NovelToon NovelToon

Syaddah Cinta

Prolog

"Kenapa lu terus menghindari gua? Apa karena gua terlalu kotor untuk sekedar berteman sama lu?"

Gadis berpakaian syar'i serta kerudung panjang menjuntai menutupi dada sampai ke perut, dengan cadar hitam menutupi wajahnya itu menggeleng pelan.

"Kita ... bukan mahram,"

"Apa perlu gua menikahi lu dulu supaya gua bisa dekat sama lu?"

Sekali lagi laki-laki berpenampilan ala-ala aktris korea itu bertanya dengan heran. Apa sesulit itu untuk sekedar menjadi temannya.

Gadis itu terpaku mendengar ucapan pemuda bertindik itu, namun sayang wajahnya terlalu tampan untuk sekedar diabaikan keberadaanya. Mungkin itu bisa saja terjadi jika mereka adalah pasangan halal, dengan senang hati gadis itu akan menatap pemuda itu. Tapi, kini kenyataannya berbeda, mereka bukan siapa-siapa.

"Kenapa bengong? Apa gua juga nggak pantas buat dapat istri seperti lu?" Pemuda itu menjentikkan jarinya di depan wajah gadis itu.

"Astagfirullah!" gadis itu tersadar dari lamunannya. Matanya mengerjap beberapa kali. Kakinya refleks mundur selangkah.

"Maaf, saya harus segera pergi," pamitnya, lebih tepatnya gadis itu menghindari pemuda yang sedari tadi terus mengikutinya.

Namun baru dua langkah kakinya berjalan, tiba-tiba langkahnya kembali terhenti saat gerakan tangan terbentang dari pemuda itu menghalangi jalannya.

"Katakan, bagaimana caranya supaya gua bisa memiliki lu?" tanyanya sekali lagi, ia seakan tak menyerah pada penolakan si gadis.

"Mintalah saya pada Sang Pemilik Kehidupan," sahut gadis itu dengan wajah menunduk. Ia kembali melangkahkan kakinya, kali ini dengan gerakan lebih cepat.

"Assalamualaikum," pamit gadis itu, sebelum benar-benar meninggalkan pemuda yang kini bergantian terpaku di tempatnya, walau ia tahu bahwa pemuda itu tidak akan menjawab salamnya.

Pemuda itu masih bergeming mendengar jawaban gadis bercadar itu. Ia baru tersadar saat gadis itu sudah meninggalkannya. Pemuda itu berbalik melihat punggung si gadis yang kian lama kian menjauh.

"Katakan siapa namamu?" teriaknya dengan kencang. Gadis itu menoleh, sekilas ia menatap matanya.

"Supaya aku bisa meminta kamu pada Sang Pencipta," serunya lagi, seakan mengerti kebingungan gadis itu.

"Hafsha Kamilatunnisa."

Setelah gadis itu benar-benar menghilang ditelan jarak. Sebuah senyuman kecil terbit di bibir pemuda itu. Ia kembali menghampiri motor ninja hitamnya dan segera meninggalkan tempat itu.

Masih banyak waktu untuk kembali mengejar cinta gadis itu. Gadis yang hari ini telah ia ketahui namanya setelah beberapa minggu ia berusaha untuk mendekatinya. Besok ia akan kembali ke tempat itu untuk menemui gadisnya itu.

Sepanjang jalan, ia mengendarai motornya. Hati dan pikiran pemuda itu tak lepas dari si gadis yang beberapa hari ini telah menyita semua perhatiannya.

Entah apa dan kenapa ia sendiri pun tak tahu, kenapa bisa hatinya terpaut pada gadis yang sama sekali bahkan belum ia kenal. Wajahnya saja ia tak dapat melihatnya, karena setiap kali mereka bertemu gadis itu selalu memakai pakaian tertutup dengan sebagian wajah tertutup pula.

Namun, karena itulah ia yang awalnya penasaran pun berubah menjadi obsesi untuk mendekati gadis itu. Memang bukan yang pertama kali ia melihat penampilan perempuan tertutup, tapi entah kenapa gadis yang satu itu telah membuat hatinya bergejolak, bahkan hanya sekedar berdekatan dengannya saja ia sudah seperti membuatnya gila.

Hari ini ia telah berhasil mendapatkan namanya dan sesuai janjinya tadi ia akan memintanya langsung pada Sang Pemilik Kehidupan. Tapi ...

CIIITTT

Seketika pemuda itu menghentikan laju motornya. Ia membuka helm dan meletakkannya di atas tangki motor di depannya.

"Bagaimana caranya meminta dia pada Sang Pemilik Kehidupan?"

Bersambung...

Pertarungan bebas

Tiga buah motor melaju dengan cepat membelah keheningan kota malam. Dua motor trail dan satu motor ninja hitam, saling kejar seakan tidak ada yang mau mengalah.

Kedua motor itu semakin cepat mengejar ninja hitam di depannya. Hingga di suatu jalanan yang sepi mereka berhasil menyalip ninja hitam itu.

"Apa mau lu?" tanya si pemuda yang menunggangi ninja hitam tadi, ia turun dari motor dan membuka helmnya.

Kedua laki-laki yang turun dari motor trail tidak menjawab. Mereka mengeluarkan dua buah balok kayu dari balik punggungnya.

"Kita hanya ingin kematian lu?" ucapnya garang.

"Wow, wow, emang lu siapa? Seenaknya saja mau bunuh gua!" Ghibran mundur beberapa langkah dengan tatapan waspada.

Kedua laki-laki berbadan kekar itu saling memandang. Bibir mereka menyeringai melihat Ghibran yang sepertinya mulai ketakutan.

"Jangan banyak cingcong lu." Salah satu dari kedua laki-laki itu berlari ke arah Ghibran dengan balok kayu yang sudah mengudara.

Ghibran berhasil berkelit, sehingga pukulan yang di arahkan tepat pada kepalanya itu mengenai udara. Membuat laki-laki itu semakin geram.

Seorang laki-laki lainnya yang sedari tadi masih diam menunggu giliran kini mulai maju, mengambil alih. Ia melayangkan balok itu dengan kencang dan kuat. Kali ini Ghibran berhasil menahan pukulan itu dengan helm di tangannya, walau berakhir dengan hancurnya helm miliknya itu.

"Wow, helm gua pecah. Padahal ini baru gua beli tadi pagi," gerutu Ghibran, dengan kesal ia melempar helm itu ke tanah.

"Peduli amat kita sama helm jelek lu," sahut salah satu laki-laki itu.

"Ini beneran ngajak gelud, woi? Wah gua kira elo berdua bercanda," ucap Ghibran lagi, ia lebih serius untuk menghadapi kedua laki-laki yang menjadi musuhnya itu.

Walau ia sendiri tak tahu mereka itu siapa atau lebih tepatnya suruhan siapa, karena musuhnya terlalu banyak jadi ia tidak dapat menebak siapa orang yang menjadi dalang dan begitu menginginkan kematiannya.

"Maju deh kalau gitu. Tapi elo mukulnya pake aba-aba ya, biar gua bisa ngelak." Ghibran memberi kode dengan jari telunjuknya menantang kedua musuhnya itu. Walau sebenarnya dalam hatinya ia sudah merasa takut.

Kedua laki-laki itu saling tatap sebentar, mereka mendengus menanggapi guyonannya. Pemuda itu sangat pintar menyembunyikan rasa takutnya pada mereka berdua, padahal saat ini nyawanya tengah terancam.

"Hiiyyaaa!" Mereka kembali menyerang, kali ini secara bersamaan.

Ghibran lagi-lagi berhasil menghindar dengan menggunakan apapun yang ia temukan sebagai senjata dan ia gunakan untuk membalas serangan kedua laki-laki itu.

Mata kedua laki-laki itu semakin melotot marah, melihat Ghibran berhasil menangkis bahkan sesekali Ghibran berhasil membalas serangannya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, keduanya memukul membabi buta pada tubuh pemuda itu. Karena diserang tanpa jeda dengan menggunakan senjata, pemuda itu tidak dapat banyak melawan. Tidak sampai setengah jam, tubuhnya sudah tergolek lemas di atas aspal.

Setelah puas memukuli pemuda itu. Kedua orang tersebut meninggalkan korbannya yang sudah tak berdaya, dengan luka di sekujur tubuhnya.

Pemuda itu mengerang kesakitan. Ia meringkuk di jalan yang gelap, merasakan sakit di sekujur tubuh. Langit malam menyaksikan dirinya yang semakin kehilangan kesadarannya. Entah harus minta tolong pada siapa di suasana malam yang sunyi ini.

"Tuhan jangan ambil nyawa gua sekarang, gua belum kawin!"

Bersambung..

Ditolong bidadari

Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam, saat Hafsha yang ditemani oleh mang Ucup, supir pribadi keluarganya. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang, ketika dengan tidak sengaja mereka melihat seseorang tergeletak di tengah jalan yang sepi.

Sorot lampu mobil menyilaukan matanya. Pemuda yang masih meringkuk di aspal itu pun memejamkan mata, menghalau sinar lampu yang menyorot padanya. Dari kejauhan ia bisa mendengar langkah dua orang yang mendekat padanya.

"Mang, Ucup, tolong ini sepertinya korban perampokan. Kita bawa ke rumah sakit ya,"

"Tapi, Neng, ini sudah malam. Nanti abinya Neng khawatir kalau Neng pulangnya terlambat."

"Tidak apa-apa, Mang, biar nanti saya telepon abi. Ayo Mang, kasihan ini orangnya."

Sayup Ghibran-pemuda yang masih tergeletak di tanah antara sadar dan tidak mendengar obrolan sepasang manusia tak jauh darinya. Setelah ia merasa dibantu berdiri dan berjalan menuju mobil.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Ghibran yang duduk di kursi belakang, masih memiliki sedikit kesadaran dapat melihat jelas ke kursi depan yang di isi oleh seorang sopir dan di sampingnya duduk seorang gadis walau ia tak dapat melihat wajahnya.

"Apa gua udah mati ya? Kenapa ada bidadari di hadapan gua," ucap Ghibran dalam hati.

Namun badannya yang terasa remuk dan rasa sakit yang kian mendera, mengurungkan niatnya hanya sekedar bertanya pada gadis itu. Ghibran membiarkan kedua orang itu menolongnya, karena memang saat ini hanya itu yang sangat ia butuhkan.

Sesampainya di rumah sakit. Para petugas medis dengan sigap memberikan pertolongan pertama pada Ghibran yang diklaim sebagai korban perampokan. Karena tidak ada orang yang dapat dihubungi sebagai wali dari korban, gadis itu terpaksa memberikan identitasnya pada pihak rumah sakit jika sewaktu-waktu mereka membutuhkan bantuannya.

"Saya pulang dulu ya, Teh. Insya Allah besok pagi saya ke sini lagi," pamit Hafsha pada suster Ina, yang tak lain adalah temannya.

"Iya, Sha, nanti kalau ada apa-apa sama korban saya hubungi kamu ya." Hafsha mengangguk menanggapi ucapan Ina.

"Assalamu'alaikum,"

"Waalaikumsalam."

Setelah korban selesai ditangani dan merasa jika keadaan Ghibran sudah lebih baik. Gadis itu pamit pulang pada suster yang berjaga, karena malam semakin larut dan ia pun harus beristirahat. Besok pagi Hafsha-gadis yang menolong Ghibran akan kembali untuk menjenguk pemuda yang ditolongnya tadi.

Hafsha adalah mahasiswi semester tiga di salah satu fakultas ternama, ia mengambil jurusan Sejarah. Namun tak luput ia yang sangat peduli terhadap sesamanya juga ikut menjadi seorang relawan di rumah sakit ini.

Hafsha sangat suka menolong terlebih pada anak-anak. Sudah dari dua tahun yang lalu ia terlibat dalam sebuah komunitas peduli kanker, maka dari itu Hafsha banyak mengenal orang-orang yang bekerja di rumah sakit terebut.

Hari ini Hafsha terlambat pulang setelah menemani beberapa anak untuk melakukan kemoterapi, seperti yang dilakukannya setiap bulan. Hafsha yang tumbuh di dalam sebuah lingkungan pesantren membuat jiwa kemanusiaannya sangat tinggi.

Mempunyai fisik yang sempurna dan harta yang berkecukupan serta kedua orang tua yang sangat menyayanginya, tidak menjadikannya lupa pada sesama yang serba kekurangan. Justru itu membuat dirinya semakin peka terhadap lingkungan sekitarnya.

Hafsha sangat dicintai oleh orang-orang sekitarnya. Karena kebaikan hatinya serta ketulusannya membuat banyak orang yang menyayanginya.

"Mang, besok itu motor korban tolong diurusin ya," ucap Hafsha pada Mang Ucup, di perjalanan pulang mereka.

"Iya, Neng."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!