“Jombang, Jombang, Jombang!!!”
“Pare, Waru, kosong, kosong, kosong!!!”
Begitu nyaring suara kernet bus merayu calon penumpang hingga membuat kuping terasa berdenging. Semua kursi bus terlihat sudah penuh, bahkan beberapa penumpang sudah berdiri berdesak-desakkan. Hal itu tak lantas menurunkan intonasi sang kernet untuk menyudahi kalimat pamungkasnya “Masih kosong”.
Bak sihir negeri dongeng, calon penumpang mengiyakan tawaran kernet dan pufht bus makin penuh, sesak, dan menjerit tak kuasa menahan beban. Secepat kilat semua penumpang menaruh maklum.
Hari ini adalah hari Rabu, 25 Desember 2013, tepat sekali hari ini adalah libur Natal. Banyak karyawan dari Malang dan Batu akan pulang kampung demi satu kata LIBURAN. Walau harus berdesakan atau hanya sekedar tak dapat tempat duduk di bus, yang penting mereka bisa kumpul dengan keluarga di rumah.
Pun demikian, riuh padatnya Puspa Indah tak menyurutkan niat Anara. Demi Kota Istimewa yang diimpi-impikannya sedari SMA, demi Yogyakarta (selanjutnya Jogja) yang ia bayangkan dari dendang lagu Kla Project.
Di sinilah gadis itu, duduk di samping jendela di tengah suka cita semua orang yang mendambakan damai Natal. Berbekal interviu pada teman satu jurusan, ia nekat menyusuri jalanan yang masih asing baginya. Tak lupa ia berdoa ketika bus yang ia tumpangi dengan segenap tenaga meninggalkan Landungsari menuju Jombang.
“Wah ramai banget ya! Sudah penuh masih aja dibilang kosong." Yang ini suara Hartik, gadis asli Gresik yang sudah lama tak sabar menunggu hari ini. Backpacker-an nekat bersama Anara dengan tujuan serupa, ingin tau Jogja.
Dari sudut jendela, gerimis mulai menerpa Puspa Indah yang kini tengah menyusuri kelok jalan perbukitan Pujon. Sebenarnya rencana awal mereka akan ke Jogja dengan naik Malioboro Ekspres. Nahas saja, akhir tahun pasti tiket kereta ludes dan cerobohnya mereka berdua tak memesan tiket jauh-jauh hari.
Sayup-sayup terdengar Stasiun Balapan-nya Didi Kempot dari audio bus. Menambah ramah suasana perjalanan. Gerahnya berdesakan dalam bus sedikit bisa dikompensasi, begitu kiranya.
"Tik, bawa kresek, kan?" Tanya Anara tanpa menoleh pada Hartik yang tengah sibuk mengoles Freshcare ke philtrum, pelipis, dan leher.
"Iya bawa, An. Takut nggak disediain." Sahut Hartik cepat.
Hartik memang punya riwayat buruk untuk urusan per-bus-an. Gadis berjilbab ini akan dengan mudah mengeluarkan seluruh isi perutnya jika tak meminum Antimo dan parahnya mabuk perjalanan yang ia alami biasanya akan benar-benar sembuh setelah 2 atau 3 hari kemudian.
"Duh, gak sabar banget aku mau lihat Jogja, lihat tugu, jalan-jalan ke Malioboro. Trus upload di status BBM." Anara mulai nerocos tanpa sahutan dari Hartik.
"Dan kamu ingat nggak, Tik? kata dosen kita, Pak Sarwo, di Jogja juga ada tempat semacem Gang Dolly. Namanya Sarkem. Apa iya di setiap kota ada wilayah legal urusan begituan ya?" Masih tanpa sahutan dari sebelahnya.
Suara napas teratur dari kursi sebelah memaksa Anara menoleh dan sesuai dugaan. Sahabatnya itu sudah resmi tertidur berkat Antimo.
"Thanks Antimo. Berkatmu aku tak harus susah payah ngurusin Hartik yang mabukan parah." Gumam Anara.
Perjalanan ini akan dirasa lebih menyenangkan jika tiket Malioboro Ekspres berhasil dikantongi Anara. Namun, semua terasa lebih ringan kala hujan turun menyambut dan satu lagi, Hartik tidur pulas bagai mati suri. Terdengar kejam, tapi dengan begitu ia tak harus repot bagai ibu yang sedang merawat anak sakit.
Stasiun Balapan sudah berganti dengan Prapatan Sleko dengan vokal yang masih sama. Tak lama, Anara ikut terbius suasana dan kesadaran berangsur hilang, ia menyusul Hartik, tertidur pulas setelah membayar tarif bus.
...----------------...
Rabu, 25 Desember 2013 09:15 a.m.
Pagi ini Anara bangun lebih siang dari biasanya. Setelah kemarin ia mengundurkan diri dari ujian tari karena susur pantai Malang selatan pada hari Sabtu-Minggu sukses meremukkan seluruh sendi dan ototnya hingga semua terasa keram.
Salah sendiri, kegiatan susur pantai pakai bawa Carrier segala. Padahal ini di pantai Malang, notabene-nya masih banyak pedagang di area pantai.
Sebenarnya ia juga tak lupa kalau hari ini ia akan menagih janji pada diri sendiri bersama Hartik untuk ke Jogja, tapi sengaja ia bangun siang agar badannya lebih fit.
"Anara, ayuk bangun! Kita beli sarapan ke Buk Kas, sarapan pecel. Nanti mandi setelah sarapan aja." Anara hanya keluar kamar tanpa menyahut seruan Hartik, ia masih mengumpulkan nyawanya.
Cuaca Malang Kota hari ini mendung dan seperti biasa, sedikit dingin. Catat! hanya sedikit dingin karena sekarang banyak polusi dari knalpot-knalpot kendaraan mahasiswa yang jumlahnya kian tak masuk akal. Malang telah berubah wajah semenjak dihijrahi lebih banyak manusia-manusia yang menimba ilmu itu.
Satu jam setelah sarapan selesai, Anara dan Hartik telah siap dengan ransel masing-masing. Seperti biasa Hartik menggenggam erat Freshcare, senjata andalan kala berpergian.
Hartik mengenakan celana jin light blue berpadu jaket abu-abu dan di-finish jilbab blusukan warna hitam, barangkali agar mudah dibenahi ketika ia kusut bergelut dengan mabuknya nanti.
Dan Anara, gadis berkulit putih itu terlihat ayu dengan celana jin dark blue dan kaos putih lengan pendek yang pas membalut tubuh semampainya. Rambutnya dikucir ke belakang sekenanya. Wajah polos tanpa make up, hanya goresan Lip ice membuatnya lebih terlihat segar, dan ransel ukuran sedang yang menggantung di pundak membuatnya terlihat hampir sempurna.
Dengan fisiknya yang menawan dan jauh dari kata membosankan ditambah ketangkasannya hampir dalam setiap bidang. Tak heran bila Candra, kakak tingkatnya yang sekaligus ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) itu bertekuk lutut pada gadis penyuka hujan itu. Mereka berdua sangat serasi, Anara yang cantik semampai dan Candra yang tegap dengan rahang kokoh bak pasangan sempurna dalam cerita fiksi.
Sudah hampir sebelas siang dan Hartik mulai merutuki angkot yang tak kunjung melintas.
"Duh, ya Allah ini angkot pada kemana sih? Kita sudah njamur loh, An. Dari tadi ngejenggreng di sini kayak orang bego."
"Kamu sabar kenapa sih, Tik? Kita kan naik bus. Masih keburu kok. Terakhir operasi kan masih nanti jam duaan lebih. Kalau kita naik kereta baru boleh senam jantung." Anara mencoba mendinginkan Hartik yang mulai tak sabar.
Klunting...
Suara pesan WA (Whatsapp) masuk di ponsel Anara, menyingkirkan tangannya dari pundak Hartik yang tengah kesal. Ia merogoh saku celananya dan mengambil ponsel. Ada nama Candra disana.
Kamu jadi ke Jogja hari ini? Ditemani Hartik, kan?
Dengan segera ia mulai membalas pesan kekasihnya itu.
Jadi, ini aku sama Hartik sudah di depan gang kost-an, nunggu angkot.
Apa aku anter ke terminalnya? Daripada nunggu angkot kelamaan nanti bete lagi.
Ada seutas senyum di sudut bibir Anara, ia sangat merasa beruntung memiliki kekasih yang tak hanya perhatian, tapi juga selalu ada.
Boleh :)
Hanya bubuhan emoticon senyum mampu meluluhkan hati yang di seberang sana.
"Tik, kita nggak jadi naik angkot. Candra yang anter kita sampai terminal." Jelas Anara pada Hartik lalu ia mulai mundur menjauhi bibir jalan.
"Alhamdulillah, ada malaikat ganteng di siang bolong. Daritadi dong mas Candra, kekasihmu udah keburu kena debu baru mau anter." Anara hanya melirik tajam ke Hartik yang kini sudah ada di sampingnya.
15 menit kemudian, Honda Brio warna putih sudah terhenti di depan Anara dan Hartik. Kaca mobil terbuka setengahnya dan di sana terpampanglah senyum memperlihatkan deretan gigi yang rapi. Kaos oblong warna putih berpadu dengan celana krem selutut membuatnya terlihat cool.
Anara sungguh tak menyesal jatuh ke pelukan lelaki ini. Tanpa dikomando Anara sudah duduk di sebelah Candra dan Hartik di jok belakang bagai orang tak diharap keberadaannya dalam mobil ini.
"Lama nunggunya?" Candra menoleh pada perempuannya ketika mobil melaju cepat ke terminal.
Belum akan Anara menjawab, suara dari belakang sudah lebih dulu bergema.
"Nunggu mas Candranya nggak lama, nunggu angkotnya yang udah kayak nunggu jodoh. Lama dan tak pasti. Untung mas Candra datang. Nggak jadi jamuran aku." Hartik lebih terdengar mengadu pada pacar temannya itu daripada menjawab pertanyaan.
Anara hanya tertawa kecil menanggapi kalimat temannya. Ia tau betul Hartik memang sangat jujur dan kalimat yang keluar dari mulutnya lebih sering terdengar lucu. Seredanya tawa Anara, Candra kembali menatap sekilas perempuan di sampingnya.
"Maaf ya, aku nggak bisa nemenin kamu ke Jogja! Kamu tau sendiri. Akhir-akhir ini ada pemilihan DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) di Fakultas. Takutnya kalau ditinggal nggak ke-handle nantinya."
"Iya, nggak apa-apa kok. Toh aku ada temennya. Itu, si Hartik yang antusiasnya ngalahin anak TK mau study tour." Jelas Anara diiringi tawa kecil sambil menoleh ke belakang.
Candra hanya tersenyum ikut menyaksikan Hartik di belakang yang tengah memonyongkan mulut seperti pertanda tak setuju jika ia disamakan dengan anak TK yang kegirangan karena study tour. Apa benar separah itu?
Lagu Dia milik Sammy Simorangkir mengalun syahdu memenuhi ruang di mobil. Pun begitu, memenuhi seluruh ruang hati Anara yang merasa begitu dicinta oleh lelaki di sampingnya.
Hartik lebih dulu turun sesampainya di Landungsari dan terlihat sibuk berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Anara masih tertahan di dalam mobil berkat genggaman tangan dari Candra. Dilihatnya lelaki di sampingnya itu dan sesuai dugaan di sana ada bibir yang tengah tersenyum menenangkan dan mata meneduhkan.
"Aku akan baik-baik saja. Percayalah!" Anara membalas genggaman erat Candra.
"Aku percaya, selalu kasih kabar padaku!" Kini tangannya telah berpindah ke ujung kepala perempuan yang disayanginya itu sambil sesekali mengusapnya.
"Iya sayang. Sebelum tahun baru aku sudah balik ke Malang. Kamu kayak aku mau pergi setahun aja".
"Ya harus! sebelum tahun baru kamu memang sudah harus di Malang. Mau ngapain di sana lama-lama? Apa harus dijemput?" Kali ini lebih terdengar seperti ketidakrelaan karena rahang Candra mulai mengeras dengan sorot tajam dari matanya yang mulai sedikit berapi.
"Aku turun ya? Hartik udah selesai tuh." Mencoba meredam hawa panas yang mulai tercipta, Anara bergegas akan turun tanpa menunggu persetujuan lawan bicaranya.
Lelaki di sampingnya masih diam mematung tanpa tanda akan menyahut. "Candra, baik-baik ya selama aku nggak di sini!" Anara sudah keluar mobil saat fokus Candra kembali.
"Hati-hati selama jauh dan..."
"Dan jangan macam-macam, selalu kasih kabar, jaga mata, jaga hati, jaga semuuuua. Begitu kan?" Anara sudah lebih dulu melanjutkan kalimat yang sempat ia potong dengan sedikit kesal. Selalu begitu setiap akan berpisah, Candra terlalu posesif padanya.
Melihat perempuannya terlihat dongkol. Ia segera turun menghampiri untuk melanjutkan kalimatnya, "dan ingat ada aku di sini." Tangannya menunjuk tepat di bagian jantung Anara sembari tersenyum. Tak perlu menunggu izin, Candra sudah menarik Anara dalam pelukannya.
"Ehemmm." Suara di sebelah mengakhiri pertautan dua anak manusia tersebut.
"Kan aku jadi agak aneh nontonin kalian berpelukan di sini s.e.n.d.i.r.i.a.n." Hartik melayangkan protes.
Anara melirik jam di tangannya, di sana jarum jam sudah berada di angka 11.15. Takut lebih siang dan cuaca sudah semakin mendung. Anara menganggukkan kepala sebagai kode pada Hartik untuk melanjutkan misi mereka. Sesaat kemudian sorot matanya sudah berpindah pada manik mata Candra.
"Aku berangkat dulu, kamu hati-hati baliknya ya!"
Candra hanya tersenyum diiringi anggukan ringan dan kini sorot mata tajamnya sudah berpindah pada Hartik, "jagain!".
"Iya mas Candra! Nggak usah khawatir. Ku jagain Anaramu itu sampai kembali ke sini." Kalimat Hartik dibalas dengan anggukan dari Candra.
"Hati-hati kalian!" Kalimat dari Candra menjadi penutup jumpa mereka di siang Natal itu.
Anara dan Hartik sedikit berlari sambil melambaikan tangan tanda perpisahan dan segera masuk menuju terminal. Ya, mereka hanya diantar sampai pintu masuk karena kondisi terminal sangat ramai.
Sesampainya mereka di dalam terminal, Anara sempat bertanya pada penjaga toilet, bus mana yang harus mereka tumpangi untuk menuju Waru, Jombang.
"Udah Tik ke toiletnya? Gantian aku sebentar ya."
Sekitar 10 menit kemudian mereka sudah berada dalam bus Puspa Indah yang akan membawa keduanya pada pengalaman baru tak terlupakan. Hanya terlihat beberapa kursi saja yang masih kosong.
"Alhamdulillah, kita masih kebagian kursi, An. Biasanya nih ya, aku kalau dari Arjosari ke Bungurasih gitu pas pulkam hari libur pasti ramai banget sampai pada berdiri. Belum harus oper ke Wilangon terus masih harus cari bus lagi untuk masuk daerahku. Duh ramai banget pokoknya, apalagi di sana kan banyak pegawai-pegawai dari pabrik jadi kalau pas libur pasti ramai pada pulang juga." Hartik menceritakan pengalaman pulang kampungnya pada Anara.
"Kamu kalau pulang ke Gresik nggak pernah ya naik kereta ya, Tik? Biar nggak harus gonta ganti bus gitu."
"Belum pernah, nggak tau juga kalau naik kereta harus turun stasiun mana terus naik apa lagi? Malah bingung aku, An. Lagian pula, kamu kan tau kalau aku juga belum pernah naik kereta."
"Sekali-kali deh kamu naik kereta, Tik! Biar tau gimana rasanya? Biar punya pengalaman. Kereta sekarang sudah lumayan bagus loh mulai tertata, bersih, dan tersistem. Beda dari tahun kemarin masih suka ada penumpang ilegal, kotor, dan umpel-umpelan parah. Sudah semakin maju deh dunia per-KAI-an kita" Anara sudah seperti dosen favoritnya, Pak Sarwo dalam menjelaskan sesuatu. Begitu pandangan Hartik.
"Apa kita pulang dari Jogja naik kereta aja, An. Gimana? Bisa nggak?" Hartik mendadak mempunyai ide.
"Eh, iya. Bisa bisa itu. Semoga kita kebagian tiket aja. Mau tahun baru ini, kayak kita mau ke Jogja aja tiket juga sudah habis."
"Iya juga ya." Hartik mengangguk-angguk.
"Kamu sudah minum Antimo belum?" Anara mendadak teringat senjata wajib lain milik Hartik ketika bepergian.
"Udah dong, An. Dari kos tadi malah aku minumnya. Kan nggak lucu kalau aku harus mabok. Bisa-bisa hanya pindah tidur ke Jogja kalau sampai mabok."
"Syukurlah. Semoga kamu nggak menambah bebanku ya. Tasku udah berat." Sindiran dari Anara hanya dibalas helaan napas oleh Hartik yang disambung tawa lirih Anara.
Tanpa terasa, bus yang mereka tumpangi sudah penuh dengan penumpang. Bahkan beberapa diantaranya ada yang berdiri. Sebentar kemudian, sopir mulai menginjak pedal gas bus dan Puspa Indah perlahan meninggalkan Landungsari.
Candra POV
Pagi ini seusai membersihkan diri dan mengisi perut yang kelaparan kuraih ponselku dan mencari nama Anara disana. Perempuan yang menghiasi hari-hariku selama lima bulan ini. Parasnya menyenangkan dan keberadaannya menyamankan. Mengingatnya saja membuatku rindu.
Ingatanku melayang pada masa awal kedekatan kami. Musim ospek mahasiswa baru di tahun 2012, aku sebagai koordinator sie acara dan dia menjadi bagian timku. Dari kegiatan ospek mahasiswa baru itu, ku ketahui jika Anara adalah adik tingkatku. Inginku menertawakan diri sendiri, kemana saja aku? bisa-bisanya hampir satu tahun berseliweran di gedung yang sama baru ku lihat dia.
"Anara Reswari." Jabat tangannya seperti kekuatan magis yang membuatku sejenak terpaku.
"Djata Ekot Candra." Kubalas jabatan erat tangannya disertai perkenalan nama. Anara tersenyum manis.
Parasnya sekilas mengingatkanku pada Anjani, kekasih di masa SMA ku yang meninggal empat tahun lalu karena kecelakaan tunggal ketika berlibur ke Jogja dan menewaskan seluruh anggota keluarganya. Aku benar-benar hancur ketika itu, kehilangan gadis periang yang setia menungguiku bermain basket, yang tak pernah protes ketika aku tak bisa menuliskan bait puisi di saat gadis lain menerima kata romantis dari sebayanya.
Aku tak pernah menceritakan masa laluku pada Anara, aku tak mau dia menganggap aku laki-laki bejat yang hanya melampiaskan rinduku pada yang sudah meninggal kepada dirinya. Aku tau betul Anara akan sangat keras bila dirinya merasa terancam. Aku tidak siap kehilangannya atau aku tidak siap kehilangan sosok Anjani lagi? Dia mampu menghidupkan kembali Anjani dalam sosok berbeda dan aku suka.
Bedanya Anara sangat menyukai petualangan alam berkebalikan dengan Anjani, dia bisa menghabiskan waktu seharian di mal untuk sekedar jalan-jalan, makan, atau cuci mata. Jika ditanya sebenarnya siapa yang ku ingini? Aku tak tahu. Anara sangat membuatku nyaman dengan pembawaannya, tetapi bayangan Anjani belum mau pergi sepenuhnya.
Cerita ini hanya kusimpan rapat dengan Bryan. Sahabat masa SMA yang masih bersama hingga di kota rantau ini.
...----------------...
Lamunanku buyar ketika Bryan masuk ke kamarku memberi tau agenda rapat panitia Pemilwa (Pemilihan Umum Mahasiswa) sore nanti. Ya, dia tinggal satu tempat denganku, tepatnya di rumah yang dibelikan orang tuaku ini.
Kukirim pesan WA kepada Anara yang rencananya akan pergi ke Jogja. Jogja?? Menyebutnya saja hatiku seperti tertusuk.
Kamu jadi ke Jogja hari ini? Ditemani Hartik, kan?
Tak butuh menunggu lama, perempuanku itu sudah membalas WA yang kukirim. Aku yakin bukan karena dia sangat mencintaiku, tapi begitulah Anara tak akan membiarkan orang lain menunggu. Orang lain? aku tersenyum getir menyerna pikiranku sendiri.
Jadi, ini aku sama Hartik sudah di depan gang kos-an, nunggu angkot.
Akhirnya aku inisiatif untuk mengantarnya ke terminal sebagai pelunasan rasa bersalahku yang tak bisa menemaninya. Atau aku tak akan pernah menemaninya ke kota yang begitu ia gilai itu? ahh, Anara kenapa harus Jogja?
Apa aku anter ke terminalnya? Daripada nunggu angkot kelamaan nanti bete lagi.
Boleh :)
Pesan singkat darinya berhasil mengukir sesungging senyum dibibirku. Ingin rasanya menemani dia jika bukan Jogja tujuannya. Seakan Tuhan berpihak padaku. Dia limpahkan acara untuk menahanku di Malang, ada sebuah sebab yang bisa kukatakan pada Anara kenapa aku tak menemaninya.
Kulajukan mobilku menuju tempat Anara menunggu. Aku tak sabar sangat tak sabar bertemu dengan dia. Terakhir kulihat matanya yang teduh itu sepulangnya dari susur pantai Malang selatan dua hari yang lalu. Perempuanku ini sungguh luar biasa, mandiri dan punya banyak mimpi.
Sekitar 15 menit menerobos macetnya Kota Malang. Mataku menemukannya di pinggir jalan bersama Hartik. Kuhentikan mobilku di depan keduanya dan wajahnya menyambut ketika kaca mobil kubuka. Seperti biasa, Anara terlihat menarik dengan style dan riasan sederhana. Sesaat kemudian kami sudah bertiga dan melaju ke terminal Landungsari.
...----------------...
Setibanya di Landungsari, Hartik sudah lebih dulu turun dan kami berdua masih di dalam mobil. Kugenggam erat tangan perempuanku ini, aku hanya takut kehilangan untuk kedua kalinya. Tapi, berbeda dengan Anara, dia begitu yakin untuk pergi mewujudkan satu dari sekian mimpinya. Kekhawatiranku sepertinya begitu kentara. Dia membalas genggamanku dan meyakinkanku bahwa dia akan baik-baik saja.
"Aku akan baik-baik saja. Percayalah!" Kata itu keluar dari bibirnya dan berhasil sedikit menenangkanku, sedikit saja.
"Aku percaya, selalu kasih kabar padaku!" Tanganku sudah berpindah pada ujung kepalanya dan ingin rasanya kuterkam kekasihku ini sekarang juga sebelum kalimat selanjutnya membuatku sedikit kesal.
"Iya sayang. Sebelum tahun baru aku sudah balik ke Malang. Kamu kayak aku mau pergi setahun aja". Terdengar biasa tapi aku malas saja karena dia meledek kekhawatiranku.
"Ya harus! sebelum tahun baru kamu memang sudah harus di Malang. Mau ngapain di sana lama-lama? Apa harus dijemput?"
Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibirku, sedikit menyesal tapi saat fokusku kembali Anara sudah turun dari mobil. "Candra, baik-baik ya selama aku nggak di sini!"
Seperti biasa aku akan merapalkan kalimat wajib ketika kami berpisah, "hati-hati selama jauh dan..."
"Dan jangan macam-macam, selalu kasih kabar, jaga mata, jaga hati, jaga semuuuua. Begitu kan?" Belum selesai aku merapalkannya, Anara lebih dulu menyahut dengan sedikit kesal.
Melihatnya terlihat dongkol, aku segera turun menghampiri tempat berdirinya "dan ingat ada aku di sini." Tanganku menunjuk tepat dimana jantungnya berdetak. Dia masih diam dan kutarik tubuhnya ke dalam dekapanku sampai suara deham dari Hartik memaksaku melepaskannya.
Ku pandangi perempuanku yang berlari kecil masuk ke terminal sambil melambaikan tangan. Sampai ia luput dari pandanganku baru aku masuk mobil dan memacu mobilku meninggalkan terminal.
...----------------...
Langit mulai menyirami buminya dengan butiran air hujan. Anara pasti menyukai momen ini, dia selalu berseri-seri ketika hujan turun. Hujan itu romantis, tanda cinta sang langit kepada bumi. Oleh karena hujan yang diberikan langit, bumi mampu menghidupi. Aku setuju dengan kalimat yang dia katakan. Lalu, akankah aku yang masih terkenang masa lalu pahit ini bisa menghujani hatinya untuk menciptakan kehidupan baru? Aah Anara.
Jarum jam menunjuk di angka satu, rapat panitia Pemilwa masih dua jam lagi. Kuraih ponselku dan dengan lihai tanganku sudah melanglang ke dunia maya, pada sosial media milik Anara. Ada satu potret yang dia unggah berlatar pantai dan kuyakini gambar itu diambil ketika Anara ikut susur pantai weekend kemarin. Kesekian kalinya sisi lain dariku mengatakan bahwa Anara seperti reinkarnasi Anjani, cinta pertamaku.
...----------------...
Aku terbangun ketika hujan sudah reda, dari balik jendela terlihat sedikit sisa hujan yang meninggalkan aroma tanah basah. Kulihat ponselku dan tak ada tanda Anara berkirim pesan. Sudah sampai mana dia? baik-baik sajakah dia?
Kutancap gas mobil ketika hari menunjukkan pukul 14.45. Kupikir 15 menit cukup untuk sampai ke kampus. Di jok sebelah Bryan sedang sibuk dengan berkas Pemilwa. Tak lama setelahnya, pandangannya beralih dari kertas-kertas itu dan berpindah padaku.
"Gimana? masih belum ingin jujur ke Anara?" Sama sekali tidak kaget, sudah sering dia menanyaiku dengan kalimat serupa. Melihatku masih tanpa reaksi, dia kembali menyerang "kalau dia tau dari orang lain, baru pusing deh lu."
"Dia nggak akan tau kalau bukan lu yang cerita. Siapa lagi?"
"Ya lu pikir aja, suatu hari pasti Anara datang ke rumah, dengan sengaja mungkin lu masukin dia ke kamar, dia bakalan tau di sana ada gambar serupa dia tapi saat itu juga, dia akan sadar kalau itu perempuan lain. Lagian itu foto mau berapa lama lagi lu simpan, Ndra?"
Benar saja yang Bryan bilang. Apa harus kubuang begitu saja kenangan tentang Anjani? Kepalaku terasa ingin pecah memikirkan dua perempuan dalam hidupku ini.
Bryan masih berceramah dan bisa ditebak aku sudah hafal dengan isi ceramahnya, bahkan susunan katanya pun sudah di luar kepala saking seringnya ia mengulang nasihat itu hampir setiap hari.
"Akan kuceritakan sendiri jika waktunya te-pat." Sengaja kutekan pada kata terakhir. Sebenarnya aku sendiri juga capek dengan keadaan ini, lebih-lebih kupingku hampir keriting setiap hari dikorek oleh sialan Bryan ini.
Harusnya dari awal kuputuskan untuk meminta Anara menjadi bagian kisah percintaanku aku sudah jujur dan terbuka untuk hal satu ini. Sekarangpun mungkin belum terlambat untuk menceritakan semua. Tapi lagi-lagi hati kecilku bertanya apakah aku siap dengan kemungkinan yang terjadi? Bagaimana jika Anara tidak bisa menerima? Atau lebih parahnya bagaimana jika ia pergi meninggalkanku?
...----------------...
Mobilku sudah terparkir di depan gedung A. Kuambil langkah cepat disusul Bryan di belakang. Benar saja anak yang lain sudah berkumpul di ruang 1. Rapat berjalan dengan lancar dan sesaat aku bisa menyisihkan pikiran mengenai Anara.
Tepat pukul 17.00 WIB rapat selesai. Kubuka ponsel dan kulakukan panggilan pada Anara. Sudah sampai mana dia? kenapa belum juga kasih kabar? Teleponku juga tak diangkat. Tak menyerah sekali lagi kuulangi, kali ini ada suara dari sana.
"Kenapa baru angkat?" Apa dia bertemu lelaki tampan di dalam bus hingga tak berkabar.
"Ponselku mode silent. Baru sadar kalau ada telepon." Santai sekali dia menjawab. Tidak tau yang disini khawatir. Katakanlah aku berlebihan, tapi urusan dia memang aku terlalu posesif. Kuakui itu.
"Kamu sampai mana?" Sungguh aku terdengar lebih galak kali ini.
"Solo." Baguuus Anara, satu katamu itu membuatku semakin menjadi-jadi. Kutarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya teratur demi menguasai diri sendiri.
"Tadi sudah makan?" Kuturunkan nada bicaraku. Aku tak mau dia semakin seenaknya dalam menjawab kekhawatiran pacarnya ini.
"Sudah bapaaak, di Madiun tadi, makan nasi bungkus, minum air mineral. Dan satu lagi, sebelum kau bertanya, kuberi tau tak ada lelaki tampan yang menarik perhatianku di bus ini. Jadi, berhenti menerorku." Menggelikan sekali. Pasti bibirnya mengerucut di akhir kalimat.
"Syukurlah jika kamu tidak tertarik dengan lelaki lain. Haha." Sungguh semakin bersemangat menggodanya.
"Candra... Aku kayaknya turun Solo dulu deh. Soalnya sudah malem, capek ternyata setengah hari di bus. Kasihan Hartik juga." Si Hartik habis teler, begitu pikirku. Kasihan sekali pacarku ini, pasti kewalahan ngurusin anak orang.
"Terus bobo dimana sayang?"
"Ada teman SMA-ku yang kuliah di Solo kok. Nanti aku nginep di sana." Mana bisa dia menerima kata tidak. Dia itu bukan izin Candra, tapi ngasih tau aja. Aku mengingatkan diri sendiri. Lagi pula kasihan juga kalau dipaksa sampai Jogja, pasti capek. Perempuan kalau capek mood-nya berantakan, bisa lebih menakutkan dari setan mana sekalipun.
"Iya sayang, boleh. Tapi hati-hati. Selalu kasih kabar!" Kali ini aku tak akan merapalkan kalimat wajib seperti biasanya. Bisa-bisa Anara tak mengangkat panggilanku selama di Jogja.
"Iya, aku akan kasih kabar."
"Selalu pastikan ponsel menyala!" Kali ini aku lebih serius. Aku hanya tak ingin dia keasyikan di sana dan lupa kalau di sini ada yang khawatir setengah mati.
"Pasti. Kututup ya? Sudah mau sampai."
"Iya, hati-hati."
Tut.. tut.. tut.. Sambungan terputus tanpa salam apalagi suara kecupan. Aku bersumpah akan men-training-nya jadi lebih agresif sepulangnya dari Jogja. Setan dalam diriku riuh tepuk tangan.
"Pulang atau kita lanjut ngopi?" Suara yang tak asing bagiku, Bryan. Sejak kapan dia di sampingku?
"Ngopi mulu, udah kayak cethe lu." Aku berlalu begitu saja dari Bryan dan tentu dia akan mengekoriku. Ga mood, itu yang sedang kurasakan. Mendadak kebiasaan perempuan ini singgah padaku.
...----------------...
Dinginnya Kota Malang sehabis diguyur hujan masih kalah dingin dengan hatiku yang ditinggal kekasih backpacker-an. Kata-kata seperti itu sangat pas dengan keadaanku ini. Menyesal tak kuiyakan ajakan ngopi dari Bryan, setidaknya aku tak akan sekalut ini, sekarang manusianya sudah hilang entah kemana?
Pesan WA yang kukirim pada Anara dari tiga jam yang lalu belum juga menunjukkan tanda dibaca. Last seen pukul 18.10 WIB dan sekarang jarum jam sudah bertengger di angka 10 kurang seperempat. Kemana saja dia? Ditelepon nggak diangkat-angkat pula. Memang sesuai janjinya ponsel akan tetap nyala, tapi berkabar pun tidak. Lalu apa bedanya? Kurutuki diriku sendiri kenapa kuiyakan saja ketika dia bilang akan ke Jogja.
Lagian, kenapa dia harus jatuh hati pada Jogja? Sampai harus menulisnya di dream book segala. Apa istimewanya? Kenapa baru sekarang dia kesana? Kenapa baru di semester lima? Seketika tanda tanya besar muncul di kepalaku, kenapa baru sekarang?
...----------------...
Kuusap-usap penglihatanku yang belum berfungsi sepenuhnya ini. Tak terasa aku tertidur karena sibuk menerka sebenarnya untuk apa kekasihku itu bertandang ke Jogja?
Berusaha melihat jam dinding, pukul 02.00 dini hari dan ingatanku kembali ke Anara. Kulihat ponsel, 6 pesan WA dan 2 panggilan tak terjawab dari Anara. Satu pesan WA dari Bryan.
Gue nggak pulang. Jangan nungguin gue!
Kemana lagi ini anak? Bukan sekali dua kali nggak pulang. Kulangkahkan kaki menuju pintu depan dan benar saja pintu belum dikunci. Sejenak netraku menelanjangi halaman depan rumah dan menuju ke pagar. Terkunci, itu yang kudapati. Lalu kuputuskan masuk kembali karena hawa malam ini luar biasa dingin.
Kubuka kembali ponselku dan mulai membaca pesan dari perempuanku.
Ponselku ketinggalan di tempat temenku sayang. Ini aku baru pulang.
Kulihat pesan itu dikirim pukul 11 lebih. Kemana saja dia pergi hingga selarut ini? Tak bisakah ia mengabariku melalui ponsel Hartik? Mataku fokus pada pesan selanjutnya.
Candra..
Tadi ponsel Hartik mati karena low batt.
Dia seperti sudah antisipasi pada pertanyaan-pertanyaan yang akan kuajukan. Selang setengah jam dari ketiga pesan sebelumnya. Kembali Anara mengirim pesan WA.
Maaf ya. Kamu sudah tidur?
Selamat istirahat 😘
Kuusap mataku yang sebenarnya sudah berfungsi kembali. Kupastikan aku tak salah lihat, ada emoticon cium di sana. Bisa genit juga ternyata, begitu pikirku. Tanpa kusadari aku sudah senyum-senyum sendiri di pagi buta. Baiklah Anara, kusambut suka cita kemajuanmu ini.
Ingin saat itu juga kubalas pesan darinya. Tapi, mendadak ide jail menghampiriku. Biar kubalas siang saja pesan darinya. Aku ingin melihat bagaimana reaksinya jika bangun masih tanpa balasan dariku? seenaknya pergi happy happy tanpa mikirin pacarnya ini.
"Anara, Anara, Anara." Kugelengkan ringan kepalaku, selalu mengukir senyum mengingatnya. Sungguh aku jatuh hati padanya. Sesaat senyumku luntur ketika mataku berhenti pada gambar Anjani.
Matahari sudah akan menenggelemkan diri seutuhnya ketika bus yang Anara tumpangi menyibak indah dan ramahnya Kota Solo. Di sisi Anara, Hartik sudah terlihat lemas tak berdaya. Beruntung dia tidak mabuk, hanya lelah karena setengah hari duduk di jok bus. Akhirnya Anara memutuskan untuk berhenti di Solo dan melanjutkan perjalanan esok hari.
"Kita berhenti di sini dulu gimana, Tik?" Anara menawarkan opsi kepada Hartik yang tentunya disambut angguk olehnya.
"Aku coba hubungi teman SMA-ku yang kebetulan kuliah di sini. Besok baru kita lanjut ke Jogja, mungkin tinggal dua jam perjalanan untuk sampai ke Jogja." Jelas Anara pada teman satu kosnya itu sambil mencoba melakukan panggilan pada Lena, teman SMA-nya.
"Kita tidur dimana, An?"
"Semoga kita bisa nginep di temenku, tapi ini belum diangkat." Karena mereka berdua pergi dengan niat backpacker-an, tentu akan mencari opsi paling hemat.
"Iya, iya, semoga bisa." Hartik sudah pasrah pada apa kata Anara. Toh memang dia sendiri juga merasa tak kuat jika harus melanjutkan perjalanan. Jika dipaksa bisa-bisa ia mabuk dan perjalanan ini akan jadi cerita tragis.
Pada panggilan kedua baru terdengar sahutan dari ponsel Anara. Tak banyak basa-basi Anara menjelaskan maksudnya untuk bermalam di Solo karena hari sudah gelap dan kondisi keduanya yang sangat lelah. Dewi Fortuna sedang berpihak padanya, Lena menyetujui permintaan Anara.
Anara sedikit lega, netranya kembali lurus ke depan dan mencoba menikmati Kota Solo yang semakin terlihat ramah dengan terang lampu yang mulai menyala. Sesaat kemudian, pandangannya bergulir pada layar ponsel ditangannya dan terpampang nama Candra. Ponsel itu kini sudah menempel di telinganya.
...----------------...
Anara dan Hartik sudah turun dari bus ketika matahari benar-benar terbenam. Langit Kota Solo yang cerah tanpa mendung seakan menyambut keduanya. Mereka berdua sedang menanti Lena yang akan menghampiri. Baik Anara maupun Hartik, keduanya sama-sama berantakan, hasil dari bergelut dengan padatnya penumpang bus antarkota hari ini.
Sekitar 10 menit kemudian di depan mereka berhenti dua motor matic yang dikendarai Lena dan temannya. Setelah berbasa-basi saling berkenalan, keempatnya sudah menuju kos Lena yang lokasinya hanya sekitar 300m. Tanpa menunggu hari lebih petang, Anara dan Hartik bergantian menyiram tubuh mereka yang terasa lengket sesampainya di kos Lena.
Seusai keduanya segar kembali, Lena menawarkan diri menjadi pramuwisata yang akan mengajak dua tamunya melihat sedikit dari banyak keluhuran Kota Solo. Dengan senang hati Anara menyambut tawaran Lena, tetapi melihat Hartik yang seolah hidup segan mati pun tak mau. Akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk sekedar mencari angkringan dan menikmati indahnya malam di Kapalan ISI Surakarta sambil menyuap nasi kucing.
"Anara! Hartik!" Yang dipanggil segera menoleh pada si empunya suara.
"Besok aku ajak ke Keraton sama Klewer ya!" Lena membuka percakapan di tengah tegukannya pada ronde.
"Wah boleh tuh. Kita pagi di sini aja dulu! Siangnya baru ke Jogja." Hartik sudah menyahut lebih dulu dengan antusias.
"Kalau siangan cuaca panas, Tik." Anara sebenarnya sudah tidak sabar untuk melihat kota impiannya.
"Kapan lagi kita bisa main-main kesini, An? sekali dayung dua tiga pulau terlampaui."
Hartik masih kokoh meyakinkan Anara untuk berangkat ke Jogja siang hari. Baginya kesempatan ini tidak boleh dilewatkan. Kenapa harus terburu-buru ke Jogja? libur pekan sunyi kan masih sampai hari Minggu. Begitu pikirnya. Anara terdiam, menimbang kalimat-kalimat persuasif yang dilancarkan oleh Hartik.
"Betul kata Hartik. Bisa berangkat agak siangan. Tak akan kemana Jogja dikejar. Lagian kamu cepat-cepat ingin ke Jogja mau ngapain sih?" Seolah bersekutu dengan Hartik, Lena juga ikut serta memengaruhi Anara.
"Eh, jangan-jangan kamu ke Jogja mau ketemu Janu ya?" Kali ini mata Lena menyiratkan ledekan.
Deg!!!
Hati Anara sedikit bergetar dan logikanya bertanya-tanya kenapa Lena menyebut nama itu? tidak berhenti di situ. Lena masih terus melanjutkan kalimatnya melihat Anara hanya mematung.
"Kamu tau kan kalau Janu kuliah di Jogja?" Kali ini raut muka Lena mendadak serius. Anara masih terdiam memastikan telinganya berfungsi dengan benar.
"Iya, Janu mantanmu sewaktu SMA itu, dia kan kuliah di Jogja. Masa nggak tau?" Lena seolah mampu membaca pertanyaan yang muncul di kepala temannya itu.
"Oh, jadi kamu ngotot banget ke Jogja tuh buat nemuin mantanmu toh?" Kali ini Hartik turut menyerbu Anara yang lagi lagi masih terdiam.
Tak hanya sampai di situ, Hartik masih terus melanjutkan kalimatnya. "Anara, kamu belum bisa move on ya dari percintaan putih abu-abumu?" Mimik wajahnya yang seolah meledek benar-benar ingin Anara tinju.
"Duh, ngaco banget sih mulutmu. Mana aku tau kalau dia kuliah di Jogja." Kali ini Anara buka suara sebelum kedua temannya semakin ngawur.
Merasa belum terima, Hartik masih menggodai Anara hingga akhirnya Anara membuka sedikit lembar kenangan SMA-nya bersama Janu, lelaki yang memiliki ruang di hatinya namun disaat bersamaan lelaki itu pula yang mengukir persakitan karena pergi tanpa beban. Entah karena apa hingga di hampir empat tahun perpisahan mereka, Anara tak mengetahui alasannya.
Di akhir sesi bercerita, tiba-tiba Anara teringat bahwa ia belum memberi kabar pada Candra. Raut wajahnya berubah panik, seketika ia mencari ponsel dan mengacak sling bag-nya.
Bahaya, satu kata yang terlintas ketika ia menyadari bahwa ponsel miliknya ketinggalan di tempat Lena saking semangatnya menikmati udara malam Solo. Wajahnya kemudian menoleh kepada Hartik dan seperti sudah paham, Hartik menunjukkan ponsel di tangannya yang low batt.
Karena udara semakin dingin dan jalan di depannya berangsur sepi. Mereka bertiga memutuskan kembali ke kos dan berencana menyusuri kota keesokan harinya.
...----------------...
Anara membuka ponsel dan jam sudah menunjukkan tepat pukul 11 malam. Ia membaca beberapa pesan WA dari kekasihnya. Ceroboh sekali pikirnya sampai-sampai ponsel lupa dibawa. Padahal Candra tak henti meminta padanya untuk selalu berkabar. Anara abai dan ia sesali itu.
Segera ia mengetik pesan balasan, beberapa menit ia menunggu, tidak ada balasan. Pesan kedua dan ketiga juga tidak ada respon. Akhirnya setelah 30 menit menunggu tanpa balasan, ia inisiatif meminta maaf karena memang ia salah, tak langsung memberi kabar sesampainya di tempat Lena magrib tadi.
Maaf ya. Kamu sudah tidur?
Selamat istirahat 😘
Setelah pesan keempat terkirim. Anara kembali menulis pesan, kali ini sedikit berani. Emoticon cium untuk pertama kalinya ia bubuhkan untuk Candra. Awalnya tangan Anara seakan bimbang antara kirim atau hapus. Satu menit berlalu, pesan dari Anara akhirnya terkirim pada yang jauh di sana. Berani sekali, barangkali itu adalah frase yang menggambarkan dirinya. Tapi, sisi lain hatinya mengatakan tak apa.
...----------------...
Pagi ini udara sangat segar dan langit biru Solo seakan menyambut dua tamunya dari Malang. Anara dan Hartik sudah berada di luar pagar untuk sekedar menghirup dalam-dalam udara pagi yang sejuk ini.
Tak lama setelahnya Lena keluar dan meminta Anara untuk membawa motor temannya, sementara Hartik bisa ditebak, dia tinggal memilih untuk diboceng siapa?
Tujuan pertama adalah Keraton Surakarta Hadiningrat. Tepat pukul 09.00 WIB wisata budaya tersebut dibuka. Beberapa jepretan sudah berhasil mengabadikan momen.
Menagih janji pada Lena, selanjutnya Hartik meminta Lena mengarahkan motornya menuju Klewer. Belanjaaa, itu yang ada dibenaknya. Pasar Klewer terkenal dengan harganya yang merakyat. Berbagai ragam sandang banyak ditawarkan di pasar kebanggaan warga Solo ini.
Belum puas sampai di sana. Akhirnya Lena mengajak keduanya untuk mampir ke Masjid Agung Surakarta yang lokasinya berada tepat di depan Pasar Klewer.
Pada saat itulah, Anara menyadari bahwa pesan yang ia kirim ke Candra belum ada balasan. Seketika ia merasa menyesal sekaligus merutuki diri sendiri karena telah mengirim emoticon semalam.
Ia melakukan panggilan kepada Candra. Sekali tidak diangkat, kedua kali masih sama.
"Kemana ini laki? baru sehari ditinggal udah mendadak ilang." Anara menggerutu lirih yang hanya bisa didengar olehnya sendiri. Sekali lagi ia mencoba menghubungi Candra. Masih tanpa respon dari kekasihnya. Sungguh dirinya hilang kesabaran dan mengirim pesan WA.
Kemana kamu?
Telepon nggak diangkat, WA dari semalem juga nggak dibales.
Sengaja ya?
Tiga chat langsung dia berondongkan pada kekasihnya itu. Setelahnya ponsel miliknya sudah masuk ke dalam sling bag. Ia berusaha acuh tak acuh pada pesan yang ia kirim, akan mendapat respon atau tidak dari Candra. Bodo amat!
...----------------...
Hari sudah siang sewaktu Anara dan kedua temannya sampai di sebuah kedai yang lokasinya tak jauh dari Stasiun Balapan. Mereka dengan sabar menunggu menu pesanan datang. Niatnya sarapan tetapi lebih pas disebut makan siang karena matahari sudah tinggi dan cuaca sedang terik. Tak lama ada mas-mas yang menuju ke arah mereka dengan nampan berukuran sedang tengah disangga kedua tangannya.
"Ini namanya selat solo." Lena menjelaskan setelah menu terhidang di meja dan Anara memandangi jenis makanan yang baru pertama kali dilihatnya itu. Ia memerhatikan dengan teliti pada piring yang berisi ragam sayuran, acar, kentang goreng, telur bacem, dan potongan daging sapi itu.
"Seperti steak tapi kenapa ada kuah di sini?" Tanyanya pada Lena.
"Iya ini perpaduan budaya Eropa dan budaya lokal, karena orang seperti kita nggak terbiasa makan daging sebagai makanan pokok. Jadi dipadukan dengan kentang dan sayur."
"Begitu ya?" Hartik mengangguk pelan memahami penjelasan Lena.
"Iya, terus kuah cokelat ini seperti kaldu sapi sama hmm kecap mungkin. Soalnya gurih manis ada segernya, enak deh pokoknya. Udah yuk silahkan dimakan! pasti suka."
Ketiganya lahap menyantap selat solo yang diakui Anara dan Hartik bahwa hidangan tersebut memang segar, enak, dan tentu mengenyangkan. Hanya saja tempatnya sangat ramai sehingga harus sabar antre.
...----------------...
Anara dan Hartik sudah rapi dan siap kembali melanjutkan perjalanan. Persinggahan di Solo membawa pengalaman dan cerita baru tak ternilai. Di sela menunggu armada bus arah ke Jogja, Anara sibuk berbincang melalui sambungan teleponnya. Tentu dengan Candra, siapa lagi?
Ternyata pacarnya yang ketua BEM itu tengah sibuk mengurus persiapan acara Pemilwa dan baru sempat menghubungi. Meski diakui Candra, memang di malam Anara mengirim emoticon kiss itu sebenarnya ia sudah membacanya, tapi niat jahilnya lupa belum ia akhiri dan keburu sibuk dengan urusan baru.
"Nggak apa-apa kok, kukira kamu mati karena kutinggal." Anara tertawa menggatakannya.
"Kalau aku mati. Entar kamu bunuh diri lagi." Suara dari seberang ikut menimpal.
"Ha ha ha, sudah sudah. Aku mau on the way ke Jogja. Nggak sabar."
"Hati-hati ya! Satu lagi Anara, jangan lupa ber-ka-bar!" Candra menjeda persuku kata yang ia ucap untuk mempertegas permintaannya itu.
Anara hanya mengangguk dan secepatnya menyadari kalau Candra tak akan tau itu, "Iya, maaf kemarin ponselku ketinggalan."
"Ya sudah, mana kiss-nya?" Anara sontak melihat pada Hartik dan Lena. Malu jika mereka ikut mendengar, padahal bisa dipastikan kalimat Candra tak terdengar kedua temannya karena bisingnya jalan.
"Apaan sih? Malu, di sini ada Hartik juga." Kali ini Anara hanya berbisik.
"Kalau nggak ada Hartik berarti mau? kita praktikkan nanti kalau ketemu ya!" Ada gelenyar aneh menjalari tubuh Anara ketika Candra mengatakan itu. Segera ia say see you again dan memutus sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban.
Tak lama moda transportasi yang akan membawanya ke Jogja sudah berhenti beberapa jangkah darinya. Setelah melepas peluk pada Lena, ia dan Hartik sudah berada dalam bus dan matanya sibuk mencari kursi kosong. Lumayan senggang, mereka berdua memutuskan duduk tepat di belakang supir.
Posisi ini menguntungkan karena jalanan terlihat jelas dan tentu karena fokus pandangan mengikuti jalanan, risiko mabuk akan berkurang. Semoga Hartik tidak mabuk! begitu batin Anara.
...----------------...
Sekitar dua jam perjalanan yang mereka butuhkan untuk tiba di Jogja. Di sisi kanan, megahnya Prambanan menyambut kedatangan mereka. Anara sedikit histeris ketika roda bus semakin dalam masuk daerah istimewa ini. Bahkan, sekarang terlihat siapa yang lebih mirip anak TK? Tentu Anara orangnya.
Sesuai instruksi dari Lena, mereka berdua disarankan turun di Janti daripada Terminal Giwangan, akan lebih jauh jika sampai terminal. Minta turun di swalayan Janti, begitu kalimat Lena yang terus Anara ingat.
Tepat di bawah flyover, mereka turun di depan swalayan yang telah menjamuri hampir seluruh negeri ini. Anara dan Hartik setia menunggu jemputan di sana. Adalah Nilam yang akan menjemput mereka. Nilam ini juga teman SMA Anara yang tengah mencecap pendidikan di Kota Pelajar.
"Katanya sih nanti Nilam jemput kita di sini." Jelas Anara pada Hartik yang tengah menyeruput kopi dalam botol sekeluarnya dari swalayan. Hartik mengisyaratkan jempolnya ke pemilik suara di depannya.
Pikiran Anara kembali pada perkataan Lena di Kapalan semalam. Janu, satu nama itu berhasil menghantui Anara setelahnya, bagaimana Lena bisa tau kalau laki-laki pecundang itu ada di Jogja? Bukankah kita semua lost contact dengannya ketika ia memutuskan keluar dari sekolah entah kemana?
Anara semakin hanyut pada pikirannya sampai sebuah Accord Prestige berhenti di depan mereka. Kaca mobil perlahan terbuka, di sana muncul wajah perempuan yang setengah berteriak memanggil Anara. Hartik menyenggol Anara yang pandangannya masih kosong. Tak menampakkan reaksi, ia memanggil teman di sampingnya dengan suara sedikit keras.
"Anara!!!" Suara Hartik seketika menyadarkan Anara dari lamunan.
"Apa?" Anara terlihat bingung kemudian mengikuti arah mata Hartik yang berhenti pada sosok di dalam mobil tadi.
"Nilam". Anara sumringah mendapati teman SMA-nya itu, tetapi senyumnya perlahan hilang ketika samar terlihat sosok lelaki di samping Nilam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!