NovelToon NovelToon

House, Love, Song

Dua Hati Yang Patah

Hari ini aku kembali melihat dia melintas di depan kelasku. Senyumnya mengembang manakala matanya tanpa sengaja telah menemukan wajahku. Senyum tulus tanpa dendam. Aku bisa merasakannya.

Teringat aku saat tanpa rasa berdosa aku telah mencampakkannya. Aku yang memutuskan secara sepihak akhir dari kebersamaan kami yang baru jalan satu bulan. Dia tetap tersenyum dan berujar :

“Tak apalah, jika memang tiada pertalian jodoh di antara kita, mau gimana lagi. Aku tidak akan memaksa.”

Mulia sekali hatinya. Tapi yang tak aku mengerti mengapa cowok sebaik dia bisa terjebak oleh gadis tak berperasaan macam aku. Entahlah, mengapa pula aku dulu menerima hatinya kalau harus berakhir dengan melukainya. Aku hanya berpikir tentang perasaan iba yang telah meluruhkan egoku sehingga bersedia menyambut uluran tangannya. Tapi ternyata aku salah. Frustasiku akan cinta sebelah tangan pun memicu hasratku dan menjadikannya sebagai penghibur laraku.

Sungguh jahat aku. Belum ada dua hari kami berpisah, aku telah menjalin kembali cinta kasih dengan seseorang yang dulu pernah mematahkan hatiku. Cowok inilah yang membuat aku tak bisa menerimanya secara utuh. Romi, cowok ganteng idamanku tiba-tiba berubah pikiran berbalik menyukaiku.

Sebenarnya aku sedikit merasa curiga. Mengapa Romi tiba-tiba jadi menyukai aku. Ternyata aku hanya sebagai penghibur duka dia pula. Malang aku. Baru dua minggu kami jadian dia dengan seenaknya menghilang begitu saja. Aku dibiarkan terkatung-katung tanpa kata putus.

Sudah dua tahun aku bertahan dengan kejombloanku. Aku merasa biasa meski kesepian senantiasa menghampiri manakala kawan-kawan dekatku tak lagi bermain bersamaku. Mereka sibuk mereda kasih dengan kekasihnya sendiri. Sepi.

Seperti hari kemarin dan dulu aku mendekam sendiri menikmati keheningan malam tanpa teman. Ingatanku menggugah ke saat aku masih menerima Kunta sebagai pacarku. Dia begitu perhatian dan penuh kasih. Terus terang aku baru merasa tersanjung sekarang. Tak seperti ketika aku bersama cintaku yang ternyata mengecewakanku. Bahagiaku ada namun tak setenang saat aku bersama Kunta.

Aku menatap bola lampu yang memberi pancaran menyilaukan mata. Wajah Kunta tergambar jelas. Aku bahkan teringat manakala dia mengungkapkan betapa dia menyayangi aku. Dia berkata bahwa akulah cinta pertamanya. Tapi sungguh aku tak pedulikan kata hatinya itu. Aku abaikan jatuh berserakan dan tertiup angin.

Aku memejamkan mata, “begitukah?”

“Benarkah cinta pertama tiada pernah punah?” Mana mungkin! Bantahku. Romi cinta pertama bagiku, dan dia telah sukses membekukan asaku.

“Apa ini yang dirasa Kunta? Sakit tercampakkan?”

“Romi!” desahku. “Benarkah kau cinta pertamaku? Benarkah tiada batas antara benci dan cinta itu?”

“Lalu Kunta?” Setitik asa pernah kutanam padanya. Masa manis pernah ku rasa meski dulu terlihat laksana kepalsuan yang menutupi wajahku dengan topeng beraroma madu.

“Dan Kunta ku.” Pantaskah aku menyebutnya demikian. Dia sebagaimana aku kini terbelenggu oleh cinta pertama yang telah membawa luka.

Aku bisa merasakan sakitnya. Tapi sungguhkah kau merasa demikian? Tapi mengapa pula kau masih bertahan dengan kesendirianmu?

“Maafkan aku, Kunta.” bisikku lirih. Dalam hati aku berharap dia mendengar bisikku tadi.

Selintas kemudian aku membayangkan. Mengandaikan jika dulu aku tulus menerima uluran tangannya, aku pastikan kini kami masih bersama. Tapi sekarang……

Di saat aku mulai menyadari arti hadirnya dalam hatiku. Dia semakin jauh. Meski tiap saat aku masih dapat memandangnya. Tapi hatinya?

Ada sebentuk keraguan hinggap menaungi pikiranku. Ada malu yang setiap saat menertawakan kebodohanku.

Namun secercik harap secara perlahan ku gantungkan pada jiwanya. Biarlah. Ijinkanlah aku menyambutmu kembali bersemayam dalam hatiku tanpa harus ada hati yang terluka.

Ketika Pukul Dua Lewat Sepuluh Menit Dini Hari

Eres menutup wajahnya dengan bantal, ingin sekali dia memejamkan mata dan merangkum mimpi indah yang mungkin tidak akan pernah dia rasakan dalam alam sadar. Pikirannya menerawang menembus langit-langit kamar berkelana menapaki guratan seutas wajah yang selama ini sukses membuat hati Eres terombang-ambing tidak karuan. Jiwanya rapuh manakala garis hidup menuntun langkahnya bergerak tanpa arah tujuan dalam luasnya samudera hati yang tak bisa dia raih.

“Sebel!” gerutu Eres sambil meremas bantal yang menutupi mukanya, dia membenamkan bantal itu lebih dalam sehingga menyumbat jalan masuk udara.

Beberapa detik kemudian dia kendorkan bungkamannya agar dapat bernafas kembali. “Tuhan…. ada apa denganku. Wajahnya itu sungguh menghantui pikiranku.”

“Aku harus membuangnya.” gumam Eres. Tapi bagaimana? Pikirnya.

“Aku tak mau terjebak dalam lingkaran setan yang mempermainkan perasaanku padanya.” batin Eres berontak. “Sekarang aku sangat suka, besok aku sangat membencinya, lusa aku memuja dia karena perhatiannya, esok berganti hari hatiku dibuat sakit dan kecewa.”

Eres duduk bersandar pada dinding, masih di atas ranjangnya. Tangannya meraih sebuah boneka beruang Winnie the Pooh yang tergolek tepat di sisi kirinya.

“Winnie.” ucap Eres seraya mendesah. “Kenapa hatiku harus tertambat padanya?”

Eres menyandarkan kepalanya sementara itu matanya terpejam memproyeksikan kisah-kisah semasa mereka bercanda, tertawa bersama.

“Dia sangat baik padaku. Dan itulah kelemahanku. Aku lemah ketika kebaikan menyentuhku. Perhatiannya dari hari ke hari menumbuhkan simpati dalam hati dan merubahnya menjadi rasa sayang.”

Aneh. Pikir Eres. Akhir-akhir ini sikapnya jadi berubah sama aku. Apa aku telah membuat salah padanya tanpa aku sadar? Dia seolah terus menghindari aku jika aku dekati. Tapi ketika aku  menjauh darinya, dia malah seakan terus mengawasi  dan mencoba mendekatiku. Apa dia tahu kalau aku suka dia, kemudian dia justru menghindar?

Eres kembali membaringkan tubuhnya pada posisi miring sambil memeluk boneka Poohnya. Benaknya sekali lagi menampilkan ingatan-ingatan yang cukup mengesankan bagi Eres.

“Rigi.”

Waktu itu ada teman yang berulang tahun, teman sekelas mereka. Kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah Eres, dengan berjalan kaki pun tidak sampai berkeringat. Saat Eres keluar dari gerbang rumah bersama Dewinta salah seorang temannya, tepat di depan rumah Eres tersebut ada sebuah kecelakaan kecil. Seorang pengendara sepeda tampak terjungkir dan tersungkur ke depan mencium aspal.

Suasana tampak riuh diantara orang-orang yang mengerumuni pengendara sepeda yang kurang beruntung itu. Eres dan Dewinta yang penasaran langsung mendekat ke kerumunan tersebut dan mereka sangat terkejut, setelah tahu cowok yang naik sepeda dan celaka itu teman satu kelas mereka. Rigi. Begitu melihat Rigi, Eres menjadi panik, sampai-sampai dia sendiri merasa gemetar.

“Kamu tidak apa-apa, Gi?” ucap Eres memastikan.

“Tidak.” jawabnya menggeleng lalu memeriksa setang sepedanya yang sudah bengkok. “Kamu kenapa?”

“Kurang ajar sekali mobil tadi. Langsung minggat aja.” kata salah seorang yang ikut berkerumun dan membantu Rigi tadi.

“Eh, dagumu berdarah.” pekik Eres tampak khawatir. Secara refleks Eres mengeluarkan sapu tangannya lalu mengelap darah yang keluar dari dagu sebelah kiri Rigi.

“Ee… tidak apa-apa kok.” Rigi seperti hendak menolak uluran tangan Eres. “Cuma luka kecil.” sambung Rigi kembali tersenyum.

“Mbak, temannya? Bawa masuk saja dulu, diberi minum biar agak rileks.” kata seorang ibu-ibu yang ada disitu pula.

“Iya, Res. Kita masuk saja dulu.” Dewinta mengiyakan.

“Yuk Gi?” ajak Eres.

“Aku rasa tidak perlu. Kita langsung saja ke rumah Fifi. Tenang saja.” tolak Rigi.

“Kenapa sih, cuma sebentar kok.” protes Dewinta. “Telat juga nggak bakalan kena hukuman. Cuma acara pesta saja.”

“Mm… setidaknya sepedamu kan bisa dititipin di rumahku.” tawar Eres yang paham benar sifat Rigi yang paling tidak suka merepotkan.

“Sudah Mas, ikut saja.” provokasi seorang bapak lagi.

Rigi menatap Eres dan Dewinta. Gerak selanjutnya dia hanya mengangguk tanda  setuju. Di dalam Eres langsung mengambilkan air minum dan mengobati lecet ditangan Rigi selain luka di dagunya.

Senang sekali saat itu bisa membantu orang yang disayang. Kenang Eres sambil tersenyum.

“Rigi yang anti diberi pertolongan tapi paling suka memberi bantuan.” ucap Eres dalam hati. “Aku suka Rigi yang begitu.”

“Rigi, aku sakit.” bisik Eres yang tanpa sadar telah menitikkan air mata. “Sangat menyakitkan harus menderita cinta sepihak.”

“Beruntung sekali cewek yang memiliki Rigi.” pikir Eres. “Seandainya itu aku.”

Eres menyunggingkan senyum tatkala dia membayangkan dirinyalah yang berjalan berdampingan dengan Rigi.

“Mustahil.” bantah Eres. “Bodoh sekali!”

Eres membalik tubuhnya hingga terlentang sambil menghapus sisa air mata yang menempel dipipi. Matanya menatap langit-langit kamar. Apa aku sudah gila? Pikir Eres.

“Aku ….aku harus membuang rasaku. Aku harus membunuhnya.” Eres memalingkan mukanya melihat ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul dua dini hari tepatnya pukul 02.10. “Dia pasti tengah menjalin mimpi bersama kekasihnya.” Sudahlah Res, berhentilah bermimpi tentang dia! Bisik hati Eres.

Eres memejamkan mata meski rasa kantuk belum menyerangnya. “Selamat tidur, Gi. Selamat tinggal…. dan selamat berbahagia dengannya.” gumam Eres seiring menetesnya kembali butir air dari mata Eres.

**

Assalamu’alaikum wr. wb

Langsung ya, Big. Aku yakin kamu sehat sebagaimana aku. BTW mau sampai kapan kamu di desa yang tak ada jaringan telpon dan tidak ada sinyanya itu. Sudah betah ya?

Terus terang aku mau curhat nih. Mm…aku lagi fall in love. Tapi kamu jangan tertawa ya mendengar pengakuanku ini. Aku benar-benar lagi kasmaran. Tidak pernah aku merasa seperti ini. Kamu tahu kan aku paling susah yang namanya jatuh cinta. Ini adalah cinta pertamaku.

Dia cewek biasa, maksudku tidak seperti pacarmu yang jelita. Tapi dia manis, sangat manis malah. Cerianya membuat aku ingin selalu bersamanya. Percaya tidak, gara-gara aku sering memikirkan dia aku jadi terkena sindrom susah tidur. Bayangannya selalu melintas setiap aku hendak memejamkan mata Merepotkan sekali.

Satu lagi. Dia sering memberi perhatian ke aku. Bagaimana tidak kelabakan tuh hati. Bisa melihat dia dan mengobrol sama dia saja sudah senang sekali. Apalagi seperti diberi harapan macam itu. Harapan bahwa dia akan menerima rasa sayangku.

Sebenarnya masalahnya tidak semudah itu. Menurut gosip yang aku dengar dia sudah dijodohkan sama ortunya. Mereka malah nyaris tunangan. Bagaimana Big? Apa aku harus tetap menyerang dia, meski tahu dia sudah bersama cowok lain? Mungkin kamu akan bilang aku pengecut. Aku akui. Tapi aku tidak mau disebut sebagai pengganggu hubungan cinta orang lain.Hhh… entahlah, aku buntu.

Menurutmu bagaimana? Hei, aku belum beri tahu ya siapa nama cewek itu. Dia Eres. Eres Luhita. Hm….oke Big, cukup dulu curhatku, aku tunggu balasan surat dan saran-saranmu. Wasalam.

Rigi

Rigi melipat kertas surat yang baru saja dia tulis. Dia mengirim surat ke Bigo sobatnya yang sudah kuliah dan sedang melakukan penelitian di pelosok desa. Bagi Rigi, Bigo memang tempat curhat yang paling asyik. Dari Bigo biasanya keluar ide-ide cemerlang yang bisa mengatasi  persoalan yang sedang dihadapi.

Selesai memasukkan lipatan kertas dalam amplop, Rigi melirik ke arah jam weker yang duduk manis di atas mejanya. Saat itu jarum jam menginformasikan bahwa detik itu telah menunjukkan waktu dini hari. Tepatnya pukul dua lewat sepuluh menit.

Rigi menyandarkan tubuhnya dikursi menatap detik-detik waktu yang terus berjalan. “Tuhan apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku mengatakan sejujurnya tentang perasaanku. Ataukah aku harus kembali berlaku munafik dan pergi meninggalkannya?” bisik Rigi dalam hati.

Rigi menumpukan kedua sikunya di meja. Sementara jarinya meremas kuat rambutnya seakan ingin membuang bayangan yang senantiasa mengganggu ketenangan tidurnya tiap malam. Eres….

Saat Aku Menyadari Dia Telah Menjauh

“Aku turut berduka, Rud.” kata Sandi.

“Terimakasih.” jawab Rudi datar sambil mematikan sebatang rokok yang masih setengah.

“Sejak kapan kamu merokok lagi?” tanya Sandi.

“Sekarang tidak ada yang melarang aku.”

“Hehh, begitu. Tahu akibat merokok kan?” Sandi mengingatkan.

“Kamu seperti Nuki saja, sok tahu.”

“Tapi aneh juga. Aku dengar cewek-cewek Mapala itu suka pada merokok, kenapa Nuki justru anti rokok ya.”

“Dapat gosip dari mana?” sanggah Rudi. “Aku rasa tidak semua, bukti nyata Nuki.”

Sandi menggelengkan kepalanya lalu kembali menekuni lembaran-lembaran kertas yang ada di depannya.

“Pertama, aku kagum akan ketangguhannya bersahabat dengan liarnya alam.” Rudi diam seakan membayangkan seseorang. “Senyumnya senantiasa lepas manakala dia kembali dari bercengkerama dengan alamnya. Cintanya pada alam membuat dia terus bertualang untuk menyibak misteri didalamnya.  Kau tahu. Hal itu yang membuatku jadi cemburu.”

“Kamu dinomorduakan?”

“Selalu dikesampingkan.” tambah Rudi.

“Itu resiko kalau pacaran sama anak Pecinta Alam.” komentar Sandi.

“Aku kira dia tidak semaniak itu.” Rudi tersenyum.

“Apa kamu masih sayang sama dia?” selidik Sandi.

“Entahlah.”

“Sudah Rud, paling satu minggu lagi kamu sudah dapat gantinya. Mungkin malah kurang dari itu. Banyak lho, yang sudah mengantri.”

“Oh ya? Apa Laila termasuk salah satunya.” tanya Rudi yang tahu kalau Laila cewek yang sedang diincar Sandi.

“Nah lho! Benarkan, sudah lupa?” ujar Sandi. “Eh, awas kalau kamu berani dekati Laila.” ancam Sandi yang tahu benar sifat sobatnya itu.

Rudi meringis.

“Heran, cowok macam kamu kok bisa ya suka sama cewek cuek seperti Nuki. MAPALA lagi, jauh dari feminimisme.”

Rudi menghela nafas. Pikirannya melayang teringat saat pertama bertemu dengan Nuki di sekretariat MATELA, nama kumpulan mahasiswa pecinta alam di kampusnya. Waktu itu dia dapat kecelakaan tepat di depan sekretariat MATELA, sekrenya Nuki. Lukanya sih tidak parah, cuma lecet dan sebuah luka yang menganga. Rudi dan temannya langsung dievakuasi ke dalam sekre.

Kesan pertama masuk sekre MATELA sedikit merinding juga. Banyak foto-foto petualangan dan berbagai alat kepecintaalaman terpampang. Di balik kesangaran mereka, ternyata mereka sangat ramah menyambut Rudi sebagai korban tabrak lari.

“Mas, tidak apa-apa?” tanya salah seorang yang berambut gondrong sebahu. “Nanti biar teman saya yang merawat lukanya.” katanya lagi lalu memeriksa luka Rudi. Sepertinya dia senior di situ, terlihat dari sikapnya yang selalu memberi mandat. “Dra, ambilkan minum!”

“Tidak apa-apa, terimakasih.” kata Rudi.

“Rin, tolong kamu bersihkan lukanya!”

Seorang cewek yang berpotongan mirip laki-laki menghampiri Rudi sambil membawa satu kotak peralatan P3K. Ramai sekali, pikir Rudi. Lalu matanya tertumbuk pada seorang gadis dengan rambut dikuncir yang baru muncul dari arah pintu.

“Kenapa, Di?” tanya cewek itu pada cowok gondrong yang tadi memapah Rudi masuk.

“Biasa, kecelakaan di depan. Korban tabrak lari.”

“Oh.” responnya cuek lalu melihat luka yang ada pada kaki Rudi.

“Mbak, yang ini perlu dibalut tidak?” tanya Rin yang sedang membersihkan luka dikaki Rudi.

“Mana?”

“Yang ini.” cewek yang dipanggil Rin tadi menunjuk luka dikaki kiri Rudi yang terlihat menganga.

Rudi hanya diam saja menurut perlakuan yang diberikan pada kakinya tersebut.

“Sudah dibersihkan?”

“Sudah. Tapi sepertinya belum bersih benar.”

“Coba aku lihat!”

Selanjutnya cewek yang baru datang tadi berdiri dan pergi begitu saja dari hadapan Rudi. Belum ada satu menit dia sudah datang lagi dengan membawa cotton buds. Rudi cuma bengong. Wah, mau diapakan kakiku dengan dengan barang itu. Batin Rudi.

“Sorry Mas, kakinya!” cewek itu mengangkat kaki Rudi ke lututnya. Dengan cekatan dia mengorek-ngorek bagian dalam luka Rudi yang sudah ditetesi pakai rivanol. Luka Rudi berada tepat diatas mata kaki kirinya.

Sesekali Rudi meringis menahan rasa sakit.

“Tahan sedikit.” ucap cewek itu seperti paham apa yang sedang Rudi rasakan. “Biar bersih dan tidak infeksi.”

Gerak selanjutnya dia mulai memotong kain kasa yang dalamnya diberi sedikit kapas lalu diberi sedikit antiseptik semacam obat merah. Kain kasa yang terlipat rapi itu kemudian ditutupkan pada luka Rudi dengan bantuan plester.

“Auu!” erang Rudi.

“Sorry, terlalu keras ya menutupnya? Biar tidak mudah lepas. Sementara pertolongan pertamanya ini.”

“Terimakasih!” ujar Rudi nyengir.

“Oh ya, nanti kalau sudah di rumah dibuka juga tidak apa-apa. Paling kalau mau pergi saja ditutup lagi, supaya tidak kena kotoran atau debu.” ocehnya.

“Sok dokter banget!” pikir Rudi.

“Tadi habis dari mana atau dari mana, Mas?” tanyanya sambil memeriksa luka teman Rudi. Desta. “Mm...., tidak apa-apa.” gumamnya.

“Kami mau balik ke rumah.” sahut Rudi.

“Tadi senggolan sama apa, Mas?” tanya cowok yang duduk diseberang Desta.

“Mobil sedan. Enak sekali dia langsung kabur.” sungut Desta.

“Nuki, sudah selesai belum?” seru seorang anak yang penampilannya mirip seorang Shaolin. “Kita koordinasi sebentar.”

“Sudah!” sahut cewek yang dipanggil Nuki tadi. Dia pun langsung bergegas menuju gerombolan teman-temannya yang sudah berkumpul bersiap-siap hendak rapat.

“Saya tinggal dulu ya!” pamitnya.

“Mau rapat?” tanya Rudi.

“Biasa mereka mau turun.” jawab si gondrong.

“Turun kemana?” sambung Desta.

“Ke sungai, arung jeram.”

“Arung jeram?” Desta terlihat antusias. Sementara itu Rudi melirik ke perahu yang tergantung dilangit-langit.

“Kalau berminat kami juga menyediakan jasa Fun Rafting.” lanjutnya. “Fasilitas lengkap mulai dayung sampai pelampung. Plus skipper.”

“Skiper itu apa, Mas?” tanya Rudi.

“Oh, pemimpin yang memberi aba-aba gerak semua awak perahu.” jelasnya.

“Oo......” Rudi manggut-manggut.

“Kelihatannya asyik, Rud?” sambut Desta melirik ke Rudi.

“Ada syaratnya tidak?”

“Tidak ada sih. Paling sehat jasmani dan rohani. Bayar uang sewa perahu dan membayar skipernya. Tidak mahal kok cuma.......”

“Hei, bengong!” tegur Sandi. Rudi tersentak dari lamunannya lalu mengucek matanya.

“Ada apa? Mmm.....bengong jorok ya?” tebak Sandi.

“Aku mulai menyukai Nuki, saat aku ikut arung jeram itu. Aku masih ingat bagaimana dia menyeringai puas setiap mendapat jeram yang menantang.” Rudi tertawa. “Kau tahu San, padahal jantungku waktu itu rasanya mau copot.”

“Sayang dulu aku tidak ikut.” tanggap Sandi tetap pada aktivitas menulisnya.

“Rugi tidak ikut. Asyik berat.” komentar Rudi.

“Mau bagaimana lagi, aku harus kerja sambilan buat menambah uang makanku disini. Tidak ada waktu buat main.”

“Iya deh, mister sibuk.”

“Kamu enak, Rud. Ortumu kaya, kebutuhan hidup sehari-hari tidak perlu kamu risaukan.”

Rudi membaringkan tubuhnya ke tempat tidur.

“Waktu itu aku sama Nuki jatuh dari perahu yang hampir menabrak tebing sungai. Keren Skippernya! Mas Tedi langsung berseru supaya kami geser kanan. Tegang sekali, apalagi saat itu perahu sebelah kiri sedikit terangkat dan perahu akhirnya berhasil tidak menabrak tebing. Yaa, meskipun memakan korban aku dan Nuki.”

Rudi diam sejenak.

“Terus.” tanggap Sandi.

“Kami ditunggu di air yang tenang. Karena setelah kami terjatuh masih ada jeram yang harus dilawan.”

“Bagaimana tuh, rasanya jatuh. Dan ditinggal begitu.”

“Menyenangkan. Meskipun di awal terus terang aku sedikit panik. Berada dalam gelombang jeram yang menghanyutkan. Untung Nuki berhasil menghibur aku, dan menyuruhku pengapungan seperti yang dia lakukan sampai tiba diperahu lagi.”

“Sudah berapa kali dia terjun ke sungai?”

“Nuki? Dia bilang saat pengarungan bersamaku, itu baru yang keempat.”

“Hebat juga.” komentar Sandi.

“Kemandiriannya itu, Sand! Kau tahu kan cewek-cewek yang sering dekat sama aku kebanyakan cewek-cewek manja dan sangat tergantung sama aku.”

“Hmm!” tanggap Sandi yang sibuk kembali mencatat..

“Sesudah aku jadian sama dia, aku bahkan sampai menginginkan dia bermanja-manja denganku. Rasanya aneh, tidak ada merajuk meminta sesuatu dariku.”

“Bukannya kamu sendiri risih kalau cewek-cewekmu bermanja-manja begitu.”

“Habis dia tidak pernah. Apa-apa dia lakukan sendiri, terus dia anggap aku ini apa? Pajangan?”

“Mungkin.” jawab Sandi singkat.

“Sial!” Rudi meninju lengan Sandi. “Waktunya habis hanya untuk alam, teman-teman MATELA dan kuliah. Waktu buat aku? Hanya sebagai selingan saja.”

“Kamu toh, bukan suaminya. Aku rasa tidak masalah.”

“Gilanya lagi masa aku disuruh jadian lagi sama cewek lain, dengan status dia tetap sebagai pacarku.”

“Bukannya menyenangkan kalau begitu.”

“Aku pikir dia egois. Demi dunianya dia sama sekali tidak hiraukan kebersamaan antara aku dengannya. Aku tidak tahu dia anggap aku ini apa? Dengan begitu bukankah dia hanya ingin pamer kalau aku ini pacarnya yang tidak berguna.”

“Apa yang kamu pikirkan itu?”

Rudi diam menatap Sandi yang juga memandangnya dan menghentikan aktivitas menulisnya.

“Menurutku kamu yang egois dan tidak mau mengerti dia.” lanjut Sandi.

“Hei....”

“Rud, kamu harus paham tidak semua cewek seperti Lita, Meira dan semua mantan-mantanmu dulu yang senang tiap hari mesti berduaan. Ke mana-mana harus berdua, dunia serasa milik berdua yang lain terserah mau tinggal dimana. Pantas kamu jadi cepat bosan sama mereka.”

“Apa yang kau bicarakan?” semprot Rudi.

“Boleh aku bertanya sesuatu?”

“Apa?”

“Bagaimana perasaanmu ketika putus dengan mantan-mantanmu dulu dibandingkan saat kehilangan Nuki sekarang?”

Rudi menyeringai, pikirannya seakan sedang membandingkan.

“Jujur dan objektif, Rud!”

“Sama, biasa saja.” jawab Rudi.

“Baik. Kalau begitu hentikan cerita tentang Nuki. Dan mungkin penyesalan kamu karena sudah memutuskan dia. Kamu tidak bosan? Terus terang aku sudah bosan mendengarnya, hampir tiap hari kamu cerita tentang Nuki dan MATELA-nya.” kata Sandi panjang lebar seperti menampar telak Rudi.

Rudi terhenyak. Hatinya saat itu serasa kering dan hampa. Tidak ada Nuki yang senantiasa datang dengan segala kisah petualangannya yang terkadang nyaris menelan nyawanya. Tidak ada yang ditunggunya kembali dengan rasa cemas mendesak. Datar. Tidak menggairahkan.

Rudi teringat ucapan Nuki tentang alam dan kematian.

“Rud, bagi kami para petualang, mati di alam laksana harapan. Tapi bukan berarti kami menyukai kematian konyol yang sering diberitakan itu.”

“Apa kamu tidak memikirkan orang-orang yang menyayangimu?”

Nuki tersenyum. “Tentu saja, aku pikirkan. Karena itu aku juga berharap jika suatu saat nanti aku mati dalam rengkuhan alam. Ku harap tak terjadi saling tuduh menyalahkan, atau ratapan penyesalan. Ini jalanku. Tolong ikhlaskan.”

“Rud!” panggil Sandi. “Malah tidur. Dasar! Orang kaya dan berkuasa memang suka menggusur lahan. Sekarang, aku tergusur dari lahan tidurku.” keluh Sandi sambil mengambil tikar lalu menggelarnya untuk menyusul Rudi yang telah terlebih dahulu terbang ke dunia mimpi.

Keesokkan harinya Sandi merasa sebel banget. Sedang asyik-asyiknya menjalin mimpi, tiba-tiba Rudi ribut memanggil-manggil nama Nuki.

“Nuki!”

“Apa sih!” gumam Sandi setengah tidur.

“Aku harus ke sana!” ucap Rudi.

“Kemana?” tanya Sandi masih mengantuk.

Rudi tidak memberi jawaban. Dia langsung melesat ke kamar mandi. Dua menit kemudian dia sudah pergi meninggalkan Sandi yang melongo kebingungan.

“Ada apa ya?” gumam Sandi mengucek matanya lalu melirik jam weker yang duduk manis di mejanya. “Astaga. jam delapan.” pekik Sandi blingsatan menuju kamar mandi. Bagaimana tidak, hari itu dia ada kuliah pukul 07.30 wib.

**

Dengan tergopoh-gopoh Rudi mendatangi sekre MATELA. Tanpa banyak basa-basi dia langsung menanyakan perihal Nuki.

“Nuki ada?”

“Nuki sedang pergi ke goa Pengantin.” jawab seorang anak yang berkulit gelap.

“Kapan pulangnya?”

“Hari ini menurut info mereka mau pulang. Masalahnya ada yang jatuh.”

“Siapa Mas, yang jatuh?” Rudi terlihat cemas. Semoga mimpiku tidak terjadi. Pikir Rudi. Dalam mimpinya Rudi melihat Nuki sedang memanggil-manggil namanya dalam gelap. Pekat sekali. Ternyata.........tidak mungkin! Bantah Rudi.

“Kalau soal siapanya kami belum tahu juga. Masalahnya tahu-tahu hubungan kami terputus.” terang si item lagi.

“Boleh saya menunggu disini?”

“Silakan! Masuk saja.” kata si item mempersilakan Rudi masuk. “Eh, itu mereka datang!”

Rudi membalikkan badannya dan mengurungkan niatnya untuk melangkah ke dalam. Rudi mencermati wajah-wajah yang bermunculan. Tak ada yang menunjukkan sosok Nuki.

“No, mana Nuki?” tanya si item yang menyambut kehadiran teman-temannya.

“Di rumah sakit.” jawab No singkat.

“Siapa yang jatuh?” suara si item terdengar lirih dan tersamar riuh oleh celoteh anak-anak yang lain. Bahkan jawaban anak yang dipanggil No, sama sekali tidak terdengar oleh Rudi.

Rudi pun kemudian berinisiatif menanyakan perihal Nuki. “Mana Nuki? Ada apa dengan Nuki?”

“Tenang, Rud. Nuki baik-baik saja.” jawab salah seorang yang bertubuh ceking.

“Dia ada di rumah sakit mana?” tanya Rudi lagi.

“Rumah sakit Dwipa.”

Tanpa banyak tanya Rudi bergegas menuju RS Dwipa seperti apa yang diberitahukan oleh seorang kawan MATELA Nuki.

Setiap koridor dengan ruang pemeriksaan Rudi amati satu persatu. Sosok Nuki belum tampak dimata.

“Harusnya ada dibagian umum.” bisik Rudi dalam hati. “Mana dia?”

Langkah Rudi terhenti manakala di depannya sosok yang begitu mencemaskannya berdiri tanpa kurang suatu apa.

“Nuki!” seru Rudi tersenyum girang. Dia menatap pada seseorang yang sedang dipapah Nuki dengan seorang temannya yang lain. Syukurlah bukan Nuki. Dan untung cowok yang dipapah itu tidak segawat yang aku pikirkan.

“Kamu sakit?” tanya Nuki ramah.

“Tidak. Aku kemari untuk menjemputmu.” ucap Rudi terus terang.

Dahi Nuki mengernyit heran. “Ada apa?”

Untuk beberapa saat Rudi menatap Nuki lekat-lekat.

“Aku mau kamu kembali menceritakan petualanganmu padaku. Aku kesepian tanpa kisah-kisah menantangmu. Dan tentu saja ocehanmu tentang mimpi-mimpi penyibakan misteri alam.” Rudi menelan ludah. Apa aku terlalu menggombal?

Nuki tersenyum tipis. “Boleh. Kapan kamu beri aku waktu untuk bercerita?” tawar Nuki.

Rudi seperti mendapat angin segar. “Kapan pun kamu mau.” Rudi tersenyum. “Seperti dulu.”

“Aku bisa bercerita kepadamu. Tapi mungkin dengan situasi yang berbeda. Tidak mungkin bisa sama seperti dulu. Kita akan menjadi sahabat yang baik. Maaf  ya?”

“Kenapa?”

“Karena aku tak mau kecemasan senantiasa menghiasi raut mukamu. Terus terang aku menyukai Rudi yang bebas berekspresi tanpa beban, seperti dulu saat aku masih mengagumimu.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!