NovelToon NovelToon

Sugar Baby

Episode 1

Hari ini cuaca cerah, semoga secerah rezeki yang akan aku dapatkan.

Menyusuri jalanan dan kadang berhenti bersama teman-teman disebuah tempat yang cukup teduh untuk melindungi tubuh dari raja siang.

Bercengkrama dan saling bertukar cerita tentang hari ini adalah kegiatan yang kami lakukan sambil menunggu ponsel berbunyi, tanda orderan datang.

Tidak hanya kami--ojol, yang berkumpul. Mereka--supir taksi dan yang lainnya kadang ikut serta. Hanya sekedar melepas lelah karena belum adanya orderan meski sudah berkeliling seharian penuh.

Hari ini aku dan yang lainnya berkumpul dibawah pohon kersem. Tepat di sampingnya ada warung yang menyediakan berbagai minuman seduhan dan cemilan. Warung yang bisa kami bayar dengan cara kasbon.

"Ahhhh ...." Desah Pak Tata sambil menyelonjorkan kaki. Ojol yang jauh lebih tua dariku. Dia tampak sangat lelah.

"Gimana, Pak? sudah dapat order hari ini?"

"Baru satu, itupun memakai voucher diskon."

"Alhamdulillah. Saya malah belum satu pun malahan."

"Lagi sepi. Semuanya juga pada ngeluh. Tapi yaaa mau gimana lagi. Namanya juga mencarinya rezeki ya pan? kadang kita banyak orderan, kadang kosong."

"Iya, Pak."

Kami berdua diam dalam hening. Menikmati tiupan angin yang sebenarnya sama sekali tidak menyejukkan. Sengatan matahari hari ini mengalahkan segalanya.

Terdengar derap langkah yang begitu cepat menghampiri kami berdua. Aku dan Pak Tata menoleh secara bersamaan.

Seorang gadis berseragam sekolah datang menghampiri. Nafasnya ngos-ngosan saat berhenti di depanku.

Jika melihat dari seragam yang dia pakai, anak ini pasti berasal dari sekolah elit yang ada di ibu kota. Aku pernah melintas depan sekolah elit di sini, dan melihat seragam yang dia kenakan sama persisi dengan sekolah itu.

"Kek, Bang. Siapa yang mau antar saya?" tanyanya tersengal-sengal. Aku dan Pak Tata saling menatap.

"Order dulu dah kalo mau dianterin."

"Saya gak bawa hp. Ayo, anterin saya aja sekarang."

Aku dan Pak Tata saling menatap lagi. Laki-laki yang sudah aku anggap sebagai Bapak itu, memberi isyarat bahwa aku yang akan mengantarkan gadis itu.

"Ayo, Neng. Abang anterin."

Setelah dia memakai helm yang aku berikan dan naik di belakang, motor perlahan melaju. Semakin lama semakin kencang.

Gadis itu mungkin untuk pertama kalinya menaiki motor. Tangannya memeluk tubuhku erat, sangat erat. Mungkin dia ketakutan. Dasar orang kaya!

"Mau ke mana?" tanyaku setengah berteriak.

"Gak tau."

"Lah! terus saya harus maju ke mana ini? kok gak tau tujuannya."

"Maju ya ke depan lah! kalau ke belakang namanya mundur, Bang!"

"Anak TK juga tau lah."

"Terus Abang kenapa nanya?"

"Maksud saya, kita mau ke mana?"

"Kan tadi saya udah bilang, gak tau!"

Ya ampun! ternyata ada yang lebih memusingkan dari emak-emak. The power of emak-emak kalah dengan the power of ABG labil.

"Pergi kok gak tau tujuan? saya culik juga nih!"

"Culik aja! gak apa-apa, kok. Abangnya juga gak jelek-jelek amat," ucapannya datar dengan wajah polos.

What?

Ini pasti, nih. Anak ingusan ini pasti habis minum Bodrex lima strip. Sedeng!

"Ogah!"

"Kenapa? katanya mau nyulik saya. Kenapa gak mau? saya kan cantik."

Astaga! ini anak benar-benar stres! Untung bukan Pak Tata yang bawa, bisa jantungan ditengah jalan dia.

Aku memilih untuk menepi.

"Kenapa berhenti?" tanyanya saat motor sudah di pinggir jalan. Dia turun dan berdiri tepat di sampingku.

"Satu. Kita gak tau tujuannya mau ke mana. Kedua, kamu gak order jadi saya takut kamu gak akan bayar. Ketiga ...."

Ucapanku terhenti saat dia mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari saku bajunya.

"Kenapa diem? tuh mata ijo banget liat duit. Mau?" tanyanya kesal.

"Maulah! saya kan ngojek buat nyari duit. Bukan mau nyulik anak orang."

"Ini semua buat Abang. Yang penting, bawa saya pergi dulu. Baru, setelah azan magrib antarkan saya ke sekolah. Gimana?"

Sejenak aku berpikir. Ragu. Akan tetapi uang yang dia pegang sungguh sangat menggoda. Apa lagi sedari pagi aku belum dapat orderan.

"Ok! tapi mau ke mana kita?"

"Pertama. Antar saya beli pakaian dulu. Kedua, kita makan karena saya lapar."

"Lah! uangnya abis dong buat beli yang kamu mau, terus upah saya?"

"Hssss ... cowo kok bawel! nih." Dia memberikan semua uangnya, "Makan dan belanja pakai kartu, Bang! bukan pake duit ini." Dia melotot dan aku membalasnya dengan senyuman sumringah. Melihatku, matanya mendelik. Entah jiji atau apalah, masa bodo!

"Kalau begini kan enak. Ayo, saya akan mengantar Neng sampai magrib nanti."

"Jangan panggil Neng, namaku Raya. Abang siapa?"

"Saya Andre."

Kami berjabatan tangan di bawah kolong tol. Wajah Raya yang sedari tadi sangat jutek, mulai sedikit tersenyum. Manis.

Entahlah. Kenapa dia sampai berlari di jam sekolah. Apapun alasan dia bolos, bagiku dia adalah anugerah.

Sedari pagi belum mendapatkan orderan, dan sekarang aku mengantongi uang sebanyak tujuh belas kembar uang berwarna merah.

Bung Hatta. Aku cinta padamu.

Motor melaju menuju sebuah mall yang berada tidak jauh dari tempatku berada sekarang.

"Loh, kenapa gak masuk?" tanya Raya saat dia turun dan aku masih standby duduk di motor.

"Kenapa?"

"Temenin lah! saya takut di sini ada copet!"

"Yaaelah. Ini bukan pasar, Raya! ini mal. Aman."

"Ini? Mal?"

Aduhhh. Anak orang kaya mana pernah ke mal seperti ini. Mal yang menurutku besar bagi dia hanyalah sebuah pasar.

"Ya udah, saya juga ikut."

"Tapi lepas jaketnya."

"Iya, iya." Demi uang yang sudah aku kantongi, aku harus sabar dia atur. Ikuti saja apa yang dia mau.

Dia berjalan di depanku. Layaknya anak kecil, langkahnya loncat-loncat membuat rambut ikalnya yang sepinggang ikut berayun. Rambut cokelatnya sangat indah. Pasti dia menghabiskan uang banyak untuk melakukan perawatan rambut di salon mahal.

Kakinya yang lenjang begitu mulus tanpa noda sedikitpun. Tas dan sepatunya terlihat sangat mahal.

Langkahnya terhenti laku segera berbalik. Dia menatap penuh selidik dengan kepala yang miring.

"Kenapa?" tanyaku.

"Abang yang kenapa? belum pernah lihat wanita cantik? atau belum pernah melihat kaki semulus kaki aku?"

Astaga. Dia membuatku sangat malu saat pertanyaan didengar oleh orang lain yang kebetulan lewat.

"Terlalu atas rok nya. Tutup!"

"Kenapa? baru kenal kok main perintah aja."

"Itu tuh bisa mengundang nafsu laki-laki nakal. Ingat! kejahatan bukan terjadi karena ada niat, tapi juga karena ada kesempatan."

"Termasuk Abang?"

Ya ampun! bocah ini.

"Udah ah! ayo kita belanja."

Gadis itu segera berlalu memasuki salah satu toko yang menjual pakaian. Dia sibuk dalam beberapa menit saja. Mengambil beberapa pakaian dan celana untuk dia kenakan.

Dan aku hanya mengamati.

"Abang! mau?"

"Apa?"

"Bajulah. Masa paha saya."

Ya ampun! kenapa dia ngomongnya selalu mancing terus? Untung gak ada orang lain yang mendengar.

"Ck! kamu itu. Bicara jangan asal jeplak aja. Atau jangan-jangan ...."

"Aku masih gadis, segel! gak percaya? mau coba?"

"Astaga Raya!" ucapku pelan dengan menekan seluruh gigi.

"Ini, nih. Cocok untuk Abang. Tubuh Abang kan tinggi, kekar. Baju slim fit cocok buat cowok yang punya tubuh atletis kek gini. Coba gih!"

Mimpi apa aku semalam?

Aaahhh. Ini rezeki nomplok pikirku. Manut aja selama dia tidak mengigit. Guguk kali.

Aku menghela nafas panjang diruang ganti. Menatap cermin dengan perasaan yang campur aduk. Meski begitu, aku memang menyukai pakaian yang dipilih Raya. Gratis juga.

Saat aku keluar dengan baju kaos hitam dan celana jeans putih, gadis itu sudah berdiri menungguku.

Dia memakai celana jeans biru dengan kaos putih.

"Ganteng, tuh! gak keliatan tukang ojeknya. Ayo, kita bayar terus makan."

Aku mengikuti langkah gadis itu. Nikmati saja. Dapat duit gede, dapat baju gratis dan juga makan gratis. Nikmat mana lagi yang kau dustakan.

🌺🌺🌺🌺🌺

Episode 2

Kami makan disebuah makanan cepat saji. Aku duduk dan dia pergi memesan makanan. Membuka media sosial adalah pilihan saat menunggunya yang begitu lama.

Secara tidak sengaja, aku melihat postingan seseorang. Masih sama seperti dulu. Dia cantik dan suka sekali foto-foto di tempat yang cantik. Sama seperti dirinya. Tidak dipungkiri, hati ini merindukan kebersamaan dengannya.

"Aduh! sorry lama."

Perhatianku teralihkan pada suara Raya yang datang dengan banyak sekali makanan di nampan yang dia bawa.

"Ini bakalan abis memang?" tanyaku.

"Kurang malah!" jawabnya ketus. Lalu duduk di kursi tepat di hadapanku.

Aku hanya mengangguk perlahan dengan mulut sedikit terbuka. Heran, sumpah!

Paket ayam yang isinya enam potong beserta nasinya. Burger tiga dan juga kentang goreng. Belum lagi es krim dan juga puding.

"Ambilah." ucapnya sambil menggerakkan dagunya ke depan.

Aku mengambil satu ayam dan juga nasi.

Benar-benar menakjubkan. Raya berhasil menghabiskan makanannya. Yang aneh adalah bentuk tubuhnya yang tergolong kurus untuk seseorang yang bisa menghabiskan makanan dengan porsi besar.

"Aneh? jangan! aku sengaja makan banyak biar gendut. Sayangnya aku masih gini-gini aja. Ceking."

"Saat yang lain berusaha diet ketat, kamu malah ingin gendut. Dasar aneh!"

"Supaya calon suamiku mundur saat melihat aku yang tidak seperti seorang putri, persis seperti apa yang dia bayangkan."

Aku hanya diam dan tidak ingin bertanya lebih lanjut. Untuk apa juga.

"Gimana rasanya jadi orang miskin?"

Pertanyaan yang membuat aku hampir tersedak meski tidak sedang memakan apapun. Aku memperbaiki posisi duduk menjadi lebih tegap.

"Biasa aja. Kenapa?"

"Gak apa-apa. Cuma nanya. Gak menderita atau yang lainnya gituh?" tanyanya, kemudian melahap paha ayam terakhirnya.

"Semua nikmat itu ada pada rasa syukur kita. Bukan pada status sosial kita. Aku memang kekurangan, tapi aku bahagia."

"Aku banyak uang tapi tidak bahagia. Makanya uanganya aku buang-buang percuma."

"Percuma?"

"Ya! kenapa?"

"Kenapa gak dikasih ke yang membutuhkan saja? jauh lebih manfaat."

"Biar kita sama-sama menderita aja."

Aku mengernyitkan dahi. Sungguh pemikiran yang aneh, tapi mungkin itu adalah luapan rasa sakit yang dia alami. Penyakit abege sekarang, terutama anak-anak orang kaya seperti dia apa lagi kalau bukan kurang kasih sayang.

Ya. Kekayaan yang mereka nikmati, harus dibayar dengan kesibukan orang tuanya. Lebih lagi jika mereka tidak memiliki banyak saudara kandung untuk berbagi cerita.

"Udah malem. Pulang, yuk."

Dia berdiri dan pergi begitu saja.

Azan magrib mulai terdengar dimana-mana saat kami berada di atas motor. Hanya diam. Tidak seperti pertama kami berboncengan tadi.

Mungkin dia enggan harus menghadapi malam di rumahnya. Itu bisa aku tebak saat dia beberapa kali menghela nafas dan mengembuskannya dari mulut dengan penuh tekanan. Seakan ingin melepaskan beban berat dalam dadanya.

Sampai di depan gerbang sekolahnya setelah hampir setengah jam perjalanan. Sebuah mobil mewah putih sudah menunggunya. Terlihat begitu dia turun dari motor, supir ikut turun dan membukakan pintu. Tersenyum lalu menundukkan kepala padanya.

Raya masuk ke dalam mobil, tapi selang berapa detik dia turun lagi dan berteriak.

"Abang, makasih untuk hari ini." Dia melambaikan tangan dengan wajah sumringah.

Aku tersenyum tipis dan ikut melambaikan tangan setengah ragu.

Mobil itu melaju kemudian menghilang dari pandangan mataku.

Ponselku berbunyi. Ada orderan baru. Hari ini memang sangat hoki. Rezeki mengalir deras. Alhamdulillah ....

"Oteweee!"

🌺🌺🌺🌺🌺

Episode 3

Setelah mengantar pelanggan terkahir, aku kembali ke kosan. Kamar yang berukuran 3x3m itu merupakan tempat ternyaman untuk melepas lelah dan penat setelah seharian bekerja. Tempat untukku menyelesaikan tugas-tugas kampus, sekaligus tempat untukku bermunajat kepada Allah.

Kecil, memang. Setidaknya di sini aku merasa nyaman dan damai. Panas yang aku rasakan hanya karena faktor cuaca, bukan karena kerisauan hati dan pikiran. Wajar, semua orang yang kebetulan tidak memiliki AC pasti akan merasakan hal yang sama. Siapa, sih yang tidak tau bagaimana rasanya tinggal di kota besar tanpa pendingin ruangan. Bahkan, kipas angin hanya akan menambah rasa gerah tubuh kita.

Setelah tubuh bersih dan memakai pakaian santai, aku membaringkan diri di atas kasur busa yang belum lama aku beli. Itu artinya masih empuk untuk dipakai. Membuka ponsel untuk melihat sosial media. Scroll terus ke bawah.

Aku bahkan sudah beberapa bulan ini tidak memposting sesuatu apapun. Ck!

"Hidup hanya sibuk untuk bekerja dan belajar. Mana ada waktu untuk haha hihi di sosmed. Lagi pula, apa yang mau aku posting? tidak ada yang bisa aku pamerkan."

Pamer. Ya, media sosial bagiku hanya wadah untuk pamer. Mereka yang selalu menyebarkan kehidupan indah dan bahagia mereka meski sebenarnya tidak sesuai dengan dunia nyatanya. Miris.

Lalu untuk apa aku memiliki Facebook dan sebagainya?

Untuk melihat dia yang selalu aku rindukan sejak dulu.

Renata.

Ah! wanita itu. Apa dia bisa hidup tanpaku, kacungnya?

Aku menghela nafas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Berat kurasakan. Sesak dada ini jika mengingat wanita manja itu. Umurnya lebih tua dariku, tapi tingkahnya seperti wanita yang jauh di bawahku.

Aku hanya berdoa agar dia bahagia dan bisa menjadi wanita mandiri, sekarang.

Memikirkan dia hanya akan membuat kepalaku nyut-nyutan. Lebih baik aku segera memejamkan mata agar besok bisa fresh saat mendengarkan dosen.

Baru saja bulu mataku saling bertautan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada sebuah pesan masuk.

[Udah tidur?]

Aku tidak membalas dan malah terpaku. Pasalnya, aku tidak tahu siapa pengirim pesan ini.

[Heh! tukang ojeg. Bales, dong!]

Astagahhhhh. Siapa orang ini?

Belum selesai aku berdiskusi dengan otak ini, ponselku kembali berbunyi. Sebuah panggilan dari nomor yang sama.

"Hal–"

"Lama banget!" dia langsung ngambek.

Raya? ya, suara ini milik gadis tadi. Tunggu ... dari mana dia mendapat nomor ponselku? bukankah dia ngojek tanpa melalui aplikasi?

"Lahhh ... dia bengong! masih melototin duit tadi? kaget? syok tuh, pasti."

"Kamu dari mana punya nomor telepon aku?"

"Oh ... kamu mikirin itu dari tadi? gimana mau maju coba hidupnya. Hal sepele aja dipikirin ampe dalem gitu."

"Bukan, tapi kan ...."

"Dari bapak-bapak yang bareng sama kamu tadi. Pas pulang, gak sengaja dia kesenggol mobil aku."

"Apa? terus, terus ...."

"Ya aku bawa ke rumah sakit lah. Masa terus aku lindes, sih! emang belum ngabarin?"

"Belum. Makanya aku kaget denger ini dari kamu."

"Gak apa-apa dianya juga. Hanya kesenggol, bukan ke tabrak. Cuma lecet doang."

"Oh, syukurlah."

"Ya udah, cuma mau kasih tau itu doang."

Pembicaraan terputus.

Aku menghela nafas lalu kembali meletakkan ponsel. Membaringkan tubuh dengan kedua tangan sebagai bantalan. Menatap langit-langit kamar yang tidak terlalu luas. Pikiranku jauh melayang, tanpa batasan dan tanpa arah. Hingga aku tidak ingat apapun. Sampai pada akhirnya aku mendengar bunyi dari alarm ponsel.

Azan subuh. Salat, siap-siap lalu kembali pergi mencari rezeki. Begitulah kegiatannya sehari-hari yang aku lalui.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!