PASCA CERAI
"Sekarang hanya ada dua pilihan, mana yang kamu pilih, ibu atau istri dan bayi buta itu?" tanya Ibu mertuaku ketika datang ke rumah untuk menjenguk bayi yang telah aku lahirkan sejak dua minggu yang lalu.
Namun, dokter memastikan bahwa bayi kami terkena ROP (Retina Of Prematurity) yang terancam tidak bisa melihat, masih ada harapan anak kami bisa melihat melalui beberapa tindakan operasi.
Tapi tindakan itu tidak bisa memastikan penglihatan akan seperti anak pada umumnya, bayi kami baru saja diperbolehkan pulang dari rumah sakit setelah kondisinya dinyatakan stabil.
"Denis mohon jangan memberikan pilihan sulit untukku seperti itu," jawab Mas Denis
Aku hanya bisa diam tanpa berkata sepatah kata pun, ucapan ibu mertuaku mengalahkan rasa sakit pasca melahirkan SC yang kujalani, bahkan meremukkan hati ini berkeping-keping, sungguh kondisi anakku saat ini telah membuat kesedihan menyelimuti hati.
"Ibu tidak mau menanggung malu karena kamu memiliki anak yang buta."
Kata "Buta" yang ditujukan untuk anak yang baru aku lahirkan seketika membuat hati ini memberontak tidak terima.
Bagaimana pun keadaan anak yang aku lahirkan, dia tetaplah darah dagingku, dan juga anak suamiku serta cucu dari ibu mertuaku, tega sekali beliau melabelkan "buta" untuk bayiku yang tidak berdosa itu.
"Bagaimana pun keadaannya dia tetaplah anakku, darah daging Mas Denis yang juga cucu ibu, teganya Ibu berkata itu!" Luruh sudah air mata ini tak terbendung lagi.
"Baiklah jika Denis tidak bisa memberikan keputusan, ibu akan memberikan pilihan untukmu ...." Ia memicingkan mata dan menatapku lekat.
"Bu, tolong beri kami waktu." Suamiku selalu seperti ini, sangat lemah jika dihadapkan pada ibunya.
"Tidak Denis, istrimu harus memilih kali ini, meninggalkan bayi itu agar tetap bersama kita atau tetap bersamanya tanpa kita."
Hati ini mencelos saat mendengar ucapan Ibu mertuaku, tega sekali membuang anak yang telah menghuni rahimku.
Dengan perjuangan mengalahkan rasa sakit untuk bisa melahirkan ia ke dunia, mempertaruhkan hidup dan matiku saat proses SC dilakukan agar dapat menghadirkan ia diantara kami.
Kami menunggu kehadiran bayi mungil itu selama tiga tahun di pernikahan kami, sememalukan itukah keadaan anakku untuknya dan keluarganya?
Saat kehamilan Aku terkena virus TORCH. Namun, telat terdeteksi hingga menyebabkan kelahiran prematur dan juga kelainan pada bayi yang kulahirkan, virus itu menyerang organ penglihatan pada janin yang kukandung, bukan hanya penglihatan yang terganggu.
Jantung bayi mungilku mengalami kelainan, terdapat lubang pada jantung yang mengharuskan ia menjalani operasi agar lubang pada jantungnya bisa menutup sempurna.
"Walaupun seisi dunia ini tidak mengakuinya, membuang bahkan menghinanya, bayiku tetaplah darah dagingku, makhluk sempurna yang Allah ciptakan, di balik kekurangannya Amanda yakin ia akan memiliki kelebihan dan bisa dibanggakan, tidak sehina yang Ibu bahkan orang lain pikirkan." Kuangkat wajah yang sedari tadi hanya bisa menunduk.
Melihat ekspresi dari suami dan ibu mertuaku atas yang kuucapkan. Mas Denis membulatkan kedua matanya, sedangkan ibu menatapku dengan tatapan sinis dan meremehkan.
"Jangan memberikan keputusan apapun Amanda!!!" ucap tegas Mas Denis.
Selama ini Aku diam dan menerima semua perlakuan Ibu karena berusaha menghargainya.
Namun, setelah beliau menghina bahkan ingin memisahkanku dengan darah dagingku karena kekurangan yang ia miliki, membuat rasa hormat ini berubah menjadi rasa sakit serta kekecewaan terdalam untuknya.
Kasih sayang bahkan rasa hormatku untuknya entah menguap kemana.
"Bayi kita tidak berdosa Mas, bahkan sangat suci, Aku tidak akan mengorbankan anakku hanya untuk tetap bersamamu dan keluargamu yang menjunjung tinggi kesempurnaan dan kehormatan," ucapku tegas.
Iya ... inilah keputusan yang telah di ambil, tidak perlu berpikir lama untuk mengambil keputusan, tujuan hidupku saat ini adalah membahagiakan anakku yang tetap lah sempurna.
Terdengar suara tangisan, kuhapus air mata yang mengalir di pipi, kudekati ranjang bayi yang saat ini ditempati malaikat kecilku yang tengah menangis.
Mungkin ia merasakan kesedihan mamanya saat ini, kuangkat dari ranjang tempat tidurnya, kuusap wajahnya dan mencium lembut pipinya penuh kasih sayang.
"Tenang sayang, mama baik-baik saja, jangan khawatir mama akan terus bersamamu, kamu sumber kebahagiaan mama saat ini, kita akan berjuang bersama apa pun yang akan kita hadapi."
Aku memeluknya dalam gendongan, mendekat kearah Ibu dan juga Mas Denis yang tengah duduk saat ini untuk melanjutkan pembicaraan kami.
"Amanda ...." Mas Denis memanggil namaku dengan suara bergetar.
Aku hanya bisa menatapnya lekat melihat ekspresi tak terbaca yang ditunjukkan oleh Mas Denis.
'Ya Allah apa yang terjadi dengan suamiku?' tanyaku dalam hati.
Aku mendekap erat bayi mungil yang berada digendongan, untuk memberi semangat dan kekuatan pada diriku sendiri, menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya dalam prahara rumah tangga kami.
Bayi mungil ini akan senantiasa berada dalam pelukanku sampai kapan pun, bukankah kasih Ibu sepanjang masa?
Hanya kematian yang bisa memisahkan kami, bukan karena Retinopathy of Prematurity yang ia derita, kelainan jantung atau penyakit apa pun, bagaimana pun kondisinya bagiku ia tetap anak yang sempurna untukku yang diciptakan oleh-Nya.
"Lepaskanlah anak itu untuk dititipkan di panti asuhan, semua kebutuhannya akan tetap kita berikan. Namun, ia tidak bisa bersama kita dalam satu rumah, anggap kita tidak pernah memilikinya." Suara bergetar diiringi sedikit isak tangis suamiku terdengar.
Perkataan Mas Denis, berhasil memporak-porandakan hati sebagai seorang Ibu yang telah berjuang mengandung dan melahirkan.
Bagai tersayat sembilu, sampai hatinya suamiku tidak mengakui bayi ini adalah anak kami, anak yang dinantikan kehadirannya.
Perjuangan saat melahirkan yang prosesnya harus di bayar dengan darah dan rasa sakit, mempertaruhkan hidup dan mati seorang wanita.
Semakin kudekap erat bayi ini, berharap ia tidak merasakan sedih seperti diriku saat ini, ketika mendengar ayah kandungnya meminta membuangnya dan menganggap dirinya tidak pernah hadir diantara kami.
"Tega kamu, Mas. Apakah kalian tidak mempunyai hati nurani, hah?! Bahkan rasa kasihan saja pada bayi yang tidak berdosa ini, dia anak kita Mas!" Suaraku naik satu oktaf pada suami dan juga ibu mertuaku diiringi deraian air mata yang sudah tak dapat di bendung.
Menatap sinis kedua orang yang berada dihadapanku saat ini dengan amarah, sedih dan kekecewaan mendalam, hancur sudah hati ini setelah mendengar ucapan suamiku, aku kira dia akan mepertahankan kami.
Harapanku ia akan melindungi serta menyayangi kami dengan tulus apa pun kondisi anak kami, tapi nyatanya harapan tak sesuai dengan kenyataan.
"Ini demi keutuhan rumah tangga kita Amanda, Aku mencintaimu dan menginginkan dirimu tetap berada disisiku sebagai seorang istri," ucap Mas Denis sebagai alibi yang melatar belakangi keputusannya.
"Dengan menuruti keinginan ibumu dan mengorbankan darah daging kita, Mas?! Tetap menjadikan aku seorang istri sekaligus seorang ibu yang jahat dengan membuang darah dagingnya sendiri? Apa itu yang kamu inginkan? Apa itu yang dinamakan cinta?" ucapku penuh penekanan.
"Pelankan suaramu dan tenangkan dirimu Amanda!!!" seru Ibu mertuaku.
"Denis sudah memberikan keputusan, sekarang apa keputusanmu? Ibu ingin mendengar keputusanmu sekarang!" perintahnya tanpa memedulikan perasaanku.
Tidak kah mereka melihat kondisi anakku? bahkan saat ini ia ikut menangis dalam dekapan, sepertinya anakku mengerti kesedihan yang aku rasakan.
Kuberikan ASI untuknya sambil tetap memangku tubuhnya dalam pangkuanku, serta dalam buaian kasih sayang utuh untuknya.
"Cukup mama yang menangis, Nak. Tidak akan mama biarkan kamu menangis, kita akan selalu bersama, mama janji." Kubisikkan lirih ditelinga anakku yang sudah terlihat tenang sambil mengelus lembut wajahnya yang masih terlihat merah.
"Tidak ada mantan anak, Bu. Jika kalian tetap memaksa, aku meninggalkan anak ini hanya untuk tetap bersama kalian, maka aku akan merelakan kalian pergi dalam kehidupanku sebagai mantan suami dan mantan Ibu mertua." Kuucapkan dengan tegas dalam satu tarikan nafas.
Tidak perlu mempertimbangkan apa pun, aku sangat yakin dengan pilihan ini, anakku akan menemaniku menggapai naungan surga-Nya disetiap perjuangan menjaga, mendidik serta mengurusnya.
Harapanku kelak anak ini bisa menjadi anak yang berguna dengan apa pun keterbatasan yang akan ia miliki, karena aku yakin ia akan menjadi seseorang yang hebat kelak, yang bisa membahagiakan aku di dunia maupun akhirat.
"Baguslah jika itu keputusanmu, lihatlah Denis inilah akibatnya kamu menikah bukan dari wanita yang ibu pilihkan, berakhir seperti inilah, kamu memiliki anak yang cacat dan ujungnya kamu tetap akan bercerai dengan wanita pilihanmu ini."
"CUKUP! Sudah cukup ibu mengucapkan kalimat penghinaan, tapi aku mohon jangan pernah menyebut bayi ini dengan sebutan anak yang cacat, karena bagaimana pun ia anak yang sempurna dimataku, Bu!"
"Terserah kamu ingin berbicara apa, besok Denis akan meninggalkan rumah ini dan ibu yang akan mengurus berkas perceraian kalian," ucapnya tegas. "Denis, besok ibu tunggu di rumah, ibu permisi karena ada urusan yang harus diselesaikan." lanjutnya.
Ibu mertuaku pun keluar dari rumah yang kami tempati, melewati aku dan anakku begitu saja tanpa menoleh sedikit pun, bahkan menyentuh bayi yang kulahirkan pun tidak ia lakukan.
Kami seperti sampah yang begitu menjijikkan dimatanya. Kukira dengan kehadiran anakku akan meluluhkan hati ibu mertuaku merubah sikap buruknya selama ini padaku.
Namun, keadaan malah sebaliknya, beliau lebih leluasa menentukan akhir dari sebuah pernikahan yang telah aku jalani selama tiga tahun bersama suamiku.
Sepeninggal ibu mertuaku, Mas Denis mendekat, tanpa di duga ia berlutut di hadapanku.
"Maaf, maaf mas tidak bisa mempertahankan pernikahan kita."
"Lihatlah anak kita, Mas, apa tidak ada secuil pun rasa sayang padanya? Dia darah dagingmu sendiri."
Mas Denis membelai wajah Danish anak kami dengan lembut, mengelus puncak kepalanya, dan mencium pipinya.
"Seandainya anak kita sempurna, aku sangat menyayanginya." Ia pun merubah posisi duduk disebelahku. "tapi keluargaku menuntut kesempurnaan, aku tidak bisa mengabaikan itu, dan aku pun menginginkan anak yang sempurna agar tidak menjadi bahan cemoohan orang lain, aku tidak siap mendengar hinaan orang pada kita tentang kondisi anak kita jika mereka tahu."
"Menyayangi itu menerima apa pun kondisi seseorang yang kita sayangi, tapi yang kamu lakukan sebaliknya. Kalian benar-benar telah mati hati nuraninya, darah daging sendiri tidak diakui hanya karena tidak sempurna."
"Itulah kenyataannya Amanda mau atau pun tidak kamu harus menerima semuanya, aku tidak bisa berada disisimu jika kamu tetap mempertahankan anak ini, percayalah melepaskanmu dan mengakhiri rumah tangga kita berat untukku bukan hanya dirimu."
"Aku tidak akan merubah keputusanku Mas, apa pun alasannya, tapi untuk terakhir kalinya aku memintamu sehari saja menjadi seorang papa yang sesungguhnya untuk anak kita, temani dan rawat anak kita berdua layaknya orang tua lainnya hari ini sampai esok pagi, setidaknya Danish pernah merasakan kasih sayang dari orangtuanya secara utuh walaupun hanya sehari, setelahnya Aku akan melepasmu untuk meninggalkan kami." Pintaku pada Mas Denis.
Aku benar-benar mengemis rasa sayang darinya untuk Danish, bukan rasa sayang tapi rasa kasihan karena jika ia sayang pada anaknya tidak mungkin ia akan meninggalkan kami.
Permintaanku bukan tanpa alasan, esok sesuai rencana Danish akan melakukan tindakan operasi laser pada matanya untuk memperbaiki syaraf retina atas ROP stage dua yang ia derita, aku ingin suamiku menemani perjuangan Danish melawan rasa sakit saat operasi demi kesembuhannya.
"Baik aku akan memenuhi permintaanmu, sini Danish biar aku gendong, kamu masaklah untuk makan kita siang ini, aku yang akan menjaga anak kita," ucapnya.
Kuserahkan bayi mungil yang berada dalam dekapan dengan tangan gemetar kepangkuan Mas Denis, karena ini pertama dan terakhir kalinya anakku mendapatkan sentuhan hangat seorang ayah.
'Maafkan mama, Nak. Hanya ini yang bisa mama lakukan untukmu.' Monologku dalam hati seraya menghapus air mata yang mulai menetes, rapuh itulah kata yang menggambarkan perasaanku saat ini.
Keesokan paginya, aku menyiapkan barang keperluan yang akan di bawa kerumah sakit guna melakukan operasi laser mata Danish.
Suamiku benar-benar menjalankan peran orangtua seperti permintaanku, menguatkan hati, berusaha terlihat bahagia meredam rasa sedih yang kurasakan.
Mas Denis ikut memandikan Danish bersamaku, senyum tersungging di bibirnya melihatku dengan pelan membersihkan bagian demi bagian tubuh Danish, ia ikut membantu memakai baju serta menggendong Danish setelah semuanya rapih, bahkan Danish tertidur digendongan papanya.
"Sepertinya ketampananku menurun padamu, Nak. Lihatlah saat tidur begitu menggemaskan dan tampan, papa tidak rela jika kamu tidur, ayo bangun temani papa."
Aku hanya bisa tersenyum tipis melihat Mas Denis berbicara pada bayi yang tengah tertidur pulas saat ini.
"Amanda ...." Aku hanya terdiam tanpa menjawab panggilannya.
"Aku tidak tahu apakah sanggup tanpamu dan juga anak kita setelah ini, sehari bersama Danish terasa hangat dan menyenangkan di sudut terdalam hatiku tapi keadaan yang memaksa, Ibu menjadi alasan bersikap seperti ini, aku tidak ingin melihat kamu selalu mendapat ucapan tajam bahkan hinaan dari ibuku jika kita tetap bersama dengan anak kita. Namun, apakah kita akan bahagia tanpa satu sama lain?" tanyanya dengan penuh keraguan.
Aku tetap diam tanpa menjawab sembari membereskan kamar yang terlihat berantakan.
"Pernikahan yang kita jalani penuh dengan perjuangan, dan sekarang akan berakhir," ucap Mas Denis.
Ia menaruh Danish di ranjang lalu mendekat kearahku, ia memeluk erat tubuh ini dan mencium seluruh wajahku.
Hanya diam yang kulakukan tanpa membalas pelukan ataupun tersenyum ketika ia mencium wajah ini, rasanya hambar dan malah terasa nyeri dihatiku mendapatkan perlakuan seperti itu dari lelaki yang masih sah menjadi suamiku.
Danish menangis kencang, kumelangkah mundur, menjauh darinya karena saat ini posisi kami sangat dekat.
Aku menghampiri dan menggendong anakku hingga terdiam dari tangisnya dan tenang berada digendonganku.
Mas Denis mendekat kearah kami, ia mengambil ponselnya dan mengabadikan foto kami bertiga layaknya keluarga utuh dan harmonis, kusunggingkan senyum sambil tetap menggendong Danish, suamiku merangkul pundak dan mendekatkan tubuhnya sambil tersenyum.
Suara jepretan kamera terdengar, foto pun berhasil diabadikan.
"Ingatlah Amanda, kita pernah bahagia bersama, menjalin rumah tangga penuh cinta, meskipun akhir dari pernikahan yang kita jalani adalah perceraian."
Aku hanya menganggukkan kepala, lidah ini terasa kelu untuk berucap. Mas Denis membalikkan tubuh ini hingga kami berhadapan sambil tetap menggendong bayiku, lalu ia meletakkan tangannya pada puncak kepala, kurasakan tangan Mas Denis bergetar, tatapannya pun terlihat sendu.
"Hari ini aku menalakmu dan melepaskan status istri yang selama ini ada pada dirimu, pernikahan ini telah berakhir, sudah tidak ada keterikatan satu sama lain, sekarang dan selanjutnya kamu dibebaskan dari segala keterikatan pernikahan."
Menetes bulir demi bulir air mata membasahi pipi ini, sampai air mata ini mengenai wajah anakku, kupeluk erat bayi yang kugendong, lalu mengecup keningnya dan menghapus tetesan air mata itu.
'Mama akan sanggup kehilangan apa pun asal tidak kehilanganmu sayang, hari ini kamu pun menjadi saksi berpisahnya orangtuamu, meski tidak mengerti tapi kamu mendengar talak yang diucapkan papamu saat ini.' ucapku yang tertahan dalam hati.
Anakku sumber kekuatan menjalani kehidupan tanpa suami, bahkan detik ini aku menjadi orangtua tunggal untuk anakku.
Meskipun berat, aku pasti bisa melewatinya. Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya, kuyakin akan hal itu.
Anakku sayang anakku malang, bukan malang kehidupanmu, tapi malang untuk seseorang yang menyia-nyiakanmu, orang itu adalah papamu dan keluarganya.
~Bersambung
follow, rate dan subscribe ceritanya ya ....
Setelah Mas Denis mengucapkan talak terhadapku, ia pun terduduk lemah dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Aku mengerti jika keputusan ini pun berat untuknya tapi tidak akan pernah membenarkan keputusannya untuk mengakhiri pernikahan ini, terasa nyeri dalam hati, hancur semua rasa cintaku untuk suamiku, ahh ... Aku lupa saat ini statusku dengan Mas Denis hanyalah mantan suami.
Air mataku masih terus mengalir menganak sungai dengan diiringi isakan tangis, biarlah Aku tumpahkan semua sedih dan beban ini melalui air mata, setidaknya akan membuat hati ini merasa sedikit lega, biarlah Aku terlihat rapuh dan terpuruk karena memang nyatanya itu yang terjadi pada diriku.
"Aku akan mengirimkan uang untuk keperluan Danish setiap bulannya sebagai bukti tanggung jawabku sebagai orang tua.”
"Tidak perlu Mas, Aku hanya ingin rumah ini di jual dan hasil penjualan rumah ini kita bagi dua, jadi kamu tidak perlu menafkahi aku dan Danish setiap bulannya."
"Kenapa Amanda? Wajar jika aku menafkahi kalian." tanyanya menatap manik mataku.
"Aku akan keluar dari rumah ini secepatnya, setelah perceraian tidak ada keterikatan maupun hubungan komunikasi apa pun antara kita sekali pun itu mengenai Danish yang hadir di pernikahan kita."
Mendengar ucapanku, Mas Denis terlihat kecewa dan marah dengan wajah memerah dikulitnya yang putih.
"Apa maksudmu Amanda? Setelah bercerai mana mungkin aku sama sekali tidak mengingat kalian yang telah hadir dikehidupanku, hah?! Jelaskan maksudmu!" Hardik Mas Denis.
Baru kali ini aku melihat ia terlihat marah, selama ini ia sangat lembut, sabar dan pengertian, dalam permasalahan apa pun ia akan tetap terlihat tenang.
Aku tidak menjawab bahkan mengacuhkan dirinya, sengaja aku meminta sehari ia menjadi sosok Papa bagi Danish sebelum perceraian terjadi.
Aku ingin menyadarkan ia bahwa sesungguhnya ada rasa sayang untuk anak kami. Namun, ia tetap menuruti keinginan Ibu, biarlah itu adalah pilihan hidupnya, saat ini fokusku hanya menenangkan diri agar tangisanku terhenti supaya tidak menggangu tidur malaikat kecilku.
Mas Denis mengambil Danish dari dekapanku, dan meletakkannya di ranjang, setelahnya ia menghadapkan tubuhku, mendorong kasar tubuh ini tanpa diduga ia ******* bibir ini kasar hingga terasa sakit, refleks Aku mendorongnya dengan sisa tenaga yang kumiliki.
"Jangan lakukan itu padaku, kita sudah bukan suami istri! Jangan jadikan Aku wanita kotor yang bisa kamu sentuh, status kita sudah berubah, ingat itu!"
Tanpa menunggu jawaban, aku mendorong tubuhnya hingga luar pintu kamar, dan mengunci kamar, dengan isakan tangis, saat ini benar-benar rapuh dan terpuruk.
Bergegas meraih ponsel untuk memesan taksi online, aku sudah merapihkan dari semalam semua barang yang akan di bawa dari rumah ini.
Semalam aku sudah memikirkan apa saja yang akan dilakukan untuk melanjutkan hidupku bersama malaikat kecilku. Setelah semua rapih, aku bergegas menuruni tangga dengan menggendong Danish dan menarik koper. Mas Denis langsung berjalan cepat menghampiriku.
"Aku sudah menyiapkan mobil agar kita mendampingi Danish operasi ROP siang ini." Ia berucap tenang melupakan kejadian ketika ia mencuri ciuman pada mantan istri yang baru ditalaknya.
"Tidak perlu Mas, ini nomor telepon kuasa hukum yang aku tunjuk untuk menangani proses cerai juga hasil penjualan rumah kita nantinya, terimakasih atas semua kebaikan yang pernah Mas lakukan padaku selama kita menikah."
Mata ini mulai berkaca-kaca, menahan agar air mata tidak menerobos keluar, berusaha tegar saat ini, aku harus kuat demi anakku, meski harus mengumpulkan serpihan hati yang sudah hancur.
Demi anakku tidak akan ada penyesalan atas semua yang telah terjadi dan meyakini bahwa kesedihan akan berlalu dalam hidupku.
"Ijinkan aku mengantarmu dan anak kita."
"Sejak kamu memutuskan untuk menceraikan aku karena tidak mau menerima Danish yang sangat sempurna ini, sejak saat itu kamu tidak berhak menyebut Danish anakmu, dan jangan berharap Danish akan mengakuimu sebagai papanya."
Aku pun berlalu cepat menuju taksi yang sudah kupesan dan meninggalkannya yang masih terpaku berdiri, setelah di dalam mobil, kutengok kebelakang, Mas Denis mengejar mobilku yang tengah melaju berlalu dari rumah yang telah aku tempati selama menikah dengan Mas Denis. Kuusap air mata yang mulai berjatuhan di pipi, memberikan kecupan pipi pada malaikat kecilku.
"Kita akan bahagia sayang meski tanpa papamu, kita akan berjuang agar kamu tumbuh normal, sehat seperti anak lainnya, mama akan selalu disisimu."
Pecah sudah tangisku selama dalam perjalanan, meringankan rasa sesak di dada dan rasa sakit di hati ini sambil mendekap erat Danish putraku, sumber kekuatan dan kebahagiaanku saat ini.
Aku sudah sampai di tempat tujuan, berada dipanti asuhan yang dulu menjadi rumahku, mantan Ibu mertuaku enggan memberikan restu dan bersikap tidak baik karena aku anak yatim-piatu yang tidak mengetahui asal usul keluarga.
Aku ditemukan pemilik panti di depan pintu panti asuhan. Namun, nasib baik berpihak padaku setelah di adopsi oleh salah seorang donatur tetap panti asuhan ini dan membiayai sekolah maupun kuliahku di fakultas kedokteran.
Namun, kuliahku terhenti ketika memutuskan menikah dengan Mas Denis dan fokus mengurus rumah tangga.
"Sudahlah panti asuhan ini selalu terbuka untukmu Amanda," ucap Bu Maya.
"Bahkan rumah ummik pun terbuka untukmu sayang," sahut seseorang yang kukenal.
Kulihat ummik muncul di ambang pintu, tanpa pikir panjang langsung memeluknya menumpahkan seluruh air mata, Ummik adalah Ibu yang telah mengadopsi dari panti asuhan ini, aku menceritakan semua yang terjadi dalam pernikahanku pada Ummik dan Bu Maya.
"Berusahalah melupakan rasa sakitmu Amanda, karena Danish membutuhkanmu, kita harus melakukan tindakan medis agar Danish tumbuh optimal dan sehat nantinya, kamu harus kuat," ucap Bu Maya.
"Kembalilah kerumah ummik, Nak. Abi pasti senang memiliki cucu tampan seperti Danish dan Gita juga pasti bahagia memiliki keponakan yang akan meramaikan rumah kita dengan tangis dan tawanya," ucap Ummik seraya menimang Danish dalam gendongannya.
Setelah enam tahun Ummik mengadopsiku, beliau berhasil hamil dan melahirkan anak bernama Gita, kami dibesarkan bersama layaknya saudara kandung tanpa mendapatkan perlakuan berbeda.
"Kamu juga bisa menjadikan panti ini untuk dijadikan rumah keduamu Amanda." Mendengar penuturan Ummik dan Bu Maya membuat hati ini terasa tenang, menambah semangatku untuk tetap berdiri menata hidup dan kebahagiaan bersama Danish.
"Sebaiknya kita kerumah sakit sekarang untuk melakukan operasi ROP yang telah direncanakan, barang-barangmu biar nanti supir yang mengurusnya," ucap Ummik.
Aku pun menyetujuinya, sudah kuputuskan akan kembali ke rumah ummik, aku sangat beruntung di kelilingi orang-orang yang tulus menyayangi dan juga menerima keberadaan malaikat kecilku.
Setibanya dirumah sakit ....
"Kita akan melakukan tindakan operasi laser pada retina mata dua jam lagi, semoga operasi berjalan lancar, beruntung anak anda melakukan skrining Retinopathy Of Prematurity (ROP) dengan cepat sehingga sedari awal sudah terdeteksi dan bisa melakukan tindakan medis secepatnya, hingga memungkinkan terbebas dari kebutaan karena masih stadium dua yang masih bisa diperbaiki syaraf retina pada matanya." Dokter spesialis mata menjelaskan secara detail.
Penjelasan dokter membuat hati ini lega, karena kemungkinan ia bisa melihat lebih besar, aku optimis akan hal itu, anakku akan tumbuh sempurna nantinya meskipun membutuhkan proses pengobatan yang panjang.
"Lakukan yang terbaik untuk cucu saya, Dok. saya percayakan semua tindakan medis pada Dokter," ucap ummik.
Dalam proses menunggu operasi, aku terduduk di ruang tunggu sedangkan Ummik mengurus administrasi.
Kulihat sepasang suami istri mendorong kursi roda anaknya yang berumur kurang lebih enam tahun, mereka tampak bahagia dan menyayangi anak mereka dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki anaknya.
Sesekali sepasang suami istri itu bergantian menggendong dan menyuapkan makanan berupa susu pada selang yang menempel disaluran hidungnya yang kuketahui bernama selang NGT, selang yang tersambung ke saluran pencernaan guna memberikan nutrisi makanan pada anak berkebutuhan khusus, anak yang tetap sempurna yang telah diciptakan-Nya.
Mereka terlihat bahagia, membuat pikiranku menjadi berandai-andai, membayangkan itu adalah aku, Mas Denis serta malaikat kecilku, tak terasa air mata menetes membasahi pipi
"Seandainya Papa kandungmu menerima semua keadaan ini dan berjuang bersama kita, pasti saat ini kita bahagia," bisikku seraya menciumi pipi malaikat kecilku.
Ditengah rasa sedih, kurasakan seseorang duduk berlutut didepanku.
"Mas Denis...," ucapku kaget melihat ia berada di depanku saat ini.
"Aku datang Amanda, sesuai janjiku kemarin akan menemani anak kita menghadapi operasi yang akan ia jalani," ucap Mas Denis dengan tersenyum.
Bukan bahagia yang kurasakan tapi terasa semakin terpuruk dalam kesedihan, lebih baik aku dicaci agar dapat membencinya dengan setiap cacian yang diucapkan, daripada bersikap manis yang akan memunculkan sebuah harapan yang tidak akan tercapai.
"Hai anak tampan, sini papa gendong sayang, kamu sudah bobo belum? Habis mimi susu ya ...." Aku hanya diam terpaku menyaksikan interaksi Mas Denis mengajak bicara Danish sambil menimangnya.
"Amanda hari ini kamu kontrol kandungan post SC, 'kan?"
"Iya Mas."
"Biar Aku temani nanti."
"Tidak perlu," jawabku singkat.
Canggung dan perasaan sedih yang kurasakan saat ini, hari pertama berstatus mantan, sepertinya tidak akan kutemui rasa nyaman dan bahagia saat bersamanya, tapi rasa sakit yang kudapat jika melihatnya.
"Denis!" Suara pelan namun terdengar penuh penekanan, Ibu muncul dihadapan kami.
"Kamu pintar ya Amanda, menggunakan anak cacat ini sebagai alat merubah keputusan Denis untuk tidak menceraikanmu, Denis berikan anak itu pada ibunya, kita pergi sekarang!!!" Lanjut Ibu.
"Bu, tolong jangan buat keributan, ini rumah sakit!" Pinta Mas Denis pada Ibunya.
Aku hanya diam sambil menerima tubuh mungil Danish dari tangan Mas Denis, kupeluk tubuh Danish, mengelus punggung badan dan menimang agar tenang karena saat dia lepas dari dekapan Denis bayi kecilku menangis kencang seakan menolak lepas dari papanya.
"Ibu tenang saja, Mas Denis sudah berucap talak terhadapku tadi pagi, tidak ada celah atau pun alasan untuk kami kembali, Mas Denis dan Ibu silahkan pergi dari tempat ini!" ucapku tegas meski hati ini tercabik-cabik.
"Bagus kalau begitu, ayo Denis kita pulang atau Ibu akan membuat keributan di tempat ini!" seru Ibu.
Mas Denis pun menurut dan meninggalkan kami berdua, Danish masih tetap menangis dalam gendonganku, ia mengerti bahwa kali ini adalah pertemuan terakhir dengan papa kandungnya, esok anakku yang tidak berdosa akan tumbuh tanpa sosok papa disampingnya, aku akan menjadi orang tua tunggal.
"Menangis lah, Nak. Tapi berjanjilah ini air mata terakhir yang kita keluarkan untuk orang yang telah meninggalkan kita, mereka tidak layak untuk kita tangisi, kedepannya Mama akan mengusahakan kebahagiaan untukmu. Sehat sayang agar mama bisa menunjukkan pada mereka bahwa kamu anak sempurna yang telah diciptakan-Nya." Kukecup semua sisi wajah anakku dengan isakan tangis yang tertahan agar orang lain tidak mengetahuinya.
"Kamu alasan mama tetap bertahan, sumber kebahagiaan mama saat ini ditengah titik terendah fase kehidupan, Mama sayang kamu, Nak."
Aku dan bayiku menangis bersama. Sudut ruang tunggu rumah sakit menjadi saksi tumpahnya air mataku dan malaikat kecilku merelakan seseorang yang telah membuat luka sangat dalam di hati ini seumur hidup.
~Bersambung
Follow akun Lisfi_triplets, rate dan subscribe cerita.
❤️ Happy reading ❤️
"Gita jangan ganggu keponakanmu yang tengah tertidur!!!"
"Ya ampun Ummik hanya sedikit mencium pipinya yang menggemaskan masa tidak boleh?"
"Danish baru tertidur gitaaaa ...."
"Kak Manda sepertinya ummik lebih sayang Danish deh dibandingkan kita berdua." Aku hanya mendengarkan keributan Ummik dan Gita dengan tersenyum dan gelengan kepala, sambil merapikan beberapa mainan yang berserakan, Danish membuat rumah ini lebih hangat dan ramai.
"Danish prioritas Ummik sekarang karena dia masih kecil,” ucap ummik sambil mengelus punggung tubuh Danish agar pulas tidurnya.
"Semalam Tio menelepon ummik, katanya rumah hasil pernikahanmu dengan Denis sudah terjual, Namun sebelum Denis menyerahkan uang itu, ia ingin bertemu denganmu dan Danish," ucap ummik kepadaku, sudah lima bulan kami bercerai tidak ada komunikasi sama sekali dengan Denis, aku memblokir nomor telepon bahkan sosial media yang terhubung dengannya dan Aku meminta kepada semuanya agar tidak memberikan informasi tentangku dan juga tidak memberi tahu keberadaan Aku dan anakku, walaupun beberapa kali dia datang kerumah ummik juga ke panti asuhan untuk mencariku, Aku hanya ingin berusaha melupakan rasa sakit dan menata hatiku bukan lari darinya.
"Jangan mau bertemu dengannya Kak, jangan ditanggapi!”
"Gita ...." Umi menegur ucapan Gita padaku
"Benar apa yang dibilang Gita Ummik, Amanda dan Danish tidak akan mau bertemu dengannya sampai Amanda benar-benar menyembuhkan luka hati yang ia torehkan, jadi pinta Tio untuk bernegosiasi dengan Denis agar uang itu segera cair." Gita langsung memelukku, dan tersenyum
"Kak Manda wanita kuat, Aku bahagia Kakak cepat bangkit dan kuat seperti ini, oh iya aku mau usul dong Kak."
"Jangan aneh-aneh ya usul kamu Gita." Ummik memperingatkan Gita yang ia balas dengan cengiran dan acungan jempolnya.
"Nama Danish itu ada kepanjangannya, Danish Atma Narendra gimana kalau kita panggil Atma aja jangan Danish, biar nama Danish tidak mengingatkan kita pada papa kandungnya, si Denis." aku langsung tertawa mendengar usulannya, tapi Aku pikir ada benarnya juga, biar Aku tidak mengingat nama mantan suamiku.
"Boleh, usulnya bagus juga dek, mulai saat ini kita panggil Atma bukan Danish." Akupun tersenyum pada Gita dan juga Ummik, mulai saat ini Aku akan memanggil malaikat kecilku ATMA, mungkin akan sedikit membantu Aku melupakan mantan suamiku.
"Yeeeee usulku diterima." Gita bersorak senang sehingga membuat Atma terbangun dari tidurnya dan menangis, Ummik terlihat kesal dengan tingkah Gita.
"Gitaaaaa!!!" teriak ummik, Gita pun berlari masuk kekamarnya, rumah ini benar-benar lebih hidup dan ramai sekarang, Aku sangat beruntung memiliki Ummik, Abi dan Gita dalam hidupku, Atma juga menambah lengkap kebahagiaanku saat ini.
Aku bernafas lega setelah mendengar rumah sudah laku terjual, rencananya uang itu akan Aku gunakan untuk operasi jantung Atma bulan depan tepat umurnya enam bulan akan dilakukan operasi penutupan lubang pada jantungnya yang bocor, asuransi tidak menanggung seratus persen biaya operasi jantung yang akan dijalani Atma, virus TORCH bukan hanya menyerang bagian penglihatan namun membuat Atma memiliki kelainan bawaan pada jantung berjenis VSD yaitu sekat bilik jantung berlubang, bersyukur Atma sudah terbebas dari ROP dan kebutaan setelah tiga kali melakukan operasi pada bagian mata meskipun Atma harus menggunakan kacamata nantinya untuk mempertajam penglihatannya serta memantau secara rutin perkembangan syaraf mata, saat ini dalam tahap observasi pada bagian matanya, sekarang fokus pengobatan pada kelainan jantung bawaan serta pengoptimalan tumbuh kembangnya, perjalanan ku berjuang untuk Atma masih panjang.
"Amanda ...." Abi pulang bertugas dari rumah sakit tempat ia mengabdikan diri, aku mencium punggung tangannya dengan takzim, beliau sosok ayah yang baik untukku dan Gita sekaligus suami yang baik untuk ummik, beliau berprofesi sebagai dokter bedah di beberapa rumah sakit, beliau merupakan salah satu dokter senior dan menjadi konsulen para dokter yang masih menempuh pendidikan kedokteran di kota ini.
"Abi terlihat lelah sekali," ucapku mengawali pembicaraan.
"Iya hari ini banyak operasi yang Abi lakukan, Amanda Abi ingin sekali kamu melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan kedokteran yang sebelumnya kamu tempuh, Nak." ucap Abi sambil menyandarkan tubuhnya pada sofa diruang keluarga.
"Amanda tidak ingin menambah beban Abi dan Ummik, kuliah jurusan kedokteran memerlukan biaya yang cukup besar, Abi ..."
"Tidak usah memikirkan biaya, Abi masih mampu membiayai kuliah kamu dan Gita."
"Tapi Abi ... bagaimana dengan Atma?" Abi mengernyitkan dahinya.
"Atma?" Gumam Abi
"Itu loh Abi, nama panggilan baru untuk keponakan Gita yang paling tampan." Gita menyahuti obrolan kami dengan senyum bangga. "itu usulan nama dari Aku loh, Bi." lanjutnya tersenyum bahagia, Abi pun tersenyum dan menggelengkan kepala mendengar ucapan Gita.
"Baiklah Abi juga akan memanggil dengan nama ATMA, jangan memikirkan Atma kita akan mengurus Atma bersama."
"Benar kata Abi, lanjutkan kuliahmu Amanda, Ummik siap menjaga dan mengurus Atma, nanti kita bisa sewa pengasuh untuk membantu Ummik kalau Ummik ada pekerjaan yang tidak bisa dialihkan oleh asisten Ummik." Ummik memiliki butik busana muslim dan busana pengantin.
"Baiklah jika itu keinginan Abi dan ummik, hasil penjualan rumah akan digunakan untuk operasi jantung Atma, sisanya Amanda akan membuka usaha agar ada pemasukan tiap bulannya untuk kebutuhan Amanda dan Atma nantinya."
"Abi kan sudah bilang jangan dipikirkan masalah biaya, Nak."
"Amanda tidak mau menjadi beban dan merepotkan Abi dan Ummik, jika kalian tidak setuju Amanda lebih baik tidak kuliah, bagaimana?"
"Baiklah jika itu keputusanmu, yang terpenting kamu mau melanjutkan kuliahmu Amanda, demi masa depan kamu dan Atma," ucap Abi
"Baik Abi, terimakasih untuk semua yang dilakukan Abi dan ummik untuk Amanda dan Atma." Aku pun menghampiri Ummik untuk memeluknya, tanpa mereka entah apa yang terjadi padaku dan Atma, dalam keterpurukan keluargalah tempat kembali untuk memotivasi dan mendukung diri ini agar senantiasa kuat menghadapi masalah.
"Semangat Kak Manda, kita sayang Kakak." Gita memeluk Aku dan Ummik, kami semua tersenyum bahagia dengan semua kebersamaan ini.
"Terimakasih ya Allah engkau kirimkan orang-orang yang tulus menyayangiku dan menerima Atma," bisikku dalam hati, seraya meneteskan air mata kebahagiaan.
"Pakk, Buuu, Mbak ... tolong!" asisten rumah tangga kami berteriak dari dalam kamar Atma, mendengar itu kamipun bergegas ke arah kamar.
"Ya Allah Atma, Abi tolong Atma ...," ucapku karena melihat Atma terlihat kesulitan bernafas, Abi pun langsung menggendong Atma dengan posisi setengah duduk, melonggarkan pakaian Atma dan membawa Atma ke ruangan terbuka.
"Kita harus segera bawa Atma kerumah sakit, bersiap-siaplah kalian." Abi menyuruh kami menyiapkan semuanya, Atma tetap berada digendongan Abi sambil sesekali mengusap dadanya menggunakan cream pelega nafas, kami semua menuruti perintah Abi, dan dengan cepat membawa Atma kerumah sakit, selama perjalanan Aku tidak berhenti menangis, Aku sangat khawatir dengan kondisi Atma saat ini yang terlihat kesulitan bernafas, meskipun tidak membuatnya kejang yang itu artinya masih ada pasokan oksigen ke paru-paru ucap Abi menjelaskan kondisi Atma diperjalanan kami kerumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Atma langsung mendapatkan tindakan medis sesuai yang diperintahkan dokter, selang infus, dan selang ventilator sudah menempel disaluran nafasnya, berbagai jenis obat dimasukkan ke tubuh Atma bahkan suntikan demi suntikan ia terima diiringi rintihan tangis yang setiap rintihannya membuat hati ini terasa sakit dan hancur, air mata pun mengalir tiada henti. Aku hanya bisa terduduk lemas dengan tubuh bergetar menahan kesedihan melihat kondisi Atma yang lemah saat ini ....
"Bertahanlah sayang, demi Mama, kamulah sumber kebahagiaan mama saat ini, jangan tinggalkan mama, kita akan berjuang bersama" kubisikkan kalimat itu pada malaikat kecilku, Ummik memeluk erat memberikan kekuatan dan semangat untukku.
Seandainya Aku boleh memilih, Aku akan menanggung semua rasa sakitnya bahkan nyawa pun akan Aku berikan untuk malaikat kecilku asalkan ia bahagia dan tidak merasakan kesakitan seperti sekarang, hal yang paling menyakitkan dalam hidupku bukan karena sebuah perceraian tapi ketika anakku terlihat lemah dan kesakitan, hancur kala aku melihat darah dagingku seperti ini, meskipun ini adalah fase melawan rasa sakit dan perjuangan untuk bertahan hidup dari penyakit yang ia derita.
"Ya Allah beri kekuatan untukku dan juga Atma menghadapi kesakitan, luka hati dan lika liku kehidupan yang engkau gariskan." Doa terbaik kupanjatkan pada sang pencipta, berpasrah, sabar dan ikhtiar semaksimal mungkin yang bisa aku lakukan saat ini, untuk hasil biarlah kuikuti garis takdir-Nya.
~bersambung
Selamat membaca, semoga suka dan ada pembelajaran yang didapat dari cerita ini. Follow, rate dan subscribe ceritanya ya ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!