Di ruangan laboratorium dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki kegilaan yang berlebihan terutama terhadap ilmu pengetahuan, kepenasaranan mereka di atas rata-rata, baik itu tentang bagaimana untuk mendiami suatu planet setelah bumi, berteleportasi dari satu tempat ke tempat lain atau hal-hal lainnya yang terbilang tidak masuk akal, namun tetap di amati mereka.
Seperti halnya yang sedang berlangsung disalah satu gedung laboratorium, para ilmuwannya sedang melakukan uji coba penelitian terbaru mereka dengan sudah mengantongi surat izin dari para dewan. Penelitian tersebut juga di komandoi oleh Professor Helena sendiri yang merupakan ilmuwan terbaik dan lulusan dari universitas tersohor di negeri itu, namanya sudah tidak asing lagi di telinga para pencinta ilmu pengetahuan baik didalam maupun diluar negeri.
Disela-sela break Helena pergi ke tangga darurat untuk menelpon keluarganya, sejak kemarin ia belum bertemu mereka karena semua waktunya telah ia berikan pada penelitian tersebut. Sedangkan di ruang penelitian sedang terjadi kekacauan, dimana orang-orang berlarian dari satu tempat ke tempat lain, kepanikan juga menyerang mereka sambil mengotak-atik komputer yang benda-benda yang jarang ditemui di tempat-tempat lain.
Seseorang dari mereka berlari ke ruang tangga darurat dan melihat Professor Helena di tangga tersebut.
"Professor Helena! Professor Helena! Salah satu mesin adaptor kita mengalami masalah" seru seorang lelaki berjas putih pada seorang wanita yang baru menutup teleponnya.
"Apa?" tanya wanita bernama Professor Helena.
Dengan langkah cepat wanita itu menuju ke ruangan yang diberi tahu itu.
Beberapa orang tampak berkumpul di pintu ruangan besar itu melihat sebuah benda aneh yang tergantung, tegangan listrik tiba-tiba jadi tidak terkendalikan, lampu-lampu atau aliran listrik lainnya yang terdapat di gedung itu menyala dan hidup sendiri.
"Kenapa disini semua? cepat perbaiki alat itu!" kata Helena pada orang-orang yang berkumpul di depan ruangan itu
"Kita tidak boleh masuk, benda itu sangat berbahaya dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika terkena radiasinya!"
"Kita diam saja tanpa melakukan apapun lebih berbahaya lagi, bahkan akan berdampak bagi orang lain juga!" timpal Helena. Helena menerobos masuk kedalam ruangan itu.
"Professor Helena! Anda tidak boleh masuk! Itu sangat berbahaya!"
"Tidak Professor. Kita harus mencegahnya sebelum merambat ke tempat lain yang akan terjadi lebih buruk lagi" bantah Helena
Helena berlari dengan terburu-buru mengaitkan beberapa kabel dan jarinya juga cukup lihai bermain di atas keyboard, klotak-klotik sepatunya menggema tak beraturan bersamaan cahaya yang semakin mencuat terang.
Orang-orang yang melihatnya dari luar dinding kaca ruangan itu terus berteriak, "Professor Helena! Cepat keluar! itu berbahaya!"
Seruan mereka tidak dihiraukannya termasuk perintah atasannya ikut menyuruhnya pergi namun Helena tetap berusaha keras untuk memperbaiki mesin tersebut agar tidak semakin berbahaya. lampu berkedip-kedip dan cahaya yang dipancarkan benda berbentuk bola itu perlahan redup dan stabil seperti sebelumnya, namun saat dikira masalah sudah usai, bola cahaya itu meledak yang memecahkan barang-barang didalam ruangan itu, termasuk Helena ikut terhempas jauh dari tempatnya.
Diwaktu yang sama di negara berbeda, sebuah insiden naas menimpa seorang perempuan muda, seutas kabel listrik yang terdapat di distrik kota kecil terputus dan jatuh ke jalanan hingga mengenai seorang pejalan kaki. Orang-orang membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
Pasien bernama Shaina Hafizah berusia 25 tahun, itulah yang nama tertera di ranjang pasien dengan tubuh yang terbujur kaku korban yang tersetrum listrik dengan tegangan tinggi.
Beberapa orang yang berada di ruang pasien tersebut bertanya "Dokter, bagaimana keadaan anak kami?".
Mereka mencemaskan pasien bernama Shaina itu yang belum siuman sejak seminggu yang lalu setelah kejadian naas yang menimpanya itu.
Dokter berdiri di samping ranjang pasien usai pemeriksaannya. "Pasien sudah melewati masa kritisnya, kita hanya bisa menunggu" jawab dokter.
Perlahan-lahan jari telunjuknya bergerak, dokter kembali mendekat pada pasien termasuk keluarga si pasien. Sepasang iris hitam terlihat di balik kelopak matanya dengan bola matanya bergerak-gerak kesegala arah.
"Di-ma-na a-ku?" ucap Shaina dengan terbata-bata.
"Syukurlah sayang kamu sudah siuman..." kata bu Yani, tangannya membelai lembut rambut hitam Shaina.
"Sia-pa ka-lian?" gumam Shaina.
Keluarga terkejut dan heran melihat Shaina bertanya siapa mereka, Bu Yani mengatakan, "Shaina aku ini ibu mu kami semua keluarga mu".
"I-bu? ke-luarga? Shai-na? siapa Shai-na?" kilatan cahaya tiba-tiba melintas di otaknya "siapa aku!!!" pekik Shaina, kedua tangannya memegangi erat kepalanya yang terasa sangat sakit, dan perban masih melingkari kepalanya.
Dokter memeriksanya kembali dengan intensif, keluarga sangat cemas dengan kondisinya apalagi ketika dokter memberitahu Shaina mengalami amnesia psikologis dimana ketidakmampuannya mengingat identitasnya dan informasi pribadi penting lainnya. Dokter juga menyarankan Shaina untuk tidak banyak pikiran yang bisa membuatnya stress dan berakibat fatal disebabkan terjadinya cidera di otaknya karena akibat tegangan tinggi merambat ke saraf-saraf otaknya.
***
Ditempat yang berbeda....
Disebuah ranjang pasien di rumah sakit terdapat seorang perempuan terbaring atas nama Helena berusia 34 tahun. Para dokter sedang menanganinya karena beberapa saat yang lalu ia menunjukkan pergerakan, perlahan-lahan matanya terbuka berkelana seisi ruangan yang asing baginya.
Dia melihat dokter dan perawat sibuk dengan tugasnya mereka yang mengecek imfusnya, karena merasa tubuhnya baik-baik saja shaina bangkit dari tidurnya meski ia bingung tampilan fisik tim medis itu yang agak berbeda dari kebanyakan orang yang ia tahu.
"Kenapa saya di sini?" Tanya perempuan itu.
Dokter memberitahunya bahwa ia baru saja mengalami kecelakaan.
Mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi, ingatannya terulang pada saat ia sedang berjalan di trotoar tiba-tiba sebuah kabel menimpanya lalu ia tidak tahu apa yang terjadi.
Ia memegang kepalanya yang terasa berat, "Benar dok, saya baru kecelakaan, apa saya terluka dok? karena saya tidak merasa sakit apapun kecuali kepala saya yang terasa pusing" tanyanya.
"Dokter! Dokter! bagaimana keadaannya?" Seorang lelaki muda menerobos masuk kedalam ruangan itu. "Bagaimana keadaanmu? Ada yang sakit?" Lelaki itu mendekati si pasien dan bertanya padanya.
"Wow! cogan, dia benar-benar tampan" perempuan itu menggelengkan kepalanya, "Shaina! apa yang kau pikirkan? kau baru saja sembuh sudah memikirkan cogan" batinnya.
"Helena! kau baik-baik saja? ada yang sakit?" tanya lelaki itu.
"Aku, aku baik-baik saja" jawabnya. "Tapi tolong jauh-jauh sedikit aku tidak mengenalmu" tambahnya.
"Nyonya Helena baik-baik saja dan tidak ada yang dikhawatirkan, kandungannya juga tidak kenapa-napa" ujar dokter, dan para perawat sedang melepaskan jarum infus dari tangannya.
"Kandungan? maksud dokter?" tanya Helena.
"Iya nyonya, kandungan nyonya baik-baik saja, ini sebuah keajaiban dari yang kuasa anda dan bayi anda bisa selamat dari benturan keras itu"
Helena tersentak dan berdiri di lantai suster mencoba memegangnya, "bayi? siapa yang punya bayi? aku tidak hamil!" Helena menepuk-nepuk perutnya dan seketika ia terdiam saat memegang perutnya yang tidak rata itu.
"Tenang Helena! jangan bergerak-gerak seperti itu pikirkan bayimu" perintah lelaki itu.
"Perutku... kenapa buncit seperti ini? Bagaimana aku bisa hamil? kapan buatnya dan siapa anda? aku tidak mau hamil...!!! siapa yang akan bertanggungjawab?" gerundel Helena yang menangis.
"Helena tenang! masih ada aku! aku yang akan bertanggungjawab atas kamu dan anakmu" timpal lelaki itu.
Helena terus menangis tersedu-sedu, "Anda? Kapan buatnya? Sudah berapa lama aku pingsan? aku tidak mau punya anak di luar nikah! Hiks...! hiks...! hiks...!" sungutnya dengan kedua tangannya memegangi perutnya. "Aku mau pulang....! Mak! Ayah! siapapun dimana kalian? jangan membuangku seperti ini, bukan keinginanku hamil...." gerutunya lagi.
"Baiklah, kita akan pulang" ujar lelaki itu.
Joon diizinkan membawa pulang Helena dan dirawat di rumah saja karena keadaannya juga sudah membaik hanya saja ia masih sedikit shock.
"Aku tidak mau ikut dengan mu! Aku tidak mengenal kamu!" Sergah Helena pada lelaki itu yang mengajaknya pulang bersamanya.
Tapi lelaki itu terus memaksanya hingga mau tidak mau Helena harus menurutinya karena berbagai penolakan keras dilakukan tidak berguna. Di belakang laki-laki itu ia berjalan mengikuti langkahnya yang bahkan tidak ia kenali tapi cuma dia satu-satunya orang yang menemaninya di rumah sakit.
Matanya masih lembab karena bekas air mata, sesekali ia tersedu-sedu mengingat dirinya yang kini sudah hamil dan entah siapa yang melakukanya, hatinya semakin terluka ketika tak seorang pun dari keluarganya tampak mengunjunginya kecuali lelaki asing tak dikenalinya.
"Hari ini tanggal berapa?" tanya Helena pada lelaki yang berjalan di depannya.
"18 juni" jawabnya singkat.
Helena menghitung hari dengan jari tangannya dan ia kaget sambil berdecak kesal, "bagaimana bisa aku hamil sebesar ini? padahal seminggu yang lalu aku baik-baik saja dan tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan kehamilan?" gumamnya.
...Helena kebingungan bagaimana ia bisa hamil padahal ia tidak melakukan hubungan intim dengan siapapun bahkan seorang teman laki-laki pun tidak punya....
...Ditambah lagi tidak seorangpun dari keluarganya terlihat kehadiran mereka membuatnya semakin takut dan cemas apalagi setelah mengetahui kondisinya sekarang dalam keadaan hamil, jadi mau tidak mau pilihannya ikut pemuda itu yang mengaku akan mengurusnya dan janinnya....
...Dalam koridor rumah sakit, Helena berjalan mengikuti langkah lelaki asing itu, namun langkahnya tiba-tiba terhenti oleh sebuah pantulan seorang perempuan yang terlihat di pantulan pintu yang berbahan dari kaca, ia keheranan dengan pantulan wanita itu yang selalu mengikuti gerakannya, Helena menyeringai, pantulan bayangan itu juga menyeringai, ia cemberut bayangan itu juga mengikuti sehingga tidak ada perbedaan gerakannya dengan pantulan tersebut, itu membuatnya ketakutan karena tidak ada perempuan lain selain dirinya yang berjalan di koridor rumah sakit....
Karena penasaran, Helena mencoba mendekati pada pintu dan pantulan wanita itu semakin terlihat jelas. perlahan dia mengamati setiap sudut pintu itu untuk memastikan bahwa ia sedang berhalusinasi atau ada orang lain yang sedang mengerjainya.
"AAAAA....!!" Teriaknya yang melompat ke belakang laki-laki itu.
"Kenapa?" tanya lelaki yang bersamanya.
"Hantu!!! a-ada hantu di sini!! Kalau tidak percaya lihatlah! bayangan itu terus mengikuti ku" Helena menunjuk ke pintu kaca itu.
"Ada-ada aja sih kamu! itu pantulan bayanganmu sendiri!" ujar lelaki itu.
..."Bu-bukan aku, itu bukan wajah ku" ringis Helena yang mendongakkan kepalanya dari belakang Joon....
Joon menarik Helena untuk berdiri di depan pintu yang berbahan kaca itu, "lihatlah! itu kamu!" kata Joon.
...Helena terkejut dan meraba wajahnya mengamati setiap sudut dengan ekspresi kebingungan, ia juga mulai memeriksa seluruh bagian tubuhnya, dari tangan sampai kaki, semuanya terlihat asing dan bukan tubuhnya....
"AAAA...! Siapa ini? Tubuh siapa ini? Kenapa bisa begini? ini bukannnn!!!". Helena meraba-raba wajahnya di depan kaca pintu.
Joon memeganginya agar tidak jatuh karena Helena bergerak-gerak tidak karuan, "Helena! tenangkan dirimu!" ujar lelaki itu.
Helena menghempaskan tangan lelaki itu darinya, "siapa kamu siapa? kenapa kau memegang ku dan siapa Helena?" tanya Helena, matanya penuh keheranan.
"Helena! ini aku Joon, adik iparmu!" kata lelaki yang bernama Joon.
"Joon? adik ipar? bagaimana bisa aku punya adik ipar, menikah saja belum?"
Helena mendorong Joon untuk menjauh tapi Joon menghiraukan perlakuan itu, ia tetap berusaha memegangi perempuan itu sehingga aksi dorong-mendorong mereka dilihatin oleh para suster atau pasien maupun orang lainnya yang melewati koridor rumah sakit itu.
"Pak Joon, sepertinya nyonya Helena mengalami amnesia" kata dokter setelah memeriksa keadaan Helena lagi.
Joon kembali membawa Helena diperiksa oleh dokter sebelumnya karena Helena jadi aneh dan tidak mengenali dirinya sendiri apalagi Joon.
"Saya tidak amnesia! saya ingat semuanya apa yang baru terjadi pada saya bahkan beberapa hari lalu saya sedang berbelanja lalu sebuah kabel terputus dan mengenai saya" sela Helena.
Matanya berpencar menilik setiap orang yang berada di ruangan itu termasuk orang-orang yang lewat di luar. Fisik mereka berbeda jauh dengan orang-orang ditempat asalnya.
"Hah?! Suara ku, bahasa ku juga? Bahasa apa yang ku gunakan ini? Bagaimana bisa aku disini? Apa yang terjadi???" Pekik Helena yang meringkuk di kursi pasien, Dokter dan perawat yang berada di ruangan itu tidak terkecuali Joon, lelaki yang sejak tadi bersamanya keheranan melihat sikap Helena.
Dokter dan joon melihat ke arah Helena. "Nyonya Helena shock ditambah lagi kejadian kemarin juga benar-benar telah membuatnya semakin terpuruk sehingga ia sekarang melupakan jati dirinya sendiri" jelas dokter.
"Saya bukan Helena! nama saya Shaina dan saya tidak melupakan apapun!" sergah Helena yang sebenarnya adalah Shaina.
Dokter dan Joon melihat dengan tatapan rasa kasihan terhadapnya.
"Boleh saya bawa pulang dokter? dan kami akan rutin mengecek kesehatannya lagi nanti" kata Joon.
"Pak Joon! saya bukan Helena tapi Shaina! kalau tidak percaya ya sudah aku mau pulang!!" lontar Helena.
Helena alias Shaina berlari ke luar rumah sakit tapi ia sangat terkejut dan heran dengan apa yang ia lihat, karena semuanya tampak berbeda dengan suasana kota asalnya bahkan orang-orang yang berlalu lalang adalah orang asing dengan fisik yang berbeda-beda.
"Di mana aku? kenapa tempat ini berbeda dengan kotaku?" gumamnya.
Joon mempercepat langkahnya untuk mengejar perempuan itu lalu mengajaknya pergi.
"Kita dimana? Kota apa ini sebenarnya?" Gumam Shaina.
Joon melirik Helena di sebelahnya, "Jangan khawatir kita masih di bumi" ketus Joon yang tersungging.
"Aku sungguh-sungguh bertanya..." Ringis Shaina yang memasang wajah sedihnya.
"Kita tinggal di Ausxxxx" tambah Joon.
Shaina terperanjat dan memegang sebelah kepalanya, ia tidak mengerti apa yang telah terjadi padanya.
Belum sempat berpikir ia sudah di tarik Joon untuk masuk kedalam taksi yang berhenti di depan mereka.
Kedua manik coklat Helena membesar serta mulut ternganga sambil bergumam, "dimana ini?" Lalu Shaina menampar pipinya, "Aaauuu!!" Pekiknya, "sakit" tambahnya.
Joon hanya memperhatikan setiap tindak-tanduk wanita itu tanpa menyahut setiap pertanyaan yang dilontarkan Shaina, beberapa menit kemudian taksi yang mereka berhenti di depan sebuah rumah. Joon keluar lebih dulu dan membuka pintu untuk Helena.
"Mama...!" seru dua anak kecil dari dalam rumah.
Sepasang anak kembar yang berusia sembilan tahun, mereka berlari memeluk Helena, tapi helena menghindari mereka.
"Anak siapa lagi nih? pakek panggil Mama lagi?" batin Shaina memperhatikan dua anak kembar didepannya.
"Siapa kalian?" tanya Helena.
Dua anak itu mengerjap, "Mama tidak ingat kami ya? aku Alfan Ma!" kata salah satu anak ini.
"Ma, ini Alice, Mama kenapa lupa?" tanya Alice
"Mereka anak-anakmu Helena" sambung Joon.
Helena terpaku, "Sejak kapan aku kawin sampai punya anak? tuan! aku bukan Helena tapi Shaina! namaku Shaina! ini bukan tubuh ku!" Helena mencengkeram kuat lengan Joon yang agak memohon.
Joon mengajak mereka semua masuk kedalam rumah, Shaina tidak menyerah ia terus menyakinkan Joon bahwa dia bukan Helena tapi Shaina hanya tubuhnya saja milik Helena sedangkan dirinya adalah Shaina.
"Terserah kau ini Helena, kau dan anak-anakmu akan tinggal di rumah ku demi kebaikan kalian, apalagi dengan keadaanmu seperti ini" ujar Joon.
"Aku tidak mau disini, aku mau pulang, keluargaku pasti mengkhawatirkan ku" gerutu Shaina.
Alice dan Alfan menangis karena berpikir mama mereka tidak menyukai mereka, apalagi Helena terus menggerutu sambil mengatakan dia bukan Helena tapi Shaina dan tidak mungkin memiliki anak.
"Diam!!! bisakah kalian diam? suara kalian semua sangat menggangu!" Joon menunjuk pada Helena "kau!!! siapapun dirimu aku tidak peduli kalau bukan istri kakakku aku tidak akan sudi menerimamu di rumahku!" berang Joon.
Hiks...Hiks...
Tangis anak-anak pun pecah karena Joon membentak mereka, Shaina pun ikut takut melihat orang itu juga memarahinya.
"Sial!!! Kenapa aku harus terjebak dengan orang-orang menyebalkan ini?". Joon duduk menyapu keras tengkuknya hingga ke depan kepalanya.
KRUUKK... KRUUKK!! (suara perut Shaina)
Joon menolehkan mukanya kearah Helena yang terlihat meringis.
"Kedapur sana! cari apa saja di dalam kulkas yang bisa kau makan!" tunjuk Joon.
Shaina beranjak dari duduknya menuju dapur yang ditunjukkan Joon, perutnya yang lapar Shaina mengabaikan mereka tuan rumah yang tidak menjamunya selayaknya tamu yang datang dimana akan disuguhi makanan atau minuman. Kebetulan dapur bersebelahan dengan ruang tamu Shaina tidak terlalu kesulitan untuk menemukan kulkas, meski rumah itu tampak sempit dan bergaya minimalis modern tapi semua furniturenya tertata dengan rapi sehingga terkesan nyaman.
PRANGG!!!!
Shaina terperanjat kaget kearah asal suara itu, sebuah piring makan telah hancur, terjatuh dari wastafel yang penuh dengan tumpukan peralatan makan dan minuman kotor. Suara piring terjatuh tidak hanya mengejutkan Shaina saja, tapi Joon dan anak-anak juga ikut menyusul ke dapur.
"Apa-apaan ini?" Tanya Joon, ia melempar pandangannya pada anak-anak, "siapa yang mengacaukan dapurku?! Apa yang kalian lakukan pada dapurku?" Pekiknya dengan mengarahkan pandangannya pada anak-anak itu.
Anak-anak itu terdiam sembari menundukkan wajahnya dari Joon, "maaf paman, kami lapar jadi memasak sendiri karena di kulkas tidak ada makanan" cicit Alfan.
Dengan cepat Joon memeriksa kulkasnya dan ia sangat terkejut melihat isi kulkasnya yang kosong karena ia lupa belanja.
Joon mendorong pintu kulkas dengan keras lalu kembali menyorot tajam anak-anak, ia berkata "Memasak? apa kalian berencana membakar rumahku? kalian kira mudah aku mendapatkan rumah ini?" Marah Joon.
"Tuan! mereka masih anak-anak, jangan dimarahin seperti ini!" sergah Shaina menyela kata-kata Joon yang tidak tidak senang dengan perbuatan Alice dan Alfan.
"Terserah!! Ini rumahku!! Aku tidak suka ada yang memberantakkannya !" berang Joon dan pergi.
Shaina yang merasa di persalahkan juga ia tidak tega melihat anak-anak itu menangis karena dimarahin paman mereka, dengan belaian lembutnya Shaina mengusap kepala mereka. "Tidak apa-apa, jangan nangis lagi, aku akan membantu membereskan ini" ucap Shaina.
Shaina mengumpulkan pecahan piring yang berserakan di lantai lalu membuangnya ke tempat sampah setelah itu ia cuci piring-piring yang menumpuk tidak lupa juga membersihkan kompor membereskan meja makan hingga semuanya bersih dan rapi akan dapur tersebut.
Beberapa saat kemudian Joon kembali lagi ke dapur sambil menenteng bungkus kotak makanan yang barusan ia pesan, dan ia cukup terkejut melihat dapurnya sudah rapi dan bersih seperti sediakala.
Joon menoleh kearah anak-anak, "sekarang jangan nangis lagi! Ayo makan! aku sudah memesan makanan!" katanya.
Shaina dan anak-anak masih segan untuk mendekati ke meja sehingga mereka hanya diam diri di sudut ruangan, rapi Joon kembali melirik mereka dengan kesal.
"Kalian mau berdiri sana saja atau mau makan?" ketus Joon yang menyentak mereka.
Shaina mendekat ke meja makan Joon dengan mengajak anak-anak juga.
Jika diminta untuk menahan lapar sebentar lagi Shaina pasti tidak sanggup, karena sebenarnya ia sudah kelaparan sejak pulang tadi, meskipun begitu Shaina masih menyempatkan membaca basmallah sebelum ia mulai makan, karena bacaan tergolong agak keras sehingga terdengar oleh Joon dan anak-anak, membuatnya jadi perhatian mereka.
Joon kembali dibuat menganga melihat aksi makan Shaina yang dinilai kecepatan menghabiskan makanannya dibandingkan yang lain, namun Shaina masih menyempat melirik ke piring Joon yang masih terisi penuh.
"Maaf..." Shaina mengerjap pada Joon, "aku lapar" .
Joon berkerenyit sekaligus mendengus, "ini untukmu saja!" Joon mendorong piringnya yang masih terisi lengkap itu ke depan Shaina walaupun mimik wajahnya menunjukkan tidak senang harus berbagi makanannya dengan orang lain.
"Terimakasih...!" ucap Shaina dengan senyuman yang merekah.
Dengan antusiasnya Shaina kembali melanjutkan memakan makan tambahannya.
"Bisa bangkrut aku" gumam Joon disela-sela kesibukan Shaina menyantap makan siangnya yang belum pernah ia makan sebelumnya.
Perkataan Joon seperti sebuah alarm bahaya bagi Shaina yang seketika mengubah moodnya sehingga ia menghentikan aksi makannya. "Aku udah kenyang!" tandasnya Shaina dengan tatapan tajam kearah Joon.
"Baguslah kalau begitu" sahut Joon.
Jawaban Joon semakin meningkatkan kejengkelannya tapi, Shaina tetap memasang wajah tenang bahkan ia juga membereskan meja makan setelah makan. Tidak hanya itu, setelah makan Joon menunjukkan kamar untuk mereka.
"Rumahku hanya ada dua kamar, aku tak ingin berbagi ranjang dengan siapapun jadi kalian bisa tidur bertiga disini" jelas Joon.
Anak-anak mengangguk dengan wajah yang memelas. Sedangkan Shaina sudah tenggelam dalam pikirannya sendiri bahkan ia terus bercermin dan meraba-raba setiap inci dari tubuhnya, perutnya pun tak luput dari pemeriksaannya. Meski perutnya belum terlalu besar tapi sudah membentuk gundukan bak seorang wanita hamil.
Shaina berputar kiri-kanan melihat dari berbagai sudut bentuk tubuhnya yang cukup proporsional hanya saja perutnya yang gendut. Tanpa sadar sikapnya itu sedang diperhatikan oleh Joon dan anak-anak di sebelahnya.
"Cantik sekali...! tapi siapa perempuan ini? Bagaimana bisa aku ada di dalam tubuh orang ini? Di mana tubuhku?" gumam Shaina, "Oh tidak! apa aku sudah mati lalu jadi hantu?" Shaina berbalik badan kearah joon.
"Bicara apa kau ini? sebaiknya kau istirahat saja!" sergah Joon.
"Pak, apa aku sudah mati dan masuk ke tubuh orang lain? Jangan-jangan aku ini hantu perawan penasaran?" gerutu Shaina.
"CK!" decak Joon. "Makanya otak sekali-kali di refreshing jangan dipakai untuk belajar melulu, kan jadi repot kalau gila..!" ketus Joon.
Joon berlalu pergi dari ucapannya tersebut malah membuat anak-anak cemas dan khawatir hingga menangis karena sikap Mama mereka seperti orang gila yang bergerak kesana-kemari tanpa arah yang jelas. Namun berbeda dengan dipikirkan Shaina, ia bingung pada keadaannya yang berada dalam tubuh orang lain, apalagi dia dalam keadaan hamil, itu semua sulit diterima akal sehat manusia.
Isakan tangis anak-anak membuat Shaina iba dan tidak tega.
"kenapa kalian menangis?" tanya Shaina.
"Mama... aneh! mama tidak gila kan?" cetus Alice.
Sontak Shaina kaget mendengarnya sehingga terpaku di sisi ranjang.
"Mama?" Gumam Shaina, mengarahkan pandangannya pada pantulan dirinya di cermin, seorang wanita berambut coklat sebahu, dengan alis yang terukir indah bak busur, dan memiliki sorot mata yang tajam. "Jangan menangis aku hanya belum terbiasa dengan keadaan seperti ini" sambungnya.
Shaina masih tidak percaya dirinya benar-benar merasuki tubuh orang lain yang tidak ia kenal bahkan perempuan itu sudah menikah dan memiliki anak selain itu ia berada di tempat yang tidak ia ketahui, semuanya tampak asing dan sangat jauh dari tempat asalnya.
Pikirannya sedang kacau dan tidak dilanda kebingungan dengan apa yang dialaminya. Shaina masuk ke kamar mandi yang terdapat di kamar itu untuk menjernihkan pikirannya sekaligus membersihkan diri dari tubuhnya sangat lengket oleh keringat, yang entah sudah beberapa hari ia tidak mandi. Selang beberapa menit kemudian ia keluar setelah membersihkan diri, kulitnya juga sudah lembab dan segar, tapi ia kembali bingung saat hendak berganti pakaian karena di lemari yang terdapat di kamar tersebut tidak ada apa-apa selain beberapa potong pakaian anak-anak, terpaksa ia harus mengenakan pakaian sebelumnya meski tidak nyaman.
TUK! TUK! TUK!
Alice buru-buru membuka pintu saat terdengar ketukan pintu dari luar. Ekspresi ceria langsung berubah manyun saat melihat sosok dibalik pintu itu.
"Cepat bersiap, kita harus kerumahmu untuk mengambil barang-barang kalian" ujar Joon.
"Ke rumah?" tanya Shaina.
"Iya. Memangnya kalian mau pakai apa selama di rumah ku? tinggal bersamaku bukan berarti aku akan membelikan pakaian baru setiap harinya apalagi anak-anakmu sekolah kan?" ketus Joon, "cepatlah! aku tunggu di depan" lanjutnya.
Shaina masih belum mengerti dengan perubahan keadaannya tersebut hanya bisa mengikuti arah membawanya, karena ia juga tidak bisa berbuat apa-apa selain berharap ia sedang bermimpi dan akan terjaga nantinya.
Sebuah taksi sudah berhenti di pinggir jalan tepat di depan rumah, setelah mereka semua keluar, lelaki itu tidak lupa mengunci pintu rumah sebelum mereka pergi.
Joon duduk duduk di bangku depan bersebelahan dengan sopir taksi sedangkan Shaina bersama dua anak Helena.
"Ma, apa kita akan pulang ke rumah?" tanya Alfan.
Didalam mobil Shaina sibuk memandangi ke luar jendela, melihat disekitar dengan suasana baru dan beda jauh dari yang sering ia lihat di kota asalnya, sekarang ia seperti masuk kedalam film-film modern dimana gedung-gedung pencakar langit berdiri kokoh sepanjang jalan, toko bertebaran dimana-mana, rumah-rumah mewah dan berkelas memenuhi sudut pandang, serts diramaikan kendaraan umum maupun pribadi dan orang-orang yang berlalu lalang di setiap sudut kota yang semakin memperlihatkan betapa sibuknya kota itu.
"Ma! Mama! Mama!" panggil Alice dengan mengguncang-guncang tangan Shaina.
Shaina tersentak "Hah?! Aku?" ia masih celingak-celinguk pada dua anak itu.
"Mama..! Kenapa dengan Mama?" gerutu Alice.
Shaina terdiam, "aku dalam tubuh perempuan ini dan otomatis aku jadi seorang Mama bagi anak-anak ini" batin Shaina
"Oh! Maaf, ada apa ?" Shaina menyunggingkan senyuman manisnya.
"Ma, apa kita akan pulang ke rumah kita?" tanya Alice lagi.
"Oh itu? Aku tidak tahu, bahkan aku tidak tahu aku sedang dimana dan apa yang ku lakukan" jawab Shaina dengan masih mempertahankan senyuman manisnya yang berbanding terbalik dengan perasaannya.
Tanpa disadari mereka dari kaca depan mobil Joon juga mengamati sikapnya Shaina bersama anak-anak.
Beberapa saat kemudian taksi yang mereka tumpangi menepi, Shaina keluar bersama anak-anak mengikuti Joon.
"Aku tinggal disini?" tanya Shaina yang kebingungan melihat sekitarnya.
"Iya, kalian tinggal disini" jawab Joon. "Orang bodoh saja tahu ini bengkel! kalian disini saja, aku mau mengambil mobilku" tambah Joon lagi.
Joon menghampiri seorang pria bertubuh besar, mereka tampak akrab mengobrol yang diiringi canda tawa.
Pria itu melirik Shaina, melihat dari bawah kaki hingga ujung kepala, dan cara pandang pria itu sungguh mengganggu Shaina sendiri.
"Wah Joon siapa nih cewek? Apa pacarmu?" tanya lelaki itu yang diiringi senyum yang mengandung makna lain.
Mendapati pandangan seperti itu membuat Shaina tidak nyaman matanya tersorot pada perutnya, ia memundurkan langkahnya dan berdiri di belakang anak-anak untuk menutupi diri dari mata lelaki itu.
"Dia istri kakak aku dan mereka anak-anaknya" jawab Joon.
"Benarkah? Aku minta maaf nyonya karena mengira anda pacarnya joon" nada bicara lelaki itu mulai sopan.
"Terima kasih perbaikannya" seru Joon pada lelaki itu sambil melirik Shaina di belakangnya.
"Iya Joon, jaga kakak iparmu dan keponakan-keponakanmu, aku juga ikut berduka atas apa yang menimpa kakakmu" tambah lelaki itu.
"Terima kasih, aku pergi dulu" ucap Joon,
Joon menyuruh Shaina dan anak-anak masuk kedalam mobilnya, lalu mobil yang mereka gunakan turun ke jalanan bersama kendaraan lainnya meramaikan kota. Dalam perjalanan yang penuh keheningan itu karena tidak ada satupun yang mulai berbicara, khawatir Joon akan marah, tapi tidak bisa dipungkiri sesekali Shaina melirik lelaki berhidung mancung itu dengan bibir bawahnya yang agak seperti terbelah apalagi dengan alisnya yang tersulam indah dan ditutupi sebagian poninya meski rambutnya agak acak-acakan. Namun dia tetap terlihat menarik dimata Shaina yang bahkan membuatnya deg-degan setiap kali matanya tertangkap oleh Joon.
Perasaan yang belum pernah Shaina rasakan sebelumnya sekalipun saat ia berada dalam kerumunan para lelaki.
Tampan, mungkin kata itu tidak berlebihan jika disematkan pada joon karena bukan Shaina saja yang merasa begitu, beberapa perempuan yang Shaina lihat tadi juga ikut memperhatikan Joon sambil tersenyum-senyum atau bergaya menggoda untuk menarik perhatian lelaki itu.
Joon memberhentikan mobilnya di depan rumah bergaya tudor dengan ukuran halaman yang cukup luas daripada rumah Joon sendiri.
"Cepat buka pintu?" pemerintah Joon..
"Hah?!" ucap Shaina.
"Cepat buka pintu! aku tidak tahu sandinya rumahmu!" kata Joon.
"Ini rumahku?" tanya Shaina.
"Ya ampun! aku lupa dia amnesia, namanya saja tidak ingat apalagi sandi rumahnya" gumam Joon.
"Paman biar Alfan saja yang buka, Alfan tahu nomor sandi rumah" sela Alfan.
"Baguslah!! setidaknya ada yang ingat cara masuk" tukas Joon.
Ketika melangkah kedalam, rumah bergaya tudor itu juga berkonsep modern itu semakin kental dimana terdapat sebuah perapian yang menghangatkan di musim dingin, namun yang menarik perhatian Shaina ialah dengan sebingkai foto berukuran besar yang terpajang di dinding tepat di belakang sofa, dalam bingkai foto tersebut terdapat empat orang di mana duanya adalah Alice dan Alfan dan dua lainnya orang dewasa, seorang lelaki bermata coklat terang seperti yang dimiliki Joon dan satu lagi seorang perempuan yaitu Helena, dalam foto tersebut mereka duduk di sofa sambil berbagi senyuman yang penuh kebahagiaan.
Kira-kira apa yang akan dilakukan Shaina ya, dengan menjadi orang lain?
Haloo para reader yang baik hati, terima kasih udah mampir sekarang author butuh like nya...
Biar semangat nulisnya, hehehe....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!