Disebuah Café di pagi menjelang siang ini, seorang perempuan muda melangkah dengan membawa buku kecil untuk mencatat pesanan sang pelanggan menghampiri satu meja dimana baru saja di isi oleh dua orang pelanggan yang memang sudah dirinya lihat beberapa kali datang ke Café ini.
“Permisi, mau pesan apa?” tanya Rara ramah pada pelanggan yang baru saja memasuki café miliknya.
“Vanilla Latte satu, Espresso satu sama Red Velvet satu,” pelanggan tersebut menyebutkan pesanannya.
“Baik, tolong tunggu sebentar,” kata Rara0 lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan pesanan
Aera Aulia Zahra yang akrab dipanggil Rara itu adalah gadis manis yang kini telah berusia 25 tahun. Salah satu pemilik café sederhana yang dirikan dari hasil kerja kerasnya bersama sahabatnya, Tania Anasya Marwah.
Café yang baru berdiri sekitar dua tahun lebih ini terletak tepat di depan rumah sakit swasta yang cukup besar. Hari-harinya ia habiskan di café bersama sahabatnya. Memiliki sebuah café, memang sudah menjadi impian Rara dan Tania sedari dulu, maka dari itu tak jarang Rara dan Tania bergantian turun tangan untuk melayani pelanggannya.
Meski mempunyai beberapa karyawan, tapi Rara maupun Tania selalu siap membantu jika mereka tidak sedang banyak kerjaan, itu juga mereka lakukan semata-mata ingin mengetahui siapa dan seberapa banyak pelanggan yang berkunjung ke cafenya, sekaligus menanyakan kepuasan atas hidangan maupun pelayanan yang café ini berikan.
Dan sejauh ini Rara juga Tania bersyukur karena belum mendapatkan kritikan yang buruk dari setiap pelanggannya, melainkan sebuah pujian yang mereka dapatkan. Rara dan Tania merasa bersyukur karena banyak yang mendukung. Bahkan ada juga pelanggan yang terang-terangan membantu mempromosikan cafenya kepada teman dan kerabatnya, hingga membuat café ini menjadi lebih banyak yang mengenal.
Rara dan Tania tahu bahwa ini barulah awal, perjalanannya masih panjang dan mungkin usahanya ini tidak akan selalu dalam kelancaran. Namun itu sudah sangat di pertimbangkan oleh keduanya.
“Ini pesanannya. Silahkan dinikmati,” ucap Rara dengan ramah.
“Terima kasih."
««««««
Ditengah kesibukannya membuat kopi Rara di kejutkan dengan kedatangan Tania yang tiba-tiba, membuat tangan Rara hampir sana mengenaik air panas di mesin pembuat kopi.
“Kamu ngagetin aja sih, Tan!” kesal Rara.
“Hehe, maaf deh,” jawab Tania cengengesan.
“Tumben kamu sudah datang?” heran Rara karena tidak biasanya Tania datang sepagi ini.
Café memang buka pukul 07:30 dan ini baru jam 09:15 sedangkan Tania biasanya datang selalu pukul 10:00 karena harus mengurusi Suami dan juga Anaknya.
“Iya karena sekarang suami aku gak ada, lagi ke luar kota. Jadi aku bisa berangkat pagi kesininya.” Jawab Tania seraya meneguk Coffe yang barusan Rara buat.
Mendengar itu membuat Rara menjadi murung. Rara merasa iri dengan sahabatnya yang sudah memiliki keluarga kecil bahagia, suami yang menyayanginya dan anak yang lucu membuat Rara iri .
Tania memang sudah menikah dua tahun yang lalu dan sudah memiliki seorang putri yang kini berumur 1, sementara Rara, ia baru saja gagal menikah karena mantan tunangannya itu telah menghianatinya dengan menikahi perempuan lain.
Dua minggu lagi seharusnya pernikahan akan berlangsung, tapi lima bulan yang lalu ia baru saja memergoki tunangannya berada di rumah sakit depan Café miliknya bersama seorang perempuan yang sedang hamil. Wanita mana yang tidak sakit hatinya jika melihat laki-laki yang dicintainya sedang bersama wanita lain? Awalnya Rara sempat mengira wanita itu adalah sepupu dari tunangannya yang meminta diantar untuk cek-up, hingga dengan senyum lebar Rara menghampiri mereka.
“Devan kamu disini? Nganterin sepupu kamu cek-up?" tanya Rara tersenyum ramah kearah wanita hamil di depannya.
“Hah, sepupu? Siapa?” wanita yang berada di samping Devan menaikan sebelah alisnya bingung, sedangkan Devan masih terdiam dengan keterkejutannya. Terlihat jelas dari raut wajah dan tubuhnya yang menegang.
“Kamu sepupunya Devan, kan?” tanya Rara kepada wanita hamil itu.
“Ra .. itu, emm…” ucap Devan gelagapan.
“Devan suami saya,” ucapan wanita hamil itu sukses membuat Rara membulatkan matanya tak percaya.
“Kamu istrinya, Devan? Sejak kapan Devan menikah?” Rara masih tidak percaya dengan apa yang diucapkan wanita tersebut. Rara melirik kearah tunangannya mencari jawaban. Namun Rara hanya melihat tunangannya itu menunduk.
“*Devan, apa benar kamu sudah menikah? Kapan?” tanya Rara menahan air mata yang sedari tadi sudah ingin keluar.
Devan tidak menjawab, laki-laki tampan yang menggunakan kemeja biru tua itu masih saja bungkam dan menunduk. Mata tajam itu kini terpejam, enggan menatap sang tunangan yang kini tengah memergokinya*.
“Satu tahun yang lalu.” Wanita hamil itu yang menjawab, dari raut wajahnya terlihat jelas bahwa kebingungan menyelimutinya.
Mendengar jawaban wanita itu membuat Rara menolehkan wajahnya menatap wanita hamil itu dengan air mata yang sudah tidak bisa ia tahan lagi. Mata bulat indah itu kini sudah dibasahi oleh air yang mengalir bak sungai melewati pipi chubynya.
“Tidak mungkin! Bahkan aku dan Devan sudah berpacaran dari empat tahun yang lalu, dan sudah tunangan dari setahun yang lalu. Dan kami akan menikah lima bulan lagi,” ucap Rara lirih seraya menggelengkan kepala, menolak untuk percaya. Rara menatap wanita hamil itu yang kini terlihat kaget dengan ucapannya.
“Apa ini bercandaan? Devan ini sungguh tidak lucu!” bentar Rara. “Jawab aku berengsek? Apa kau sudah benar-benar menikah?” tanya Rara emosi, masih dengan air mata yang semakin deras mengalir. Melihat anggukan Devan membuat hati Rara sakit dan ia benar-benar merasa kecewa pada tunangannya itu.
“Kenapa kamu tidak pernah jujur padaku ,Devan? Kenapa kamu menyakitiku seperti ini? Apa salahku kepadamu, hingga kamu setega ini padaku?" Rara berucap pelan, kecewa juga sakit hati.
“Maafkan aku, Ra. Maafkan aku telah menyakitimu. Ini bukan keinginanku, sungguh!” Devan buka suara. Terlihat jelas dari matanya yang memancarkan luka dan penyesalan.
“Apa maksudmu?” Rara bingung dengan aps yang dikatakan Devan. Ia beralih menatap wanita hamil yang kini menunduk dan air mata wanita itu pun menetes.
“Jawab aku, Devan!!” tuntut Rara.
“Orang tuaku menjodohkan aku dengan Shasha, seminggu setelah pertunangan kita.
Maafkan aku yang tidak jujur kepadamu. Aku sungguh tidak bermaksud menyakiti hatimu. Waktu itu aku bingung bagaimana menjelaskan semuanya kepadamu, aku tidak cukup berani untuk berterus terang kepadamu. Aku sangat mencintai dan menyayangimu, tapi aku juga tidak bisa membantah orang tuaku, maafkan aku, Ra maafkan aku.” Sesal Devan. Terlihat jelas kejujuran dari matanya yang memancarkan luka.
“Lalu... lalu pernikahan kita yang akan terlaksana lima bulan lagi bagaimana Devan? Apa yang harus aku ucapkan kepada keluargaku?” tanya Rara lirih.
“Aku akan menjelaskannya kepada keluargamu. Aku akan mendatangi keluargamu, aku janji!”
“Maafkan aku telah merusak kebahagian kalian. Maaf karena telah hadir di tengah-tengah kalian. Aku akan melepaskan Devan, karana memang aku lah yang salah telah hadir di antara kalian. Lanjutkan rencana pernikahan kalian, aku akan mengihklaskannya,” ucap Shasha membuat Rara dan Devan menatap tak percaya kearahnya. “Aku tahu, kalian saling mencintai, maka dari itu aku akan merelakannya. Kalian berhak untuk bahagia. Maafkan aku telah menghancurkan kebahagian kalian berdua.” lanjutnya dengan tulus.
“*Aku memang sangat mencintai Devan, tapi aku tidak setega itu untuk membiarkan Devan meninggalkanmu, apalagi keadaanmu yang sedang hamil anak Devan. Biarkan aku yang mengalah, biarkan aku yang mengihklaskan Devan untukmu. Kamu yang saat ini lebih berhak atas Devan. Kamu yang sudah sah menjadi istrinya, maka bertahanlah biarkan aku yang melepaskan Devan,“ucap Rara dengan tulus kepada Shasha.
Masih dengan air mata yang mengalir, Rara menatap wanita hamil bernama Shasa itu, dan perlahan jemari Rara terulur untuk menyentuh perut buncit wanita yang tengah mengandung darah daging dari tunangannya itu*.
Setelah mengelus pelan perut buncit itu kini Rara beralih menatap Devan. "Jaga istrimu dan calon anakmu. Sayangi mereka dengan tulus, aku akan mengihklaskanmu,” ucap Rara tulus kepada tunangannya itu, ralat mantan tunangannya. Ia akan belajar untuk mengihklaskan, walau ia tahu bahwa itu tidak akan mudah.
“Boleh aku memeluk suamimu untuk yang terakhir kalinya?” izin Rara kepada Shasha, dan hanya di balas dengan anggukan oleh wanita cantik yang tengah hamil itu. Melihat persetujuan dari Shasha, Rara langsung berhambur memeluk mantan tunangannya dengan erat yang di balas tak kalah erat oleh Devan.
Pelukan yang selalu memberi ketenangan dan kenyamanan ini tak akan lagi Rara dan
Devan rasakan, pelukan ini sebagai pelukan terakhir sekaligus perpisahan antara Devan dan Rara. Rara menagis dalam pelukan Devan begitupun sebaliknya, sedih karena harus mengihklaskan orang yang di cintainya untuk orang lain.
Setelah keduanya merasa tenang, Rara melepaskan pelukannya perlahan, Devan menagkup wajah Rara dengan kedua tangannya lalu menghapus air mata yang sedari tadi mengalir di pipi chuby mantan tunangannya itu dengan lembut.
“Terima kasih untuk pengertiannya. Terima kasih untuk lima tahun yang berarti di hidupku. Maaf aku telah mengecewakanmu, dan maafkan aku telah mengingkari janjiku untuk selalu membahagiakanmu, semoga kamu mendapatkan laki-laki lebih baik dari aku yang dapat membahagiakan kamu. Sekali lagi maafkan aku, aku mencintaimu,” ucap Devan tulus seraya mencium kening Rara lembut. Rara memejamkan matanya menikmati kehangatan dan kelembutan yang terakhir kali dari mantan tunangannya itu, lalu keduanya saling melepaskan pelukan itu dan tersenyum hangat sebagai perpisahan.
“Jangan lupa datang ke rumah untuk menjelaskannya kepada keluargaku. Ajak istrimu dan kenalkan ia kepada keluargaku, aku yakin papa akan mengerti,” kata Rara lembut kapada Devan yang diangguki oleh laki-laki tinggi itu.
“Bahagiakan istri dan anakmu, jangan buat istrimu menangis dan jangan kecewaan dia seperti kamu mengecewakan aku. Aku harus pergi sekarang, masih ada urusan.” Pamit Rara memeluk Devan dan Shasha bergantian lalu pergi menjauh jadi hadapan mereka berdua.
“Ra kamu kenapa nangis?” tanya Tania khawatir saat melihat air mata yang menetes dari mata bulat Rara.
“Tan, seharusnya dua minggu lagi pernikahku dengan dia. Seharusnya mimpiku bersama dia yang sudah kami bagun dari dulu sebentar lagi terwujud. Tapi ...”
“Sudah Ra, aku tahu kamu kecewa. Aku tahu kamu masih belum bisa menerima kenyataan ini, tapi kamu harus belajar untuk mengihklaskannya. Masih banyak laki-laki yang lebih baik di luar sana. Aku yakin Allah telah menyiapkan jodoh yang terbaik untukmu. Jangan menyesalinya Ra, buka hatimu untuk laki-laki lain. Jangan terlalu larut dalam kesedihan seperti ini, aku yakin kamu bisa, Ra! Kamu adalah wanita yang tegar,” ucap Tania mencoba menenangkan Rara dalam pelukannya.
Tania memang mengetahui semua tentang Rara, karena ia sudah sejak SMP berteman dengan perempuan cantik bermata bulat indah itu, dan Tania jugalah yang dulu sempat membantu pendekatan antara Devan dan Rara, maka sedikit banyaknya Tania mengetahui kisah mereka. Dan setelah pertemumuan dengan Devan pun, Tania lah orang pertama yang mengetahuinya dari Rara. Terkadang Tania iba melihat sahabatnya itu, tapi Tania juga tidak bisa menyalahkan Devan sepenuhnya.
“Sekarang kamu istirahat aja diatas. Tenangkan dulu diri kamu, biar di sini aku yang bantu,” kata Tania yang dibalas anggukan kecil oleh Rara.
Sesampainya di ruangan kerja Rara dan Tania, Rara berjalan menuju sofa dan kembali menangis, terpikir kembali nasib pernikahan yang telah lama di impikannya dengan Devan harus gagal begitu saja. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat, sudah banyak yang Rara dan Devan lalui, membuatnya tidak mudah untuk bisa melupakan kenangan indah itu.
“Devan aku kangen sama kamu.” Racau Rara dalam tidurnya.
“Ra, Ra bangun Ra!” panggil Tania, menepuk pelan pipi Rara.
“Devan … “ racaunya lagi masih dalam mata yang terpejam.
“Astagfirullah, Rara badan kamu panas banget. Bangun, Ra kita kerumah sakit!” panik Tania saat mendapati suhu tubuh Rara yang tinggi.
“Ya Allah, Rara kenapa kamu jadi kayak gini lagi, Ra!” gumam Tania sedih melihat keadaan sahabatnya.
Tidak mendapat tanda-tanda Rara akan bangun akhirnya Tania pergi keluar untuk mencari bantuan. Tania melihat Reno, Chef sekaligus sepupu Rara sedang sibuk di dapur, dan tidak ada orang yang akan menggantikannya, itu artinya Tania tidak bisa meminta bantuan juru masak cafenya itu.
Beruntungnya ada Dokter yang memang sudah menjadi pelanggan di café ini datang berkunjung. Tania yang melihat kedatangan Dokter Angga, langsung saja menghampiri Dokter itu untuk dimintai bantuan.
“Siang ,Dok, maaf mengganggu waktu istirahat Dokter, apa saya bisa minta tolong?” tanya Tania memohon dengan wajah yang masih panik.
“Tolong apa, Tan, In Sya Allah kalau bisa saya pasti akan bantu.” Jawab Dokter Angga ramah.
“Tolong teman saya Dok dia demam.”
“Ya sudah, boleh saya lihat temannya?" Tania mengangguk, lalu membawa Dokter Angga ke dalam ruangan kerjanya dimana Rara berada.
Setelah sampai di mana Rara berada, tanpa menunggu lebih lama lagi Dokter Angga langsung memeriksa keadaan Rara yang sampai saat ini masih saja memanggil-manggil nama Devan dengan mata yang masih terpejam.
“Bagaimana Dok keadaannya?” tanya Tania saat melihat dokter Angga yang telah selesai memeriksa keadaan Rara.
“Sejak kapan dia kayak gini?”
“Tadi pagi sepertinya, Dok,” ucap Tania tidak yakin.
“Boleh saya bawa dia kerumah sakit? Biar bisa saya periksa lebih lanjut. Soalnya sekarang saya tidak membawa perlengkapan saya, jadi belum bisa memastikannya,” ucap Dokter Angga yang segera diangguki oleh Tania.
“Baik Dok, silahkan. Nanti saya akan menyusul ke rumah sakit.”
Untung saja café ini berada tepat di seberang rumah sakit tempat Angga bekerja jadi, tidak perlu waktu lama untuk mereka sampai ditempat tujuan.
“Sus tolong bantu siapkan ruangan untuk pasien ini,” ucap Dokter Angga kepada salah satu suster yang kebetulan lewat di depannya.
“Baik Dok, mari,” ucap suster itu, meminta Dokter Angga untuk mengikutinya. Sesampainya diruang rawat, Dokter Angga kembali memeriksa kondisi Rara, hingga akhirnya Tania datang bertepatan dengan selesainya Dokter Angga memeriksa Rara.
“Bagaimana, Dok?” tanya Tania langsung.
“Dia tidak apa-apa, hanya kelelahan dan mungkin terlalu banyak pikiran hingga membuat kondisinya menjadi lemah.” Jelas Dokter Angga. Tania mengangguk.
“Terima kasih, Dok, maaf saya mengganggu waktu istirahat Dokter,” Ucap Tania menyesal.
“Tidak apa-apa, Tania sudah menjadi tugas saya menjadi seorang Dokter untuk lebih mendahulukan kondisi pasien,” ucap Dokter Angga tersenyum ramah.
“Kalau begitu saya permisi. Untuk pasien, dia harus istrahat dulu untuk beberapa hari di sini, supaya kami bisa selalu mengecek perkembangannya. Nanti resep obatnya bisa di tebus terlebih dulu di Apotik Rumah Sakit. Dan jika ada apa-apa kamu bisa hubungi saya.” Tania mengangguk, sebelum Dokter Angga meninggalkan ruang rawat Rara.
Sepeninggalnya Dokter Angga, Tania menghampiri Rara yang masih tertidur di ranjang rumah sakit. Wajah Rara yang terlihat pucat membuat Tania menitikan air mata. Ia sedih melihat Rara yang dulu terlihat ceria dan kuat, sekarang menjadi rapuh dan pendiam, tepatnya dari lima bulan yang lalu tidak ada lagi Aera yang ceria, yang ada kini hanya Aera yang pendiam dan tertutup.
“Sampai kapan kamu akan seperti ini, Ra? Sungguh aku tidak tega melihat kamu.”
Setelah memastikan keadaan Rara, Tania pergi keluar untuk menebus obat untuk Rara terlebih dahulu sekaligus menghubungi keluarga Rara.
Sekembalinya dari Apotik, Tania kembali keruangan dimana Rara dirawat dan sudah mendapati Ibu juga Kakak perempuan Rara disana.
“Assalamualaikum.” Salam Tania saat memasuki ruang rawat Rara. Kedua orang tersebut menoleh dan menjawab salam Tania.
“Wa’alaikum’salam”
“Tania, apa yang Dokter katakan?” Tanya Bu Risa selaku Mama Rara.
“Rara gak kenapa-napa Ma. Dia Cuma kecapean dan banyak pikiran aja. Sebentar lagi juga Rara akan bangun.” Jawab Tania. Risa menghembuskan napas lega setelah mendengar ucapan Tania tentang keadaan anak bungsunya itu.
“Oh iya Ma, Tania pamit kembali lagi kecafe. Masih ada yang harus Tania kerjakan.” Pamit Tania kepada mama Rara.
“Iya, Nak, terima kasih sudah membawa Rara kesini, dan maaf karena Rara sakit jadi tidak bisa membantu kamu di café,” kata Mama Rara tidak enak hati.
“Tidak apa-apa, Ma. In Sya Allah Tania tidak keberatan, yang penting sekarang adalah kesehatan Rara, dan pastikan Rara agar istirahat dan tidak terlalu stress,” ucap Tania kepada Mama Rara sebelum akhirnya pamit untuk kembali ke café yang sedari tadi ia tinggalkan.
Tidak lama sepeninggalnya Tania, Dokter Angga datang bersama seorang suster yang menemaninya untuk memeriksa keadaan Rara.
“Permisi Bu, apa pasien sudah sadar?” Tanya dokter Angga kepada Bu Risa.
“Belum Dok.” Jawab Bu Risa seadanya.
“Oh baiklah, saya periksa dulu keadaannya,” ucap Dokter Angga lagi, lalu segera memeriksa keadaan Rara. Baru saja Dokter Angga selesai memeriksa keadaan Rara, mata Rara terbuka perlahan.
“Allhamdullilah, akhirnya kamu sudah sadar. Bagaimana, Apa masih pusing?” Tanya Dokter Angga kepada Rara yang baru saja membuka kedua matanya.
“Sedikit,” ucap Rara pelan.
“Berhubung kamu sudah bangun, sebentar lagi suster akan membawakan makanan untukmu, jangan lupa dimakan ya. Dan jangan lupa obatnya diminum.” jelas Dokter Angga yang hanya dibalas anggukan lemah oleh Rara.
“Kalau begitu saya permisi dulu Bu, mari!” Pamit Dokter Angga. Rara dan Juga Risa mengangguk mempersilahkan.
Baru saja Angga akan membuka pintu, namun sudah ada orang yang terlebih dahulu membuka pintu itu dari luar. Yang tidak lain adalah Kakak dari Rara.
“Loh Riri?”
“Angga!”
“Angga akhirnya aku ketemu kamu disini! kamu kemana aja?” Tanya Riri semangat.
“Ri, kamu kenal sama Dokter Angga?” Tanya Bu Risa ditengah-tengah obrolan Angga dan Riri.
“Bukan kenal lagi, Ma ini Angga teman SMA Riri,” ucap Riri menjelaskan kepada mamanya.
“Kamu jadi Dokter disini?” Tanya Riri tidak percaya yang hanya di balas anggukan oleh Angga .
“Wih hebat kamu, Ga. Tapi dulukan kamu bandel banget, kok bisa sih jadi Dokter?” ledek Riri seraya tertawa, mendengar ledekan dari sahabat lamanya itu, Angga mendengus kesal.
“Itu kan dulu, Ri sekarang aku udah berubah.” Elak Angga, Riri hanya menganggukanggukan kepala.
“Kamu hamil, Ri?” Tanya Angga yang baru menyadari perut Riri yang sedikit membuncit. Riri hanya membalas dengan anggukan seraya menampilkan senyum bahagianya.
“Berapa bulan?” Tanya Angga lagi.
“Jalan 4bulan.” jawab Riri bangga.
“Hebat ya, yang jadi suami kamu, bisa hamilin macan betina kayak kamu,” ucap Angga meledek. mendengar perkataan Angga dengan cepat Riri memukul kepala Angga dengan cukup keras hingga membuat Angga meringis kesakitan.
Angga dan Riri bersahabat baik dari SMP hingga SMA dulu. Angga juga tahu bahwa seorang Aeri Attaya adalah gadis yang tomboy dan galak, banyak laki-laki yang mendekatinya karna wajah cantiknya, namun saat baru saja ingin berkenalan, Riri selalu menolak, bahkan tidak segan-segan untuk Riri menghajar orang itu jika sudah merasa terganggu.
Maka dari itu tidak ada laki-laki yang berani mendekati Riri lagi. Jika ada yang sukapun mereka hanya menyukainya dalam diam, berbeda dengan Angga, Riri sudah menganggap Angga seperti kakaknya sendiri meskipun umur mereka hanya berbeda beberapa bulan saja. Riri bisa menjadi manja jika itu sudah bersama Angga.
“Jadi, kapan kamu nikahnya, dan siapa laki-laki yang mampu naklukin macan betina ini?” Tanya Angga masih dengan ledekannya. Riri mendengus kesal.
“Dua tahun yang lalu. Kamu juga kenal kok, nanti deh aku ajak ketemuan sama kamu sekarang dia lagi di luar kota soalnya.” Jawab Riri , yang dibalas anggukan oleh Angga.
“Terus sebaliknya, siapa nih yang berhasil mencairkan hati pangeran es ini?” Ledek Riri kepada Angga, mendengar ledekan dari Riri mendadak membuat Angga menghela napasnya berat.
“Belum ada,” ucap Angga pelan.
“Yakin belum ada?” Selidik Riri tidak percaya.
“Yakin lah, yakali aku bohong,” ucap Angga yakin.
“Ya kalau belum sih bagus, biar aku jodohin kamu sama Adik aku. Gimana?” Tawar Riri seraya menaik turunkan alisnya.
“Emang kamu punya Adik?” Tanya Angga tak percaya, karna selama Angga mengenal Riri dia belum pernah menceritakan soal Adiknya.
“Ya punya lah, tuh yang sakit itu Adik aku,” ucap Riri menunjuk kearah Rara yang kini sedang di suapi oleh mamanya, merasa namanya disebut, Rara menolehkan wajahnnya kearah Riri dan seraya berkata ‘Apa’.
“Dek, kamu mau gak kakak jodohin sama dia?” Tanya Riri pada Adiknya, sambil menunjuk kearah Angga. mendengar perkataan kakaknya Rara yang sedang minum pun tersedak karena kaget.
“Kakak apa-apaan sih!” kesal Rara. Melihat wajah Adiknya yang memerah membuat
Riri tertawa. Riri tahu Adiknya malu, namun perkataannya tadi bukanlah sekedar becandaan. Riri memang benar-benar berniat untuk menjodohkan Adiknya itu dengan Angga, sahabatnya.
Riri tidak tega melihat keadaan Adiknya yang seperti ini semenjak lima bulan lalu. Bukan untuk pertama kalinya Rara harus dilarikan kerumah sakit seperti ini, namun semenjak kejadian bersama mantan tunangannya itu fisik Rara menjadi lemah, hingga sering dilarikan kerumah sakit seperti saat ini.
“Oh iya, Ri aku kembali berkerja lagi ya, masih ada pasien yang harus aku cek. kapanckapan kita ngobrol lagi,” ucap Angga berpamitan.
“Ok! Nanti aku kabarin, sekalian ngenalin suami aku ke kamu,” ucap Riri sebelum kepergian Angga.
Sepeninggalnya dari ruang rawat Rara, Angga tersenyum mengingat bagaimana wajah malu Rara tadi, entah kenapa Angga merasa bahagia saat ini. Bahagia karna ternyata orang yang empat bulan belakangan ini Angga sukai dalam diam adalah Adik dari sahabat baiknya, Riri. Apa lagi saat sahabatnya itu mengatakan akan menjodohkan Angga dengan Adiknya itu membuat Angga semakin bersemangat untuk mulai mendekati Rara.
Angga memang sudah beberapa kali bertemu dengan Rara di café tempat ia menghabiskan waktu istirahatnya yang juga kebetulan adalah café milik Rara dan juga Tania, sahabatnya. Angga memang lebih mengenal Tania karna kebetulan saat ia datang selalu Tania yang melayani pesanannya, sedangkan dengan Rara ia hanya bertemu sekilas saja, namun meski sekilas Angga sudah menaruh ketertarikan pada perempuan itu.
Beberapa kali Angga berniat akan menanyakan perihal wanita itu kepada Tania, namun ia urungkan karna tidak punya cukup keberanian, tapi entah kebetulan atau bahkan memang takdir bahwa selama ini wanita yang telah berhasil menarik perhatiannya itu adalah Adik dari seorang Aeri Attaya Azahra yang tidak lain adalah sahabat baiknya dulu. Angga berharap semoga perempuan itu adalah jodoh yang telah Allah siapkan untuknya.
Angga berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan mendapatkan perempuan cantik yang memiliki mata bulat itu. dan jangan lupakan pipi chuby yang menggemaskan itu membuat Rara terlihat lucu meski usianya sudah menginjak angka 25.
Memang bukan pertama kalinya Angga menyukai lawan jenis. Ia sempat beberapa kali berpacaran dengan perempuan sekampusnya dulu. Tapi perasaan kali ini berbeda dari sebelumnya, ketertarikannya kali ini lebih besar, seolah ada magnet yang menariknya kuat, dan rasa ingin memiliki pun semakin besar saat Riri menawarkan sebuah perjodohan.
Meskipun ia tahu, bahwa perkataan sahabatnya itu hanyalah gurauan.
Ini adalah hari ketiga Rara dirawat, dan saat ini Angga dengan ditemani seorang suster seperti biasa tengah memeriksa perkembangan kesehatan Rara. Setelah mengecek semuanya Angga tersenyum kearah Rara yang sedang menatapnya cemas.
“Ok, berhubung kesehatan kamu yang semakin membaik, maka saya akan mengizinkan kamu untuk pulang sore ini,” ucap dokter Angga yakin membuat Rara mengembangkan senyumnya .
“Benar Dok, saya udah boleh pulang?” Tanya Rara meyakinkan yang dibalas anggukan oleh Dokter Angga.
“Ahh,, akhirnya aku pulang juga!” Teriak Rara bahagia. Melihat tingkah Rara yang menurut Angga menggemaskan itu dengan refleks tangannya terulur mengacak gemas rambut Rara, namun saat menyadari tindakannya itu Angga dengan perlahan menurunkan tangannya merasa tidak enak.
“Maaf saya lancang, saya tidak bermaksud..” ucap Dokter Angga menyesal dan salah tingkah. Rara mengangguk sama salah tingkahnya.
Keadaan mendadak menjadi canggung, tidak ada yang mau membuka suara. Angga merutuki kebodohannya dalam hati dan Rara yang mencoba menetralkan detak jantungnya yang tiba-tiba saja berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada desiran halus dalam hatinya saat
Dokter Angga mengelus rambutnya. Ditengah keheningan yang tercipta antara Angga dan Rara suara pintu terbuka mengalihkan pandangan keduanya.
“Baru selesai periksa Rara, ya?” Tanya Riri kepada Angga yang diangguki oleh Angga.
“Terus gimana keadaannya?” Tanya Riri lagi.
“Rara sudah semakin membaik kok, nanti sore sudah boleh pulang," jawab Angga.
“Yah, kok cepet banget sih pulangnya,” ucap Riri pura-pura kecewa, membuat Angga dan Rara memandang Riri dengan tatapan bingung.
“Maksud kakak apa? Kakak gak senang aku pulang? Jahat banget sih.” Rara cemberut mendengar perkataan Kakaknya itu. Ekspresi yang lucu menurut angga. Membuat ia ingin sekali mencubit pipinya karna gemas, namun Angga tahan karna takut dikira lancang.
“Bukannya gitu, Dek tapi nanti kalau kamu pulang, Dokter Angga pasti kesepian gak ada kamu.” Canda Riri, membuat Angga menggaruk tengkuknya salah tingkah sedangkan Rara mendengus pelan.
“Kakak apa-apaan sih, ngaco tau gak!” Tukas Rara menutupi rasa malunya. Sedangkan Riri kini telah tertawa karna berhasil menggoda sahabat dan juga Adiknya itu.
Sedari tadi sebenarnya Riri sudah berada didepan pintu memperhatikan keduanya dari luar, Riri tau bahwa sahabatnya itu memang tengah menyukai Rara, Adiknya. Berteman dengan Angga cukup lama membuat Riri paham dengan sikap sahabatnya itu, dan itu membuat Riri semakin yakin untuk menjodohkan Angga dengan Adik yang disayanginya itu, apa lagi saat ini keadaan Rara yang memang sedang rapuh dan sedih karena batalnya pernikahan antara Rara dan Devan.
Sebagai kakak, Riri ingin melihat Adiknya bahagia dan karena itu jugalah Riri sengaja menjodohkan Angga dengan Adiknya, karena Riri percaya bahwa Angga mampu membahagiakan Rara.
“Ya sudah kalau begitu aku permisi dulu Ri, mau ngecek pasien yang lain.” Pamit Angga kepada Riri.
“Oh iya, Rara jangan lupa diminum obatnya dan jangan lupa untuk istirahat yang cukup ya,” ucap Angga sebelum ia akhirnya pergi meninggalkan ruang rawat Rara.
“Gimana, Ra, kamu mau gak Kakak jodohin sama Angga?” Tanya Riri menggoda sang Adik.
Rara akui dokter Angga memang ganteng dan baik, tapi entah kenapa Rara tidak terlalu tertarik sama Angga. Entah tidak atau mungkin belum. Tapi untuk saat ini Rara merasa belum siap membuka hatinya untuk laki-laki lain. Apa lagi setelah gagalnya pernikahan yang sudah ia impikan bersama mantan tunangannya itu, membuat Rara sulit untuk menerima kehadiran laki-laki lain dihatinya, terlalu sulit untuk ia lupakan, namun terlalu sakit untuk ia ingat. Yang jelas saat ini Rara hanya butuh waktu untuk menyembuhkan luka dihatinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!