Ayah adalah cinta pertama seorang putri. Laki-laki pertama yang memberi segala cinta untuk putrinya. Laki-laki pertama yang melakukan segala hal untuk melindungi malaikat kecilnya. Bagi anak perempuan ayah mereka adalah superhero mereka. Namun, bagaimana jika seorang ayah berubah menjadi monster mengerikan yang tidak segan-segan untuk melukai. Masih bisakah seorang putri mengganggapnya superhero.
Lain halnya dengan Elvira Perlita, seberapa buruk perlakuan ayahnya. Ia akan tetap menganggapnya superhero. Vira tidak pernah tahu apa yang membuat ayahnya tidak suka dengan kehadiran dirinya. Ia hanya tahu jika ibunya selalu menghiburnya saat sang ayah berperilaku buruk. Vira bersyukur setidaknya ibunya sangat menyayanginya melebihi apapun.
Matanya tak pernah lelah memandang wajah pria yang sudah memiliki uban di kepalanya. Dalam hati ia tersenyum bisa memandang lama wajah pria yang selalu ia sebut namanya dalam tidur. Yang selalu ia impikan dalam tidurnya, yang selalu ia harapkan kasih sayangnya.
Sewaktu kecil Vira pernah berharap agar ayahnya mau sekali saja memeluk dan mencium dirinya saat akan berangkat sekolah. Mengajarinya untuk bersepeda dan mengajarinya ketika belajar. Namun, Vira tahu harapannya tidak akan pernah tercapai bahkan saat ia sudah besar sekalipun. Maka saat ia beranjak remaja ia mengubur dalam-dalam harapannya itu.
"Selamat, Sayang. Akhirnya kamu menjadi guru tetap," ucap Melisa, sang ibu meletakkan lauk di piring putrinya.
Vira tersenyum melihat wajah ceria sang ibu. Ia memang bekerja menjadi guru di sebuah sekolah menengah pertama. Awalnya ia hanya guru honorer, tapi baru-baru ini ia dinyatakan menjadi guru tetap. Melisa tak berhenti bicara mengekspresikan rasa bahagianya, sedangkan Vira tersenyum mendengar ocehan Melisa.
Kedua orang yang juga berada di sana hanya diam tak ada niat untuk menanggapi. Mereka larut pada sarapan yang sedang mereka santap. Vira memandang gadis yang umurnya beberapa tahun lebih tua darinya. Dia, Arleta Berlint sang kakak yang menjadi kebanggaan ayah. Gadis yang ia panggil kakak itu tak sekalipun mengalihkan pandangannya. Sosok kakak yang begitu Vira rindukan.
Arleta dalah sosok anak yang begitu membanggakan di mata ayah. Ucapan ayah adalah perintah baginya, tapi Vira merasa sedih saat ia memiliki keluarga yang lengkap mengapa ayah dan kakaknya tidak pernah mau melihatnya.
"Berhenti bicara kau tidak sebahagia ini saat Arleta menjadi karyawan tetap di perusahaan besar," sarkas Prasetya melirik tak suka pada Melisa yang sedari tadi mengoceh.
"Hei, kau lupa siapa yang memasak banyak untuk keberhasilan Arleta. Mereka berdua putriku dan aku harus bersikap adil," protes Melisa.
"Sudahlah, Bu. Tak pantas bertengkar di meja makan." Arleta menengahi pertengkaran kedua orang tuannya.
"Kau lihat seperti itulah anak yang pengertian."
Dibanggakan dan disanjung sudah biasa Vira dengar dari mulut ayahnya untuk Arleta. Sudah menjadi santapan setiap hari bagi telinganya mendengar ayahnya begitu bangga pada sang kakak. Hal yang tidak pernah terjadi padanya, dari dasar lubuk hatinya yang paling dalam Vira sungguh ingin mendapatkan hal yang sama. Ia ingin berada di posisi Arleta sebentar saja. Merasakan betapa bahagianya menjadi Arleta yang sangat disayang oleh ayah. Bolehkan Vira iri pada Arleta? Iri pada kakaknya sendiri. Kenapa ayah memperlakukannya berbeda dengan Arleta.
"Aku harus berangkat ada upacara pagi." Vira bangkit dari kursi yang ia duduki.
"Hei, kau bahkan belum sarapan." Melisa berteriak ketika Vira sudah mengambil tas dan berjalan menuju pintu keluar.
"Aku bisa sarapan di kantin sekolah, Bu."
"Setidaknya bawa bekal ini." Melisa memasukkan bekal makanan yang sudah ia siapkan. Mengecup kedua pipi putrinya.
"Hati-hati di jalan, pelan-pelan aja gak usah ngebut bawa motornya," peringat Melisa saat Vira keluar rumah, sedangkan ia kembali ke meja makan.
"Seperti anak kecil saja," gumam Pras yang tidak ditanggapi oleh Melisa.
Wanita itu sudah tahu sikap suaminya yang tidak akan berhenti menggerutu jika membahas Vira. Apa sebegitu tidak sukanya Pras pada putrinya sendiri. Tiada hari untuk tidak menjelekkan Vira meski putrinya itu tidak berbuat salah apapun.
"Kamu mengambil cuti beberapa hari?" tanya Pras pada Arleta.
"Aku hanya mendapat cuti satu minggu, Yah."
"Ya, baiklah. Persiapan pernikahanmu sudah selesai, 'kan, lalu kenapa pakaianmu sangat rapi." Arleta tersenyum meletakkan sendoknya.
"Aku mau ke butik untuk mengambil gaun," balasnya.
"Kamu sungguh menerima perjodohan ini?" Melisa bertanya.
"Kamu ini apa-apaan seperti tidak suka jika Arleta mendapat jodoh yang sempurna seperti Arka."
Dalam waktu dekat ini Arleta memang akan menikah dengan Arkanio Althaf Zerion, anak dari pemilik perusahaan Z'one. Putra dari Faras Zerion dan Lydia yang digadang-gadang menjadi penerus bisnis keluarga.
Perjodohan itu ditujukkan untuk Arleta dua bulan lalu dan dalam kurun waktu tersebut baik Arleta maupun Arka sudah saling mengenal. Kedua keluarga juga sudah sepakat untuk melangsungkan pernikahan.
"Kamu mau berangkat bareng ayah atau dijemput Arka?" tanya Pras setelah selesai dengan sarapannya.
"Tentu saja dengan calon suami." Arleta tersenyum malu-malu.
Vira mengenakan helm ketika sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Vira sudah tahu siapa pemilik mobil tersebut. Seorang pria keluar dengan pakaian jasnya yang sangat pas di tubuhnya. Rambut yang ditata sedemikian rupa dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya sungguh menambah ketampanan pria itu. Sayang seribu sayang mata indah pria itu harus bersembunyi dibalik kacamata. Mata yang begitu menghanyutkan saat dipandang.
Vira tersenyum mengangguk ketika Arka melewatinya. Dikala pertemuan pertama kedua keluarga, Vira sempat terpana bahkan ada rasa asing yang menyusup masuk ke dalam hatinya. Namun, ia harus mengubur rasa asing tersebut sebelum menjadi sebuah perasaan yang bernama cinta.
Vira tidak boleh memiliki perasaan untuk calon kakak iparnya. Maka dari itu Vira selalu menghindar ketika bertemu dengan Arka. Pria yang begitu sempurna untuk Arleta. Vira mendesah kasar, hidup Arleta sungguh bahagia dan kebahagiannya akan bertambah setelah menikah dengan Arka.
Vira menyalakan mesin motornya keluar dari halam rumah setelah menyapa calon kakak iparnya. Membangun hubungan baik dengan Arka tidak ada salahnya. Toh sebentar lagi mereka akan menjadi ipar.
Vira memarkirkan motor, melepas helm dan sarung tangan. Berjalan menuju ruang guru, ia tersenyum menanggapi anak didiknya yang menyapa dengan ramah. Sekolah tempatnya mengajar terbilang cukup besar. Ia mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas sembilan. Menjadi guru sebenarya tidak termasuk dalam list masa depan Vira, tapi ia tidak pernah menyesal menjadi guru justru ia bangga bisa ikut berpartisipasi dalam mencerdaskan anak bangsa.
"Selamat pagi, Bu Sarah." Vira menyapa ketika melihat Bu Sarah, Guru IPA yang sudah berada di ruang guru.
"Pagi, Bu Vira," balasnya.
"Pagi, Pak Nando," sapa Vira ketika melewati meja Nando seorang guru olahraga.
"Iya, pagi kembali."
Matahari semakin beranjak naik, sekolah pun mulai ramai karena siswa yang berdatangan. Saat bel berbunyi banyak yang berbondong-bondong ke lapangan untuk malaksanakan upacara. Setiap ketua kelas memandu kelasnya untuk membuat barisan yang rapih. Para guru juga sudah berbaris untuk mengikuti jalannya upacara.
Siswa yang tidak memakai atribut lengkap berada pada barisan khusus menanti datangannya sebuah hukuman. Upacara berjalan dengan penuh khidmat meski matahari semakin menunjukkan sinarnya tak menyurutkan semangat mereka.
***
Happy reading
Terima kasih yang sudah membaca part ini. Semoga kalian suka dengan pembukanya yah ☺
Padatnya lalu lintas membuat kedua orang yang berada di dalam mobil mendengus kasar terlebih Arka yang sedari tadi sudah memencet klakson karena mobil di depannya tak kunjung jalan. Arleta menghentikan gerakan tangan Arka.
"Berhenti, telingaku sakit mendengarnya." Menarik tangan Arka dan meletakkannnya di tuas kemudi, tapi ketika Arleta akan melepasnya, Arka dengan sigap menautkan tangan mereka mengelus pelan tangan Arleta dengan ibu jarinya.
"Maaf, sayang membuatmu tidak nyaman." Arka mengecup punggung tangan Arleta. Ia tersenyum bahagia setiap kali memandang wajah gadis yang sebentar lagi akan menjadi miliknya.
"Aku memaafkanmu hari ini karena aku sedang bahagia," ucap Arleta.
"Aku tahu kau sangat bahagia karena kita akan menikah, aku juga bahagia...."
"Bukan karena itu," potong Arleta cepat. Arka mengalihkan atensinya dari mengecup tangan Arleta. Pria itu menatap Arleta seakan meminta penjelasan lebih.
Tiiit!
Sebelum terlealisasikan suara klakson mobil di belakang membuat mereka terhenyak. Arka melajukan mobilnya karena lalu lintas sudah kembali normal. Wajah Arka sudah tidak seceria tadi, ia jadi berpikir apa yang membuat Arleta bahagia selain kabar pernikahan mereka.
"Kau tidak boleh cemburu aku bahagia karena adikku." Arleta seperti tahu apa yang dipikirkan Arka.
"Adik?" heran Arka karena selama mereka dekat, tidak sekalipun Arleta membicarakan tentang adiknya yang ia ketahui bernama Elvira. Gadis yang tadi pagi bertemu dengannya. Arka tidak terlalu peduli karena baginya tidak ada perempuan yang lebih penting dari Arleta setelah ibu tercintanya. Arka rasa mengenal Vira tidak penting karena yang ia cintai ialah Arleta.
"Selama ini aku berpura-pura untuk tidak peduli pada Vira. Setiap kali aku melakukannya ada rasa sesak di hati ini karena melihat Vira yang sangat sedih dan aku bahagia karena pagi ini bisa melihat Vira tersenyum bahagia." Arleta mengulas senyum tipis.
Arka memang tahu jika hubungan Vira dan Pras memang tidak baik sejak dulu itupun ia diberitahu oleh ibunya, tapi Arka cuek dengan itu baginya Arleta
Hatinya gundah setiap kali melihat wajah adiknya, meski Vira selalu tersenyum ketika melihatnya, tapi Arleta tahu Vira tersenyum hanya untuk menutupi rasa sedihnya. Ia selalu menyesali tindakannya karena menuruti ucapan sang ayah. Namun, tidak ada yang bisa ia perbuat. Jika ia tidak menurut maka Vira yang akan menjadi sasaran ayahnya. Meskipun Arleta tahu ada ibu yang akan membela Vira, tapi menuruti ayah tidak ada salahnya demi kebaikan Vira.
Fakta bahwa mereka bersaudara tidak dapat dihapuskan. Mereka memiliki darah yang sama dalam tubuh mereka memiliki ikatan batin yang sangat baik. Arleta tidak dapat memungkiri jika ia sangat sayang pada Vira. Adik kecil yang kini sudah tumbuh dewasa. Banyak tahun sudah berlalu dan ia tahu betul bagaimana Vira melewati semua masalahnya. Walaupun Arleta tidak dekat dengan Vira, tapi ia cukup tahu bagaimana sikap adik kecilnya itu.
"Apa begitu bahagianya hingga kamu menangis." Arleta tersadar dari lamunannya. Ia menyentuh pipinya yang basah. Arleta merutuki pikirannya yang sudah membuatnya sangat cengeng.
"Kamu mau berjanji satu hal padaku."
"Apapun untukmu sayang."
"Aku tidak pernah melaksanakan tugasku sebagai seorang kakak yang seharusnya menyayangi dan menjaga adiknya. Aku mau kamu berjanji untuk menggantikan tugasku."
"Baiklah karena setelah menikah kamu akan jarang bertemu dengan keluargamu. Aku akan mengawasi mereka semua." Arka tidak berkata spesifik, tapi ia berkata secara keseluruhan karena tidak mungkin ia hanya menjaga Vira.
Perjalanan terisi dengan berbincangan kecil di antara mereka. Arka berjanji pada dirinya sendiri untuk membahagiakan Arleta, gadis yang sangat ia cintai. Mereka sudah ditakdirkan untuk bersama, sehidup semati dalam ikatan pernikahan.
☘☘☘
Kakinya menapaki anak tangga satu persatu, di tangannya terdapat buku yang cukup tebal untuk bahan mengajar. Vira menarik nafas lelah setelah berhasil sampai pada lantai tiga gedung sekolah. Lantai yang penuh dengan siswa kelas sembilan. Vira menarik nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ia mulai menyusuri lorong menuju kelasnya karena Vira menjadi salah wali kelas sembilan.
Seluruh murid segera duduk ketika Vira memasuki kelas. Vira mengeluarkan kertas hasil ulangan minggu lalu. Memanggil satu persatu anak untuk menerima kertas milik mereka. Pekikan senang terdengan dari murid yang berhasil mendapatkan nilai sempurna, Vira hanya menggeleng melihat tingkah mereka.
Pandanganya jatuh pada gadis yang berjalan ke depan. Vira mendesah melihat wajah datar gadis bernama Killa Namora Z. Murid yang sering dikeluhkan banyak guru karena nilainya yang selalu rendah disetiap pelajaran. Vira menahan kertas yang akan diambil Killa.
Iris matanya menatap tajam pada Vira, sangat tidak sopan untuk ukuran siswa yang bersekolah di sana dan bisa saja Vira bertindak atas kekurangajaran Killa, tapi ia berusaha menahan diri. Ia tidak ingin membuat masalah dengan siswa di tahun terakhir mereka dan menciptakan kenangan buruk, apalagi karena alasan yang sepele.
"Nilai kamu tidak ada peningkatan sama sekali. Bu guru harap kamu mau belajar lebih giat." Vira menatap gusar pada Killa yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Sudah selesai bicara? Sekarang boleh aku duduk." Killa menyambar kertas hasil ulangannya. Menghiraukan ucapan Vira, berjalan menuju kursinya. Meletakkan kertas di atas meja disusul dengan merebah kepala di atas meja.
Siswa lain tidak berani menegur Killa karena mereka takut membuat masalah dengan gadis dingin itu, bahkan tidak ada yang berteman dengan Killa karena sifat dingin nan misteriusnya.
"Ibu kaya gak tahu Killa aja. Dia kan emang gitu rada-rada gak jelas," sahut siswi yang duduk pojok belakang.
Seluruh siswa pun mengangguk membenarkan ucapan teman mereka. Vira menghembuskan nafas kasar, membuka buku yang ia bawa.
"Baiklah buka buku paket kalian. Ibu akan menjelaskan bab baru," ucap Vira mulai mengajar. Sesekali netranya melihat Killa yang tak kunjung mengangkat kepalanya. Entah bagaimana anak itu bisa bertahan di sekolah ini dengan banyak keluhan dari guru. Bagaimana bisa kepala sekolah tampak acuh dengan sikap Killa yang seenaknya sendiri.
Pelajaran ditutup dengan Vira memberi tugas rumah. Seluruh murid mulai protes karena tugas yang diberikan. Vira pun meninggalkan kelas menuruni tangga menuju ruang guru. Vira merasakan ada seseorang yang menepuk pundaknya dan ketika ia menoleh Vira mendapati Nando yang sudah menyamai langkahnya.
"Pak Nando mau ke ruang guru juga?"
"Tidak. Saya mau mengambil bola basket di ruang olahraga," balasnya.
"Owh sendirian? Dimana anak-anak cowok biasanya mereka yang paling ecxiated kalau sudah menyangkut basket."
"Ada tuh di belakang," tunjuk Nando melalui lirikan matanya.
Vira juga ikut menengok, ia cukup terkejut karena siswa laki-laki berada sangat jauh dari mereka. Ia berdehem cukup keras, kemudian melangkah lebih cepat meninggalkan nando yang kebingungan.
"Pak, Bu Vira cantik loh belum nikah juga," ucap siswa yang sudah berada tepat di belakang Nando.
"Apa? Udah sana ambil bolanya bapak tunggu tunggu di lapangan."
"Lah bapak gak ikut ambil."
"Gak." Nando membelokkan langkahnya menuju lapangan semua siswa yang akan mengambil bola dibuat melompong dengan sikap absurd guru mereka.
***
Happy reading
Apa yang kalian rasakan tentang Killa, kalau punya adik atau anak kaya Killa kalian akan seperti apa nih.
Salam sayang dari aku.
Pernikahan identik dengan warna putih karena warna itu memiliki arti suci. Kesucian yang berada dalam ikatan pernikahan dan begitulah gedung tempat diadakannya pernikahan Arka dan Arleta. Dekorasi yang serba putih dengan tambahan beberapa warna biru langit sungguh terlihat sangat indah. Para tamu undangan datang silih berganti mengisi gedung tersebut, para media ikut serta dalam mengabadikan pernikahan anak dari pemilik perusahaan terbesar. Flash kamera menyorot para tamu yang berdatangan ada juga yang melakukan wawancara.
Pernikahan ini akan menjadi fenomenal karena dilangsungkan dengan begitu indah, konsep yang dipilih pun menelan biasa yang fantastis. Arka sungguh menyiapkan pernikahan dengan sangat mewah. Menurutnya pernikahan sekali seumur hidup dan ia ingin membuatnya sangat berkesan baginya dan juga perempuan yang sebentar lagi menjadi istrinya.
Seorang gadis yang mengenakan dress putih di bawah lutut terlihat menaiki tangga menuju kamar rias pengantin di mana sang kakak sedang di make over. Keluarga kedua belah pihak sudah datang itu yang Vira tahu dari ibunya dan sudah waktunya bagi Arleta untuk turun, maka sang ibu meminta Vira untuk memanggil Arleta sekaligus menemani mempelai wanita turun.
Saat sampai di kamar rias dahinya mengkerut melihat para penata rias berdiri dengan gelisah di depan pintu. Vira berusaha berpikir positif mungkin saja Arleta sedang dibantu mengenakan gaun dan meminta beberapa perias untuk keluar. Ia tidak boleh berprasangka buruk. Pelan ia mendekati para perias itu.
"Apa kakakku sudah siap, dia harus segera turun," beritahu Vira.
"Maaf nona sebenarnya ada masalah," salah satu perias berucap.
"Masalah? Masalah apa."
"Ketika sudah selesai merias. Nona Arleta meminta kami semua untuk keluar katanya dia akan menggenakan gaunnya sendiri, tapi setelah sekian lama menunggu pintu tak kunjung terbuka. Kami sudah berusaha untuk memanggil dan mengetuk pintu tapi tidak ada respon dari dalam."
"Lantas kenapa kalian semua diam saja dan tidak memberitahu hal ini pada keluarganya."
"Maaf nona atas kelalaian kami, kami tidak dapat berpikir jernih."
Vira mengusap wajahnya memutar otak untuk menemukan cara paling efektif. Akan menjadi masalah besar jika Arleta tak kunjung keluar, ia tidak mau ambil risiko sehingga menghubungi petugas keamanan untuk membantu mereka. Cukup lama menunggu petugas keamanan menemukan kunci yang cocok untuk kamar tersebut. Melihat kegelisahan para perias Vira pun ikut gelisah.
Vira segera masuk ketika pintu berhasil dibuka. Ia mengedarkan pandangan ke segala penjuru kamar berusaha menemukan keberadaan Arleta. Kosong, Vira tidak menemukan keberadaan Arleta bahkan di kamar mandi sekalipun. Kini wajah Vira sudah pucat pasi jikalau apa yang ia pikirkan benar-benar terjadi.
Matanya menangkap sesuatu yang berada di atas meja rias. Ia bergerak menggapainya, sebuah surat yang ditunjukkan untuk kedua orang tuanya. Rasa penasaran yang begitu menggebu dalam dirinya membuatnya nekat membuka surat tersebut.
Maaf ayah, ibu. Aku tidak bisa melakukan pernikahan ini. Aku mencintai pria lain dan pria itu bukan Arka. Aku sungguh minta maaf ayah karena sudah membuatmu malu , tapi aku tidak bisa membohongi diriku, hatiku sudah dimiliki oleh pria yang amat kucintai. Aku pergi ayah, ibu. Aku harap kalian memaafkanku atas sikapku. Pintalah Vira untuk menggantikan tempatku dia satu-satunya yang bisa menyelamatkan keluarga kita dari malu. Tertanda Arleta Berlint.
Vira merasa sebagian nyawanya telah hilang, tapi ia masih bisa merasakan detak jantungnya yang sangat cepat. Nafasnya tercekat dan matanya buram untuk sekejap ia tidak bisa merasakan kaki yang menopang tubuhnya. Perlahan ia meluruh di atas lantai dengan berpegangan pada kursi rias. Otaknya masih berusaha menyimpulkan atas isi surat tersebut.
Vira menggeleng tidak setuju dengan apa yang ia pikirkan. Arleta memang tidak pernah terlihat memperhatikannya, tapi Vira yakin Arleta tidak akan setega itu membuatnya menanggung kesalahan yang diperbuat Arleta. Vira memang ingin berada di posisi Arleta, tapi bukan untuk menggantikannya menikah dengan Arka. Tidak pernah terlintas di benaknya untuk menikah dan bagaimana bisa Arleta memutuskan dengan begitu mudah untuk Vira menikah dengan Arka. Kenapa Arleta mengorbankan dirinya apa tidak cukup dengan semua tindakan yang Arleta lakukan pada Vira hingga mengorbankan Vira.
Saat termenung memikirkan segala hal yang berkecamuk dalam dirinya. Ia melihat seorang wanita paruh baya yang masih terlihat muda memasuki kamar dengan khawatir. Vira duga pasti para perias memberitahu orang terkait. Vira tahu dia adalah ibunda Arsen yang bernama Lydia. Belum sempat Vira berdiri Lydia sudah menghampirinya dengan wajah yang merah padam.
"Dimana calon menantuku!" Suaranya keras menggelegar cukup bagi Vira senam jantung. Suara itu sudah hampir menyamai kemarahan ayahnya.
"Aku tidak tahu tante saat aku sampai di...."
"Kau pasti berbohong cepat katakan di mana calon menantuku. Seluruh orang sudah menunggu." Lydia tidak mau mendengar penjelasan apapun dari Vira. Ia hanya menuntut keberadaan Arleta tanpa melihat jika Vira sendiri pun kebingungan.
"Kau menyembunyikannya di mana." Lydia mengguncang tubuh Vira. Gadis itu tak menjawab apapun karena ia sungguh tidak tahu dimana Arleta berada. Vira merasa jika Lydia seolah-olah menyalahkan dirinya atas hilangnya Arleta.
Kamar yang semula hanya terisi oleh Vira dan Lydia kini terasa penuh dengan kedatangan Pras, Melisa dan Faras, ayah Arka dan juga Arka sendiri. Melisa menghempas tangan Lydia yang masih berada di bahu Vira, ia membawa Vira ke belakang tubuhnya.
"Maaf, Nyonya. Anda tidak berhak menyalahkan putriku," ucap Melisa setenang mungkin.
"Apa yang terjadi, di mana Arleta." Arka mencari keberadaan Arleta dalam ruangan itu. Ia menghiraukan ketegangan yang tercipta di sana.
"Sayang, Arleta tidak ada. Ketika mama sampai di sini hanya ada gadis itu." Tunjuk Lydia pada Vira yang berada di belakang Melisa. Semua menatap Vira tak terkecuali Melisa.
"Bu...," lirih Vira.
Ia menyodorkan surat yang sempat ia baca pada Melisa. Matanya menatap takut-takut atas reaksi Melisa, tapi beberapa detik setelah membacanya Melisa hanya menghembuskan nafas dengan menutup mata. Surat itu direbut oleh Pras, kemarahan jelas ada di mata pria beruban itu. Surat itu berpindah tangan dan terakhir berada pada Faras.
Pras menarik lengan Vira agar keluar dari persembunyian. Vira sempat meringis karena cengkraman sang ayah menyakitinya, ia tidak berani bersuara saat tatapan membunuh milik Pras menghunus padanya.
"Katakan di mana putriku! Kau pasti sudah mempengaruhi Arleta untuk kabur kan. Jawab!"
"Aku juga putrimu, Ayah." Ingin sekali Vira berkata seperti itu, tapi tidak. Ia hanya menggeleng.
"Kau kira saya bodoh, wajah melasmu itu tidak akan mengubah fakta bahwa kau yang membuat Arleta pergi." Pras sangat marah ia membentak Vira tanpa melihat keadaan jika calon besannya juga ada di sana.
Vira tidak dapat membantah perkataan Pras. Bibirnya kelu untuk berucap, ia tidak memiliki keberanian untuk melawan meskipun dirinya benar. Tidak ragu jika mereka menuduh Vira karena mereka melihat sendiri hanya ada Vira dalam kamar.
"Kamu tidak berhak menyudutkan Vira. Aku tahu betul sikap Vira dan dia tidak akan berani membuat masalah sebesar ini," bela Melisa menarik Vira dalam sebuah pelukan hangat seorang ibu. Melisa tahu jika Vira sangat terkejut.
"Aku akan mencari Arleta." Arka bersuara, ia berbalik menuju pintu keluar tapi langkahnya dihentikan oleh Faras. Pria itu menatap manik mata sang putra.
"Tidak ada waktu. Para tamu sudah menunggu dan ada banyak reporter yang meliput pernikahan ini."
"Aku tidak peduli," sarkas Arka.
"Kau harus peduli, Arka! Bisnis yang kakekmu bangun dari bawah akan hancur dalam sekejap jika pernikahan ini gagal. Papa tidak akan menyia-nyiakan jerih payah kakek mu untuk sampai pada titik ini dan untuk itu kau harus...." Faras menjeda perkataanya.
"Menikah dengan Vira."
"Tidak!"
***
Happy reading
Kenapa tiba-tiba Arleta pergi?
Salam sayang dari aku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!