NovelToon NovelToon

Jeratan Gadis Dominan

Tak Berdaya

"Farel Barata Septian!" Suara melengking nan cempreng mengisi seluruh isi kelas mengalahkan ocehan dari puluhan penghuni kelas VII-B. Namun tidak ada yang memedulikannya bahkan si Pemilik Nama yang pura-pura tak mendengar dan memilih fokus pada buku gambarnya.

"Farel Barata Septian!" Lagi, suara melengking itu mengulangi ucapannya. Sang Pemilik Nama yang telinganya terasa panas hanya menggosok telinganya saja. Ia kukuh untuk mengabaikan panggilan itu.

BRAK!

Tiba-tiba mejanya dipukul dengan keras oleh Gadis Bersuara Cempreng itu hingga membuat Farel—Sang Pemilik Nama terhenyak sampai kacamata minusnya hampir copot.

"Heh! Siapa yang memperbolehkanmu mengabaikanku?" bentak gadis itu sambil menatap tajam pada Farel. Seketika suasana kelas yang tadinya ramai berubah jadi hening. Sekarang semua pasang mata tertuju pada Farel dan gadis cantik bersuara melengking itu.

Sementara Farel masih membetulkan posisi kacamatanya dengan tangan gemetaran. Salahnya sendiri yang sok berani mengabaikan perempuan sok berkuasa bernama Thalia.

"Jawab, Cupu!" Tangan Thalia kini menarik salah satu telinga Farel dan memelintirnya hingga lelaki itu berteriak kesakitan tanpa suara.

Tiba-tiba mejanya bergeser karena ditendang oleh seseorang.

"Heh! Punya telinga, gak, sih lu? Thalia tanya, tuh jawab!" bentak Vannesa, salah satu teman satu geng Thalia yang berkulit sawo matang.

"I-iya ... Ma-maaf ... Aku lagi—" Ucapan Farel terhenti ketika Thalia menarik buku gambar miliknya. Gadis itu membuka lembar demi lembar kertas di buku gambar itu. Ia pun tersenyum miring.

"Apa gara-gara ini?" Thalia menunjukkan halaman terakhir kertas yang berisi gambar yang belum selesai.

"Karena ini, kamu mengabaikanku?" sergah Thalia dengan suara melengkingnya hingga membuat telinga Farel berdengung.

"Tha-thalia ... kumohon ... kembalikan itu ... i-itu belum selesai ..." mohon Farel sembari menangkupkan kedua tangannya dengan gemetaran.

"Kembalikan? Kalau aku kembalikan? Kamu mau apa?" tantang Thalia.

"A-aku janji, aku janji, gak akan mengabaikanmu lagi. Aku janji akan menuruti semua keinginanmu," ucap Farel dengan suara bergetar. Ia berharap gadis di hadapannya ini masih punya belas kasihan padanya.

"Menuruti semua keinginanku? Apapun?" tanya Thalia.

"Iya, apapun. Tidak terbatas!" Farel langsung merutuki dirinya sendiri atas ucapannya. Bisa-bisanya bilang "Tidak terbatas". Bagaimana jika gadis tak tahu diri ini malah menyuruhnya melakukan hal di luar nalar?

Thalia pun menyeringai, seolah muncul sebuah ide di dalam benaknya. Ia melirik ke arah Vannesa yang juga ikut tersenyum, seolah memiliki pikiran yamg sama.

"Baiklah, apapun 'kan? Kamu yang bilang sendiri!" ucap Thalia.

"Iya ... Apapun ..." sahut Farel gemetaran.

Thalia kini melempar senyum angkuhnya pada Farel.

"Baiklah, akan aku kembalikan ..." Farel yang dari tadi menunduk karena tak berani mendapati tatapan angkuh Thalia pun langsung mendongakkan kepalanya. Ia seperti mendengar seruan keajaiban.

Farel pun menengadahkan tangannya, seolah meminta Thalia untuk meletakkan buku gambar yang bagaikan nyawanya sendiri ke sana. Sementara Thalia melempar senyumannya sambil memberikan buku gambar itu perlahan-lahan. Farel tidak mau melawan, ia lebih baik bersabar saja menunggu kemurahan hati Thalia.

Namun ketika ujung buku itu mengenai telapak tangannya, Thalia kembali menarik buku gambar itu dan malah tersenyum licik pada Farel. Dahi Farel mengernyit, sontak rasa gusar memenuhi dadanya.

"Permintaan pertamaku, perhatianmu hanya boleh untukku!" tegas Thalia kemudian merobek satu per satu lembar kertas dari buku gambar itu hingga menjadi kertas-kertas kecil tak berbentuk.

Mata Farel membulat, tetapi tubuhnya membeku. Hatinya menjerit, tetapi ia tak sanggup melakukan apa-apa. Thalia bahkan tersenyum puas kemudian melemparkan kertas-kertas kecil itu ke atas kepala Farel.

"Hore ada salju!" seru Thalia sambil tertawa puas diikuti tawa teman-temannya.

Meskipun kertas berisikan karyanya yang dirobek hingga hancur berkeping-keping, tetapi Farel bisa merasakan cabikan itu melukai hatinya. Napasnya tercekat. Matanya kini berkaca-kaca.

"Ini, sudah aku kembalikan!" seru Thalia yang masih tertawa terbahak-bahak sambil melempari robekan-robekan kecil kertas itu hingga menutupi sebagian kepala Farel yang masih terpaku.

"Oh, iya, lupa! Sampulnya!" sahut Thalia lagi melemparkan sampul berbahan kardus tebal yang dilapisi plastik itu ke atas meja remaja berkacamata tebal tersebut.

"Ingat, janjimu dan ingat, ini akibatnya kamu berani mengabaikanku!" sinis Thalia kemudian menyenggol siku Vannesa sambil tersenyum puas. Dua gadis itu pun meninggalkan Farel yang masih meratapi maha karyanya yang dihancurkan di depan matanya sendiri. Tanpa sadar sebuah bulir bening menetes dari sudut matanya, membuat kacamatanya berembun.

Kata "Tidak Terbatas" langsung menghancurkan separuh dirinya seketika. Mau melawan pun ia tak berdaya, atau lebih tepatnya tidak memiliki keberanian untuk melawan gadis dominan bernama Thalia itu. Setiap mau melawan gadis itu pasti ia akan berakhir bergini. Hancur.

***

Thalia Gwen Septiadi adalah nama lengkap gadis dominan itu atau Farel sering menyebutnya antagonis. Ya, dalam kehidupannya Thalia adalah tokoh antagonis yang punya hobi menindas diri seorang Farel.

Entah apa yang membuat gadis itu melirik dirinya sebagai target perundungan. Setiap hari seorang Thalia selalu memerintahkannya melakukan ini-itu yang bahkan bisa dilakukan sendiri olehnya. Bahkan, kadang Farel juga disuruh melakukan sesuatu yang di luar nalar hanya untuk hiburan Thalia and the geng.

Hal yang paling Farel benci adalah suara tawa gadis itu. Jangankan tawa, suaranya yang memanggil namanya setiap hari pun sangat ia benci.

Farel berjalan keluar kantin setelah membeli makanan cemilan untuk melepas rasa lapar selama pelajaran fisika tadi. Setelah bel berbunyi, ia segera menyusup keluar kelas dan berlari agar bisa menghindar dari perintah Thalia. Setidaknya, ia ingin bernapas satu hari saja tanpa ocehan gadis cerewet itu.

Namun langkahnya terhenti begitu melihat Thalia dan gerombolannya berjalan menuju Kantin. Ia buru-buru mencari jalan lain dan memutar tubuhnya. Masa bodo, yang penting ia mau kabur dari gadis bernama Thalia itu!

Farel melangkah cepat tanpa memerhatikan jalan, hingga tanpa sengaja ia menubruk tubuh seseorang sampai ia terjatuh.

"Hey ... jalan lihat-lihat!" Suara dingin nan berat seorang lelaki sontak membuat tubuh kurus Farel merinding. Padahal ia mau menghindari masalah, tetapi malah mendapat masalah baru. Farel pun berusaha mengangkat kepalanya dan mendapati salah satu anggota 3A—Geng anak kelas 9 yang terkenal keren, kaya dan pintar. Intinya sempurna. Namun apesnya, ia malah menubruk Andra, anggota yang memiliki tubuh besar dan kekar juga yang paling tenperamental.

"Ma-maaf, Kak ..." ucap Farel terbata-bata.

Andra pun menarik kerah Farel hingga kaki lelaki berkacamata itu tak menyentuh tanah. Ia terus menunduk karena tak berani menerima amarah kakak kelasnya.

"Lu macam-macam sama gue?" sergah Andra yang melempar tubuh ringkih Farel hingga membentur tanah dengan keras. Sontak semua orang kini memasang mata ke arah Farel yang sedang mengaduh kesakitan.

Andra langsung menghampirinya dan kembali menarik kerah baju Farel.

"Apa masalah lu, ha?" Sebuah tinju hendak dilayangkan ke wajah Farel, tetapi tiba-tiba ada tangan lain yang mencegahnya.

"Andra! Lu apa-apaan, sih?" Terdengar suara lelaki lain, membuat Farel berani membuka matanya.

"Diam lu, Lan!" Andra menghempaskan tangan teman satu gengnya yang bernama Alan.

"Ini urusan gue sama anak culun ini!" tegas Andra sambil menunjuk Farel.

"Yah, tapi emang apa masalahnya?" tanya Alan lagi.

"Dia udah sengaja nabrak gue! Dan itu gak bisa gue biarkan!" tegas Andra lalu atensinya kembali pada Farel yang sontak membuat perisai dari kedua tangannya.

Alan pun langsung memegang dada Andra.

"Udahlah, Dra ... Dia pasti gak sengaja ..." Alan diam-diam melirik ke arah Farel kemudian melempar senyumnya. Entah kenapa hal itu membuat Farel lebih tenang seolah mendapat pembelaan.

Andra pun hanya bisa melontarkan umpatannya. Suasana hatinya benar-benar kacau, tetapi ia tak bisa mengabaikan ucapan Alan. Andra pun memilih pergi meninggalkan Farel sambil menghentakkan kakinya. Sementara Alan kembali melempar senyumnya dan pergi mengikuti sahabatnya.

"Aku selamat?" ujar Farel takjub.

Tanpa ia sadari ada sepasang mata yang dari tadi memerhatikannya.

***

Sesak

Farel berlari tergopoh-gopoh sambil memegangi bokongnya yang nyeri akibat membentur tanah dengan sangat keras. Ia kira, hari ini ia bisa lebih beruntung karena bisa menghindar dari perintah Thalia— Sang Ratu Dominan. Sayangnya, nasibnya malah semakin buruk. Untungnya, ia masih memiliki susu kotak mini di kantongnya.

Farel pergi ke taman belakang sekolah yang jarang sekali dikunjungi oleh warga sekolah. Hanya di sini ia bisa berkeluh kesah atas hari beratnya setiap hari. Sayang, ia belum sempat membeli buku sketsa baru untuk menghilangkan penatnya.

Farel duduk di bangku yang terbuat dari semen sembari menusukkan sedotan ke kotak susunya. Ia menyedot susu itu sambil sesenggukan karena menahan rasa sedih, takut dan kecewa yang bercampur aduk jadi satu. Belum ada satu tahun ia bersekolah di SMP ini, tetapi rasanya sudah sangat sesak. Ia hampir tak bisa bernapas karena ulah Thalia and the geng. Belum lagi kakak kelasnya yang suka sok berkuasa dan memperlakukannya semena-mena.

"Rasanya gue mau pindah!" jeritnya menyuarakan isi hati. Air matanya jatuh dan membasahi pipinya begitu saja. Dulu saat SD ia pernah mengalami hal yang sama, itu sebabnya ia pindah dari satu sekolah ke sekolah lain. Namun kali ini, kedua orang tuanya yang sedang sarat ekonomi, memintanya untuk bertahan atas apapun yang terjadi di SMP-nya sekarang.

Tentu orang tuanya tahu segala sesuatu yang terjadi pada putranya di sekolah. Namun mereka yang sedang berada di posisi bawah tidak bisa melakukan apa-apa dan hanya bisa berharap putranya baik-baik saja.

Farel menghela napas begitu teringat gambar-gambarnya yang akan ia kirimkan ke majalah dan akan mendapat bayaran meskipun tak seberapa dihancurkan begitu saja oleh Thalia. Di saat sedih begini, semua kenangan buruk pasti kembali terputar di benaknya, membuat rasa marahnya semakin membuncah.

"Dasar keji! Sadis! Gak punya hati!" segala umpatan untuk gadis cantik itu ia lontarkan.

"Dia pikir, dia berkuasa di sini hanya karena dia putri ketua yayasan?!" kesal Farel. Ya, fakta bahwa Thalia adalah Putri Ketua Yayasan bukanlah rahasia lagi. Semua orang menghormatinya, sehingga tidak ada satupun orang yang berani melawan apapun yang dilakukan oleh gadis itu, entah tindakannya benar atau salah.

"Lihat saja! Di masa depan, lu yang akan berlutut ke gue! Karma itu berlaku!" kesal Farel yang langsung menyedot habis susu kotaknya sambil tersedu-sedu. Ia pun terbatuk-batuk, bahkan air susu itu keluar dari hidungnya. Farel hanya bisa bersumpah serapah.

Hal itu membuatnya semakin kesal dan kembali meluapkan emosinya lewat air mata, bahkan kacamatanya kini berembun. Ia pun terpakasa melepas kacamata dengan frame hitam tebal.

"Farel Barata Septian!" Lagi-lagi panggilan itu muncul entah dari mana. Farel rasanya tidak mau menyahut dan ingin menikmati me-time-nya saja, tetapi panggilan itu terdengar lagi bahkan dengan suara yang lebih jelas.

"Haruskah dia muncul di saat seperti ini?" geram Farel lalu akhirnya memberanikan diri berbalik dan mendapati sosok Thalia dengan amarah yang hampir memuncak, menatapnya tajam.

"Kamu masih mengabaikanku, ya?" tuding Thalia yang hendak menjewer telinga Farel, tetapi lelaki itu segera menangkisnya. Sontak Thalia kaget dengan refleks Farel. Lelaki cupu ini mana pernah melawannya.

"Farel!" pekik Thalia kesal, tetapi Farel malah membuang muka, malu jika wajah sembabnya ketahuan oleh Thalia. Yah, meskipun gadis itu sering melihat wajah sembab Farel.

"Kamu berani melawanku, ha?" tantang Thalia lalu menyentuh kedua telinga Farel dan mengarahkan wajah laki-laki itu agar menghadapnya.

"Lihat aku—" Ucapan Thalia terhenti begitu mendapati wajah Farel yang tanpa mengenakan kacamata. Mata sayu karena habis menangis itu kini menatapnya dengan memelas.

'Wajah tampan siapa ini?' gumam Thalia dalam hati.

"Jika mau menjewer telingaku, lakukan saja sepuasanya! Lakukan apapun yang kau mau!" jerit Farel putus asa.

Namun hal itu tidak membuat Thalia melakukan seperti apa yang diucapkan remaja itu. Ia melepas tangannya.

"Apaan, sih?"

Thalia lalu terdiam dan melirik ke bangku di samping Farel yang kosong.

"Minggir! Aku mau duduk!" bentak Thalia. Farel pun langsung berdiri. Sedangkan Thalia duduk sambil menyilangkan kedua kakinya seraya tersenyum angkuh.

"Kamu hari ini menghindariku, ya?" tukas Thalia.

Farel tertegun. Ia sontak menunduk dan kembali mengenakan kacamatanya.

"Ti-tidak ..." bohong Farel.

"Lalu, kenapa aku baru melihatmu tadi saat hampir dihajar Kak Andra?" Thalia pun terkekeh.

"Rasain! Harusnya Kak Alan tadi gak usah datang biar kamu dihabisin sekalian sama Kak Andra yang lagi emosi!" kekeh Thalia sambil diam-diam melirik ke arah bokong Farel. Lelaki ini hanya berupa tulang dan kulit saja, bokongnya yang membentur tanah dengan keras seperti tadi, apakah tidak retak?

"Ka-kamu ada apa mencariku? A-apa yang harus kulakukan?" tanya Farel mengubah topik. Ia hanya malas mengulang kenangan pahit, apalagi itu keluar dari mulut tokoh jahat seperti Thalia.

"Kamu berani, ya tidak menimpali ucapanku?" emosi Thalia lagi.

"Eh ... Bukan ... Ha-hanya saja akan lebih cepat jika kamu memang mau sesuatu ..." ujar Farel buru-buru beralasan agar hidupnya selamat.

Sementara Thalia hanya menghela napas, berusaha agar tidak meledak lagi.

"Baiklah! Aku mencarimu memang mau memerintahkan sesuatu!" ujar Thalia sembari menatap Farel.

"A-apa itu?" tanya Farel takut-takut.

Thalia pun memegang kening dengan punggung tangannya seraya memejamkan mata, seolah ada rasa sakit yang sedang ia tanggung.

"Kepalaku tiba-tiba terasa sakit ..." ujar Thalia lalu membuka matanya dan kembali menatap Farel tajam.

"Aku mau, kamu pergi ke UKS dan minta obat sakit kepala pada guru UKS!" perintah Thalia.

"Sakit? Kamu benar-benar sakit?" tanya Farel malah meletakkan punggung tangannya di atas kening Thalia, membuat gadis itu membulatkan matanya.

Sontak Thalia menyingkirkan tangan Farel.

"Apaan, sih? Gak usah sok peduli dan jangan sentuh aku!" cerocos Thalia.

"Dasar menjijikan!" umpatnya yang tentu didengar oleh Farel.

Farel langsung merutuki sikap spontannya. Ia langsung menyimpan tangan tadi di dalam saku celana.

"Baiklah ... akan aku ambilkan. Kamu mau aku antar ke kelas—" Farel kembali merutuki dirinya. Kenapa juga ia malah menambah pekerjaannya sendiri. Bagus-bagus cuman disuruh ambil obat di UKS.

"Ti-tidak! Aku bisa sendiri!" seru Thalia, Farel diam-diam bernapas lega mendengar ucapan Thalia. Setidaknya, pekerjaannya tidak bertambah.

"Baiklah. Aku ambilkan dulu," ujar Farel pamit. Laki-laki itu berusaha berjalan dengan cepat sambil menahan rasa sakit di bokongnya. Sedangkan Thalia hanya duduk sambil memperhatikan lelaki itu yang lama kelamaan hilang dari pandangannya.

Ia diam-diam tersenyum miring.

"Salah sendiri, melawanku. Awas, setelah ini akan aku berikan hukuman lainnya!" gumam Thalia lalu beranjak dari tempat duduknya dan berlari kembali ke kelas.

Dijebak

Thalia masuk ke dalam kelas sambil terhuyung-huyung. Beberapa cowok yang ada di sana segera menghampiri Thalia dan memboyongnya.

"Thalia, lu baik-baik aja?"

Diam-diam Thalia terkekeh. Orang-orang memang sangat mudah ditipu. Para anak laki-laki ini juga pasti sebenarnya hanya mau dapat perhatian Thalia saja. Tentu, bukan hanya berkuasa, tetapi Thalia juga memiliki paras yang cantik di atas rata-rata sehingga tidak sedikit anak cowok yang mengejarnya dan berusaha mendapat perhatiannya.

Sayang, gadis cantik ini tetap berpegang teguh bahwa perempuan cantik hanya untuk laki-laki ganteng, sehingga ia masih menjadikan kakak kelasnya, Alan sebagai calon pacarnya. Baginya para cowok yang sok perhatian ini hanyalah kutu yang harusnya dibasmi.

"Aduh, bisa, gak kalian gak berisik? Kepalaku pusing ..." keluh Thalia masih dengan aktingnya. Tentu saja dia baik-baik saja, tetapi segala sesuatu harus dijalani dengan totalitas. Aneh jika dia tidak pura-pura sakit, padahal tadi bilang ke sahabat-sahabatnya kalau tidak enak badan.

Hebatnya, para anak cowok itu menurut dan langsung membawa Thalia ke tempat duduknya. Di sana ia sudah disambut oleh para sahabatnya.

"Ya ampun Thal ... kalo sakit, kenapa gak tidur di UKS aja?" khawatir Marina.

"Duuh, malas. Di sana gak ada orang ..." keluh Thalia langsung meletakkan kepalanya di atas meja.

"Ya, tapi 'kan lu bisa istirahat!" seru Vannesa.

"Aduh, kok kalian jadi marahin aku, sih? Aku pusing nih!" Thalia mulai memasang perisainya.

Para sahabatnya pun saling pandang. Mereka juga tak bisa apa-apa jika Thalia sudah begini.

"Lu udah minum obat? Gue ambilin obat, ya?" tawar Renata.

Sontak mata Thalia terbuka lebar. Namun ia tak berani mengangkat kepalanya.

"Thalia!" Atensi ketiga sahabatnya tiba-tiba beralih pada suara seorang anak laki-laki yang menyebut nama Thalia. Tak jauh dari tempat duduk mereka kini telah berdiri seorang laki-laki kurus dan tinggi yang mengenakan kacamata dengan frame tebal berwarna hitam.

Laki-laki itu menyodorkan satu strip obat sakit kepala yang ia dapatkan di UKS tadi.

"Ini ... tadi kamu minta ini 'kan?" ujar laki-laki itu yang mendapat tatapan sinis dari ketiga gadis di hadapannya.

Renata pun merebut strip obat itu.

"Nih, Thal ... obatnya udah dibawain si cupu!" ketus Renata yang melirik sinis ke arah Farel—Anak laki-laki yang disebut cupu oleh Renata.

Thalia pun mengangkat sedikit kepalanya dan diam-diam mencuri pandang pada Farel yang sedang menundukkan kepalanya.

"Minumnya mana?" tanya Thalia yang membuat ketiga temannya kembali menoleh ke arah Farel.

"Mi-minum? Ta-tapi tadi kamu gak minta minum, Thal!" ujar Farel membela dirinya sendiri.

"Yah, lu gak punya otak apa? Emangnya minum obat kayak gini bisa langsung ditelen? Mikir dong! Pake, tuh otak lu! Jangan dianggurin aja!" cibir Vannesa sambil menempeleng kepala Farel.

Farel hanya bisa menunduk dan mengepalkan tangannya. Cibiran seperti itu sudah jadi santapannya setiap hari.

"Ya udah, sana! Beliin Thalia minum! Jangan berdiri aja kayak orang bego!" suruh Renata.

"Ta-tapi, sebentar lagi masuk—"

Tiba-tiba Vannesa menggebrak meja, membuat Farel terhenyak.

"Ya terus?" tekannya sambil memelototi Farel.

"Buruan makanya! Lelet, gak punya otak lagi!" hardik Renata.

"I-iya!" ujar Farel menyerah sambil diam-diam melirik ke arah Thalia yang sedang meletakkan kepalanya di atas meja.

Diam-diam laki-laki itu megertakkan giginya.

'Gue yakin seratus persen, Thalia pura-pura sakit!' geram Farel dalam hati, tetapi ia tak sanggup melawan.

Brak!

Vannesa kembali menggebrak meja hingga Farel terhenyak.

"Liatin apa lagi lu?" bentak Vannesa, seketika suasana kelas yang ramai menjadi hening.

"Uhm ... Y-yah ... u-uangnya ..." Farel mengadahkan tangannya, tetapi malah dipukul menggunakan penggaris oleh Vannesa.

"Pake duit lu dulu! Miskin banget, sih!" ketus Vannesa. Farel mengeraskan rahangnya, berusaha menahan emosinya. Ia tidak boleh bertindak gegabah, atau tidak bisa melajutkan sekolah. Tanpa berkata apa-apa, Farel pun berlari ke luar kelas. Sementara Thalia diam-diam tersenyum kecil.

***

Farel terpaksa menggunakan uang cadanganya yang ia selipkan di robekan dompetnya karena sisa uang sakunya tak cukup untuk membayar air minum Thalia. Ya, untungnya Farel rajin menabung dan ia sering mendapat uang saku tambahan dengan memgirimkan hasil karyanya ke beberapa lomba yang diadakan oleh majalan anak-anak.

Namun hatinya masih tidak tenang karena penjual minuman tidak punya kembalian dan sedang menukarkan uang Farel ke beberapa penjual lainnya.

Farel tak bisa menghentikan hentakan kakinya, sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.

KRING!

Farel mengumpat. Harusnya ia tidak usah menunggu kembalian. Namun jika tidak, nanti ia tidak bisa pulang.

"Maaf, nih ,Rel ..." Penjual minuman memberikan kembaliannya.

"Iya ... makasih ya, Bang!" seru Farel tak mau ambil pusing. Ia langsung menerima kembaliannya dan berlari ke kelasnya yang jaraknya cukup jauh dari kantin.

Napasnya terengah-engah, bukan hanya karena berlari, tetapi juga waspada dipergoki oleh guru komisi kedisiplinan yang berkeliling untuk menangkap para murid yang berkeliaran setelah bel masuk.

"Sedikit lagi!" seru Farel yang terpacu karena sebentar lagi ia sampai di lorong kelasnya, tetapi langkahnya melambat begitu Sang Guru Komdis muncul entah dari mana dan malah menangkap dirinya. Farel mau kabur juga sudah terlambat.

"Kamu! Farel Barata Septian!" sergah guru komdis yang hapal semua nama murid.

Bulu kuduk Farel merinding, ia pun menelan salivanya.

"Ke sini kamu!" Suara lantang guru komdis pun sudah mampu membuat kakinya lemas dan tak bisa bergerak.

Sementara itu di kelas VII-B, Guru Bahasa Inggris sedang mengabsen nama-nama murid, hingga anak-anak terpaksa untuk mengunci mulutnya, jika tidak habislah mereka dengan guru 'killer' satu ini.

"Farel Barata Septian!" Akhirnya nama itu disebut, tetapi tidak ada yang menyahut. Guru Bahasa Inggris pun memanggil nama itu lagi, tetapi masih tidak ada yang menyahut hingga tiga kali.

"Ada yang tahu, kemana Farel?" tanya Pak Guru. Namun tidak ada satu pun murid yang membuka mulutnya.

"Tidak ada yang tahu?" tanya guru itu lagi memastikan dan hasilnya masih sama. Guru itu pun menghela napas sambil geleng-geleng kepala.

"Dasar, anak jaman sekarang!" gerutunya sambil menulis alfa di buku absen.

Sedangkan Thalia yang masih meletakkan kepalanya di atas meja diam-diam tersenyum.

'Dia sedang menikmati hukumannya, Pak ...' kekehnya dalam hati merasa menang.

'Itu akibatnya kabur dari Thalia!' ujar Thalia puas.

Sedangkan di lapangan Farel sedang dihukum bersama dengan kakak kelasnya yang kepergok. Mereka disuruh hormat menghadap bendera sambil berdiri satu kaki di hari yang cukup terik.

"Woy, Pak Sunu gak ada!" ujar Alan—Kakak kelasnya yang sudah menurunkan kakinya dari tadi.

"I-iya, Kak ... tapi Kak Alan gak denger, kalau kita turunin kaki, nanti malah disuruh lari?" ujar Farel.

"Denger!" Alan malah duduk di ata tempatnya berpijak sambil mengipas-ngipasi dirinya.

"Tapi daripada capek berdiri satu kaki! Gila aja!" gerutu Alan.

Farel pun melirik ke arah kakak kelasnya itu yang sangat santai.

Alan pun menepuk-nepuk aspal di sampingnya.

"Istirahat dulu, nanti kalau disuruh lari, biar kuat, haha."

Farel diam-diam mengangkat sudut bibirnya, tetapi sebenarnya hati kecilnya merasa iri.

"Ayo, jangan banyak bengong—"

"Alan Madaharsa Antara!" Suara guru komdis yang lantang dan menggelegar pun mengangetkannya.

"Waduh," kekeh Alan sambil cengar-cengir.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!