“Mba Shara, apa ada yang salah sama hati Abang?”
“Maksud Bang Ale apa?”
“Abang…” Ale menahan kalimatnya cukup lama. Ia ragu sekaligus malu untuk mengatakan yang sebenarnya, tentang sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya selama hampir 6 bulan belakangan ini ia rasakan.
Alfatta Farzan atau yang biasa akrab dipanggil Ale, murid Shara waktu Ale masih duduk di bangku SMA semester akhir. Hampir 10 tahun bertetanggaan, bahkan pernah ngobrol bersama, tapi baik Shara maupun Ale tak pernah saling menyadari kalau 6mereka satu rukun tetangga.
Dan sekarang, murid yang pernah ia ajari di sebuah lembaga kursus itu sedang terlihat bimbang, bingung dan ragu.
“Abang Ale” Shara mencoba memanggil namanya kembali dengan lembut.
Perempuan berusia 31 tahun itu mulai mengetahui karakter muridnya itu. Sekalipun sudah bukan menjadi muridnya, melainkan menjadi private teacher matematika untuk putri sulungnya sekarang, Ale sudah Shara anggap seperti putranya sendiri.
“Mba, Abang…”
Berat. Benar-benar berat untuk Ale mengatakannya. Tapi, menahannya sendiri ia pun merasa tak sanggup.
Shara terus memandangi dengan hangat anak laki-laki yang tak lama lagi berusia 20 tahun itu. Ia menunggu dengan sabar kalimat y66ang akan keluar dari mulutnya.
“Mba,” Ale mengangkat wajahnya. Matanya menatap sayu wajah Shara didepannya. Lalu
“Abang suka sama Ran.”
Pengakuan Ale yang tiba-tiba, langsung membuat tubuh Shara seketika seperti membeku. Apa yang ia dengar barusan seperti hanya intermezo yang sedang Ale buat dalam obrolan serius mereka. Tapi
“Abang suka sama Ran.”
Ale mengulangi pengakuannya kembali.
“Aneh ya mba?” Tanya Ale, memelas.
Shara kaget, sekaget-kagetnya.
Shara diam.
Shara bingung harus merespon apa dari pengakuan Ale, tentang perasaannya pada putri sulungnya. Karena ia masih diambang antara percaya dan tidak.
I think I am dreaming.
Ya. Shara merasa seperti sedang bermimpi.
“Ngga normal kan Abang punya perasaan ini?”
Ale kembali mempertanyakan keanehan pada dirinya. Ia semakin merasa sedih karena Shara tak langsung merespon pengakuannya.
Raut wajah Shara jelas bisa dilihat oleh Ale kalo Shara sangatlah kaget.
“Emangnya Abang suka sama Ran, suka sebagai apa?” Tanya Shara, lembut.
“Sebagai…cewek. Kayak Abang suka sama cewek seumuran Abang.”
Penjelasan kaku Ale itu cukup dimengerti oleh Shara. Kalau perasaan suka Ale pada Ran adalah perasaan suka seperti laki-laki pada seorang perempuan.
“Abang juga ngga tau kenapa bisa punya perasaan ini, bisa suka sama anak kecil. Sebenarnya Abang malu banget
ngomongnya ke mba. Tapi, Abang juga ngga bisa pendam sendiri.”
Dari raut wajah Ale, Shara bisa melihat dengan jelas kebingungan Ale pada perasaan yang sedang ia rasakan sekarang.
“Abang, Mama udah tau tentang perasaan Abang ini?”
“Belum mba. Abang takut Mama kecewa kalo Mama sampe tau tentang perasaan Abang ini.”
“Ya, kalo gitu mba ngga akan kasih tau ke Mama. Biar Abang aja yang kasih tau sendiri ke Mama.”
“Terima kasih ya mba.”
Shara mengangguk dengan senyum menenangkan.
“Bang Ale, tapi maaf ya, mba cuma mau pastiin aja tentang perasaan Abang ke Ran. Apa Abang benar-benar yakin kalo Abang suka sama Ran, seperti Abang suka sama teman-teman cewek Abang selama ini? Atau…hanya suka karena apa?”
“Awalnya Abang juga ngga yakin sama perasaan Abang ini mba. Tapi…beberapa bulan terakhir ini, setiap kali Abang dekat Ran jantung Abang berdebar. Rasanya tuh kayak Abang lagi jatuh cinta sama cewek.”
Oke. Shara tidak perlu penjelasan lebih lagi tentang perasaan Ale ke Ran. Baginya, kalimat itu sudah sangat cukup mewakili dari semua perasaan yang sedang Ale rasakan pada putrinya.
“Abang…ngga normal ya mba?” Tanya Ale, khawatir.
Dengan cepat Shara langsung merespon pertanyaan Ale kali ini dengan senyuman.
Menyedihkan memang berada diposisi Ale saat ini. Mencintai seorang perempuan yang masih berusia 9 tahun, sementara Ale sudah berada di usia yang mulai beranjak dewasa.
Ale, si cowok playboy atau bahkan bisa dibilang fuckboy, bisa mencintai Ran, seorang gadis kecil yang masih polos dan sama sekali belum mengerti tentang arti cinta yang Ale rasakan padanya. Namun meskipun begitu, Shara percaya pada Ale kalau Ale tetaplah seorang anak laki-laki yang baik.
“Abang Ale, kalo Abang berpikir kalo Abang ngga normal karena suka sama anak kecil, itu salah. Karena menurut mba, perasaan Abang ke Ran itu hadir karena anugerah dari Allah. Tapi, Abang juga ngga boleh berharap banyak sama Ran, karena Ran masih terlalu kecil untuk mengerti tentang perasaan Abang ke dia.”
“Ya mba, Abang tau itu. Abang juga ngga akan berharap apapun dari balasan cinta Ran ke Abang untuk saat ini. Tapi sengganya Abang udah lega, karena udah ngungkapin perasaan Abang ini. Mba ngga marah sama Abang?”
“Sama sekali ngga. Mba justru berterima kasih karena Abang Ale udah menyukai Ran.”
Ale tersenyum lega mendengarnya. Rasa ketakutan yang ia pikirkan selama ini ternyata jauh dari perkiraannya. Shara sangat memahami dirinya dari dulu, selalu bisa mengerti dan memaklumi keadaannya. Bahkan dalam hal perasaan sekalipun.
“Mba, besok Abang udah harus balik lagi ke Jogja untuk kuliah. Jadi, kalo mba ngga keberatan Abang mau minta tolong mba jagain Ran buat Abang.”
Melihat cara bicara Ale yang terlihat serius dan tulus pada putrinya membuat Shara terharu. Ia pun tak bisa untuk tak mengatakan
“Iya. Mba jagain Ran buat Abang Ale.”
Ale semakin lega mendengarnya.
Sementara Ran yang sedang duduk di meja makan, tak jauh dari sofa tempat Shara dan Ale mengobrol, ia hanya diam mendengarkan sambil terus menggambar karakter anime kesukaannya.
Meskipun Ran masih berusia 9 tahun, tapi pengakuan Ale itu membuatnya sedikit mengerti. Hanya saja bukan cinta yang ia mengerti, melainkan hanya rasa suka yang ia tahu. Ran hanya tahu kalau Ale menyukainya.
***
06:10 Rumah Susun
Pagi ini langit terlihat sangat cerah. Namun cerahnya langit tetap tak bisa menutupi raut kesedihan dari senyuman di wajah Ran.
Hampir 30 menit lamanya Ran berdiri memandangi langit di balkon rumahnya. Ia mengira, dengan cara sesederhana ini akan bisa mengurangi perasaan sedihnya. Tapi ternyata, hal itu tetap tak bisa mengurangi perasaan sedihnya walau hanya sedikit. Yang ada justru air matanya kembali keluar dari kedua kelopak matanya, mengingat kenyataan yang harus ia jalani sekarang.
“Ran, ayo sarapan.” Ajak seorang pria berkemeja putih.
Pria yang sangat apik menyiapkan sarapan di atas meja makan itu tak lain adalah
“Iya, Bang Ale.” Suami baik Ran.
Ran pun melepas pandangan matanya. Ia segera berjalan menuju meja makan, lalu duduk tepat di depan suaminya.
Ale langsung tersenyum melihatnya. Karena ini untuk pertama kalinya Ran kembali sarapan di satu meja makan bersama dengannya. Setelah menunggu selama dua minggu lamanya, akhirnya penantian Ale tidak sia-sia.
Tak seperti 14 hari kemarin, Ran tak pernah mau makan satu meja dengan Ale. Ran lebih memilih untuk sarapan di kamarnya dan mengacuhkan Ale begitu saja.
Tapi pagi ini berbeda. Bahkan Ran sudah mulai mau membuka suaranya untuk Ale.
“Ran mau sarapan apa?” Tanya Ale dengan lembut.
“Roti”
“Mau Abang buatin?”
“Ngga usah.”
Sesingkat itu Ran hanya ingin menjawab pertanyaan dari suaminya.
Ran pun mengambil selembar roti tawar di depannya, lalu mengolesinya dengan butter dan menaburkan meses cokelat di atas rotinya. Sarapan simple yang paling Ran sukai.
Sementara Ale, ia sarapan dengan telur omlete polos dan sepiring nasi.
“Hari ini Ran pulang sekolah jam berapa?” Tanya Ale.
Pertanyaan yang hampir setiap hari Ale tanyakan pada Ran. Tapi Ran tak pernah menjawabnya. Seolah tak mendengar pertanyaan itu, Ran memilih untuk diam.
Dan Al pun hanya bisa diam dan tetap bersabar.
06:30
“Ayo berangkat.” Kata Ale, setelah selesai mencuci piring makannya.
Ran yang masih duduk di depan meja makan sambil melamun, dengan lambat mengangkat badannya untuk beranjak dari kursi. Matanya melirik ke sebuah kotak makan yang ada di meja makan.
Tanpa pernah bertanya pada Ale, Ran selalu langsung memasukkan kotak makan putih bermotif bunga matahari itu ke dalam tasnya.
Pagi ini Ale merasa sedikit lebih lega dari hari-hari sebelumnya. Karena untuk kesekian kalinya, Ran tak menolak bekal yang sudah disiapkan untuknya.
Bagi Ale, untuk saat ini hal itu sudah cukup bisa membuatnya merasa tak tertolak.
***
Seperti biasanya, Ran selalu melakukan hobinya di setiap perjalanan menuju ke sekolahnya. Hobi yang tak lain adalah menggambar.
“Ran lagi gambar apa?”
“Rahasia.”
Sedikit membuat Ale tak percaya, kalau Ran akan menjawab pertanyaannya kali ini. Setelah pertanyaan itu ia tanyakan sebanyak puluhan kali. Meskipun sekalinya mendapatkan jawaban, jawaban itu tak sesuai dengan harapannya.
“Kenapa rahasia?” Tanya Ale, lagi.
“Bang Ale cerewet banget.” Sahutnya, merasa terganggu.
Tapi sahutan ketus Ran malah disambut dengan senyuman di wajah Ale.
“Jadi Abang belum boleh lihat buku matahari Ran?”
“Bukan cuma Bang Ale yang ngga boleh lihat. Tapi juga Bunda, Ayah, Papa, Mama, Feeza, Hefa, Bang Fahri, dan semua orang yang ada di dunia ini. Kecuali…” Ran menahan kalimatnya.
“Kecuali, apa?”
“Kecerobohan aku simpan buku matahari, dan orang yang nemuin buku matahari ngga sengaja ngeliat isinya.”
Ohh.
Mereka kembali saling terdiam. Namun tak sampai lima menit, tiba-tiba saja Ran mengatakan
“Hari ini aku pulang jam tiga.”
Tak perlu menunggu lama untuk menoleh, Ale langsung menoleh cepat ke arah Ran yang masih asik berkutik dengan buku mataharinya.
Senyuman lembut langsung menghiasi wajah Ale. Karena akhirnya Ran mau memberitahu jam pulang sekolahnya padanya.
Dengan mata berkaca-kaca, Ale pun bertanya “Ran mau Abang jemput?”
Tapi dengan cepat Ran langsung menolaknya dengan tegas.
“Ngga.”
“Kenapa?”
“Belum punya alasan.”
Ale kira Ran sudah mau membuka hati untuknya, ternyata belum.
“Terus, kapan Abang boleh jemput Ran?”
Ran menggeleng pelan.
“Ya udah kalo Ran belum mau dijemput sama Abang. Tapi kalo nanti mau di jemput Ran kasih tau Abang ya.”
Ran tak menyahuti ucapan Ale. Ia hanya diam sambil memasukkan buku matahari ke dalam tasnya.
Meskipun agak mengecewakan, tapi setidaknya Ran sudah mau kasih tau jam pulang sekolahnya hari ini.
***
SMK DWI KARYA
Ale menghentikan mobilnya di depan sebuah gerbang hitam yang cukup tinggi.
Yap! Disinilah Ran bersekolah. Ran mengambil jurusan multimedia.
Sejak kecil Ran sudah tertarik dengan dunia desain grafis dan animasi. Tapi setiap kali ditanya tentang cita-citanya mau jadi apa, Ran tak jarang akan menjawab
“ARSITEK. Aku mau jadi Arsitek.”
Tapi dari cita-cita yang dikatakannya itu, tak pernah sekalipun ia menggambar sebuah sketsa bangunan. Layaknya seperti seorang Arsitek yang biasanya gambar, Ran justru sangat suka menggambar wajah manusia seperti di komik. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak cerita yang sudah ia buat dalam beberapa buku hasil coretan gambar tangannya sendiri.
“Pokoknya Bang Ale jangan jemput aku hari ini.” Kata Ran, menegaskan kembali ucapannya.
“Iya, Ran.” Sahut Ale, mendayu.
Bukan bawaan dari lahir yang membuat Ale bisa sesabar itu. Tapi cintanya lah yang sangat tulus pada Ran yang selalu membuatnya menjadi orang yang sabar.
Sekitar 8 tahun yang lalu. Gadis kecil yang terpaksa menerima Ale sebagai guru private matematikanya, ternyata berhasil membuat Ale pensiun dari predikat playboy.
Menjadi guru private matematika Ran membuat Ale selalu bisa memandangi wajah Ran dari jarak sangat dekat, dan kedekatan itulah yang membuat Ale akhirnya menyayangi murid pertamanya itu. Cantik dan pintar. Itulah awal Ale bisa jatuh cinta pada anak perempuan kecil yang saat itu masih berusia 9 tahun. Tanpa Ran sadari, kalau ia telah membuat Ale mencintainya secara permanen.
“Aku sekolah dulu.” Pamitnya, setelah melepas seatbelt di kursinya.
Sekalipun ia sangat marah dan kecewa pada pria disampingnya. Tapi Ran tetap menghormati Ale sebagai suaminya, lebih tepatnya lagi ia menghargai Ale sebagai pria yang selalu menjaganya dengan sangat baik selama ini.
“Semangat ya belajarnya.” Ucap Ale, menyemangati.
Tapi ucapan semangat dari Ale tak pernah Ran sahuti. Karena Ran merasa kalau ucapan semangat dari Ale tak pernah berpengaruh sama sekali untuknya.
Ran pun segera keluar dari mobil setelah menyalimi suaminya, dan ia masih belum juga mau melihat wajah suaminya sejak hari pernikahan mereka sampai detik ini.
“RAAAAAAAAN”
Teriakkan Devanya langsung menyambut kedatangan Ran yang baru selangkah turun dari mobil.
Dan Ran, langsung merengutkan wajahnya.
“Halo Abang Ale.” Sapa Devanya, centil, pada Ale yang masih membuka jendela mobilnya.
Ale pun langsung membalas sapaan ceria Devanya dengan senyuman.
“Ayo” Kata Ran, yang langsung mengajak Devanya untuk segera pergi ke kelas bersamanya.
Tapi Devanya masih tetap tebar pesona sambil menengok beberapa kali ke belakang, ke arah Ale yang belum juga pergi dari sekolah Ran.
“Iya gue tau lo punya Abang sepupu yang ganteng, baik, ramah, manis. Paket lengkap deh pokoknya. Tapi bukan berarti gue ngga boleh deket donk sama Abang sepupu lo itu.” Kata Devanya, protes.
Dengan datar, Ran pun langsung menyahuti ucapan tanpa jeda itu.
“Kenan gimana kabarnya?”
“Baik.” Jawabnya, dengan senyum sok imut.
“Nah. Kalo gitu baik-baik ya sama Kenan.” Ucapnya, sambil menepuk pelan bahu kanan Devanya. Lalu ia pergi setelah tersenyum meledek.
Devanya pun sangat menyadari itu. Menyadari kalau ia tidak lagi jomblo.
Tapi sikap Ran yang selalu menolaknya untuk kenal dekat dengan Ale, membuat Devanya malah semakin gemas. Bahkan ia semakin senang meledek Ran, dan Ran tidak pernah menyadari ledekannya itu.
“Nanti istirahat gue mau telpon Bang Ale ahh.” Seru Devanya, meledek sembari mengejar Ran yang sudah pergi lebih dulu.
Ran pun tak ingin menyahuti ucapan temannya itu. Ia tetap terus berjalan menuju kelas dengan langkah cepat.
***
07:20 11Multimedia1
“Selamat pagi anak-anak.” Sapa Aluna, wali kelas 11Multimedia1.
“SELAMAT PAGI BU ALUNA.” Sapa balik semua siswa-siswi dengan serentak.
FYI. Aluna adalah wali kelas terbaik versi Ran. Dia tidak pernah marah pada siswanya sekalipun siswanya membuat kesalahan besar. Sikap dan cara bicaranya yang sangat keibuan, membuat siapapun merasa nyaman berada didekatnya. Tapi dari semua kebaikan yang Aluna miliki, di usianya yang sudah lebih dari ¼ abad ia belum juga menikah. Bahkan masih jomblo. Bukan karena Aluna tipe pemilih, tapi memang karena belum datang jodoh untuknya.
“Pagi ini Ibu punya hadiah buat kalian semua, terutama untuk para cewek.” Ujar Aluna, sangat bersemangat.
“APA BU HADIAHNYA?” Tanya beberapa siswi, merasa penasaran.
Aluna langsung menepukkan tangannya ke arah pintu, dan
“OH MY GOD! OH MY GOD! OH-MY-GOD!” Seru beberapa siswi, berasa sport jantung begitu melihat hadiah yang Aluna berikan.
Seorang siswa baru yang ketampanannya nyaris seperti pangeran. Itulah hadiah terbaik bulan ini dari wali kelas mereka.
Bahkan Ran yang biasanya tak tertarik dengan satu cowok pun di sekolahnya. Kali ini Ran luput dari karikatur anime yang sedang digambarnya.
Siswa baru itu pun berjalan memasuki ruang kelas, lalu menghentikan langkah kakinya didepan kelas tepat disamping Aluna.
“Nah. Nah. Para girlies pada terpesona kan melihat hadiah dari Ibu.” Kata Aluna, meledek.
“Bukan terpesona lagi Bu, tapi langsung falling in love banget.” Sahut Miya, tanpa malu.
“Yaah ada saingan gue.” Seru Bimo, si cowo sok cool yang super narsis tingkat dewa.
“Pastinya.” Sahut Fatika, tak peduli.
“Nama kamu siapa?” Tanya Jean, dengan gaya sok manis.
“KAMUUUUUU???” Ledek hampir satu kelas.
“Yeee iri aja deh kalian.”
“Penasaran ya kalian?” Tanya Aluna, semakin membuat penasaran seisi kelas.
“PASTINYA BU.” Sahut beberapa siswi tak sabar.
“Ayo sekarang kamu perkenalkan diri kamu.” Perintah Aluna, pada siswa baru disampingnya.
“Halo teman-teman.” Sapanya, dengan suara yang cowok banget.
“HALOOOOO.”
“Salam kenal. Perkenalkan nama saya Rasaka Yutta, panggil aja saya Saka. Saya pindahan dari SMK di Surabaya. Karena pekerjaan orangtua saya sebagai pengusaha yang sering berpindah-pindah tempat, jadi selama SMA saya sudah pindah tiga sekolah. Tapi saya pastikan SMK DWI KARYA akan menjadi sekolah saya yang terakhir.”
Semua orang senang mendengarnya, termasuk Ran yang tak melepas pandangan matanya dari pesona Saka yang memiliki senyuman manis yang sangat sederhana itu.
“Oke, cukup perkenalannya. Nanti kalo mau lebih kenal lagi sama Saka kalian harus berteman. Ingat kita semua…”
“BERSAHABAAAAT” Seru sekelas dengan kompak.
“Good. Kalian semua anak baik.” Pujian Aluna yang setiap hari selalu terucap dari mulutnya.
Saka tersenyum mendengarnya, dan ia terlihat senang berada di kelas 11Multimedia1.
“Juna. Kamu duduk sama Saka ya?”
“Mau sih Bu. Tapi itu artinya saingan ketampanan saya semakin jelas nyata terlihat.” Ujar Juna, merasa sok sedih.
"HUUUUUUUU" Sorak teman-teman sekelas.
“HAHAHAHAAAA” Serentak satu kelas pun menertawai Juna.
***
12:50 Jam istirahat kedua
“Kantin yuk?” Ajak Devanya.
Ran langsung menggeleng, kedua matanya masih tetap fokus pada gambar yang sedang ia buat di buku matahari.
“Bawa bekal lagi?”
Ran mengangguk.
“Rajin banget sih nyokap lo nyiapin bekal buat anak gadisnya. Andai nyokap gue serajin nyokap lo.” Ujarnya, merasa iri.
Sejenak tangan kanan Ran berhenti menggambar begitu mendengar ucapan Devanya. Wajahnya pun ia angkat ke atas dan melihat ke arah Devanya yang berdiri di samping mejanya.
“Bukan nyokap gue yang buat sarapan, tapi…”
“Dev, ke kantin bareng yuk?” Ajak Naima, memutus kalimat Ran yang belum selesai ia ucapkan.
“Ayo.” Sahut Devanya.
“Ada yang mau lo titip ngga?”
“Ngga ada.”
“Ya udah, gue sama Naima ke kantin dulu ya.”
“Iya.”
Ran pun melanjutkan menggambarnya kembali.
Tapi tak sampai 10 menit menggambar, para penghuni di dalam perutnya sudah protes minta diisi. Ran pun terpaksa menyudahi menggambar, pikirnya daripada nanti ia sakit perut gara-gara nahan laper.
Ran segera mengeluarkan bekal dari dalam tasnya.
Setiap bekal yang Ale siapkan untuknya, Ran tidak pernah mengetahui isi bekalnya. Tapi Ale selalu membawakan bekal kesukaan Ran, dan Ran tak pernah tak menghabiskan bekal yang Ale siapkan untuknya.
Ia pun tak sabar untuk melihat isi bekal yang disiapkan Ale untuknya hari ini. Dengan pelan ia membuka kotak makannya dan mengintipnya sedikit. Yap, wajahnya langsung tersenyum bahagia begitu mengetahui bekal yang dibawakan Ale untuknya adalah makanan yang sama dengan yang ia makan saat sarapan tadi pagi.
Senyuman di wajahnya semakin mengembang begitu melihat bentuk roti yang Ale buatkan untuknya.
“Cantik.” Serunya.
Ran meraih sepotong roti dari kotak makannya, dan segera ia masukkan ke dalam mulutnya. Tapi, begitu roti berbentuk bunga itu hampir meluncur ke dalam mulutnya, hanya tinggal satu centi lagi. Tiba-tiba saja
“Boleh minta satu?”
Seseorang dari barisan paling ujung bertanya padanya.
Alhasil roti yang ada di tangannya harus kembali ia taruh ke tempat asalnya.
Ran pun segera menoleh ke arah suara itu berasal. Suara yang asing di telinganya itu tentu tak bisa ia kenali lantaran yang meminta bekal padanya ternyata adalah Saka, siswa baru di kelasnya.
Dengan raut wajah datar Ran menjawab pertanyaan Saka, dengan jawaban “Ngga boleh.”
Saka kaget mendengar jawaban Ran yang menolaknya untuk membagi bekalnya.
“Kenapa?” Tanya Saka, penasaran.
“Karena kita ngga saling kenal.”
“HAH???”
“Tapi kan tadi gue udah kenalin diri gue di depan kelas.”
“Di depan kelas kan? Bukan secara pribadi.” Sahutnya, santai.
Saka langsung heran melihat sikap acuh teman barunya itu. Karena baru kali ini ia ditolak ketika meminta sesuatu pada seorang cewe.
“Oke, kalo gitu kita kenalan sekarang. Nama gue Saka. Siapa nama lo?” Kata Saka, dari tempat duduknya.
Tapi Ran, bukannya merespon baik perkenalan Saka secara pribadi, Ran malah meminta Saka untuk datang
menghampirinya.
Saka menggeleng tak percaya. Di hari pertamanya masuk di sekolah baru ia mendapat sambutan seperti ini hanya
dari satu orang saja.
“Harus ya kita kenalan dari jarak dekat?”
“Ngga juga sih. Itu terserah lo. Kalo mau kenalan boleh, ngga juga ngga apa-apa.” Ran semakin menjawab dengan
santai.
Untuk pertama kalinya dalam hidup Saka, ia diperlakukan secuek ini sama seorang cewe. Tak seperti biasanya, Saka selalu mendapat perlakuan istimewa. Bahkan para cewe yang mengejarnya duluan untuk berkenalan dengannya.
Karena merasa penasaran dengan cewe satu ini, akhirnya Saka rela menghampiri Ran ke tempat duduknya.
Seraya berjalan, pandangan matanya sengaja tak ia lepas sedikit pun dari sosok cewe yang tengah asik
menikmati bekalnya.
Langkah kaki Saka pun berhenti tepat disamping meja Ran. Tanpa basa-basi, Saka langsung menyodorkan tangan kanannya ke arah Ran.
Ran segera mengangkat wajahnya, dan memutar matanya melihat ke arah cowo berwajah bad boy yang ternyata tanpa senyuman.
Tapi Ran, langsung memberikannya senyuman tipis yang sangat manis untuk teman
barunya itu.
Namun senyuman manis Ran tak dapat sambutan dari Saka.
Ran tak peduli.
“Nama gue Himawari Ran.” Kata Ran, memperkenalkan diri.
Lagi. Saka dibuat heran dengan Ran.
Ketika orang terbiasa berkenalan dengan berjabat tangan. Tapi Ran, bukannya menyambut uluran tangan perkenalannya, Ran justru menyodorkan jari kelingkingnya.
Saka diam. Ia memandangi jari kelingking Ran, dengan maksud agar Ran bisa menjelaskan arti dari jari kelingking yang ia sodorkan kepadanya.
Ran yang cukup cerdas pun langsung mengerti maksud sikap diam Saka.
“Gue lebih suka kenalan kayak gini.” Kata Ran, simple explanation.
Oke. Saka sudah tau alasannya. Ia pun membalas perkenalan Rania.
“Gue Rasaka Yutta. Gue mau panggil lo Himawari.” Kata Saka, to the point.
“HAH?!”
Ran langsung tercangah mendengarnya. Karena Saka menjadi orang pertama yang bersedia memanggil nama
depannya yang punya 4 suku kata.
“Ya udah, terserah lo.” Kata Ran, tak mau melarang.
“Karena kita udah kenalan, berarti sekarang gue boleh donk minta bekal roti lo?”
“Boleh donk. Ini”
Ran pun menepati janjinya. Ia memberikan sedikit bekalnya pada teman barunya itu.
“Tolong sekalian cuciin kotak makannya ya. Thanks.” Ucap Ran, seraya pergi meninggalkan Saka keluar dari ruang kelas.
“HAH!!!???” Saka dibuat skak mat oleh Ran, hanya untuk sepotong roti saja.
***
18:30 Rumah Susun
Malam ini Ran tengah asik membaca komik sambil bersantai di atas sofa. Ia sedang menikmati waktu luangnya
yang tanpa tugas sekolah malam ini.
Cklek.
Suara seseorang membuka pintu rumah. Namun Ran tak menoleh, ia tetap membaca komik sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Karena ia tau, kalo yang datang adalah Ale.
“Ran?”
Ale cukup terkejut melihat keberadaan Ran di atas sofa.
Tak seperti selama 14 hari kemarin, Ran hanya menghabiskan waktu mengurung diri di dalam kamarnya. Ia hanya keluar sesekali untuk mengambil makanan yang sudah disiapkan Ale untuknya. Bahkan setelah mandi dan pulang sekolah, Ran akan langsung kembali masuk ke dalam kamarnya. Hanya suara tangisan kecil yang sesekali Ale dengar dari balik pintu kamar Ran, dan sikap Ran itu membuat Ale tak bisa berbuat banyak, mencegahnya pun ia merasa tak mampu.
Tapi, sejak tadi pagi dan sampai malam ini, Ran mulai menunjukkan perubahan sikap padanya.
Ale langsung tersenyum melihatnya. Ia merasa lega karena Ran tak sampai jatuh sakit karenanya.
“Ran udah makan?” Tanya Ale, sembari membuka sepatunya di dekat pintu.
Ran tak menjawabnya, ia hanya menggeleng dan tetap fokus pada komik yang sedang dibacanya.
“Bang Ale beliin makanan kesukaan Ran.” Kata Ale, seraya berjalan ke ruang tengah. Lalu meletakkan bungkus
makanan di atas meja dekat sofa.
Ran langsung melirik bungkusan itu. Ia penasaran dengan isinya.
Ran pun segera beranjak dari sofa dan melihat isi bungkusannya.
Begitu tau isinya. Ia langsung menutup komik yang belum selesai ia baca, dan bergegas pergi ke dapur untuk
menyiapkan makan malam.
Ale sampai tercangah melihat tingkah Ran yang berubah cukup drastis. Entah apa yang membuat istri tercintanya
itu jadi kembali terlihat manis.
30 menit kemudian
Ale kembali tercangah, begitu ia baru keluar dari kamar mandi pemandangan mengejutkan membuat Ale di antara
percaya dan tidak. Ia mendapati Ran sedang duduk di depan meja makan, dengan makanan yang sudah tersedia cukup apik.
“Ran lagi nungguin Abang?” Tanya Ale, ge'er.
Ran mengangguk.
Ternyata kege'eran Ale tak salah.
“Bang Ale, kenapa jadi ngelamun? Ayo makan. Aku udah laper banget.” Kata Ran, bergerutu sambil memegangi
perutnya.
Ale pun segera berjalan menuju meja makan dan duduk di depan Ran.
“Buat Bang Ale.” Kata Ran, memberikan sepiring nasi lengkap dengan lauk.
Tak hanya itu, Ran juga menyiapkan segelas air putih yang ia letakkan dekat tangan Ale.
Ale sampe terharu melihatnya. Karena akhirnya ia bisa merasakan rasanya menjadi seorang suami yang dilayani
istrinya dengan sangat manis.
“Terima kasih Ran.” Ucap Al, dengan mata sedikit berkaca.
“Hmmm” Sahut Ran, hanya bergumam.
Ran segera menyantap makan malamnya, begitu juga dengan Ale.
“Gimana sekolah kamu hari ini?” Tanya Ale.
“Ngga terlalu baik.” Jawab Ran, datar.
“Kenapa?”
“Ada murid baru yang sok akrab sama aku. Padahal aku sama dia ngga saling kenal, tapi bisa-bisanya dia minta
bekal aku di hari pertamanya masuk sekolah.” Jawab Ran, tanpa jeda dan dengan nada kesal.
“Emangnya murid baru itu ngga ngenalin dirinya di depan kelas?”
“Kenalin. Namanya Rasaka Yutta, panggilannya Saka. Dia siswa pindahan dari SMA di Surabaya. SMK DWI KARYA adalah SMA ke empatnya, dan Saka bilang kalo SMK DWI KARYA bakalan jadi SMA terakhirnya. Karena dia ngga akan pindah sekolah lagi.” Cerita Ran, lengkap dan jelas.
“Tapi aku ngga peduli.” Tambahnya, dengan raut wajah acuh.
Ale agak terkejut dengan ekspresi wajah Ran saat membicarakan tentang teman barunya. Baru kali ini ia melihat
Ran sesinis itu membicarakan tentang seorang teman. Padahal biasanya Ran hanya brekspresi kesal biasa, ketika ada temannya yang membuatnya sangat marah.
“Kalo udah kenalin diri berarti udah saling kenal donk?”
“Ya belum lah.”
“Belumnya gimana?”
“Kan dia kenalinnya di depan kelas, ngga secara pribadi ke aku.”
Ale merengutkan dahinya.
“Aku ngga suka sama orang yang ngga aku kenal, tapi sok akrab sama aku.”
“Tapi kan dia teman sekelas kamu.”
“Tapi kan Bang Ale pernah bilang ke aku, kalo aku ngga boleh akrab sama orang yang ngga aku kenal, dan anak baru itu kan belum aku kenal.”
Seketika Ale langsung terdiam mendengar kalimat Ran kali ini.
Ale tak menyangka, kalo ternyata Ran masih ingat dengan nasihat darinya itu.
Melihat tak ada respon dari Ale, Ran pun akhirnya memberanikan matanya untuk melihat kembali wajah Ale untuk
pertama kalinya setelah mereka menikah.
Ran mengangkat wajahnya perlahan, lalu melihat wajah suaminya yang ada didepannya.
“Aku…salah ya?” Tanya Ran, memelas.
Ale tak langsung menjawabnya. Ia melihat wajah istrinya untuk beberapa detik. Lalu
“Ngga. Ran ngga salah. Ran benar.” Jawab Ale. Perlahan merubah raut wajah kagetnya menjadi senyuman hangat.
***
06:00 Rumah Susun
Ale keluar dari kamarnya sambil mengancingkan lengan kemejanya.
Langkah kakinya terhenti ketika ia melihat Ran yang terlihat menawan pagi ini.
Meskipun bukan untuk pertama kalinya Ale melihat Ran memakai seragam sekolah, tapi kali ini Ran terlihat sangat cantik.
Sambil menyiram bunga matahari di balkon rumah, tangannya begitu terlihat lembut di mata Ale. Dari angle manapun, Ran selalu terlihat mempesona di mata Ale.
Saat lamunan Ale masih berjalan, Ran menyadari keberadaan Ale yang sedang memandanginya dari kejauhan.
Untuk beberapa detik waktu seperti berhenti sejenak.
Ran yang selama ini tak ingin melihat wajah Ale, pria yang sekarang berstatus suaminya. Kini ia bisa kembali melihat wajah suaminya dengan sangat jelas, tanpa harus menghindarinya lagi.
Saat ini Ale dan Ran sama-sama saling memandangi dengan perasaan berbeda.
Ale memandangi wajah Ran dengan penuh cinta. Sedangkan Ran, memandangi wajah Ale dengan rasa sedih yang mendalam.
Kling.
Bunyi oven toaster langsung membuyarkan lamunan Ale dan Ran. Saat itu juga Ran langsung melepas pandangan matanya dari Ale, dan ia langsung kembali menyiram bunga matahari.
Sedangkan Ale, ia segera berjalan menuju dapur untuk mengeluarkan roti dari oven toaster.
Seraya mengambil roti yang baru matang dibakar, Ale meminta Ran untuk segera sarapan. Dan Ran pun selalu langsung menurut dengan perintah Ale. Ia segera masuk ke dalam rumah, lalu duduk di depan meja makan.
Selagi Ale menyajikan sarapan roti, Ran merapihkan baju seragamnya.
Ale melirik ke arah Ran yang ada di depannya.
“Seragamnya abis Ran kecilin lagi?” Tanya Ale.
“Ngga.” Jawab Ran, santai.
“Terus kenapa kelihatan sempit di badan kamu?”
“Mungkin aku kegemukan.” Jawabnya, beralasan.
“Abang tau kalo badan kamu ngga kegemukan, tapi seragam kamu yang kamu kecilin.”
“Bang Ale kan ngga pernah lihat badan aku, jadi jangan sok tau.” Kata Ran, mengelak.
“Buka seragam kamu sekarang.” Kata Ale. Tak peduli dengan alasan apapun Ran.
“HAH???” Ran langsung kaget mendengar perintah Ale.
Tapi Ale terlihat sangat santai menyuruh Ran membuka baju seragamnya.
***
Ran menggigit sedikit demi sedikit roti di tangannya. Sambil menunggu Ale melepaskan jahitan seragamnya
yang baru ia jahit semalam, Ran hanya bisa pasrah tanpa bisa menikmati sarapan kesukaannya pagi ini.
Pria berwajah manis itu jadi terlihat seperti devil di mata Ran saat ini. Tangannya begitu kejam menyobekkan setiap jahitan benang di seragam sekolahnya yang sudah susah payah ia jahit semalaman.
“Tega.” Gerutunya, dengan suara pelan.
Tapi Ale yang duduk tak jauh darinya, bisa mendengar suaranya. Dan ia hanya tersenyum melihat gadis remaja itu kesal padanya.
***
SMK DWI KARYA
Ran masih sangat kesal dengan Ale, karena jahitan seragamnya yang dipretelin tanpa ampun.
Alhasil, selama di perjalanan dari rumah ke sekolah Ran benar-benar menekuk dalam-dalam wajahnya. Bahkan ia menggambar wajah Ale yang seperti monster di buku matahari.
“Aku sekolah!” Pamitnya, sambil membuang wajahnya ke samping. Tapi tangannya tetap menarik tangan Ale untuk disalimi.
Ale tertawa kecil melihat istrinya yang terkadang masih seperti anak kecil.
“Belajar yang semangat ya.” Ucap Ale, sambil membelai kepala Ran.
Ada sedikit perasaan luluh yang hinggap di hati Ran, ketika Ale membelai lembut kepalanya dan terasa penuh cinta. Namun kejaimannya jauh lebih besar, dan Ran pun mengabaikannya. Ia segera membuka seatbelt, lalu keluar dari mobil.
“Huuhh BT!!” Gerutunya.
“RAAAAAAAAN"
Lagi dan lagi ia harus bertemu dengan Devanya. Bahkan di moment yang tak tepat seperti sekarang.
Devanya berlari dengan penuh semangat menghampirinya. Tapi saat tiba di dekat Ran, bukan Ran yang ia sapa melainkan
“Haloooo Bang Ale.”
“Bisa-bisanya Devanya panggil gue cuma buat cepe-cepe doank sama Ale.”
Ran benar-benar dibuat kesal dengan kecentilan Devanya yang sudah tak bisa ditoleransi lagi olehnya. Seperti menghadapi sauna yang sangat panas, Ran semakin dibuat kesal dengan kelakuan teman sebangkunya itu.
Tapi, tiba-tiba matanya melihat ke arah seseorang yang bagaikan dewa penolong hati buruknya saat ini. Tanpa berlama, Ran langsung berteriak sangat kencang memanggil nama orang itu.
“KENAAAAAN”
Saat itu juga Devanya langsung melepas sandaran badannya dari mobil Ale dan langsung melihat ke arah Kenan, sang pacar.
“Haaahhh Ran..Ran. Benar-benar lo ngerusak moment gue banget.” Ucapnya, dengan senyuman menakutkan yang ia arahkan keras pada teman polosnya yang masih berdiri disampingnya.
Ran pun membalas senyuman menakutkan Devanya dengan senyuman seperti malaikat pencabut nyawa.
“Ada apa Ran?” Tanya Kenan, menghampirinya.
Ran memberi kode pada Kenan supaya ia segera membawa pacarnya pergi darinya sekarang juga.
Kenan pun langsung paham. Ia pun langsung meraih tangan Devanya, lalu membawanya pergi. Diikuti Ran dibelakang mereka dengan hati bahagia.
“Hahahaa” Ale langsung tertawa melihat anak-anak SMA itu.
“Tok.Tok.Tok.” Tiba-tiba seseorang mengetuk kaca mobilnya.
Ale pun langsung membukanya.
“Maaf ya om, tolong jangan parkir mobil disini lama-lama. Ganggu kami yang mau masuk.” Kata seorang anak SMA bersepeda, menegurnya.
“Iya” Sahut Ale.
Ale pun segera melajukan mobilnya yang sejak tadi berhenti di depan gerbang sekolah.
Tapi saat Ale mau melajukan mobilnya, tiba-tiba saja seorang anak SMA dari sebrang jalan memanggil anak SMA yang baru saja menegurnya. Dan anak SMA yang ada disebrang itu memanggilnya “SAKA.” Nama yang tak asing ditelinganya, dan Ale hampir kembali melamun karena mendengar nama itu.
***
06:45 11Multimedia1
“Ran, kapan lo mau melukis gue sama Kenan?”
“Emangnya lo mau bayar gue berapa?” Tanya Ran balik.
“Isshhh”
“Bercanda. Emangnya lo mau digambarin kayak gimana?”
“Mmm…gue mau digambarin kayak ala-ala anime gitu. Kan gambaran anime lo keren banget. Jadi gue pengen banget kayak gitu.”
“Bisa. Hari ini pulang sekolah juga bisa.”
“Bener?”
“Iya.”
“Di taman 400 meter ya.”
“Sip”
“Thank youuuu.”
“Hhmm” Sahutnya, bergumam.
“Ya ampun!” Seru Devanya, mengagetkan tiba-tiba.
“Ada apa?” Tanya Ran, kaget. Sampe-sampe ia hampir mencoret gambar yang sedang dibuatnya.
“Ketampanan Saka kenapa selalu bikin hati bergetar sih?”
“Hah?!!!” Ran langsung melongo heran begitu mendengar ucapan Devanya.
“Lihat tuh Ran. Jelas nyata, kalo Saka emang the real prince di sekolah kita.”
“Maksudnya?” Tanya Ran, polos.
“Lo kan jago Bahasa inggris. Masa ngga tau sih arti dari the real prince?” Tanyanya, lelah.
“Ya, gue tau kalo yang itu. Tapi predikat yang lo sematin ke anak baru itu, sama sekali ngga worth it.”
Devanya menghela napasnya, menggeleng kepalanya dan mengipasi lehernya.
“Ini nih kalo udah kelewat…nyaris death inside sama yang namanya CO-WOK.” Kata Devanya, gemas pada kelolaan Ran.
Tapi bukannya merubah mimik wajahnya agar terlihat smart tentang cowok, Ran malah semakin menunjukkan kepolosannya pada teman sebangkunya itu.
“Cowok setampan Saka masih lo bilang ngga worth it dikasih predikat the real prince di sekolah kita?” Tanya Devanya, menahan sabar.
Dan jawaban Ran…mengangguk.
“W-O-W. WOOOWWW!!!” Devanya tidak habis pikir dengan mata serta hati teman dekatnya itu.
“Gue bilangnya cuma di sekolah kita lho, bukan di dunia ini.” Kata Devanya, lebih memperjelas maksud dari kalimatnya itu.
“Iya. Terus?”
“Terus, menurut lo yang layak dapet predikat the real prince di sekolah kita ini, siapa?”
Ran berpikir sejenak. Ia mencoba mengingat wajah setiap cowok yang ia lihat sepanjang dari pintu gerbang sekolah sampai kelas tadi pagi.
Dan jawaban Ran…
“Ngga ada.” Menjawab dengan wajah datar dan polos tanpa dosa.
“AHHHH.” Devanya stuck. Ia kesal dan ia capek ketika membahas tentang cowok pada Ran.
Karena nyatanya Ran memang tidak peduli.
“Mau kemana?” Tanya Devanya, saat melihat Ran mendorong kursinya ke belakang.
“Toilet.”
“Tapi 10 menit lagi kan bel. Pelajaran pertama kimia lho.” Kata Devanya, mengingatkan.
“Iya, gue tau. Gue kebelet.”
“Ohh.”
***
Ran menutup rapat-rapat mulutnya, agar tak ada satu orang pun yang bisa mendengar suara tangisannya.
Saat ini hatinya kembali bersedih. Kesedihan yang tak pernah bisa ia tahan, bahkan tak bisa ia ungkapkan. Kesedihannya yang hanya bisa ia pendam dalam hatinya. Karena berteriak sekencang apapun hanya akan percuma baginya, tak akan ada satu orang pun yang akan mengerti hatinya.
Entah harus berapa lama lagi ia bisa mengikhlaskan kesedihannya ini, dan menerima kenyataan tentang kehidupannya yang menurutnya sangat menyedihkan.
Seharusnya di usianya yang baru 16 tahun, Ran bisa merasakan masa SMA yang indah. Masa dimana hampir semua orang di dunia ini mengatakan masa paling indah. Bisa merasakan yang namanya kebebasan. Itulah yang sering ia dengar dari teman-temannya. Tapi
“Ngga untuk aku yang akan kehilangan masa indah masa SMA ku.”
Dan itulah yang selalu Ran pikirkan sejak tiga bulan yang lalu.
KRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINGNGGG
Suara bel masuk sekolah berbunyi.
Ran segera menghapus air matanya, dan bergegas kembali ke kelas.
Tapi langkah kakinya terhenti sejenak saat melewati cermin besar di toilet.
Ran mendekatkan wajahnya ke cermin untuk memastikan kalau wajahnya tak terlihat sembab. Ia juga merapihkan seragamnya yang agak berantakan. Tapi begitu melihat baju seragamnya, ia langsung kembali teringat dengan kejadian tadi pagi.
“Kejam.” Gerutunya, sangat kesal, seraya berjalan keluar dari toilet.
Tepat satu langkah kakinya keluar dari toilet, seseorang langsung memanggilnya dengan panggilan
“Himawari”
Dengan cepat Ran langsung menoleh ke samping ke arah suara yang ada di depan toilet perempuan.
Suara yang masih asing di telinganya itu, tapi panggilan namanya membuatnya tak asing sama sekali.
“Ada apa?” Tanya Ran, tak ramah.
“Lo abis nangis ya?” Tanya Saka balik.
“Bukan urusan lo.”
Saka pun melepas sandaran badannya dari dinding.
Tiba-tiba saja...dengan sengaja Saka mendekatkan wajahnya ke wajah Ran yang terlihat sangat acuh padanya.
“Beneran abis nangis.” Kata Saka, sangat yakin dengan tebakannya.
“Kalo gue abis nangis…juga bukan urusan lo.” Sahut Ran, sinis.
“Urusan gue donk. Kan sekarang kita teman sekelas.”
“Hah?!” Ran langsung merengutkan dahinya. Ia sama sekali tak suka dengan sikap sok akrab Saka yang menurutnya hanya cari perhatian saja.
“Terserah lo mau ngomong apa. Tapi tolong jangan ganggu gue lagi.” Kata Ran, mempertegas.
Ran pun pergi meninggalkan Saka. Ia segera berlari ke kelasnya, mengingat kalo jam pertama hari ini adalah pelajaran kimia.
Saka menggeleng sambil tersenyum sinis melihat sikap Ran padanya.
Ia pun segera kembali ke kelas, mengikuti Ran dari belakang.
Tapi…mendadak langkah kaki Ran perlahan berhenti begitu melihat pintu kelasnya sudah tertutup rapat.
08:00
Masih tersisa waktu 40 menit lagi sampai hukuman Ran dan Saka selesai.
Kali ini Ran harus menahan dalam-dalam kesabarannya pada teman barunya.
Teriknya matahari yang mulai muncul dan menyinari wajahnya, membuat Ran merasa kepanasan dan silau. Keringat pun mulai keluar dari kedua sisi wajah Ran. Ia tak terlalu menyukai sinar matahari pagi, meskipun sangat menyehatkan.
Saka yang berdiri disampingnya pun merasa tak tega melihat Ran terlihat kepanasan. Dengan spontan tangan kirinya langsung menutupi kepala Ran, dan respon Ran
“Ckk” Malah berkecap dengan lirikan sinis.
Heran. Saka benar-benar heran dengan cewek satu ini.
Saka menggeleng melihat sikap Ran. Perhatiannya terus di tolak oleh Ran. Baru kali ini ada cewek yang terus-menerus menolak dirinya. Bahkan perhatiannya seromantis ini pun dianggap tidak berarti.
“Nanti pulang sekolah gue anterin sampe rumah.” Kata Saka, mencoba menebus kesalahannya.
“Ngga mau.”
“HAH!?” Lagi. Ran menolaknya.
“Gue ngga suka naik sepeda.”
“Kok lo tau kalo gue naik sepeda?”
“Kan gue punya mata.”
“Ohh gue baru inget. Lo pasti lebih suka naik mobil kan?”
“Iya.” Jawabnya, cepat.
“Kalo gitu lo harus coba naik sepeda. Karena naik sepeda itu lebih banyak udara segar daripada naik mobil. Kalo udara mobil, udaranya buatan.”
Mendengar ocehan yang tak ada berhentinya dari mulut Saka, membuat Ran jadi hilang sabar.
Wajahnya yang sudah bersiap dengan tatapan sinisnya pun segera meluncur menatap Saka disampingnya.
“Bisa diem ngga?”
“Bisa.”
Saka pun langsung diam begitu melihat tatapan menakutkan dari seorang Ran.
Tapi tak sampai 10 menit, Saka sudah kembali bicara. Walau baru mengatakan satu kata “Tapi…”
“Arrrrghhhhh” Ran langsung berteriak.
Saka kaget sekaligus terkejut melihatnya. Ia tak menyangka kalau ucapannya dari tadi sangat mengganggu Ran.
“Gue…ngga akan ngomong lagi. Janji.” Kata Saka, dengan wajah ketakutan.
Namun ternyata, janji Saka tidak berpengaruh sama sekali. Karena ternyata teriakkan Ran adalah awal dari tangisannya.
Tentunya Saka bingung melihat Ran yang tiba-tiba saja menangis.
“Maaf, maafin gue kalo ucapan gue buat lo marah. Tapi gue ngga bermaksud buat lo nangis.” Kata Saka, merasa bersalah.
Ran tak menyahuti ucapan Saka. Ia sama sekali tidak peduli dengan cowok yang ada disebelahnya. Karena yang Ran butuhkan saat ini hanyalah ketenangan.
Sementara Ran masih terus menangis sembari tetap hormat pada bendera merah putih di depannya. Saka pun tak bisa melepas pandangan matanya dari wajah Ran sambil tetap memayungi kepala Ran dengan tangannya.
***
16:00 Perpustakaan Sekolah
Seharusnya sepulang sekolah hari ini Ran pergi ke taman 400 meter untuk melukis Devanya dan Kenan. Tapi karena tadi pagi ia telat masuk di mata pelajaran kimia, akhirnya ia dan Saka harus mengikuti ulangan harian susulan sepulang sekolah.
Hampir satu jam melototin 20 soal kimia. Tapi tidak ada satu soal pun yang bisa Ran kerjakan. Ya, Ran memang paling lemah di pelajaran kimia.
Tapi saat matanya melirik ke samping ke arah Saka yang duduk disampingnya, Ran langsung menghela napasnya. Ia merasa minder melihat Saka yang sangat mudahnya mengerjakan soal-soal kimia hanya dalam waktu singkat. Tak ada jeda sedikit pun dari tangan Saka untuk menghentikan gerakan tangannya saat menjawab soal-soal sejak tadi.
Ran give up. Diam-diam ia mengambil hp dari saku seragamnya. Ia mencoba memfoto soal-soal ulangan kimia dan akan di kirim ke Ale. Tapi Saka dengan cepat langsung mencegahnya.
“Jangan. Ini.” Saka malah memberikan semua jawaban ulangannya pada Ran.
“Cepat salin.”
Meskipun merasa ragu karena takut ketahuan Bu Angel, karena jawabannya dan Saka yang akan sama persis. Tapi akhirnya Ran menerima tawaran Saka, dan ia pun segera menyalin jawaban Saka di kertas ulangannya.
16:45
Setelah memberikan lembar jawabannya pada Bu Angel di ruang guru. Ran dan Saka segera pulang. Mereka berjalan bersama di koridor sekolah.
“Ngga mau ngucapin terima kasih?” Tanya Saka.
“Mau. Terima kasih.” Kata Ran, menjawab, sambil tersenyum paksa.
Melihat cara Ran mengucapkan terima kasih padanya, membuat Saka sedikit kesal. Ia mengira Ran sudah berubah jadi lebih ramah padanya, karena sudah diberikan jawaban ulangan harian kimia. Tapi ternyata perkiraannya salah. Ran malah hanya diam saja selama berjalan dengannya. Bahkan terlihat tak ada kecanggungan atau rasa malu-malu yang terlihat dari sikap dan raut wajah Ran.
Ran menghentikan langkahnya sejenak hanya untuk mengatakan
“Tiga meter. Lo jaga jarak sama gue. Lo atau gue yang ada di belakang?”
“Hah?!” Saka bingung dengan ucapan Ran.
Melihat slow respon dari Saka, Ran pun tak ingin bertanya lagi. Ia segera melakukan jarak 3 meter untuk berjalan lebih dulu di depan Saka.
Sulit dipercaya oleh Saka bisa memahami Ran, cewek yang unik sekaligus menyebalkan untuknya. Karena biasanya, setiap cewe yang berjalan di sampingnya akan merasa canggung dan malu berada didekatnya.
Ketampanan Saka yang maksimal akan membuat para cewek merasa bahagia bisa berjalan berdampingan dengannya. Tapi Ran terlihat biasa saja, bahkan ia malah membuat jarak 3 meter agar tak berdekatan dengannya.
“Emangnya gue parasite, sampe lo harus jaga jarak 3 meter sama gue.” Kata Saka, setengah berteriak. Ia merasa tidak terima dengan aturan yang Ran buat.
Tapi Ran tak menggubris ucapan Saka. Ia tetap berjalan dengan santai.
Berkali-kali Saka menggeleng tak abis pikir dengan cewek di depannya, berkali-kali juga ia merasa penasaran dengan Ran.
“Biar gue anterin lo pulang.” Kata Saka, menawarkannya kembali.
“Kan tadi gue udah bilang ngga mau.” Jawabnya, datar. Tanpa menoleh Saka.
“Kenapa?”
“Ngga ada alasan.”
“Tapi gue mau anterin lo.”
“Maksa banget sih.”
“Gue ngga maksa, gue cuma mau tebus kesalahan gue aja biar ngga ada hutang sama lo.”
“Ngga perlu. Anggap aja gue lagi sial. Lebih tepatnya sial karena lo.”
Mendengar ucapan Ran yang tajam dan ketus justru membuat Saka malah tertawa.
“Hahahaaa kok ada ya cewek kayak lo.”
“Baru kali ini ada cewek yang benar-benar ngga mau ngeliat muka gue. Gue jadi penasaran, apa gue benar-benar ngga menarik buat lo?”
Dengan cepat Ran kembali menjawab pertanyaan Saka. “Menarik.”
“Hah!?”
“Tapi cuma sedikit.” Tambahnya, sembari menunjukkan jumlah ketertarikannya pada Saka dengan jari tangannya.
Dengan gaya nakalnya dan wajahnya yang menggoda, Saka memiringkan kepalanya dan menatap Ran. Lalu, ia lontarkan satu pertanyaan iseng yang ada di pikirannya saat ini pada cewe berwajah baby face itu.
“Kalo gue ngajakin lo pacaran, lo mau ngga?”
“Ngga.” Tolak Ran, menjawab dengan sangat cepat. Dengan ekspresi yang tak berubah, datar.
“Kenapa?”
Sambil nyengir, Ran menjawab “Ngga apa-apa.”
Jawaban yang lagi-lagi tanpa alasan.
“Pasti lo berpikir kalo ajakan pacaran gue ini cuma iseng aja.”
“Ngga juga sih.” Sahutnya, santai.
Saka tersenyum. Tampang bad boy Saka semakin menunjukkan kalau Saka adalah cowok yang sangat playboy.
“Sejujurnya, gue emang ngga berminat pacaran sama lo sekalipun ajakan pacaran lo itu serius.”
“Alasannya?”
“Ngga ada.”
“Harus ada. Biar gue tau.”
“Kan tadi gue udah bilang kalo gue ngga berminat pacaran sama lo. Karena…”
Ran langsung menyadari saat mulutnya hampir keceplosan tentang statusnya sekarang. Beruntung ia bisa cepat menahannya.
“Karena…apa?” Saka sangat ingin tahu.
Ran jadi bingung harus memberi alasan apa, agar bisa terdengar masuk akal oleh Saka.
“Karena lo ngga manis.”
Alasan itulah yang akhirnya keluar dari mulut Ran.
“Hah?!”
Tentu Saka tidak percaya. Baginya, jawaban Ran sama sekali tidak masuk akal. Karena hampir semua orang yang melihat dirinya pasti akan mengatakan kalau dirinya manis, tampan, dan cool.
“Oke. Terserah apapun alasan lo itu. Tapi, gue serius gue mau kita pacaran beneran. Lo mau ngga jadi pacar gue?” Tanya Saka, yang kali ini melontarkan pertanyaan itu dengan serius.
Seketika Ran merasa seperti mendapat pertanyaan dari seseorang yang memang ia inginkan selama ini. Siapa pun cowok itu, asalkan bisa membuatnya jadi penasaran, Ran ingin mencobanya. Ia ingin merasakan bagaimana rasanya pacaran.
Untuk beberapa saat Ran pun terdiam. Ia memutar kakinya, lalu ia angkat wajahnya dan menatap wajah Saka dengan wajah sendunya.
Melihat cara Ran menatapnya, membuat jantung Saka jadi berdebar.
“Berapa lama kita bakalan pacaran?” Tanya Ran.
Pertanyaan apa itu? Gumam Saka. Ia sangat kaget dengan pertanyaan Ran.
“Gue mau pacaran sama lo, tapi hanya satu bulan.” Kata Ran, memperjelas.
Padahal niat Saka hanya iseng saja mengajak Ran pacaran dengannya. Tapi ia malah terjebak sendiri dengan keisengannya dalam perasaan yang langsung menghampirinya.
“Kenapa harus satu bulan?”
“Karena itu yang bisa gue janjiin.”
“Ngga bisa lebih?”
“Ngga.”
Tanpa berpikir apapun, Saka pun langsung mengiyakan keinginan Ran itu.
“Oke.”
“Kalo gitu ada dua syarat yang harus lo setujui sebelum lo benar-benar pastiin untuk jadiin gue pacar sebulan lo.”
“Hah? Syarat? Syarat apa?”
“Syarat pacaran.”
“Kenapa harus ada syarat?”
“Biar lo ngga macem-macem sama gue.”
Saka tak percaya mendengarnya. Bisa-bisanya Ran mengajukan syarat padanya. Padahal jelas kalo pacaran mereka hanya satu bulan, dan hanya main-main saja.
Namun melihat ekspresi wajah Ran yang seperti tak mau tahu dengan protesnya apapun itu, terpaksa Saka menanyakan syarat yang Ran inginkan padanya.
“Apa syaratnya?”
“Syarat yang pertama, ngga ada kontak fisik di antara kita.”
“Maksudnya?”
“Ngga ada pelukan, ciuman, termasuk pegangan tangan.”
“HAH?!!” Saka langsung tertawa heran mendengar syarat pertama, baru syarat pertama.
Himawari Ran memang hebat. Itulah yang Saka pikirkan tentang gadis di depannya saat ini.
“Syarat yang kedua. Jangan ada perasaan suka apalagi cinta di antara kita. Kalo sampe ada, jangan merugikan salah satu di antara kita.”
“WOW!!” Saka semakin tercangah dengan ucapan Ran.
“Syarat yang dahsyat. Bahkan lebih dahsyat dari ujian masuk Universitas Negeri.”
“Itu sih terserah lo. Ketika gue udah bersedia untuk terima ajakan lo berpacaran, tapi kalo dua syarat yang gue ajuin ini sekiranya berat buat lo terima. We end. Hubungan pacaran kita berarti hanya 10 menit.”
“Sepuluh menit?”
“Iya. Kan 10 menit yang lalu lo ngajakin gue pacaran. Tapi kalo lo tolak syarat dari gue, berarti hubungan kita berakhir kan?”
Saka menghela napasnya. Ia merasa kesulitan bicara dengan Ran. Berulangkali Ran membuatnya skak mat. Tapi Ran juga membuatnya sangat penasaran, bahkan dari awal perkenalannya dengan gadis berwajah lembut itu.
Saka pun memikirkannya sejenak untuk dua syarat yang Ran ajukan.
“Tapi kalo pacaran ngga kontak fisik. Itu artinya pertemanan, bukan pacaran.”
“Terserah.” Sahut Ran, tetap tak peduli dengan opini Saka.
Melihat keacuhan Ran, Saka semakin kesulitan bicara.
“Oke. Syarat yang pertama ngga masalah, gue terima. Tapi…soal syarat kedua…itu kan soal perasaan. Kalo tiba-tiba gue suka sama lo?”
“Ngga akan mungkin lo suka sama gue. Standar lo pasti di atas rata-rata.” Kata Ran, merasa mustahil.
Saka merengutkan dahinya. Ucapan Ran terdengar seperti kalau dirinya tak akan lebih dari sekedar teman untuk Saka.
“Ngga akan sampe sebulan lo bertahan pacaran sama gue. Baru satu minggu juga lo bakalan minta hubungan ini selesai.” Kata Ran, meramalkan.
Saka mulai paham maksud ucapan Ran.
“Pasti karena sifat lo yang bakalan bikin gue kesal setengah mati.”
“Exactly.”
“Oooke kalo gitu. Gue terima dua syarat dari lo itu. Tapi tanggung sendiri ya kalo lo jatuh cinta sama gue.” Kata Saka, menggoda.
Itu mungkin bisa terjadi, tapi hanya akan menjadi sia-sia saja.
“Iya. Tapi…our relationship is secret.” Pinta Ran, menegaskan.
“Of course.”
Ran kembali menyodorkan jari kelingkingnya ke arah Saka.
“Untuk apa ini?”
“Tanda jadian.” Jawab Ran, tersenyum.
Saka pun terpaksa menempelkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Ran, sambil membuang mukanya ke samping dan tersenyum sinis.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!