NovelToon NovelToon

Istri Kecil MR. Arogant

BAB 1 "Pria Misterius"

Di dalam kegelapan malam dan di bawah rintik hujan. Terlihat seorang laki-laki berjalan sempoyongan sambil memegangi perutnya yang terluka, sedangkan tangan satu lagi menggenggam sebuah senjata api yang baru saja menghilangkan sedikitnya dua puluh nyawa manusia.

"Aaahhhh! Sial," umpatan keluar dari bibir pucat itu.

Berkali-kali laki-laki muda itu menggeram karna rasa sakit pada perutnya yang tertembak. Darah segar terus merembes dari lukanya dan melumuri salah satu tangannya.

Semakin jauh ia berjalan, hanya membuat tenaganya semakin berkurang. Jika saja mobilnya tidak terbakar dalam peristiwa yang baru saja dia alami, pasti saat ini dia sudah tiba di rumahnya dan mendapatkan perawatan pada luka di sekujur tubuhnya. Tapi yang terjadi justru malah sebaliknya.

Pandangannya mulai kabur dan tubuhnya terasa lemas, bahkan lututnya sudah tidak mampu lagi menopang berat tubuhnya sendiri. Dan yang terjadi selanjutnya adalah tubuhnya tergeletak di tanah dengan mata menutup menahan rasa sakit. Ia pun telah pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Semua indera pada tubuhnya seperti tidak bisa merasakan apa pun selain rasa sakit, dan sebelum dia benar-benar kehilangan kesadarannya....

Samar-samar laki-laki itu melihat seseorang berlari menghampirinya , sayangnya ia tidak bisa melihat seperti apa rupa orang tersebut. Tapi satu hal yang pasti, dia seorang perempuan.

"Ya Tuhan!"

Viona yang baru saja tiba di rumahnya di kejutkan dengan keberadaan seorang laki-laki asing yang tengah terkapar tak sadarkan diri di depan pagar rumahnya. Tanpa membuang banyak waktu, Viona segera menghampiri laki-laki berusia 28 tahunan tersebut.

Sekujur tubuhnya hampir di penuhi luka seperti wajah, leher dan lengan kiri atas yang terlihat dari lengan kemejanya yang robek karna bekas sabetan benda tajam. Tapi yang paling parah tentu saja luka tembak diperutnya "Tuan, bisakah Anda mendengar saya? Tuan, buka mata Anda!" panik Viona sambil menepuk pipi laki-laki itu. Viona segera memeriksa denyut nadi dan detak jantungnya

"Dia masih hidup, dan detak jantungnya sangat lemah." lirihnya menggumam.

Tidak ingin sesuatu hal buruk menimpa pria asing dan misterius tersebut. Viona segera memapahnya dan membawanya masuk ke dalam rumah, ia perlu segera mengeluarkan peluru dari perutnya agar nyawa laki-laki itu bisa tertolong. Viona tidak peduli meskipun laki-laki itu adalah orang asing yang belum tentu adalah orang baik. Bagi Viona menyelamatkan nyawanya itu adalah yang paling utama, karna memang itulah tugasnya sebagai seorang dokter.

Setelah hampir setengah jam, akhirnya peluru yang bersarang di perut laki-laki itu berhasil di angkat dan lukanya selesai di jahit. "Hufftt! Akhirnya selesai juga." Viona menyeka peluh dari keningnya kemudian membuka sarung tangan yang berlumur darah dan membuangnya pada tempat sampah bersama kapas yang ia gunakan untuk membersihkan darahnya. Selain mengeluarkan peluru dari perutnya, Viona juga mengobati dan menjahit luka memanjang di atas alis dan lengan kirinya.

Viona kemudian beranjak dan meninggalkan kamar tamu, membiarkan laki-laki itu beristirahat. Yang perlu ia lakukan sekarang adalah membuatkan bubur untuk tamunya.

-

Di sebuah ruangan bernuansa putih yang cukup luas dengan perabotan lengkap termasuk sofa, televisi dan kamar mandi. Seorang pria berbaring tak sadarkan diri. Perban terlihat di sana sini seperti perut , lengan kiri atas, tulang pipi dan keningnya. Banyaknya perban yang melilit tubuhnya menandakan luka yang dia dapatkan cukup parah.

Perlahan-lahan pria itu membuka matanya, memperlihatkan sepasang mutiara berwarna coklat yang memiliki sorot dingin dan tajam. Pria itu lantas menelisik kesegala penjuru arah, dia merasa asing dengan tempat di mana ia kini berada. Tidak ada siapa pun di dalam ruangan itu selain dirinya.

"Aaaah." Pria itu meringis sambil memegangi perutnya. Dengan menahan rasa sakit, pria itu mencoba untuk duduk dengan perlahan-lahan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang masih belum stabil.

Decitan pintu yang dibuka dari luar sedikit mengalihkan perhatiannya, lantas pria itu menoleh dan mendapati seorang dara jelita bersurai coklat panjang masuk sambil membawa sebuah nampan yang sepertinya berisi makanan dan beberapa butir obat. Viona sedikit terkejut melihat pria yang ditolongnya ternyata sudah sadar. Namun tak berselang lama bibirnya mengulum senyum ramah dan menghampiri pria itu.

"Kau sudah sadar? Bagaimana keadaanmu?" Viona meletakkan nampannya di meja samping pemuda itu duduk.

"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja." Jawabnya datar.

"Syukurlah kalau begitu. Kau tau? Bagaimana paniknya aku saat menemukamu tak sadarkan diri di depan pagar rumahku, aku sempat berfikir jika kau itu mayat. Tapi syukurlah, aku tidak datang terlambat." kata Viona lagi.

"....." kali ini pria itu tidak memberikan jawaban dan memilih untuk diam.

"Aku membuatkan bubur untukmu, kau harus memakannya supaya kondisimu bisa segera pulih." ucap Viona yang langsung mendapatkan tatapan kurang bersahabat dari pria didepannya.

"Tidak perlu cemas, bubur itu tidak beracun dan aku berani menjaminnya," sambungnya seolah tau apa yang pria itu pikirkan.

Tanpa mengatakan apa pun, pria itu memakan bubur yang telah di siapkan oleh Viona untuknya 'Tidak buruk juga.' fikirnya. Baru beberapa sendok saja, pria itu meletakkan kembali mangkuk itu pada tempatnya semula. Ia tidak berselera sama sekali, mungkin pengaruh dari demam yang dia alami hingga membuat lidahnya terasa pahit.

Viona tersenyum "Namaku Viona. Namamu siapa?" tanyanya sopan.

"Nathan."

"Hhm! Tuan Nathan, memangnya apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kenapa kau bisa sampai terluka parah seperti itu? Apa kau seorang....?"

Pria itu 'Nathan' mengangkat wajahnya dan menatap Viona sedikit tajam dan tidak bersahabat. "Bukan urusanmu."

Viona meringis mendengar umpatan Nathan. Jika boleh jujur, Nathan adalah pria terdingin yang pernah ia temui dalam hidupnya. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Sebaiknya untuk sementara waktu tinggallah di sini, setidaknya sampai kondisimu benar-benar pulih. Kau tidak perlu sungkan, aku hanya tinggal sendiri dirumah ini. Jangan lupa minum obatnya, dan kembalilah beristirahat."

Viona beranjak dan meninggalkan Nathan sendiri di kamar itu. Nathan tidak memberikan respon dan hanya menatap datar kepergian Viona sampai sosoknya menghilang di balik pintu.

Sementara itu...

Di kediaman keluarga Lu. Kepanikan terlihat jelas dari raut wajah pria berwajah kebarat-baratan bernama Yifan Lu atau yang lebih akrab dipanggil Henry. Bagaimana ia tidak panik dan cemas, adiknya tidak ada kabar sejak kepergiannya dua belas jam yang lalu.

Ponselnya juga tidak bisa di hubungi, sampai-sampai ia harus mengerahkan seluruh anak buahnya hanya untuk menemukan keberadaan sang adik. Henry berdoa semoga tidak ada hal buruk menimpanya.

"Tuan Henry?"

Pria itu berbalik badan karna teguran seseorang "Bagaimana? Apa kau sudah mendapatkan kabar keberadaan, Nathan?"

"Maaf Tuan, kami tidak berhasil menemukan tuan muda. Hanya mobilnya saja yang sudah hangus terbakar yang berhasil kami temukan, dan ada mayat yang ikut terbakar dalam mobil itu."

"Apa? Lalu apa kau sudah memastikan mayat siapa itu?" tanya Henry memastikan.

"Sudah Tuan, dan itu bukan mayat tuan Nathan. Ada kemungkinan jika tuan Nathan masih hidup."

"Cari terus keberadaan adikku, bawah dia kembali padaku dalam keadaan hidup ataupun mati." Laki-laki itu mengangguk dan meninggalkan Henry sendiri di ruanganya.

Tak berselang lama setelah kepergian laki-laki itu. Dua orang pemuda terlihat menghampiri Henry. "Tuan." panggil salah satu dari kedua pemuda itu.

"Bagaimana, Kai? Informasi apa yang kau dapatkan kali ini?"

Kai pun menyampaikan informasi penting yang ia dapatkan hari ini pada Henry. Pria itu mendesah berat. "Awasi terus mereka dan temukan dengan segera gadis yang memiliki chip itu. Jangan sampai mereka mendahului kita dan menemukannya."

"Baik, Tuan!"

Henry menatap kembali langit malam yang terlihat gelap , tanpa hiasan bulan dan bintang. Helaan nafas berkali-kali keluar dari sela-sela bibirnya, dalam hatinya ia terus berdoa. Dimana pun saat ini Nathan berada. Semoga dia baik-baik saja, karna ia tidak mungkin bisa memaafkan dirinya jika sampai terjadi sesuatu padanya, Henry telah berjanji pada kedua orang tuanya untuk selalu melindungi adik dan kakak perempuannya.

-

Pagi datang dengan cepat. Di dapur yang terlihat cukup besar, terlihat seorang gadis bersurai coklat terang tengah berkutat dengan penggorengan dan spatulanya. Gadis itu tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri juga untuk tamunya. Sedikitnya lima menu berbeda telah terjani di atas meja dan tinggal satu menu lagi.

Suara langkah kaki seseorang sedikit menyita perhatian Viona. Gadis itu menoleh dan mendapati Nathan berjalan menghampirinya sambil memegangi kepalanya yang serasa ingin pecah. Viona pun segera mematikan kompornya dan menghampiri pria itu.

"Tuan Nathan, apa yang kau lakukan? Seharusnya kau beristirshat di kamar, kemarilah." Viona menuntun Nathan untuk duduk, gadis itu menuangkan air kedalam gelas dan memberikannya pada Nathan.

"Minumlah." pintanya. "Apa kepalamu masih pusing?" tanyanya cemas. Pria itu tidak menjawab, sebagai gantinya, Nathan mengangguk.

"Siang ini juga aku akan pergi dari rumah ini, aku tidak ingin merepotkanmu lagi."

"Apa yang kau bicarakan, Tuan Nathan? Aku sama sekali tidak pernah merasa direpotkan, aku masih belum bisa mengijinkanmu pergi dari rumah ini. Kondisimu masih sangat lemah, lagi pula aku adalah doktermu saat ini jadi menurutlah padaku." cerocos Viona tanpa jeda.

"Apa tidak apa-apa?"

"Tentu saja tidak!! Kau terlalu sungkan, dan sebaiknya sekarang kita sarapan. Makanlah yang banyak supaya keadaanmu bisa segera pulih." ujar Viona sambil mengulum senyum tipis.

Setelah sarapan dan membereskan semua prabotan yang kotor. Viona menghampiri Nathan dikamarnya dengan sebuah tas belanja di tangannya. Gadis itu mengetuk pintu terlebih dulu sebelum melangkah masuk "Tuan Nathan, aku membelikan beberapa helaian pakaian untukmu. Semoga ukuran celananya pas, kau bisa memakainya selama di sini. Karna tidak mungkin selama beberapa hari kau akan memakai pakaian yang sama, lagi pula pakaianmu sudah terlihat tidak layak." tutur Viona.

Nathan memperhatikan kemeja hitamya. Benar apa yang gadis itu katakan, ada robekan pada lengan dan perutnya. "Maaf, lagi-lagi aku merepotkanmu. Aku pasti akan membalas semua kebaikkanmu."

Viona tersenyum kemudian menggeleng. "Tidak perlu. Aku tulus melakukannya dan ini demi rasa kemanusiaan. Jika pun itu bukan dirimu, aku pasti akan melakukan hal yang sama. Karja tugas seorang dokter adalah menolong nyawa manusia. Maaf, aku harus pergi sekarang. Tidak perlu merasa sungkan, anggap saja seperti rumah sendiri. Ada banyak makanan di dalam kulkas, jika kau ingin memakan sesuatu." ujarnya kemudian meninggalkan Nathan sendiri didalam kamarnya.

Nathan membuka paper bag itu dan melihat isinya. Ada lima helai kemeja dengan warna dan model yang berbeda, tiga celana bahan berwarna gelap, tak ketinggalan ada dalaman juga. Nathan tidak tau bagaimana harus berterimakasih pada Viona yang sudah begitu baik padanya, dan ia berhutang nyawa pada dokter muda itu.

.

.

BERSAMBUNG.

BAB 2 "Sebuah Liontin"

Viona tiba di rumah sakit tempatnya bekerja dan kedatangannya langsung di sambut oleh seorang perempuan yang satu profesi dengannya. Perempuan itu menghampiri Viona dengan langkah sedikit tergesah dan nafas naik-turun.

"Bagus kau datang tepat waktu, kita harus segera ke ruang UGD. Telah terjadi kecelakaan dan keadaan pasien sangat kritis." Ucap wanita itu panik.

"Apa?"

Tanpa mengulur banyak waktu, kedua dokter cantik itu pun berjalan beriringan menuju ruang UGD. Derap langkah kaki mereka yang bergerak seirama menggema di lorong panjang yang menjadi akses utama menuju ruang UGD. Viona membuka pintu dengan tidak sabaran dan menghampiri Sunny yang mencoba memberikan pertolongan pertama.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Viona sambil memeriksa keadaan pasien.

"Kritis, ada sesuatu yang menyangkut di jantungnya dan tekanan darahnya semakin menurun." ujar Sunny memberikan penjelasan.

"Suster Mia, tolong ambil sempel darahnya." Pinta Viona pada wanita yang berdiri di belakangnya. Perempuan itu kemudian mengabil sebuah suntikan untuk mengambil sempel darah pasient itu

"Dokter Lee, Cepat cek golongan darahnya."

"Baik, Dokter."

"Detak jantungnya semakin menurun, dan tekanan darahnya semakin rendah." ujar Kirana.

"Tidak ada waktu lagi, kita harus segera melakukan operasi darurat untuk mengambil benda yang tersangkut di sekitar jantungnya." Tegas Viona pada Kirana dan Sunny, mereka mengangguk. "Suster Diva, siapkan ruang operasinya." Pinta Viona pada salah satu suster yang membantunya.

"Baik, Dokter."

Ruang operasi telah di seterilkan. Viona yang bertanggung jawab di bagian anestesi segera memberikan kode pada kedua rekan satu timnya. Setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian operasi dan mencuci tangannya dengan cairan antiseptik kemudian mereka memakai sarung tangan khusus.

Tanpa membuang lebih banyak waktu lagi.

Viona, Kirana dan Sunny segera membawa pasien menuju ruang operasi. Mereka harus bertindak cepat sebelum nyawa wanita itu melayang, semua orang yang berada di ruangan itu terlihat sibuk. Dan mereka tengah bekerja keras untuk menyelamatkan nyawa pasiennya sebelum terlambat.

"Siapkan kelengkapannya. Kita segera mulai operasinya."

"Tekanan darah 80, denyut nadi 50 dan tingkat matanya 60. Tekanan darahnya sangat rendah begitu juga dengan detak jantungnya yang tidak teratur." Viona mengangguk.

"Dokter, tekanan darah pasien semakin menurun. Pendarahan parah dan saturasi oksigenya rendah." ujar Mia sedikit panik.

"Cepat ambilkan kantong darah yang sesuai dengan golongan darahnya." Seru Sunny tegas.

Viona, Sunny dan Kirana saling memandang sejenak kemudian mengangguk. Kirana mulai mengolesi cairan antiseptic disekitar dada kiri pasien. Viona mengulurkan tangannya. "Pisau bedah." salah satu asistennya memberikan pisau yang Viona minta. Dengan wajah serius, Viona mulai membelah dada pasien dan memulai operasinya.

"Dokter, tekanan darah menurun lagi."

"Siapkan kantong darah sebanyak yang di butuhkan, hilangkan adhesinnya dan hentikan pendarahannya." Semua orang dalam ruangan itu mengangguk. Viona, Kirana dan Sunny menghilangkan adhesinya.

"Dokter Kirana, percepat tekanan darahnya. Dokter Sunny ambil bung RBC (sel darah merah)" perintah Viona pada Kirana dan Sunny.

Seperkian jam berlalu. Operasi pun selesai, Viona dan timnya keluar dari ruang operasi dengan wajah berseri karna operasi hari ini berjalan lancar. Viona melepas maskernya seraya menghampiri keluarga pasien.

"Dokter. Bagaimana keadaan istri saya?" tanya seorang pria khawatir.

"Tidak perlu cemas, Tuan. Istri anda baik-baik saja." balas Viona tersenyum.

"Boleh saya menemuinya??"

"Tentu, setelah di pindahkan keruang inap."

Kelegaan terlihat jelas di raut wajah ketiga dokter cantik itu. Untuk yang kesekian kalinya, mereka berhasil menyelamatkan nyawa pasien melalui tangan ajaibnya.

Dan dari kejauhan, mereka bertiga melihat seorang dokter cantik yang tengah meliukkan tubuhnya sambil mengulum senyum lebar.

Ketiga dokter cantik itu ikut tersenyum juga melihat kedatangan seniornya. "Kerja bagus girl, rumah sakit ini sangat beruntung memiliki dokter-dokter muda berbakat seperti kalian." pujinya penuh rasa bangga.

Viona terkekeh. "Kau terlalu memuji, Senior. Di bandingkan dirimu, kami belum ada apa-apanya. Karna kaulah Dokter terhebat dan terbaik di rumah sakit ini."

"Berhentilan memujiku, Viona Angella. Kau membuatku besar kepala."

"Senior, aku dengar adik bungsumu menghilang. Apa dia sudah berhasil ditemukan?" tanya Sunny penasaran.

Raut wajah Senna berubah sendu mendengar pertanyaan Sunny, dokter berdarah China - Korea itu menggeleng. "Belum, sampai sekarang dia masih belum ada kabarnya." Ujarnya sedih.

Viona menepuk bahu Senna. "Yang sabar, Senior. Berdoa saja semoga dia baik-baik saja."

"Terimakasih untuk perhatiannya." Senna ikut tersenyum melihat senyum tulus Viona.

"Senior, kami duluan." pamit Kirana mewakili kedua sahabatnya. Senna mengangguk.

-

Kebosanan mulai melanda Nathan, diam sendiri di rumah tanpa bisa melakukan apa-apa membuat dia merasa bosan. Pria itu bangkit dari posisi berbaringnya lalu berjalan keluar kamar tamu yang dia tempati sejak semalam.

Nathan memperhatikan sekeliling, rumah itu begitu bersih dan rapi. Sepertinya sang empunya rumah merawatnya dengan sangat baik. Rumah itu cukup besar, terlalu besar malah untuk di tinggali gadis seorang diri.

Nathan berjalan mengelilingi rumah itu untuk sekedar melihat-lihat saja, entah kenapa ia merasa begitu nyaman dan tenang berada di rumah itu. Kemudian Nathan berjalan ke arah taman belakang, dia menemukan sebuah taman yang di tumbuhi bunga mawar berbagai jenis dan warna serta pohon sakura yang tumbuh di tengah-tengah taman.

Ada air mancur juga rumah kaca dengan berbagai tanaman hias yang cantik, didalam rumah kaca itu ada sebuah meja dan dua buah kursi yang di tata berhadapan.

Nathan berjalan menuju rumah kaca itu dan berlama-lama di sana. Tak terasa waktu berlalu dengan cepat, sepertinya baru satu detik yang lalu ia berada di sana. Tapi langit sudah terlihat gelap, baru saja Nathan beranjak dan hendak meninggalkan taman. Namun kedatangan Viona menghentikan langkahnya.

"Rupanya kau disini, pantas aku tidak menemukanmu di dalam." Ucap Viona setelah berada di depan Nathan.

"Kau baru pulang?" Viona mengangguk. Nathan memperhatikan jas putih yang menjadi luaran blus brokatnya. Dan Nathan baru menyadari jika gadis penolongnya adalah seorang dokter. Pantas saja jika ia begitu ahli merawat luka-lukanya sampai mengeluarkan peluru yang bersarang di perutnya.

"Aku membawakan makan malam untukmu, ayo kita makan sama-sama."

Makan malam mereka lewati dengan tenang, setelah makan malam Nathan langsung kembali kekamarnya. Nathan mengangkat naik singlet putih yang menjadi dalaman kemejanya dan pandangannya tertuju pada perban dengan bercak darah di atasnya. Pria itu meringis saat membuka lilitan perban yang melilit perutnya, sesekali menggeram karna perban yang sedikit menempel pada lukanya.

"Seharusnya kau meminta bantuanku jika ingin membuka perbannya." Sepasang tangan meraih simpul perban yang masih meliliti perut Nathan, sontak saja Nathan mengangkat wajahnya dan mendapati wajah ayu Viona berada tepat di depan matanya.

Viona juga melakukan hal yang sama, hingga mata mereka saling bersiborok. Viona yang sedikit gugup langsung menjauhkan wajahnya dari Nathan. "A..aku akan menggantinya dengan perban yang baru." Ucapnya gugup.

Nathan tak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari sosok cantik di depannya. Mengamati setiap lekuk wajahnya mulai dari mata, hidung dan terakhir bibir. Viona memang sangat cantik dan penuh kelembutan, tidak ada polesan make up berlebihan pada wajahnya selain lipgloss pink lembut. Kecantikannya begitu natural, sangat berbeda dengan kebanyakan perempuan yang pernah ia kenal dan temui selama ini.

Setelah hampir dua puluh menit, pekerjaan Viona pun selesai. Perban yang menutup semua luka-luka di tubuh Nathan telah di ganti, termasuk perban yang membalut tulang pipi dan melilit keningnya. "Kau bisa memakai kembali pakaianmu, Tuan Nathan." Ucap Viona seraya beranjak dari hadapan Nathan. Pria itu mengambil singlet putihnya dan memakainya "Istirahatlah, Tuan. Aku permisi dulu,"

"Tunggu." Nathan bangkit dari duduknya dan menghampiri Viona.

Jantung Viona seakan melompat dari tempatnya saat Nathan berjalan mendekatinya.

Aroma maskulin tubuh pria itu seketika berkaur di dalam indera penciumannya, sedangkan Nathan langsung menutup kedua matanya saat mencium aroma bunga sakura yang menguar dari tubuh Viona.

Nathan segera tersadar. Lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh liontin yang menggantung pada leher jenjang Viona, menatap kalung putih berliontin kelopak bunga itu dengan dahi menyernyit. Nathan mentenali liontin itu. "Kalung yang sangat indah," ucap Nathan menyentuh liontin tersebut.

"Hanya liontin biasa." Kata Viona tersenyum. Nathan tidak merespon dan hanya memberikan tatapan datarnya, bahkan sampai sosok Viona menghilang di balik pintu. Nathan mengulum senyum setipis kertas.

"Sungguh , sebuah kebetulan yang manis."

-

Tiga hari telah berlalu , tapi Henry masih belum juga mendapatkan sedikit pun kabar tentang keberadaan Nathan saat ini. Bagaimana keadaannya, apakah dia masih hidup atau mungkin sudah meninggal? Masih belum ada yang tau, karna pencarian yang dilakukan oleh orang-orangnya tetap nihil.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Henry masih saja terjaga, sudah tiga hari ini pria berdarah China itu tidak bisa makan dengan enak dan tidur dengan nyenyak. "Kau belum tidur?"

Perhatian Henry sedikit teralihkan karna teguran seseorang. Laki-laki itu menoleh dan mendapati Jia berjalan menghampirinya

"Nunna?"

"Jangan menyiksa dirimu sendiri seperti ini, tidurlah. Kau terlihat lelah."

"Bagaimana aku bisa tidur, sementara keberadaan Nathan saja sampai detik ini belum diketahui. Aku sangat mencemaskannya, bagaimana jika para bajingan itu membunuhnya? Aku tau dia bukanlah orang yang lemah. Tapi tetap saja jika dia sendiri pasti akan sangat kwalahan menghadapi anak buah si brengsat itu yang jumlahnya puluhan."

"Aku yakin jika adikku baik-baik saja, jika memang dia sudah ikut terbunuh dalam insiden itu. Pasti mayatnya bisa kita temukan. Kau ingat apa yang dikatakan oleh salah satu saksi yang melihat langsung peristiwa itu?

Dia mengatakan jika melihat ada satu orang berhasil selamat dan Nunna yakin jika orang itu adalah Nathan. Berfikirlah positif, dia pasti akan kembali, dan Nathan tidak mungkin bisa mati semudah itu sebelum berhasil membalaskan dendam keluarga kita pada keluarga Ardinata." tutur Senna panjang lebar "Segeralah tidur, Nunna keluar dulu."

Selepas kepergian Senna, hanya kekosongan yang ada dalam ruangan itu. Henry kembali pada rutinitasnya, yakni memandang bintang. Hal yang selalu dia lakukan jika sedang merindukan kedua orang tuanya.

.

.

BERSAMBUNG.

BAB 3 "Kepulangan Nathan"

Seorang pria dengan ketampanan di atas rata-rata sedang duduk termenung disebuah taman pribadi milik gadis penolongnya. Mata berlensa coklat itu menatap langit yang terlihat gelap tak berbintang.

Rasanya begitu sepi, karena gadis penolongnya belum pulang padahal waktu sudah menunjuk angka 11 malam. Rasa cemas memenuhi batin pria itu 'Nathan' karena Viona belum juga pulang.

Jledeerrr...

Petir tiba-tiba menyambar. Langit yang semula terlihat cerah perlahan diselimuti awan hitam. Sepertinya akan segera turun hujan. Menyadari hal itu, Nathan yang masih berada di taman belakang memutuskan untuk segera masuk kedalam. Ia tidak ingin sampai sakit karena air hujan.

Dan benar saja, tak berselang lama hujan benar-benar turun dengan lebatnya.

Nathan benar-benar tidak bisa merasa tenang, bagaimana dengan Viona? Mungkinkah dia akan terjebak dan tidak bisa pulang karena sepertinya hujan akan turun semalaman.

Nathan berfikir untuk menyusulnya, tapi yang menjadi masalahnya dia tidak tau dimana rumah sakit tempat gadis itu bekerja.

Di samping itu, dia juga tidak bisa menghubunginya karena saat ini Nathan tidak memiliki ponsel. Ponselnya terjatuh saat insiden yang dia alami dan lagi pula Nathan tidak tau nomor ponsel Viona. Jadi bagaimana dia bisa menghubunginya?

Perhatian Nathan yang sedang duduk di depan perapian sedikit teralihkan karena suara kendaraan yang berhenti di depan pagar rumah.

Pria itu beranjak dari duduknya untuk melihat siapa yang datang. Dari tempatnya berdiri, Nathan melihat Viona berlari menerobos hujan setelah keluar dari taksi yang ditumpangi.

Nathan meninggalkan tempatnya dan membukakan pintu untuk Viona, gadis itu terlihat basah kuyub dan sedikit menggigil. Rambutnya juga basah meskipun tidak terlalu. Mereka saling bertegur sapa meskipun rasa canggung masih terlihat jelas diantara keduanya.

Viona langsung pergi ke dapur setelah melepas sepatu kerjanya dan menggantinya dengan sendal rumah. Dokter cantik itu sedikit menolehkan kepalanya saat mendengar derap langkah kaki seseorang yang semakin mendekat.

"Sebaiknya kau ganti pakaianmu dulu, kau bisa sakit jika terus memakai pakaian basah seperti itu." Nasehat Nathan yang saat ini berdiri di samping Viona.

"Tidak apa-apa, masih lumayan kering kok. Aku cuma ingin membuat teh hangat." Sela Viona sebelum Nathan kembali membuka suaranya.

"Kau mau aku buatkan juga?" tawarnya.

"Terserah."

Nathan berjalan menuju ruang tengah dan kemudian duduk di atas karpet tebal yang berhadapan dengan perapian. Suhu malam ini lumayan dingin, mungkin pengaruh dari hujan yang turun malam ini.

Viona masih berdiri di dapur, dan ketika menoleh, ia mendapati Nathan tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Nathan duduk sambil memeluk kakinya, duduk diam di depan perapian. Tatapan matanya datar , tidak menunjukkan ekspresi sama sekali.

Viona menghampiri Nathan sambil membawa dua cangkir berisi teh yang masih mengepul, menandakan jika teh itu baru saja diseduh. Gadis itu tidak mengatakan apa-apa selain tersenyum kecil dan menyerahkan cangkir berukuran sedang pada Nathan.

"Minumlah dulu, udara malam ini menurun. Teh ini berguna untuk membuat tubuhmu terasa hangat." Kata Viona yang diberi respon diam oleh Nathan.

Viona mengambil tempat di samping Nathan dan mulai membuka mantelnya. "Kau lembur malam ini?" tanya Nathan tanpa menatap lawan bicaranya.

"Seharusnya sih tidak, jika saja tidak ada operasi mendadak. Seorang wanita mengalami kecelakaan dan dia dalam keadaan hamil tua, jadi kami para dokter bedah harus bekerja sama untuk menyelamatkan nyawa Ibu dan bayinya."

"Apa operasinya berjalan lancar?" tanya Nathan penasaran yang kemudian dibalas anggukan oleh Viona. "Lalu kenapa pulang dengan taksi? Memangnya dimana mobilmu?"

Viona menyeruput tehnya sebelum menjawab pertanyaan Nathan. "Mobilku masuk bengkel." jawabnya "Tuan , aku istirahat duluan ya. Aku sangat lelah." Ucap Viona seraya bangkit dari duduknya.

Sebelum gadis itu benar-benar pergi, dia berbalik dan memberikan sesuatu pada Nathan. "Oya. Aku membelikan ponsel baru untukmu. Pasti kau membutuhkannya untuk menghubungi keluargamu. Mereka pasti sangat mencemaskan mu."

Nathan mengangkat wajahnya dan hanya menatap datar ponsel yang Viona berikan padanya, lalu mendorongnya. "Aku hargai niat baikmu, tapi aku tidak bisa menerimanya. Kau sudah terlalu banyak membantuku dan kau terlalu baik padaku, Nona." Viona menggeleng, gadis itu meraih tangan kanan Nathan dan memaksa pria itu untuk menerima ponsel pemberiannya.

"Aku akan sangat tersinggung jika kau menolaknya, Tuan. Kau bisa membalasnya suatu saat nanti." Viona tersenyum dan pergi begitu saja.

Nathan menggenggam erat ponsel pemberian Viona. Memang benar apa yang gadis itu katakan. Ia memang harus menghubungi orang rumah untuk memberitau kan keadaannya, Nathan yakin jika mereka memang sedang kelimpungan mencarinya apalagi kakaknya.

"Suatu saat nanti aku pasti akan membalas semua kebaikkanmu padaku, Viona Anggella"

-

Drett drett drettt...

Henry membuka matanya yang terasa berat saat mendengar dering pada ponselnya . Rasanya dia ingin sekali mengutuk orang yang menghubunginya dan mengganggu waktu tidurnya. Dengan enggan Henry menerima panggilan itu. "Halo," ucapnya dengan mata setengah terbuka.

"Ini aku,"

Kedua mata Henry yang semula masih setengah terbuka seketika terbuka lebar dan bangkit dari posisi berbaring nya setelah mendengar suara dingin yang begitu familiar menyapa gendang telinganya.

"NATHAN!!!"

-

Viona melirik jam di kamarnya, pukul dua belas malam. Rasa pusing di kepalanya dan flu yang menyerangnya membuat Viona tidak bisa tidur. Gadis itu mengusap matanya yang sedikit memerah karena rasa kantuk, rasa lelah yang di pundaknya masih belum sepenuhnya hilang.

Viona bangkit dari ranjang besarnya dan pergi ke dapur untuk mencari kotak obatnya. Ia harus menemukan obat pereda sakit kepala dan flu nya, jika tidak?

Ia tidak mungkin bisa pergi bekerja dan harus seharian berbaring di kamarnya. Viona mengalami demam karena kehujanan tadi.

Nathan yang masih belum beranjak dari perapian menoleh saat mendengar derap langkah kaki seseorang dan menemukan Viona celingukan seperti mencari sesuatu.

"Sial, dimana aku meletakkan kotak obat itu?" gumam Viona dengan wajah sedikit meringis karena rasa pusing di kepalanya yang semakin menjadi-jadi.

Sangat jelas Nathan mendengarkan gumaman gadis itu dan dia berani bertaruh jika gadis itu sedang demam karena kehujanan tadi. Nathan terus memperhatikan Viona yang sedang duduk di sofa sambil memegangi kepalanya yang terasa ingin pecah.

Bersin dan batuk juga terdengar jelas ditelinga Nathan. Pria itu terlihat bangkit dari posisinya dan menghampiri Viona yang terlihat menderita karena flu yang dideritanya.

"Kau demam." Gumam Nathan saat meletakkan salah satu tangannya di atas kening Viona.

"Tuan Nathan, kau belum tidur? Hm! Kepalaku sedikit pusing dan aku sedang mencari kotak obatku tapi tidak ketemu. Kenapa kau belum tidur?"

"Aku masih belum mengantuk, dan bisakah kau berhenti memanggilku dengan embel-embel, Tuan? Itu membuatku sangat merasa tidak nyaman." Ujarnya.

Nathan pergi meninggalkan Viona dan tak berselang lama pria itu kembali dengan sebuah kotak berbentuk persegi ditangannya "Apa ini yang kau cari? Kau meletakkan kotak obat ini dikamar tamu yang aku tempati." Viona menepuk jidatnya sendiri, bagaimana ia bisa lupa.

Gadis itu tersenyum tiga jari dan menerima beberapa obat yang Luhan berikan padanya. "Aku lupa, terimakasih. Berkat dirimu, flu-ku bisa diatasi." Setelah meminum obatnya, Viona kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Nathan pun mengikuti jejak Viona dan pergi ke kamar tamu, pemuda itu juga mulai mengantuk.

-

"Tuan, apa kau yakin akan pulang hari ini juga? Tapi kondisimu belum terlalu baik."

Kecemasan terpancar jelas dari sorot mata Viona. Nathan baru saja meminta ijin untuk pulang kerumahnya, bukan maksud Viona untuk menahan Nathan agar lebih lama lagi tinggal bersamanya.

Tapi keadaannya yang belum sepenuhnya membaik, luka-lukanya belum sepenuhnya membaik. Tapi Viona juga tidak bisa berbuat apa-apa, ia tidak mungkin memohon pada pria itu. Nathan juga memiliki keluarga dan tempat tinggal.

"Maaf jika selama ini sudah merepotkan mu, aku tidak akan pernah melupakan kebaikan mu padaku. Aku pasti akan membalasnya."

Viona menggeleng. "Tidak perlu memikirkan hal itu, Tuan. Karena aku tulus membantumu dan lagi pula menyelamatkan nyawa seseorang sudah menjadi sumpahku saat diriku dilantik menjadi seorang dokter. Baiklah, aku akan mengantarkan mu. Kau tunjukkan saja jalannya."

"Tidak perlu, seseorang akan datang menjemput ku." Ucapnya.

"Baiklah kalau begitu."

Dan benar apa yang Nathan katakan, sebuah mobil mewah keluaran terbaru terlihat memasuki halaman luas rumah Viona. Seorang pria berkulit tan terlihat keluar dari mobil itu dan menghampiri Nathan sambil membungkuk hormat

"Maaf Tuan, saya datang sedikit terlambat." Ucap orang itu penuh sesal.

"Tidak apa-apa." Jawabnya. "Baiklah, aku pergi. Terimakasih untuk semuanya." Viona tersenyum kemudian mengangguk.

"Sama-sama, Tuan,"

Pria yang menjemput Nathan membungkuk sekilas pada Viona sebelum pergi dari sana. Viona mendesah berat, gadis itu berbalik dan masuk kedalam rumahnya. Viona memutuskan untuk libur kerja hari ini. Kepalanya masih sangat pusing dan dia membutuhkan waktu lebih untuk beristirahat.

-

Kelegaan terlihat jelas di wajah Henry saat melihat Nathan pulang dalam keadaan baik-baik saja meskipun perban tampak melilit keningnya dan membalut luka di tulang pipinya. Henry langsung memeluk Nathan dengan erat. Nathan sedikit meringis karena peluk kan Henry tanpa sengaja menekan luka tembak di perut ya.

"Gege merasa lega melihatmu baik-baik saja, memangnya apa yang terjadi dan bagaimana kau bisa sampai terluka separah ini? Memangnya siapa yang melakukan ini padaku? Apa mungkin Ardinata kepar** itu? Dan selama beberapa hari ini kau tinggal dimana?" tanya Henry penasaran dan Nathan pun menceritakan semuanya pada kakaknya.

[Flasback]

Nathan meninggalkan kantornya setelah bertemu dengan beberapa Investor yang ingin menananamkan saham di perusahaan miliknya. Saat berjalan menuju parkiran, Nathan melihat dua van hitam terparkir diseberang jalan.

Tak ingin ambil pusing. Nathan segera masuk kedalam mobilnya, mobil sport hitam keluaran terbaru itu melaju perlahan menuju jalan raya. Melalui kaca spion, Nathan bisa melihat dua van itu mulai bergerak.

Untuk memastikan apakah van itu mengikutinya atau tidak, Nathan sengaja menambah kecepatan pada mobilnya, dan benar seperti dugaannya. Kedua van itu memang mengikutinya.

Dan tepat di jalanan yang lumayan sepi, Nathan menghentikan mobilnya. Kedua van itu pun ikut berhenti. Beberapa orang keluar dari mobil itu dan tanpa aba-aba langsung menyerang Nathan.

Perkelahian pun tak dapat terhindarkan, Nathan yang hanya sendiri dikeroyok sedikitnya dua puluh orang.

Nathan mengeluarkan pistolnya dan menembaki lawan-lawannya. Enam dari dua puluh berhasil dia tumbangkan. Nathan terus melawan mereka dan satu persatu berhasil di habisi, dan lebih dari setengah dari mereka telah meregang nyawa.

Jlebbb!!!

"Aaahhh!" Nathan mengerang saat sebuah pisau berhasil menusuk lengannya.

Lantas dia pun mencabut pisau itu dan melemparkan pada orang orang menusuknya. Pisau itu menancap pada kepala orang itu, Nathan mencabutnya dengan paksa sebelum menembak dada dan perutnya. Tubuh itu pun tumbang seketika.

Brakkk!!

Dengan sigap Nathan menahan balok kayu yang mengarah padanya kemudian menghantamkan balik pada kepala pria yang berdiri dibelakangnya. Tanpa ampun Nathan memukul dan menembak tubuh pria itu sebelum akhirnya terkapar juga.

Perkelahian pun masih tetap berlanjut. Hanya tersisa tiga orang lagi yang masih bertahan, Nathan tetap memasang wajah datarnya meskipun darah mengalir dari luka-lukanya.

Mereka menyerang Nathan dan mengeroyoknya. Nathan yang mulai kehabisan tenaga dibuat sedikit kwalahan oleh ketiga orang itu.

Tak kehabisan akal. Nathan mengiring salah satu dari mereka untuk masuk kedalam mobilnya lalu membakar orang itu hidup-hidup. Dan menyisakan dua lagi, Nathan mengeluarkan pisau yang terselip di pinggangnya dan melemparkan pada pria yang mengacungkan senjata padanya.

DORRR!!!

JLEBBB!!!

"Aaaahhh!" Satu peluru berhasil menembus perut Nathan, sementara pisau yang dia lemparkan menancap pada leher orang itu.

Dan Nathan membereskan orang-orang itu dengan menembak satu-satunya orang yang masih tersisa. Orang itu hendak melarikan diri sebelum dua peluru menembus punggung dan kepala belakangnya.

Nathan memperhatikan sekeliling, puluhan mayat bergelimpangan di jalanan. Untung jalan itu jarang sekali dilewati oleh kendaraan karena seringnya terjadi pembegalan hingga tak satu pun melihat insiden itu kecuali seorang pria penjual makanan yang sedang ketakutan di balik pohon.

Dengan langkah sedikit sempoyongan, Nathan meninggalkan lokasi dan pergi ke pemukiman. Rintik hujan yang turun membuat tubuh Nathan terasa sakit dan lukanya seperti ditaburi garam.

Nathan terus berjalan tanpa arah sampai langkahnya membawa kesebuah tempat yang sedikit asing.

Ditengah gerimis yang melanda, Nathan berjalan dan mencoba untuk bertahan sebelum akhirnya ia benar-benar kehilangan kesadarannya dan jatuh pingsan.

[Flashback End]

"Begitulah kejadiannya. Dan aku diselamatkan oleh seorang dokter muda yang begitu baik hati. Dia tidak hanya menyelamatkan nyawaku tapi juga memberiku tempat tinggal dan selama beberapa hari ini aku tinggal dirumahnya. Dan dia juga merawat ku dengan sangat baik." Ujar Nathan mengakhiri ceritanya.

Henry sedikit ngeri saat mendengar cerita Nathan, bukan karena luka yang dialami oleh adiknya itu. Namun karena kebringasan Nathan saat menghabisi mereka semua. "Aku berhutang terimakasih pada gadis itu, berkat dia nyawa adikku bisa terselamatkan."

"Dan aku berhutang nyawa padanya." Nathan menjawab cepat.

Dan sepanjang hidupnya. Nathan tidak akan pernah melupakan kebaikan Viona padanya. Dan jika takdir mengijinkan. Sekali lagi, Nathan ingin bertemu kembali dengannya. Tapi siapa yang menduga, jika pertemuan itu adalah awal dari kisah mereka berdua.

.

.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!