*
*
*
Ulululu~ Dennis
NOTE UNTUK EPISODE INI DAN KEDEPANNYA: CERITA INI HANYA FIKSI YANG DIAMBIL DARI HALU" AUTHORNYA AJA. MOHON MAAF KLO BANYAK TYPO,, KESAMAAN NAMA KARAKTER, TEMPAT DAN SEBAGAINYA.
KRITIKKAN KALIAN DARI NOVEL SEBELUMNYA BERMANFAAT BANGET BUAT AKU DAN ITU GA BUAT AKU PATAH SEMANGAT. JADI BIAR GAK TERULANG LAGI KATA KRITIKAN PEDASNYA, AKU AKAN BERUSAHA BUAT BIKIN NOVEL YANG SEKARANG INI LEBIH BAGUS DARI SEBELUMNYA. SEKALIAN BELAJAR" BIAR JADI BAIK JUGA. YA MOHON MAAP JUGA KLO MENURUT KALIAN MASIH BLOM BAGUS, EHEHEHE ><
SO ... DIBAWA ENJOY AJA DAN SEMOGA KALIAN SUKA CERITANYA ^^ Selamat membaca~
Jangan lupa like/komen/fav,, mwah :3
*
*
*
Di sebuah pedesaan di negri sakura, terdapat tanah lapang yang luas. Di sana terdapat banyak anak-anak kecil yang bermain dengan riang gembira. Salah satu dari mereka bermain petak umpet.
Hanya berdua saja. Yaitu si anak perempuan dan anak laki-laki. Si anak perempuan itulah yang jaga. Dia mulai menghitung dan si anak lelaki pun memasuki semak tak jauh dari lapangan itu untuk mencari tempat persembunyian.
Namun ternyata dibalik semak tersebut terdapat rumah sederhana yang di sekelilingnya terdapat banyak bunga merah yang indah.
Karena si kecil itu masih polos, dia tidak mengetahui bunga apa itu. Ia sangat ingin memetiknya karena cantik. Tapi saat ia menyentuh bunga itu, mendadak seperti ada yang menyengatnya. Sontak tangan anak itu pun langsung terangkat kembali.
Ia tidak merasa sakit dan hanya terkejut saja. Anak kecil itu tidak berhasil mengambil satu bunga karena kejutan tadi. Saat ia ingin mengambilnya lagi, tiba-tiba si anak perempuan tadi menemukannya.
Karena sudah bertemu, sekarang waktunya gantian. Tapi karena hari sudah semakin sore, bentar lagi matahari akan terbenam, maka si anak laki-laki itu pun mengajak temannya untuk pulang bersama.
Namun saat di tengah jalan pulang, mendadak laki-laki itu menyuruh si anak perempuan untuk pulang duluan. Alasan yang diberikan si anak lelaki itu adalah ia ingin menangkap kepiting di pinggir sungai.
Anak perempuan pun membiarkannya dan ia tetap berjalan ke arah rumahnya, sementara si anak laki-laki itu benar-benar pergi ke sungai. Entah ia ingin melakukan apa di sana. Tapi saat kakinya menyentuh air sungai, mendadak ia berteriak kesakitan dan terlihat darah mengalir melewati kakinya. Lalu beberapa tetesan darah lainnya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
> HIGANBANA• <
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Aku pulang."
"Selamat data– eeeh?!" Seorang wanita muda yang sedang menyapu di depan halaman rumah pun terkejut setelah melihat seorang anak laki-laki yang pulang dengan baju kotor dan terdapat luka lebam di pipinya.
Dengan cepat wanita itu menjatuhkan sapu, lalu menghampiri anak kecil tersebut. "Kamu berkelahi lagi, sayang?"
"Itu bukan urusan ibu." Anak itu menjawabnya dengan nada dingin, lalu menepis tangan ibunya.
"Brian! Kamu gak boleh begini sama ibu. Ibu harus tahu keadaanmu. Kenapa setiap kamu pulang sekolah, selalu seperti ini. Kamu sebenarnya habis ngapain, sih?" tanya wanita itu yang merupakan ibu dari anak lelaki tersebut. "Jujur, hayo! Kamu berantem lagi, ya?"
"Hah ... kalau iya memangnya kenapa, Bu?" Anak kecil itu memutar bola matanya dengan malas, lalu membalas.
"Ya kamu gak boleh berantem gini, sayang. Kasihan tubuhmu nanti sakit semua, loh!" ucap sang ibu sambil menepuk-nepuk baju anaknya dengan niat untuk membersihkan beberapa kotoran di sana.
"Sudah biarkan saja, Bu. Kan yang sakit aku, bukan ibu. Kenapa ibu yang selalu panik setiap aku begini? Aku merasa baik-baik saja, kok!"
"Brian! Ibu cemas padamu. Ini tidak untuk pertama kali, tapi sering banget kamu pulang begini terus." Sang ibu menyentuh kedua pundak anak itu, lalu menatapnya dengan serius. "Kalau ada masalah, cerita pada ibu!"
"Dih, lebih baik ibu gak usah mencampuri urusanku. Aku ini sudah dewasa. Aku bisa mengurus diriku sendiri."
"Tidak. Umurmu baru 9 tahun, Brian. Kau masih butuh banyak bimbingan dan belum waktunya untukmu menjadi dewasa. Kamu gak bisa seperti ini terus, sayang. Ibu juga harus mengetahui keadaanmu dan lebih baik kamu jujur sekarang."
"Kalau aku cerita, ibu tidak akan mengerti."
"Brian!"
"Eh, ada apa ribut-ribut di sini?" Seseorang pun datang. Lelaki dewasa yang merupakan suami dari wanita itu dan ayah dari si anak kecil tersebut.
Sang ayah melihat keadaan kacau anaknya. Ia tersenyum, lalu bertanya dengan lirih, "Abis berkelahi lagi?"
"Ini juga bukan urusan ayah." Anak itu membuang muka, lalu berjalan melewati kedua orang tuanya begitu saja. "Bicara dengan kalian tidak ada habis-habisnya."
"Brian!" Wanita itu ingin membentak dan mengejar anaknya. Tapi suaminya pun menghalangi. "Sudahlah. Dia kelelahan kali, kan baru pulang sekolah. Biarkan istirahat dianya."
"Kau ini selalu saja lembut padanya. Dia udah kebiasaan kayak begitu, Dennis." Wanita yang berambut pendek seleher itu pun membalasnya. Dennis yang merupakan nama suami dari Cahya selalu sabar menghadapi anak mereka yang selalu nakal.
"Tidak. Dia pasti kurang perhatian dariku. Emm ... aku akan mengajaknya bermain nanti." Dennis kembali melirik ke Brian yang masih berjalan santai mendekati pintu rumah.
Saat ia membuka pintu, tiba-tiba saja seseorang mengejutkannya dari samping. Tak lain orang itu adalah adiknya Dennis yang bernama Adel. "Lah aku pikir Kak Dennis yang masuk."
"Gak usah ngagetin bisa gak, sih?!" Brian membentak. Suaranya sangat keras untuk seorang anak kecil.
"Kan aku maunya ngagetin kak Dennis, bukan kamu! Huuu!"
"Kalau mau ngagetin ya liat-liat dulu, dong!"
"Mana bisa gitu, woy!"
Dennis dan Cahya hanya bisa diam saja karena memang sudah biasa anak mereka dengan adiknya Dennis selalu bertengkar.
Brian Efendy adalah anak pertama dari pasangan Dennis Efendy dan Aulia Cahyani. Dia terkenal kasar dan emosian. Selalu membantah dan mau menang sendiri. Tapi ia tidak pernah manja dan anaknya sangat mandiri. Walau begitu, hatinya tetap baik dan tumbuh menjadi anak yang kuat.
"A–ano ... permisi ...."
Dennis dan Cahya terkejut mendengar suara anak kecil di belakangnya. Yang tak lain suara itu bukan dari Brian karena suaranya lebih lembut. Lagipula terdengar seperti suara perempuan.
"I–iya?" Dennis membukakan gerbang depan dan meminta anak itu untuk masuk. Tapi anak kecil itu tidak mau masuk dan hanya memberikan sesuatu pada Dennis.
"Eh ... apa ini? Kamu datang dari mana, sayang?" tanya Dennis lirih. Ia belum bisa menerima benda pemberian itu sebelum ia mengetahui asal usul anak tersebut.
"A–aku mengikuti dia pulang." Jawab anak kecil itu dengan ragu. Nada bicaranya terdengar menggemaskan. "Te–ternyata rumahnya di sini. A–anda pasti ayahnya dia yang tadi."
"Emm ... maksudnya Brian? Anak laki-laki yang datang ke sini, ya?" tanya Dennis balik.
Anak perempuan itu hanya mengangguk. Dennis pun melanjutkan pertanyaanya. "Eh, ada apa datang ke sini? Rumahmu di mana? Kamu tersesat, kah?"
Anak perempuan itu menggeleng, lalu meminta Dennis untuk menerima benda pemberiannya dan ia ingin mengucapkan sesuatu. "Emm ... tolong bilangin sama dia tadi ... em ... aku sangat berterima kasih dan bersyukur dia datang untuk menolongku."
"Eh? Maksudnya?"
"Dia tadi menolongku dari anak-anak pembuli yang meminta uangku. Terus dia berantem sampai anak-anak nakal itu kabur. Pokoknya keren banget dia. Makanya ... emm ... hanya ini yang bisa kuberikan untuknya sebagai tanda terima kasih." Anak itu ternyata memberikan sebuah pulpen lucu dengan kepala boneka sebagai penutupnya.
"Jadi Brian terluka karena menolong anak ini?" gumam Dennis dalam hati. Kemudian ia kembali melirik anak kecil di hadapannya itu, lalu menerima pulpen pemberian anak tersebut. "Em ... terima kasih, ya? Eh, apa kamu mau masuk dulu untuk bermain sama Brian?"
"Ah, jadi namanya Brian, ya? Akan aku ingat." Anak itu melompat kegirangan, lalu melambai kecil pada Dennis. "Maaf, aku gak bisa lama-lama papanya Brian! Aku juga mau pulang."
"Eh? Kau tau jalan pulangnya? Apakah rumahmu dekat dari sini?" tanya Dennis lagi.
"I–iya. Lumayan dekat. Kita cuma beda kawasan komplek saja, papanya Brian." Jawab anak itu, kemudian membungkuk kecil untuk memberi hormat. Sekali lagi ia melambai, lalu berlari menjauh.
Dennis menatapi pulpen pemberian anak tadi, lalu kembali menutup gerbang. Ia pun berjalan kecil mendekati teras rumah, kemudian bertemu dengan Cahya lagi di sana.
"Siapa tadi, sayang?" tanya Cahya.
"Emm ... kayaknya temannya Brian. Dia ngasih ini." Dennis menunjukkan pulpen itu pada Cahya. "Emm ... aku ingin bicara dengan Brian."
*
*
*
To be continued–
*
*
*
Saat Dennis kembali masuk ke dalam rumah, ia kembali ke tempat duduknya, yaitu di sofa ruang tamu. Sebelumnya Dennis sedang menonton tv di sana. Tapi sekarang ia melihat ada Brian sedang bermain game PlayStation.
Dennis tersenyum, lalu berjalan menghampiri anak itu. Saat Dennis ingin duduk di sampingnya, tiba-tiba Brian bertanya dengan nada dingin. "Apaan, ayah?"
"Kau sudah mandi?" tanya Dennis balik.
"Udah, lah."
"Gak makan dulu?"
"Entar aja, ish!"
"Apa kamu gak la–"
"Aaaah, jangan nanya mulu, ayah! Aku gak suka dikasih banyak pertanyaan." Brian menyela. Ia sempat melirik tajam ke Dennis, tapi saat kembali melirik ke tv, ia menggerutu kesal karena ia kalah dalam bertarung di game tersebut. Langsung saja ia membanting stik PS nya ke bawah, lalu beranjak dari sofa.
"Ah, ini gara-gara ayah berisik, sih! Jadi kalah, kan!"
"Emm ... maaf, Brian." Dennis menundukkan kepala, lalu mengambil stik PS yang ada di samping kakinya. Beruntung benda itu mendarat di bantal sofa dan tidak rusak karena hantaman keras. "Kau mau main berdua sama ayah?"
"Gak! Aku udah males." Brian membuang muka, lalu tak sengaja matanya melirik jam dinding. Ia tersentak lalu bergumam, "Ah, waktu itu cepat amat." Setelah itu ia pun pergi ke kamarnya.
Setelah Brian pergi, Dennis menghembuskan napas panjang lalu bersandar di sofa itu. Ia meletakkan stik PS-nya di atas meja. Pandangannya masih menatap televisi yang memperlihatkan lingkungan dalam game.
"Hah, aku lelah kalau begini terus. Apa yang harus aku lakukan?" keluh kesah Dennis dalam batinnya. "Brian sepertinya masih membenciku. Tapi aku tidak tahu kesalahanku apa? Sepertinya aku kurang bisa dalam mendidiknya, haduh ...."
"Oh, halo, Rei. Tumben datang jam segini?"
Dennis membangkitkan kembali tubuhnya, lalu menoleh ke samping. Ia mendengar suara Cahya yang berbicara dengan seseorang dari teras rumah. "Eh, ada kak Rei datang?"
Dennis beranjak dari tempatnya untuk menyambut Rei juga di depan sana. Tapi mendadak muncul Brian yang berlari kecil ke arahnya. "Ah, minggir ayah!"
Brian sudah berganti pakaian. Ia hanya memakai kaus putih dan jaket Hoodie merah. Kelana pendek abu-abu dan di tangannya ia membawa ember plastik kecil yang bisa ia tenteng sesuka hati.
Penasaran dengan penampilan Brian, Dennis pun ikut berjalan ke pintu depan dan menemui Rei di sana.
"Kak Rei! Aku yang membawa embernya sekarang, ya?" Dengan senangnya, Brian menunjukkan barang bawaannya pada Rei. Dennis jadi ikut senang karena ia melihat wajah bahagia anaknya sekarang.
"Kalian mau memancing lagi?" tanya Cahya.
"Ya. Brian yang ngajakin." Jawab Rei.
"Aku pasti akan mendapatkan lebih banyak ikan daripada punya kak Rei, lihat saja nanti!"
"Oke, aku juga tidak akan mau kalah dari Brian."
Cahya tertawa kecil, lalu mengelus kepala anaknya. "Oh, oke oke. Untuk makan malam hari ini, kau yang membawakan menunya, ya, sayang?"
Brian mengangguk cepat, lalu menepis pelan tangan Cahya karena ia tidak suka dielus. Menurutnya elusan di kepala itu hanya untuk anak kecil. Pikirannya sudah mulai dewasa, dan ia juga paling benci kalau dibilang anak kecil lagi.
Brian mulai berlari meninggalkan rumah. "Kak Rei! Siapa yang sampai di sana lebih dulu harus memasangkan umpannya, ya?"
Rei tentu saja mengejarnya dari belakang. "Awas jangan lari-lari. Nanti jatuh, kau nangis."
"Ahaha ... tidak mungkin. Brian kan kuat dan gak cengeng."
Senyuman Dennis memudar saat Brian dan Rei pergi. Ia merasa sedih melihat Brian yang lebih bahagia di dekat Rei, daripada dirinya yang sudah menjadi ayah untuk Brian.
Dennis merasa tidak bisa menjadi ayah yang hebat untuk Brian. Yang pantas menjadi ayah untuk anak laki-laki itu adalah Rei.
Belum lama ini, keakraban Brian dengan Rei selalu membuat Dennis iri ketika melihatnya. Ia juga ingin mengajak Brian jalan-jalan. Tapi ketika di ajak, anak lelakinya itu selalu membandingkannya dengan Rei.
"Aku tidak menyangka kalau menjadi orang tua itu tidak mudah seperti memelihara anak kucing." Batin Dennis.
... ****************...
Brian dan Rei pergi ke hutan kota yang tak jauh dari rumah Dennis. Di sana ada sungai kecil yang terdapat banyak ikan. Tentu saja mereka bisa izin untuk memancing di sana dan banyak pemancing lainnya juga yang berkumpul. Tapi mereka berdua biasanya mencari tempat yang sepi dari orang lain agar tidak ada pesaing.
Saat sampai di tempat biasa, Brian melompat-lompat kecil, lalu memanggil Rei. "Kak Rei! Aku yang menang, loh!"
"Ya, ya ... aku yang pasang umpan sekarang." Rei meletakkan alat pancing yang ia bawa di samping, lalu mengeluarkan kotak kecil yang berisi banyak cacing di dalamnya. Langsung saja Rei memasangkan umpannya, sementara Brian melemparkan pelet ikan untuk memancing para ikan itu mendekati kawasan mereka.
"Yosh, siap." Rei selesai. Ia langsung memberikan alat pancing yang sudah diberi umpan itu pada Brian.
"Wah, keren kak Rei!" Dengan senang, Brian menerimanya. Setelah itu, Rei memasangkan umpan lainnya di pancingannya.
"Hmm ... Hari ini hanya sebentar saja, ya? Soalnya tar sore, aku ada kerja." Ujar Rei sambil berusaha menusuk tubuh cacing itu secara perlahan.
"Yah ... kurang asik kalau sebentar doang, kak Rei." Brian mengeluh, lalu melempar umpan yang telah terpasang pada kailnya sampai masuk ke dalam air sungai. Ia duduk di batu dekat sana dan menunggu.
"Iya, aku tidak bisa lama-lama. Kalau kau merasa belum puas, minta ayahmu saja untuk mancing juga."
"Hah? Ngapain ngajak ayah. Mending aku main game di rumah kalau kak Rei gak bisa temenin aku mancing."
"Memangnya ada apa dengan ayahmu?" tanya Rei. Tak lama ia selesai dengan pancingannya, dan mulai memancing seperti Brian. Sekarang saatnya mereka mengobrol sambil menunggu ikan menggigit umpan.
"Kan terakhir kita ajak dia, dia masa gak bisa masang umpan, sih? Haduh ... payah banget." Jawab Brian. Ia bahkan kembali mengingat kelakuan ayahnya kemarin yang selalu memutuskan tubuh cacingnya sebelum ditancapkan ke kail pancing.
"Lalu ... kemarin pas pulangnya, mendengar suara anjing menggonggong saja dia langsung ketakutan. Dasar penakut." Kemarin setelah selesai memancing bersama, Dennis dan Brian melewati sebuah gang yang di mana salah satu rumah di sana ada yang memelihara seekor anjing.
Saat hewan itu menggonggong, Dennis terkejut dan nyaris berlari. Tapi ia ingat dengan Brian yang ada di dekatnya, dan langsung mengajaknya untuk cepat-cepat jalannya. Di situ Brian benar-benar merasa hari kemarin adalah hari terburuk untuknya.
"Apanya yang harus ditakutkan, coba? Anjing doang. Dih!" Brian melanjutkan. "Trus sikapnya masih kayak anak kecil." Brian sering melihat beberapa orang yang suka mengelus kepala Dennis dan lelaki itu selalu menyukainya.
Rei sudah kenal dengan Dennis sejak lama. Ia juga tahu apa kelemahan dan ketakutan Dennis. Jadi kalau soal Dennis takut dengan anjing itu hal biasa untuknya. "Brian, ayahmu memang takut sama anjing karena traumanya. Jadi maklum aja. Tapi ayahmu itu pemberani, loh!"
"Hah? Pemberani dari mananya? Sama ibuku saja takut. Huh, benar-benar payah. Dia terlalu lembut orangnya."
"Ya ... tapi kan mau bagaimana pun juga, dia tetap ayahmu. Kau harus menghormati dan menyayanginya. Dia pasti juga sayang padamu." Rei menasihati. Lalu mendadak tongkat pancingnya bergerak. Tanda kalau sudah ada ikan yang memakan umpan.
Rei langsung bersiap. Ia mendiamkannya beberapa detik, lalu menarik pancingannya secara perlahan. Saat kail dengan ikan itu sudah dekat dengan daratan, Rei langsung menariknya dan memasukkan ikan itu ke dalam jaring yang sudah Brian siapkan.
Brian sangat senang Rei bisa mendapatkan ikan yang lumayan besar. Sampai dengan sengaja ia bergumam dalam hati, "Andai saja ayahku adalah kak Rei. Pasti bakalan seru."
...****************...
"Maaf, ya, tidak bisa menemanimu lebih lama lagi."
"Tidak apa kak Rei!" Brian menggeleng pelan, lalu menunjukkan ember yang penuh dengan ikan hasil tangkapan mereka. "Dua jam ini saja kita bisa dapat lumayan buat makan malam. Kalau aku sama ayah, gak bakal bisa dapat sebanyak ini."
"Eh? Kau membawa pancinganku?" tanya Rei sambil melihat-lihat sekelilingnya. Di tangan, ia hanya memegang satu pancingan. Saat memerhatikan Brian, ternyata Brian hanya memegang ember itu saja. "Ah, sepertinya pancingan kita ketinggalan satu di tempat tadi."
"Oke kalau gitu aku yang ambil ke–"
"Jangan, Brian. Kita bersama-sama saja. Ayo!" Rei mengajak tapi Brian menggeleng pelan. Ia tidak mau ikut dengan Rei dan memutuskan untuk tetap tinggal di tempat itu saja sambil menunggu. "Tidak. Aku menunggu di sini saja."
"Oh, oke. Berhati-hatilah! Aku akan segera kembali." Rei pun pergi kembali ke hutan kota. Untung jalannya tidak terlalu jauh, jadi Rei tidak akan lama.
Sementara itu, Brian masih menunggu di pinggir jalan yang sepi. Tapi masih terdapat rumah penduduk di sana. Hanya saja, jarang ada pejalan kaki atau kendaraan apapun yang lewat.
Sampai tak lama setelah Rei pergi, sebuah mobil Van hitam tiba-tiba berhenti di depan Brian. Brian yang heran, tapi merasa curiga pun memerhatikan mobil itu dengan hati-hati. Tapi tidak ada gunanya juga dia berdiam diri di sana. Anak laki-laki itu ingin meninggalkan tempatnya dan menyusul Rei saja.
Namun saat baru tiga langkah ke depan, tiba-tiba pintu mobil itu terbuka dan dua orang dewasa keluar dari dalam sana lalu menangkap kedua tangan Brian dan menjatuhkan ember yang ia pegang. Ikannya pun berantakan di atas aspal.
Anak laki-laki itu sudah sering berkelahi, jadi ia bisa sedikit melawan. Tapi karena lawannya lebih besar, ia memutuskan untuk melarikan diri saja setelah terbebas dari kedua orang dewasa tersebut.
Brian mencoba untuk terus memberontak sampai mereka mau melepaskannya. Tak lupa ia juga berteriak meminta tolong dan kakinya terus menahan tubuhnya agar tidak dapat ditarik masuk ke dalam mobil.
Karena teriakan dan tubuhnya yang tidak bisa diam, salah satu dari orang dewasa itu langsung membekap mulut Brian dengan kain dan seketika lelaki itu langsung tak sadarkan diri. Tubuhnya lumpuh seketika. Tapi sebelum menutup mata, ia sempat melihat bayangan seseorang yang menghampirinya dengan cepat, namun tak jelas.
*
*
*
To be continued–
*
*
*
Brian membuka mata. Objek pertama yang ia lihat adalah pundak seseorang. Saat ia menoleh ke sampingnya, di sana ada Rei yang sedang berjalan. Tubuhnya terasa ringan, seakan ada yang menggendongnya.
Setelah energinya kembali, Brian mencoba untuk bergerak sebagai tanda kalau dia sudah bangun. Ia ingat kejadian sebelumnya, tapi ia tidak tahu kenapa bisa ada Rei dan ayahnya yang saat ini sedang menggendongnya di belakang.
Brian sedikit memberontak, lalu menepuk pundak ayahnya. "Ayah! Turunkan aku. Aku bukan anak kecil yang masih digendong-gendong!"
"Eh? Kau sudah sadar?" tanya Dennis, lalu berjongkok untuk menurunkan Brian. Setelah itu Dennis kembali bertanya, "Kau baik-baik saja? Apa ada yang sakit?"
"Tidak mungkin aku merasa sakit. Aku kan Brian yang kuat!" Brian berbangga diri, lalu menatap Rei. Ia tersenyum senang setelah melihat warna mata Rei yang berubah menjadi oranye kemerahan. "Wah! Pasti kak Rei yang menyelamatkan aku, ya? Soalnya ayah kan tidak mungkin sehebat Kak Rei."
"Eh?" Rei tersentak mendengarnya. Karena moodnya kembali seperti biasa, secara perlahan ekspresinya pun berubah menjadi dingin. "Bukan. Bukan aku yang–"
"Ah, jangan malu-malu kak Rei! Pasti kak Rei yang menolongku tadi. Kan ayahku mah gak bisa melawan orang-orang jahat tadi, loh!" Setelah menunjuk ke Dennis, Brian menarik-narik baju bawah Rei lalu kembali menatapnya. "Kak Rei! Coba ceritain, dong, bagaimana kakak bisa melawan orang-orang tadi."
"Ah, lain kali saja. Aku ada kerja sekarang. Maaf, ya? Aku lewat jalan ini. Kau pulang bersama ayahmu saja." Rei sebenarnya beralasan. Ia merasa tidak enak pada Dennis karena Brian lebih membanggakannya daripada ayahnya sendiri. "Maaf, Dennis. Semoga kau tidak menganggap kalau aku telah merebut moment penting dengan anakmu."
"Ah, Dennis." Rei memanggil. Dennis yang sedang bengong tanpa ekspresi pun terkejut dan langsung menoleh ke Rei. "A–apa Rei?"
"Aku duluan, ya?"
"Oke. Hati-hati." Dennis mengangguk sambil tersenyum. Rei sedikit menyipitkan matanya, lalu melirik ke arah lain. Ia tau senyuman Dennis yang tadi adalah senyuman yang dipaksakan. Tapi ia tidak tahu kenapa sebabnya. Sepertinya mood Dennis sedang tidak enak.
Rei melambai kecil, lalu berbelok ke jalan di sampingnya. Sementara itu, Dennis dan Brian tetap melewati jalan lurus di depannya. Mereka saling diam-diaman saja selama di perjalanan.
Seperti biasa, Brian tidak pernah ngomong dengan ayahnya berdua saja. Dennis sendiri juga tidak tahu harus mulai dari mana untuk mengajak anaknya bicara.
Sedari tadi, Dennis terus memasukkan tangan kanannya ke dalam kantung celana karena ia sedang memegang sesuatu di dalam sana. Ada satu benda yang ingin ia berikan pada Brian. Tapi ia masih belum berani karena bukan waktunya.
Di tempat Rei berada, setelah ia berjalan beberapa meter setelah berpisah dengan Brian dan Dennis, ia sempat berhenti di pinggir jalan. Ia menggenggam erat kedua alat pancing miliknya lalu bergumam dalam hati.
"Sebenarnya ... Dennis lah yang menyelamatkanmu, Brian. Kalau bukan karena kecepatannya, kau mungkin sudah dibawa masuk ke dalam mobil oleh penculik itu. Aku juga bodoh telah meninggalkan anak kecil di tempat sepi seperti tadi. Bahkan aku lupa kalau tak jauh dari sana ada peringatan tentang mengawasi anak kecil karena kawasan tadi sering terjadi pemerkosaan dan penculikan."
Rei menepuk keningnya, lalu mengacak-acak rambut depannya. Ia menghela napas lalu kembali bicara dengan diri sendiri di dalam hati. "Hah, aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Tapi ... melihat wajah Dennis tadi, sepertimya dia mulai tidak suka denganku karena aku selalu mengajak Brian main. Tapi bukan berarti aku ingin merebut anakmu. Mungkin aku akan bicara padanya nanti."
Rei kembali berjalan. Ia ingin kembali ke rumahnya sekarang, baru pergi ke kantor polisi untuk mengambil tugasnya. Rei masih menjadi detektif swasta yang identitasnya selalu dirahasiakan. Maka dari itu jarang ada orang yang tau profesi Rei yang sebenarnya. Tentu saja ia masih bekerja sama dengan kepolisian dalam kasus tertentu saja.
Namun akhir-akhir ini jarang ada yang memesan jasanya karena kota sudah mulai damai. Ketika ada kejahatan, kasus mereka gampang terungkap dan tidak berlama-lama menyimpan misteri.
Rei yang gabut karena tidak punya kerjaan lain selalu menonton televisi di rumah sambil makan mie ayam bawang. Paling sesekali ia berlatih tembak di rumahnya dengan pistol mainan milik adiknya.
Setiap hari, ia pasti memandangi dan meminta izin sebelum pergi ke mendiang Lino yang tempatnya terpajang di atas meja sudut ruangan. Lalu setiap Minggu, tak lupa kadang Rei suka pergi ke desa sendirian hanya untuk menengok makam kedua orang tuanya dan berdoa di sana.
Namun sekarang, Rei mendapatkan pekerjaan setelah lama berdiam diri untuk beberapa Minggu. Kali ini ada kasus tentang perselingkuhan dan kali ini pula, Rei tidak menanganinya sendiri. Ia sudah mempunyai rekan kerja yang baru, sekaligus calon istri yang disukainya.
DRRRTT! DRRRTT!
Ponsel Rei berdering. Tanda kalau ada telepon masuk. Langsung saja ia mengecek ponsel untuk melihat siapa yang telah menghubunginya itu. Saat membuka layar, Rei langsung mengangkat telepon tersebut. "Halo?"
[ Rei, maaf aku gak bisa bantu kamu karena ... em ... aku dikirim ke luar negeri untuk kasus lain di sana. Jadi untuk masalah yang di sini, kau bisa tangani sendiri, kan? Maaf banget loh, sayang. Ini juga mendadak. ]
"Kau pergi ke mana dan sampai kapan?" tanya Rei.
[ Ke Australia. Mungkin 3 Minggu kemudian baru pulang. ] Jawab wanita itu.
"Hmm ... ya sudah tidak apa-apa. Kau hati-hati di sana, ya? Mulai jalan besok?"
[ Iya. Besok aku ke bandara. Ada temanku juga di sana yang menunggu. Jadi aku harus cepat. ] Nada bicaranya terdengar cepat. Tak lama, wanita itu tersentak lalu kembali berbicara. [ Ah, iya! Maaf juga duh ... aku menundanya lagi. ]
"Ah, kalau soal itu tidak apa-apa. Pekerjaan lebih penting."
[ Ya, kau benar, Rei. Ah, sudah, ya? Aku harus pergi sekarang. ]
"Sepertinya kau sangat sibuk di sana."
[ Ya kan aku harus bersiap-siap untuk besok. A–aduh! ]
Rei sedikit terkejut saat mendengar suara gedubrak. Tapi ia menganggapnya biasa karena wanita itu memang sedikit agak ceroboh. "Kau jatuh lagi apa kesandung?" tanya Rei yang sepertinya sedang menahan tawa.
[ Duh duh ... aku menginjak selendangku. Haha ... licin soalnya. ]
"Hmm ... tolong nanti di sana juga jangan sampai ceroboh dan mengacaukan pekerjaanmu, ya?"
[ Umm ... aku akan berusaha untuk berhati-hati. Aku janji! ]
"Beneran janji?"
[ Iya ih, bawel. ]
"Kan kamu yang suka bawel."
[ Ahehe ... sudah ya, aku tutup. Bye! ]
"Kau jangan lupa ma–"
TUT!
Rei kembali memasang wajah biasanya lagi. Belum saja selesai bicara, wanita itu sudah menutup teleponnya. Wanita itu memang pekerja keras sampai lupa untuk mengurus dirinya sendiri. Tak jarang juga Rei selalu mengingatkannya.
Selesai dengan teleponnya, Rei kembali berjalan. Sampai di rumah, ia hanya menaruh pancingannya dan mengganti baju saja. Setelah itu pergi ke kantor polisi untuk meminta laporan dan mengambil barang-barang pentingnya di sana.
****************
"Wah~ Tumben kalian pulang jalan bersama."
Saat sampai di rumah, Cahya menyambut Brian dan Dennis dengan lembut di depan pintu.
"Tadi ada kak Rei. Tapi dia pulang duluan." Brian membalas. "Ah, gak asik jalan sama ayah. Aku lebih suka sama kak Rei."
"Eh, Brian gak boleh gitu. Kau harus lebih akrab dengan ayahmu, dong."
"Huh, ibu! Aku lapar. Ini buatkan ikan hasil tangkapan tadi." Brian menunjukkan ember yang ia bawa. Cahya terlihat senang bisa mendapatkan banyak makanan untuk sekarang.
"Ayo ibu masakkin." Cahya menerima ember itu, lalu mengajak Brian masuk. Mereka pergi berdua menuju dapur. Sementara Dennis masih sibuk membuka sepatunya dari tadi. Ia sengaja membuka talinya dilama-lamain, sampai tak sengaja, ia mendengar suara Brian yang selalu menyakiti hatinya.
"Ibu! Ini ikannya kak Rei yang dapatkan, loh! Dia hebat banget, gak kayak ayah."
"... Gak kayak ayah ...."
"... Gak kayak ayah ...."
Dennis menghela napas untuk yang kelima kalinya. Satu kalimat itu saja membuat hatinya sakit. Tapi tetap saja ia selalu menyalahkan diri sendiri dan menganggap kalau dirinya tidak bisa membahagiakan Brian.
Dennis bisa melihat Brian tersenyum dan bahagia kalau di dekat Rei. Tapi tidak di dekatnya. Ia bisa melihat Brian tersenyum di dekat Cahya. Tapi tidak dengan dirinya. "Apa yang telah kulakukan? Seberapa bodohnya aku menjadi ayah untuknya sampai anakku sendiri membenciku."
"Apa yang harus kulakukan?" Dennis masih menyimpan tangan kanannya di dalam saku. Lalu tak lama, ia mengeluarkan sesuatu dalam sakunya. Ternyata benda yang ia simpan adalah sebuah gantungan kunci bergambar singa lucu.
Ia keluar untuk membelinya tadi karena ia tahu Brian menyukai hewan singa. Tapi entah kapan ia bisa memberikannya. Ia takut Brian akan membuangnya karena tidak suka jika benda itu jika diberikan langsung darinya.
"Mungkin aku akan menunggu waktu yang tepat saja untuk memberikannya."
*
*
*
To be continued–
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!