NovelToon NovelToon

Kisah Cinta Nisa

Anggara Wijaya

Di akhir tahun 90-an, saat itu aku berusia delapan tahun. Aku tinggal di pusat kota Jakarta, di balik gedung-gedung yang menjulang tinggi, terdapat pemukiman yang padat penduduk. Aku lahir di sini, di mana banyak suku, agama, dan status sosial berbeda menjadi satu. Namun, kami tetap rukun dan saling menghargai, walau terkadang ada segelintir orang yang saling bersaing untuk menunjukkan keluarganya paling harmonis atau paling bermateri.

Aku sedang duduk sendiri di depan gerbang seklah, menunggu ibu datang menjemput. Tiba-tiba ada seorang anak laki-laki menghampiriku. Aku kenal dia, dia memeang tetangga sekaligus kakak kelasku di sekolah ini. Tapi aku tak pernah berinteraksi dengannya, karena status sosial kami yang berbeda.

“Belum pulang?” Tanya anak laki-laki itu. Usianya sekitar 10 tahun, tapi aku dan dia hanya berbeda satu tingkat saja, karena aku masuk SD dengan usia yang lebih muda.

Aku menggeleng. “Belum di jemput ummi.”

“Kamu tetangganya Budi kan?” Tanya anak laki-laki itu lagi.

“Kenalin, Aku Angga. Aku teman mainnya Budi. Aku pernah liat kamu, kalau aku lagi main di rumah Budi.”

“Oh iya, aku juga pernah juga pernah liat kamu. Namaku Nisa,”

Kami saling berjabat tangan.

“Ayo, pulang bareng aku!” Angga yang sedang menduduki sepedanya, menawarkan untuk mengatarku pulang.

“Rumah kita kan deketan. Ayo naik! Sekalian kita pulang bareng.”

Aku setuju dan segera menghampirinya, lalu duduk di belakang.

Lima belas menit kemudian, Angga memberhentikan sepedanya persis di depan gang rumahku.

“Sampai.’ Katanya.

“Terima kasih.” Aku turun dan langsung berlalu dari hadapannya, tapi ia segera menahan.

“Nisa, kita berteman.” Kata Angga lagi dengan menunjukkan jari kelingkingnya ke atas.

Aku membalasnya, dan ikut menampilkan jari kelingking kananku. Lalu di tempelkan padanya di iringi senyum manis.

Aku adalah Anisa, biasa di panggil Nisa. Sejak kecil aku selalu bermain dengan Lena, Kokom, Budi, dan Angga. Aku, Budi, dan Kokom masih satu RT, kami tinggal di dalam gang, sedangkan Angga dan Lena tinggal di depan jalan Raya. Ibaratnya, Angga dan Lena anak komplek, sementara Aku, Kokom , dan Budi anak kampung. Namun, sejak kecil Angga dan Lena lebih suka bermain ke belakang, mereka sering menemui kami dan biasanya rumahku adalah basecamp-nya. Ummi (Panggilanku pada ibuku) suka masak dan membuat kue, karena itu juga ke empat sahabatku lebih suka berkumpul di sini.

Anggara Wijaya, anak sulung dari keluarga kaya. Kedua orang tuanya bekerja sebagai pegawai negeri sipil dengan jabatan yang lumayan tinggi. Keluarganya di segani di daerahku, karena ayahnya Angga selalu menjadi donatur di masjid-masjid terdekat dan sering membantu meminjamkan uang untuk orang-orang yang sedang membutuhkan tanpa bunga. Kami juga sering di jajani Angga.

Lena juga termasuk dari keluarga yang sangat mampu, ia berasal dari Minang. Orang tuanya mempunyai beberapa toko di pusat perbelanjaan terbesar se Asia Tenggara itu. Rumahnya berada persis di samping rumah Angga. Lena juga anak perempuan satu-satunya di keluarga. Bisa di bayangkan warisan ayng akan dia terima nanti?

Ronald Budiman, kami biasa memanggilnya Budi, karena ia tak mau jika kami memanggilnya Ronald. Kata Budi, saat ia lahir, ayahnya penggemar pesepak bola dunia yang bernama Ronald, tapi nama itu sangat asing untuk kami yang tinggal di pemukiman padat penduduk seperti ini.

Aku dan Kokom, mempunyai status sosial yang sama. Kami pun sama-sama anak bungsu, dengan ayah yang super duper galak. Pekerjaan ayah dan ibu kami pun sama. Ayah Kokom dan Ayahku sama-sama seorang supir. Bedanya Ayahku supir operasional di salah satu bank swasta terkenal, sementara ayah Kokom adalah supir pribadi di salah satu rumah pengusaha. Ibu kami sama-sama pedagang. Ibuku menjual sembako eceran, sedangkan ibu Kokom menjual nasi uduk saat pagi hari. Rumahku dan Kokom masih satu jejer, tapi ada sepuluh rumah yang membatasinya. Terkadang orang tua kami saling bersaing dalam hal kemapanan, tapi tidak untuk kami. Aku dan Kokom tetap bermain dan menjadi sahabat baik.

“Kom, tunggu..” Teriakku saat sepeda yang ku kayuh lebih melambat dari yang lain, ketika mendapati jalan yang menanjak tajam.

“Pake gigi lima, Nis.” Teriak Budi.

Budi, Angga, dan Lena sudah berada di atas, sedangkan aku dan Kokom masih mengayuh, walaupun tetap saja aku yang paling belakang.

Tiba-tiba Angga mengayuhkan sepedanya untuk turun dan menghampiriku.

“Gigi sepedanya di tarik ke angka lima.” Kata angga sambil memegangi ggi sepedaku.

“Oh, begitu.” Jawabku polos.

Lalu Angga tersenyum dan menyuruhku untuk berjalan lebih dulu.

****

Waktu terus berjalan, semakin hari kami semakin besar. Saat ini, aku menginjak usia dua belas tahun. Aku sudah kelas 6 SD. Angga dan Budi malah sudah memasuki Sekolah Menengah Pertama. Pertemananku bersama mereka semakin erat. Kami nyambung dalam hal apapun, walaupun Budi dan Angga berada 1 tingkat di atas kami.

Hari ini seluruh rakyat di negeri tercintaku tengah bersorak sorai merayakan hari jadinya, tak terkecuali warga di daerahku. Biasanya di tempatku akan mengadakan perayaan dari malam sebelumnya, hingga malam hari jadinya. Seperti malam ini, tepat di depan Pos RW sedang berlangsung acara menonton bersama, dengan layar yang luasnya 3 x 5 meter. Di sana menyuguhkan film komedi yang pernah di putar di bioskop. Namun begitu, tetap banyak saja yang hadir. Mungkin karena suka akan keramaian dan keseruannya saja.

Budi, Angga, Lena, dan Kokom sudah berada di tengah-tengah acara itu. Aku datang terlambat. Aku mencari keberadaan mereka, tapi tak berhasil. Mataku sudah berkeliling ke arah orang yang aku cari, hingga akhirnya aku mengalami hal yang buruk.

Aku berdiri di tengah keramaian, tiba-tiba ada tangan besar yang menyentuh bagian kewanitaanku. Memang salahku, karena aku menggunakan rok selutut dengan tidak di lengkapi celana ketat kecil yang di sebut “Legging”. Aku menunduk, tangan besar itu ada di bawahku, lalu aku menoleh ke kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang, semua adalah pria yang usianya jauh di atasku.

Aku seperti terkepung, tapi aku lihat ekspresi ke semua pria itu sedang tidak melihatku, bahkan mereka tengah asyik tertawa melihat film yang tengah di suguhkan.

“Tangan siapa ini?” Tanyaku lirih dalam hati.

“Minggir.” Angga tiba-tiba datang menghampiriku dan melepaskan tangan besar yang masih menyentuh bagian kewanitaanku tadi.

Tanganku langsung di tarik dan membawaku ke tempat yang tak lagi ramai.

“Lu b*go? Lu tau tadi posisi lu udah di kepung banyak cowok.” Teriak Angga persis di wajahku dengan mata memerah.

Aku lari dan pulang ke rumah, meninggalkan Angga yang masih berdiri di sana.

Hari bersejarah

Pasalnya, kami sudah khatam Al-Quran dan Bu Mur (sang guru ngaji) meminta orang tua kami untuk membuat tumpeng, sebagai rasa suka cita itu. Kami bukan hanya teman bermain, lepas pulang sekolah. Tapi kami juga berada dalam tempat pengajian yang sama, di rumah salah satu ibu-ibu lulusan pesantren yang tak memiliki anak. Bu Mur, menampung anak-anak dari usia delapan hingga 14 tahun. Ia mengajarkan kami membaca Al Quran dan tata cara sholat, dan biasanya setelah Khatam kami tak lagi menimba ilmu di sana.

“Yah, kita nanti udah jarang ketemu lagi donk. Lo pasti udah ngga gaji lagi kan, Nis?’ Kata Kokom.

“Semoga kita satu sekolah, Kom.” Jawab Lena.

“Iya, bener.” Celetuk aku.

“Semoga lo semua di terima di sekolah kita” Kata Budi.

“Aamiin.” Jawab Angga singkat.

“Walaupun kita udah ngga ngaji di sini, tapi nanti kita sama-sama lagi di sekolah baru.” Kata aku riang.

“Yeaahhhh..” Ucap senang Lena.

Setelah beranjak remaja, percakapan kami selalu menggunakan ‘gue-elo’, walau terdengar tidak sopan, tapi di sini ‘aku-kamu’ menjadi bahasa yang tabu untuk di gunakan para remaja. Malah akan di bilang ‘cupu’ alias ‘culun punya’, atau di bully dengan sebutan ‘ngga gaul’. Yah, seperti itulah. Tapi, itu tak berlaku padaku. Aku akan tetap menajdi diriku yang takut pada kedua orang tuaku.

Kami berkeliling kampung dengan membawa tumpeng besar. Setiap rumah warga yang kami lewati, berdiri di rumah masing-masing dan menerima satu sendok besar nasi tumpeng dari kami. Rasa suka cita itu bukan hanya milik kami yang khatam Al-Quran, tapi milik warga sekitar.

****

Akhirnya sampailah di hari pertama aku memasuki Sekolah Menengah Pertama. Ternyata Budi dan Kokom juga ada di sini. Aku, Kokom, dan Lena duduk berdekatan. Kami duduk lesehan di sebuah aula sekolah. Terlihat Angga yang ingin berbicara di depan podium. Ada Budi juga, yang duduk bersama pengurus OSIS lainnya. Sebelum ia mulai bicara, ia sudah di teriaki oleh perempuan-perempuan yang tengah duduk bersamaku di sini.

“Priwit.. Kak Angga..” Kata salah satu perempuan di sana.

“Kak Angga..” Ada yang berteriak lagi.

“Gile, ternyata si Angga famous juga di sekolah ini.” Ucap Kokom.

Sontak membuatku melihat lagi sosok teman kecilku itu. Memang Angga tampan, kulitnya putih, parasnya menawan, dan tubuhnya semakin tinggi.

“Lo liatin Angga ngga kedip, Nis.” Lena menyenggol lenganku.

‘Ah, masa? Biasa aja tuh.” Jawabku beralasan dan memalingkan wajah agar Lena tak melihat wajahku yang sudah memerah.

“Lah si Angga ceking aja banyak yang suka sih. Apa yang di liat coba.” Kata Kokom, membuat kami tergelak.

“Ceking, terus tukang ngiler.” Sambung Budi, yang tiba-tiba duduk di sebelah kami.

Aku ikut tergelak.

“Plis, jangan berisik ya! Jangan ada yang ngobrol sendiri!” Angga melihat ke arah Budi.

“Ih, songong banget si cungkring.” Gerutu Kokom.

Masa orientasi selesai. Aku satu kelas dengan Lena, sementara Budi dan Kokom ada di kelas sebelah.

Teet... Bel sekolah berbunyi, tanda untuk istirahat.

“Nis, lo ngga ke kantin?” Tanya Lena, sambil membereskan buku-buku di meja.

“Aku bawa bekel, tadi pagi ummi bikin lauk.” Jawabku.

“Oh, kalau gitu gue ke kantin ya.” Ucap Lena dan langsung aku angguki.

Di kantin sudah ada Angga, Budi, dan Kokom yang duduk di paling pojok.

‘Len, Nisa mana?” Tanya angga setelah mendapati Lena yang sedang membeli camilan.

“Dia mah pasti bawa bekel.” Kata Kokom.

“Anak emak.” Sahut Budi.

“Gue susul Nisa ke kelasnya deh.” Angga beranjak dari duduknya dan melaju ke kelas Nisa.

“Hai.” Angga langsung duduk dekat di sebelah Nisa, membuatnya terkejut.

“Ih ngapain kamu ke sini? Ngga enak tau di liatian yang lain. Nanti aku di musuhin cewek-cewek karena deket sama kamu.”

“Bodo amat orang mau ngomong apa, lagian lo sahabat gue dari kecil. Kalau ada yang macem-macem sama lo, bilang gue! Nanti orang itu akan berurusan sama gue.” Angga merangkul pundak Nisa. Tapi Nisa langsung mengambil tangan Angga dari pundaknya.

“Iya. Tapi jangan begini juga! Nanti aku ngga punya temen cewek di sini.” Mendengar pernyataan nisa, Angga langsung tergelak.

“Lo lucu, tau ngga.” Angga mencubit ujung hidung Nisa.

“Mau donk makanannya.. Ini pasti enak, buatan tangan ummi kan selalu enak.” Angga menyambar sendok yang di pegang Nisa.

“Bekas aku, Ga. Kamu ngga geli apa?’

“Udah biasa, Nis.” Angga nyengir, lalu tak lama kemudian ia pergi dan kembali ke kelasnya, setelah bel berbunyi.

Para teman wanita yang lain, satu persatu menghampiriku. Mereka ingin berteman denganku karena aku begitu dekat dengan Angga. Angga pun memproklamirkan bahwa aku adalah adiknya. Ia bilang ke semua teman angkatannya untuk tidak macam-macam denganku, apalagi coba mendekatiku.

Masa paling indah

Setahun berlalu, aku semakin menikmati masa-masa abege-ku. Aku, Kokom, dan Lena dekat dengan teman-teman Angga, juga Budi. Angga memang terkenal pentolan di sana. Seluruh sekolah mengenalnya, guru, kepla sekolah, bahkan sampai ke ibu kantin dan satpam. Padahal secara akademis Angga jauh dari kata prestasi.

Di sekolah itu ada dua kantin. Kantin pertama terletak persis di depan, agak dekat dengan ruang guru. Kantin depan itu di sebut, kantinnya anak-anak pintar. Sedangkan kantin belakang yang memang letaknya sangat terpencil dan mojok kaya upil, di sebut kantin anak begajulan. Siswa yang suka nyimenk atau bolos, akan lari ke sana.

Seperti saat ini, aku, Lena, Kokom, Budi, Angga, dan dua orang temannya Angga sedang berada di kantin belakang. Entah mengapa aku mengikuti mereka yang bolos pada jam pelajaran matematika. Biasanya, aku tidak pernah ikut bolos. Ini adalah pertama kalinya.

“Eh.. ada Pak Anton ke sini.” Ucap Tian, salah satu temannya Angga yang mengintip dari dalam kantin.

Budi menghampiri Tian. “Eh, bener. Pak Anton ke sini.”

Sontak kami berlari ke kolong meja kantin.

“Mak, Sssst...” Angga memberi aba-aba pada ibu kantin yang biasa kami panggi Emak.

Si emak mengangguk.

Pak Anton terkenal guru kiler, ia tak segan-segan untuk memukul siswa yang sulit di atur dengan rotan yang selalu dibawanya.

Kami langsung menunduk dan bersembunyi di kolong meja. Terlihat kaki Pak Anton yang tengah berdiri tepat di meja kami.

“Ada anak-anak, Mak?’ Tanya pak Anton pada si Emak.

“Ngga ada, Pak.”

“Tapi tadi saya liat ada siswa yang bolos di sini.”

“Ngga ada, Pak.” Jawab Emak gugup.

Di tengah percakapan antara si Emak dan Pak Anton, tiba-tiba Tian mengeluarkan angin dari bokongnya.

“Gila, lo kentut, bau b*go.” Suara berbisik Angga sambil menepuk bokong Tian.

"Bau..” Kata Lena. Pasalnya Tian berjongkok di paling depan.

“Iya bau banget.” Kata Kokom. Aku tidak bersuara, hanya langsung menutup hidung dengan kaos seragamku.

“Gue ngga kuat.” Budi keluar dari kolong keja.

Saat Budi berdiri, ternyata Pak Anton masih ada di sini.

“Tuh, kan. Di sini ada anak-anak yang bolos.” Mata Pak anton mebulat menatap wajah Budi.

“Ah, b*go lo Bud, pake keluar kolong segala.” Kata kokom memarahi Budi, karena akhirnya mereka di giring ke ruang kepala sekolah.

“Sumpah, gue ngga kuat sama bau kentutnya si Tian.” Jawab Budi.

“Huuu.. gara-gara elo nih.” Angga dan Dimas memukul pelan kepala Tian. Kebisingan mereka di belakang tubub Pak anton yang sedang berjalan, membuat Pak Anton menoleh ke belakang dengan tatapan tajam.

****

“Nanti malam mau kemana?’ Tanya Budi padaku, saat kami tengah berjalan pulang dari sekolah.

Kami pulang dengan menaiki mikrolet, angkutan umum yang berwarna biru.

Aku menggeleng. “Ngga kemana-mana.”

“kalau gue mau jalan sama Kevin.” Sahut Lena.

“Lo jadian sama Kevin, Len?’ Tanya Kokom, dan aku pun ikut memandangnya penasaran.

“Belom, tapi masih PDKT.”

“Ya elah, apa sih gantegnya Kevin.” Budi bedecak.

“Gantenglah, walaupun dia item tapi manis.” Lena membela.

“Iya dah, manis.’ Kataku.

“Kalah gula.” Celetuk Kokom.

"Btw, Angga ga ikut pulang bareng kita?’ Tanyaku.

“Dia sekarang udah di beliin motor, Nis. Jadi ngga naek angkot lagi.” JawabBudi.

“Oh...”

“Kalau gue, nanti malem mau jalan-jalan sama Siska.” Ucap Kokom.

“Siska, anak kelas 8B?’ Tanay Budi, yang langsung di angguki Kokom.

“Ati-ati lo, tuh cewek suka di anter om-om.” Kata Budi.

“Masa sih?” Tanyaku tak percaya.

“Gosip lo, mulut udah kaya cewek.” Kokom membungkam mulut Budi.

“Eh, tapi yang gue denger juga kaya gitu, Kom. Lo jangan deket-deket dia deh! Katanya nyokapnya juga PSK.”

“Ya udah sih. Gue mah bertemen kaga pilih-pilih.” Kokom berjalan lebih cepat.

Siska anak kelas 9, ia satu angakatan dengan Angga. Ia juga pernah menjadi pacar Angga, itupun karena dia yang memohon untuk menjadi pacarnya, dan Angga hanya mempermainkan Siska, Angga selalu bisa di puaskan Siska, walau hanya sekedar making out. Tubuh Siska tinggi semampai, ia tak terlihat seperti masih anak SMP, apalagi jika sedang tidak memakai seragam. Aku juga sering melihatnya di kantin dengan teman lelaki yang berbeda-beda. Terkadang di pojokan kantin, aku sering mendapati Siska yang tengah di raba-raba tubuhnya oleh dua orang teman lekakinya.

Ciit.. Tiba-tiba motor angga berhenti di depan kami yang tengah menunggu angkutan umum.

“Nis, bareng gue yuk!” Mata Angga mengarah padaku.

Aku bingung, karena aku tak tega meninggalkan Kokom dan Lena, karena biasanya kami berangkat dan pulang bersama.

“Lena sama Kokom di temenin Budi.”

“Ya, Bud.” Ucap Angga sambil menepuk pundak Budi.

“Emang lo bedua mau kemana? Mau jalan-jalan ya? Gue ikut donk.” Kata Lena.

“Kaga.” Jawab Angga cepat.

“Paling, Angga mau minta temenin beli baju bola.” Sambung Kokom, karena Angga dan Nisa mempunyai Club bola kesukaan yang sama. Angga juga menyukai pilihan Nisa dalam berfashion.

Budi tak banyak bicara. Ia menarik lengan Lena dan Kokom. “Yaudah ayo pulang!”

“Ih dia baper.” Kata Angga setelah, melihat mereka bertiga tak lagi di hadapannya.

“Siapa yang baper?” Tanyaku, sambil menaiki motor sport Angga.

“Budi.”

“Emang kenapa Budi baper?” Aku masih bertanya bingung, sambil menerima helm dari Angga dan memakainya.

“Lah, emang lo ngga sadar kalau Budi suka sama lo?” Aku menggeleng.

“Apaan sih.” Aku mentoyor pundak Angga dari belakang.

“Udah jalan, jangan ngaco!”

“Lo ngga percaya? Gue cowok, Nis. Gue tau kalau cowok lagi suka sama cewek kaya gimana.” Ucap Angga di tengah-tengah kefokusannya mengendarai motor.

“Itu perasaan kamu aja. Kita semua sahabat kali. Just friendship, nothing love. Itu slogan kita dari kecil kan?.” Jawabku.

Angga hanya tersenyum dan tak membalas lagi perkataanku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!