekerja keras mengingat sosok itu, mata nya mengingatkan Cahaya dengan seseorang.

"Hm ... maaf sebelumnya, Cahaya mau bilang terimakasih sama nenek. Tapi maaf lagi, nenek siapa ya? Aya belum pernah melihat nenek sebelumnya." ucap Cahaya sopan.

"Oh iya, saya lupa mengenalkan diri. Bu Sani ... Cahaya, saya Arum, Sekar Arum."

"Sekar Arum?! Ya Allah, itu nama majikan ayah saya. Jadi nenek ...."

"Ya, ayahmu kerja dengan keluarga saya. Maaf ya Nak. Kalau saja Arman mau naik pesawat mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini." ucap Arum, ada penyesalan dalam hatinya. Kenapa dia tidak memaksakan kehendaknya kepada Arman.

"Tadinya ayah memang sengaja mau bawa mobil kalau nyonya mengijinkan, karena Aya nggak berani naik pesawat. Ini semua salah Aya, hiks ... hiks." gadis itu kembali menangis.

"Hey, jangan bicara seperti itu. Sudahlah, ini sudah takdir dari-Nya. Karena itu sekarang Cahaya menjadi tanggung jawab saya. Selesai acara nanti, Aya ikut bersama kami ya. Aya harus kuliah di kota kan. Lanjutkan cita-cita mu, Nak."

"Maaf, Nyonya. Saya disini saja. Saya tidak akan melanjutkan pendidikan, Aya mau bekerja saja."

"Oh, tidak bisa! Saya sudah menyiapkan semua keperluan mu di kota. Kami menyayangi Arman seperti keluarga kami sendiri, anaknya juga akan kami sayangi. Arman sudah meminta izin untuk mengajak anaknya tinggal bersamanya dan saya sudah menyetujuinya, bahkan kamar khusus untukmu sudah sengaja saya buatkan di rumah yang di tempati Arman selama ia bekerja bersama kami. Kau harus kuliah, Nduk. Bahagiakan orangtuamu, meskipun kita tidak bisa melihat mereka lagi, tapi yakinlah mereka tetap hidup dalam hati kita."

"Tapi Nyonya ...."

"Ck! jangan panggil saya Nyonya! panggil nenek saja seperti tadi. Sekarang saya menjadi nenekmu juga sama seperti Angga dan Bima."

"Makanlah dulu, ini telur mata sapi setengah matang untukmu." laki-laki yang menghabiskan tempe bacem satu piring tadi menyuguhkan dua buah telur goreng, entah sejak kapan dia beranjak dari meja makan.

"Telur mata sapi setengah matang?! kenapa abang bisa tau kesukaan Aya. Abang ini ...." Aya memperhatikan kembali laki-laki yang bertubuh tinggi dengan rambut panjangnya.

"Ini abang koki?!" Aya seperti menemukan kembali bagian dari hatinya yang hilang.

"Abang koki?" Arum mengernyitkan dahinya

"Iya, Nek. Abang kan dulu pernah beberapa kali ikut ayah ke sini." terang Cahaya.

" Dulu, abang bilang cita-citanya mau jadi koki. Makanya Aya panggilnya abang koki, abang juga sering bantu si mbah di dapur." Cahaya menjelaskan dengan gembira, kenangan bersama Angga dan Arman sang ayah terulang dalam ingatannya.

"Iya, aku abang koki mu. Sudah ayo makan. Nanti keburu dingin amis!" ucap laki-laki hitam manis tersebut.

Cahaya akhirnya mengambil sendok yang ada diatas meja, ia paksa memakan sajian sederhana yang sudah ada dihadapannya. Gadis malang itu makan perlahan sekali, seolah enggan menelan nasi dan telur yang sudah bercampur didalam mulutnya tersebut.

Hanya tiga suapan, Aya meletakkan sendoknya dan meminum air putih hangat yang dituangkan oleh bu Sani. Gadis itu sangat beruntung, walau dirinya sudah tidak lagi mempunyai keluarga satupun. Namun masih banyak orang yang menyayanginya.

"Terimakasih ya, Wak." Cahaya memeluk tubuh mungil namun sudah menampakkan keriput itu.

"Sama-sama, Nduk. Kamu itu anak uwak, jangan pernah merasa sendiri." pelukan itu dibalas oleh bu Sani.

"Maaf semua. Aya boleh ke kemar sekarang?" Cahaya mengedarkan pandangan kesekelilingnya.

Gadis itu berdiri dari tempat duduknya, berjalan menuju kamarnya dan almarhumah si mbah. Sejak dulu mereka memang selalu tidur bersama.

Baru beberapa langkah wanita cantik itu merasa pusing. Kakinya seolah tidak kuat untuk menopang berat tubuhnya. Beruntung Angga melihatnya, dengan sigap ia menangkap tubuh ramping itu.

"Ca ... Ca!" Angga menepuk-nepuk pipi Cahaya.

"Bawa ke kemar saja, baringkan Cahaya di kasur. Saya jemput bidan desa dulu." Pak Sani bergegas keluar rumah.

"Tolong cepat kabari saya, Pak. Kalau lama saya akan bawa Cahaya ke rumah sakit." ucap Arum.

"Ca ...." Angga mengusap-usap telapak tangan Cahaya, memberikan gadis itu minyak kayu putih agar dapat di bauinya, wajah tampan itu tampak sedih.

"Hm ... sepertinya ada sesuatu ini. Perhatian sekali cucu ku ini." batin Arum, sedikit menyunggingkan senyum, ada rencana besar di pikirannya.

.

.

.

.

.

Bonus visual untuk Cahaya dan Abang koki.

Cahaya Anugrah

Angga Gemilang

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!