Aku dipanggil Suci. Namun kepribadianku tak seperti namaku.
Hidupku di masa lalu penuh dengan noda hitam. Meski kini aku telah berhijrah, namun masa laluku yang kelam sangat berpengaruh pada masa depanku.
Kebanyakan orang yang mengenal sejarah kehidupanku yang kotor, tetap saja memandangku sebelah mata. Meski begitu aku tetap akan bertekad untuk Istiqomah memperbaiki diri.
Aku yang dulu selalu menampakkan aurat, kini telah menutupnya sempurna. Sholatku yang mulanya sering ku tinggalkan, kini aku malah selalu duduk menunggunya sebelum adzan berkumandang. Aku ingin jadi pribadi yang lebih baik lagi.
Namun para tetangga tetap saja bersikap buruk padaku dan keluargaku. Jika hanya aku yang mereka hina, aku tidak akan peduli. Tapi jika sudah membawa-bawa keluargaku, maka aku tak akan sanggup. Lalu ku putuskan untuk pindah ke luar kota untuk memulai kehidupan yang baru.
Akhirnya dari kota asalku Majalengka, aku pindah ke kota Bandung. Aku dan ibu tinggal di sebuah desa di kecamatan Ciparay. Kedua adikku tak ikut karena mereka sudah berkeluarga. Dan ayah telah lama meninggal saat aku baru lulus SMA.
"Bu, maaf ya. Suci belum bisa kasih tempat yang nyaman buat ibu." Ku cium kedua tangan wanita yang telah melahirkanku ini.
"Tak apa. Melihatmu menjadi wanita sholehah saja ibu sudah bahagia." Mata ibu berkaca-kaca.
Tangannya yang sudah mulai keriput, semakin ku genggam erat.
"Aamiin. Semoga perkataan ibu menjadi doa untukku. Aku ingin menjadi perempuan sholehah. Aku ingin berbakti pada ibu dan almarhum ayah." Ku peluk ibu.
"Aamiin. Salah satu cara berbakti pada orang tua adalah dengan menjadi anak yang sholeh atau sholehah."
Aku dan ibu tak kuasa menahan haru. Kami berdua banjir air mata.
***
Esoknya aku langsung bekerja di sebuah perusahaan garment. Aku beruntung karena ada salah satu kenalan sahabatku yang bekerja di sana dan bersedia memasukkanku ke perusahaan itu.
Namanya Bu Vani. Dia adalah personalia di sana. Aku dipekerjakan sebagai Adm target line A. Tugasku adalah menghitung target yang dicapai tiap karyawan line A perjamnya.
Alhamdulilah aku tak menemukan kesulitan dalam pekerjaanku. Bahkan pak Doni, managerku sering memuji hasil kerjaku yang menurutnya sangat memuaskan. Dia sangat baik padaku.
Dua bulan berlalu, saat itu ada hal aneh yang terjadi.
"Ci, pak Doni manggil kamu ke ruangannya." Ucap Dwi teman kerjaku.
Aku segera meluncur ke sana karena takut pak Doni marah jika aku tak buru-buru menemuinya.
Ku ketok dulu pintu seraya mengucap salam. Pak Doni pun menjawab salamku dan menyuruhku untuk duduk. Aku pun menurut.
"Ada apa pak ?" tanyaku.
"Saya lihat kinerjamu sangat bagus. Saya berencana untuk memberimu sebuah motor inventaris. Apa kamu mau ?"
Motor inventaris ? setahuku tak ada seorang pun karyawan di perusahaan itu yang diberi kendaraan inventaris. Menurutku ini aneh.
"Kenapa diam saja ?" pak Doni bertanya lagi.
"Mmm...tidak pak. Terima kasih. Saya gak enak sama karyawan lain. Saya kan masih baru di sini."
"Kalo gitu, gimana kalo saya antar jemput kamu setiap hari ?"
"Jangan pak, maaf. Saya...nanti karyawan lain gossipin kita."
"Ya gak apa-apa. Lagipula saya ini masih bujangan dan masih single, belum punya pacar. Memangnya kamu udah punya pacar ?"
"Saya nggak suka pacaran pak."
"Bagus dong. Tapi ijinkan saya anterin kamu pulang sore ini. Jangan nolak ya ! saya gak akan macem-macem."
"Baik pak." Jawabku ragu.
Aku terpaksa mengiyakannya karena merasa tak enak pada bosku itu.
Sore pun tiba. Setelah selesai bekerja, aku menunggu pak Doni di gerbang. Tak lama berselang, pak Doni muncul dengan mobilnya. Ia menyuruhku untuk masuk. Aku pun menuruti perintahnya.
Di perjalanan pak Doni selalu bertanya mengenai asal-usulku, keluarga bahkan kehidupan asmaraku.
"Kamu beruntung karena masih punya seorang ibu dan juga saudara kandung. Kamu tahu ? saya ini sebatang kara. Orangtua, saudara dan seluruh keluarga saya meninggal saat terjadi tsunami di Aceh." Pak Doni menjeda kalimatnya.
"Saat itu mereka semua sedang berlibur di sana. Hanya saya saja yang tidak ikut, karena waktu itu saya sedang sibuk merampungkan skripsi." Pak Doni terus bercerita panjang lebar mengenai kehidupannya.
Aku jadi merasa ikut prihatin mendengar kisah hidupnya yang memilukan. Diam-diam ku lirik wajahnya. Pak Doni memang penuh karismatik. Dia begitu tampan, gagah dan mempunyai senyum yang indah.
Astagfirullah....segera ku palingkan pandanganku ke depan.
Rupanya sebentar lagi kami sampai di gang rumahku.
"Udah pak, stop ! rumah saya masuk gang ini."
"Ok." Pak Doni menghentikan mobilnya.
"Terima kasih banyak pak, atas tumpangannya."
"Sama-sama. Kapan-kapan boleh saya mampir ke rumahmu ?"
Aku terdiam sejenak mendengar kata-kata pak Doni yang berhasil membuat jantungku berdebar kencang.
"Boleh pak, silahkan. Saya pamit, assalamualaikum."
Semenjak aku dekat dengan pak Doni, rasanya setiap karyawan di tempat kerja selalu menatapku. Kebanyakan dari mereka memandang sinis, meski ada beberapa yang melempar senyuman saat bertemu denganku. Bahkan pernah tanpa sengaja aku mendengar obrolan mereka mengenai hubunganku dengan pak Doni.
"Itu tuh, Adm baru. So cantik banget. Gimana caranya dia bisa sedekat itu dengan pak Doni ?" salah seorang dari mereka berbicara.
"Cantik apanya, gayanya juga norak gitu. Pasti dia ngelakuin segala cara biar bisa jadi teman deketnya pak Doni." Tambah yang lain.
"Alah...paling tuh cewek pengen cepet naik jabatan lewat jalur cepat."
Astagfirullah. Rasanya jantungku remuk saat mendengar omongon mereka yang begitu tajam.
Mereka sama sekali tak mengenalku, tapi mereka berani menilaiku seburuk itu. Padahal aku tak seperti yang mereka kira.
Tapi aku harus kuat. Aku ada di sini untuk bekerja, agar bisa memenuhi kebutuhanku dan ibu. Bukan untuk meladeni orang-orang seperti mereka yang sebenarnya tidak penting.
Usai makan siang, aku bergegas ke mushola yang disediakan perusahaan. Aku mengambil wudhu dan kemudian shalat Dzuhur. Selepas sholat aku merapalkan dzikir pendek dan shalawat. Lalu menadahkan kedua tanganku ke hadiratNya.
Ku tumpahkan segala beban dan kesedihanku pada sang Ilahi Robbi. Aku meminta diberikan ketabahan dalam menjalani hidup. Dan berharap agar keimananku tetap terjaga sampai nanti aku melepas nyawa.
Setelah itu aku buru-buru melangkah menuju meja kerjaku. Ku sandarkan tubuh ini di kursi. Ahhh sungguh nyaman rasanya.
"Suci, semua karyawan line A bahkan line yang lain juga pada gossipin kamu. Apa benar kamu pacaran dengan manager kita ?" Dwi tiba-tiba datang dan mengagetkanku dengan perkataannya.
"Untuk saat ini, kami memang tidak ada hubungan apa-apa. Dan aku tidak bisa memprediksi ke depannya akan seperti apa. Hanya Allah yang tahu. Tapi yang jelas, aku gak melakukan cara licik dan aku gak punya niat buruk pada pak Doni. Kedekatan kami bukanlah rencanaku." Jelasku pada Dwi.
"Aku percaya sama kamu Ci. Tapi kamu jangan dengerin omongan nyinyir mereka. Ok !"
Dwi memang teman yang baik. Dia selalu mencoba menghiburku di saat aku bersedih.
"Pasti. Makasih ya kamu udah selalu support aku." Ku berikan senyuman terbaikku pada Dwi.
Ia pun membalas dengan nyengirnya. Aku beruntung mempunyai teman seperti Dwi.
Tak terasa akhirnya pekerjaanku pun selesai. Ini saatnya untuk pulang.
Kali ini aku harus bisa menolak pak Doni agar tidak mengantarku pulang. Tapi bagaimana caranya ? aku bingung.
Aku terus melangkah cepat dan hendak menunggu angkot. Aku harap aku tidak bertemu dengan pak Doni.
Namun sudah jadi kebiasaan pak Doni untuk jadi sopir pribadiku. Saat aku menyetop angkot, pak Doni memanggilku. Ia rupanya telah turun dari mobil.
"Gak usah pak, jalan aja. Kami mau pulang bareng." Pak Doni berbicara pada sopir angkot.
"Pak, maaf sekali. Sebaiknya bapak tidak usah repot-repot antar jemput saya lagi. Gak enak sama karyawan lain."
"Jangan peduliin yang lain. Saya aja gak masalah kok."
"Tapi pak, maaf. Saya mau naik angkot saja."
Aku mencoba lagi menyetop angkot namun lagi-lagi pak Doni melakukan hal yang sama. Bahkan saat aku akan menaiki angkot yang sedang ngetem pun, pak Doni menyuruh sopir angkot itu pergi.
"Ayo masuk mobil ! atau mau saya gendong biar kamu mau ?"
"Tidak pak, saya bisa sendiri."
Akhirnya aku pun kembali duduk bersama pak Doni di dalam mobilnya.
Seperti biasa pak Doni selalu bertanya tentang diriku. Dan bercerita tentang dirinya. Kali ini dia menanyakan tentang makanan favoritku.
"Sama dong, saya juga suka nasi Padang. Kita makan dulu yuk. Tuh di depan ada warung nasi Padang. Biar saya yang traktir."
"Gak usah pak. Saya gak enak ngerepotin bapak terus."
"Gak apa-apa. Saya malah senang. Kalo kamu nolak, saya bakalan sakit lho. Oh ya, mau makan di sini atau dibungkus ?
"Terserah bapak saja."
"Kalo saya sih lebih suka dibungkus. Gak usah dipindahin ke dalam piring. Makannya pake tangan, jadi rasanya lebih nikmat."
Namun sebelum ke rumah makan Padang, kami masuk mushola dulu untuk sholat ashar. Setelah itu, kami pun singgah di sana.
Pak Doni memesan dua bungkus nasi Padang dengan lauk rendang untukku dan pak Doni. Dan sebungkus lagi dengan lauk kepala kakap untuk ibuku.
Pak Doni memang sudah tahu bahwa aku tinggal berdua dengan ibu.
Setelah pak Doni membayar, kami pun kembali ke mobil. Tak lama kemudian mobil berhenti tepat di depan gang.
Pak Doni memarkirkan dulu mobilnya. Setelah itu kami berjalan kaki menuju rumah. Aku berjalan di depan, dan pak Doni berada di belakangku.
Ada perasaan aneh sewaktu aku berjalan berdua dengannya. Rasa gugup bercampur senang. Entahlah, belakangan ini pak Doni selalu ada dalam beranda pikiranku.
Apa mungkin karena kami sering bertemu ? ah, perasaan macam apa ini ?
Jujur baru kali ini aku merasakannya. Apa mungkin ini yang namanya jatuh cinta ?
Sungguh begitu indah rasanya. Pipiku sampai memerah karena memikirkannya.
Astaghfirullah...lagi-lagi aku memikirkan pria yang bukan mahromku.
Saat ini kami telah sampai di rumahku. Aku mengucap salam dan ibu segera menghampiri sambil menjawab salamku. Pintu pun terbuka. Ibu setengah kaget melihatku pulang dengan pak Doni.
Memang ini baru pertama kalinya aku membawa seorang pria ke rumah.
Ibu mempersilahkan pak Doni masuk. Kami bertiga pun duduk di atas hamparan tikar karpet.
Ku perkenalkan pak Doni pada ibu. Terlihat mereka saling melempar senyuman.
Kami makan bersama dan setelahnya, kami pun berbincang.
"Maaf pak Doni, baru pertama kali ke rumah tapi kami gak bisa menyambut bapak dengan baik." Ucap ibu.
"Gak masalah bu. Tolong panggil saya Doni saja, saya gak enak."
"Baiklah nak Doni. Makasih banyak karena sudah berbaik hati anterin Suci, pake bawa makanan segala lagi."
"Sama-sama Bu. Itu tidak seberapa kok."
Adzan Maghrib pun berkumandang. Kami sholat berjamaah, pak Doni sebagai imamnya. Rasanya berbeda sekali, sholat yang biasa aku kerjakan menjadi terasa lebih indah dan nikmat. Namun alhamdulilah, kehangatan itu tak mengganggu kekhusuanku. Justru malah semakin meningkatkan kenikmatan saat melaksanakannya.
Selesai sholat bersama, pak Doni pun pamit pulang. Serasa hampa saat lelaki itu meninggalkan rumah ini. Mungkinkah dia sudah mengambil hati ini ?
***
Saat hari Minggu menyapa, pak Doni mengajakku dan ibu pergi ke luar untuk sekedar jalan-jalan. Beliau membawa kami ke sebuah taman yang indah. Setelah itu kami dibawa ke Mall untuk berbelanja.
Aku sudah menolaknya secara halus, tapi lagi-lagi pria itu memaksa.
Ibu terlihat begitu senang dengan perlakuan istimewa pak Doni padanya. Sepertinya pak Doni juga sudah berhasil mengambil hati ibu.
Aku pun bahagia melihat orang-orang yang ku kasihi bisa begitu dekat.
Seiring berjalannya waktu, aku pun semakin mengagumi sosok pak Doni. Mungkin rasa kagum ini telah berubah menjadi perasaan cinta. Namun aku sadar, aku merasa rendah sekali jika harus disandingkan dengan seorang pak Doni. Pria itu sangat sempurna sedangkan aku, aku sama sekali tidak pantas untuknya.
Puas berjalan-jalan, belanja dan makan, pak Doni pun mengantar kami pulang ke rumah. Beliau mampir dulu dan kami berbincang.
"Bu sebenarnya saya ingin melamar Suci untuk menjadi istri saya." Tiba-tiba pak Doni mengeluarkan kata-kata yang berhasil membuatku dan ibu terpaku.
"Saya sangat mencintai anak ibu. Saya yakin Suci bisa jadi pendamping hidup yang tepat untuk saya."
"Ibu sih bahagia sekali jika nak Doni bisa jadi menantu ibu. Tapi ibu serahkan saja semua keputusan pada Suci." Jelas ibu.
Pak Doni pun mengalihkan pandangannya padaku, seolah meminta jawaban.
"Maaf pak. Saya masih ragu, saya belum tahu harus jawab apa." Ku tundukkan wajahku, aku tak sanggup menatapnya.
"Kamu jawab saja saat kamu sudah siap." Pak Doni memang sangat bijaksana dan pengertian.
Dia pun pamit. Di dalam kamar pikiranku masih melayang dan berputar. Aku harus bagaimana ? aku jujur sangat bahagia atas lamaran pak Doni. Tapi seperti kataku, aku merasa tidak pantas untuknya. Aku ini wanita kotor. Pak Doni begitu baik, dia seharusnya mendapatkan wanita yang terbaik pula.
Tiga hari kemudian, malamnya seperti biasa pak Doni datang lagi ke rumahku. Terlebih aku mengatakan bahwa aku sudah membuat keputusan.
Aku berbicara empat mata dengannya, ibu sengaja masuk kamar agar aku bisa leluasa membahas masalah lamaran itu.
"Maaf pak. Saya tidak bisa menerima lamaran bapak. Saya benar-benar minta maaf."
"Tapi alasannya kenapa ? saya yakin kamu juga punya perasaan khusus terhadap saya."
"Saya tidak pantas untuk bapak. Saya ini wanita kotor."
"Apa maksudmu ?"
Kutarik nafas dalam-dalam. Aku memutuskan untuk jujur padanya. Selebihnya aku pasrah saja. Bukannya aku mau membuka aib, tapi pak Doni memang berhak tahu.
"Sebenarnya...saya sudah tidak perawan lagi. Saya ini sudah ternoda, sangat kotor. Bapak seharusnya menikahi wanita baik-baik." Aku mencoba tegar saat menjelaskannya.
Pak Doni terdiam sejenak.Ia terlihat berpikir. Dia pun menghela nafasnya.
"Terima kasih karena kamu sudah mau jujur." Pak Doni menjeda kalimatnya.
"Saya memang tidak salah pilih. Saya akan tetap menikahimu Suci."
"Dengar dulu pak. Saya belum menceritakan lagi masa lalu saya semuanya. Bapak harus tahu langsung dari saya, dari A sampai Z. Dulu saya pernah men..." belum selesai bicara, pak Doni memotongnya.
"Sudah cukup. Saya tidak mau tahu masa lalu kamu sedetail itu. Buat saya, kamu sudah berani jujur seperti ini, saya sudah senang. Saya bangga karena kamu adalah wanita yang baik. Saya tetap mantap untuk melamarmu. Apa kamu mau menikah denganku Suci ?" pak Doni dengan tegas memintaku kembali.
Sungguh indah perkataan yang terlontar dari bibirnya. Membuatku lebih tenang. Tentu saja tanpa berpikir lagi, aku pun menerima lamarannya.
"Baiklah. Saya bersedia, pak." Ku jawab dengan penuh keyakinan.
"Alhamdulilah. Mulai sekarang panggil saja mas. Kita kan sebentar lagi akan menikah." Pak Doni melempar senyum manisnya.
"Baik mas." Aku pun membalasnya.
Sungguh saat ini aku merasa menjadi perempuan paling bahagia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!