NovelToon NovelToon

Permainan Takdir

Pertemuan kembali.

Selalu ada pelangi di pengujung hujan. Tak mungkin ada kesedihan, jika tak akan datang kebahagiaan.

🌷🌷🌷🌷

"Dasar cowok brengsek!" seru seorang wanita sambil melayangkan tamparan pada muka lelaki di hadapannya.

Perkataan wanita itu yang keras dan menggema, membuat semua orang yang tengah berada di Cafe "Cantik" menatapnya. Tak terkecuali Adnan, lelaki berkemeja hitam rapih dan celana jeans yang baru saja duduk di bangku tepat samping kanan keduanya.

"Gue minta maaf, Alina." Terdengar lawan bicara wanita tadi mengutarakan penyesalan.

"Lo pikir dengan minta maaf, bisa ngerubah semuanya!" sungut Alina, wanita yang tadi menampar. "6 bulan, Don! Gue di selingkuhin sama lo. Kalau bukan sama temen akrab gue, engga masalah. Lo berdua emang cocok, Sama-sama engga punya hati nurani!"

Satu gebrakan di meja diikuti bangkitnya Alina semakin membuat suasana menegang. Tak di sangka lelaki tadi beringsut dari tempat duduknya, menahan lengan Alina agar tak pergi. "Jangan tinggalin gue, Na. Sayang gue lebih besar ke lo."

Perasaan Alina yang remuk redam tak ingin mendengar apa pun lagi. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan Doni. Namun, tenaganya kalah kuat.

Adnan geram melihat pemandangan di sampingnya. Ia bangun dan tiba-tiba melepaskan genggaman Doni pada tangan Alina, lalu berkata, "Lepaskan dia! Gadis ini tidak mau mendengar omong kosongmu lagi."

Alina terperanjat tatkala suara lelaki lain berada di tengah pertikaiannya. Ia berbalik badan, menilisik Ardan dari bawah hingga kaki.

"Siapa Lo? Engga usah ikut campur!" Doni kesal, menatap tajam ke arah Adnan. "Ini bukan urusan lo!"

"Saya memang tidak ada kaitannya dengan masalah kalian. Tapi, ini tempat umum, bukan milik kalian berdua. Orang ke sini untuk menikmati makanan, bukan untuk melihat kalian bertengkar!" tekan Adnan.

Doni hendak kembali meraih tangan Alina. Namun, secepat kilat gadis itu menepisnya.

"Lo dan gue udah berakhir! Jadi, jangan pernah sekalipun Lo liatin hidung pesek itu di hadapan gue. Ngerti!" Alina kembali berbalik, langkahnya kali ini semakin cepat. Yang ia ingin saat ini hanyalah mengendarai motor gedenya. membiarkan ban motor tersebut bertemu aspal jalanan.

"Lo! Gue peringatin sekali lagi, jangan pernah ikut campur urusan orang lain!" Tangan Doni menunjui tepat di mata Ardan, lalu pergi menyusul Alina yang telah pergi membawa roda besinya.

"Lelaki tidak punya sopan santun!" umpat Ardan kesal dan kembali duduk di tempatnya.

Memori Adnan menangkap sesuatu. Mata Alina seperti tak asing baginya. Ia pernah melihat gadis dengan bola mata kecoklataan, berpakaian tomboy dan mengendarai motor besar. Kapan dan di mana, ia pun tak tau.

Tak ingin berlarut dalam pikiran yang tak pasti, Adnan segera menepis perasaan aneh tadi. Kedatangannya ke tempat ini, tak lain dan tak bukan untuk menemui dua sepupunya si kembar Riko dan Riki.

Terdengar suara derap langkah kaki mendekat, lalu satu tepukan di bahu Adnan membuat si empunya tersentak.

"As-alamu'alaikum, Pak Direktur," sapa Riko, yang ternyata telah berada di hadapan Adnan.

"Direktur kita kayaknya lagi ngelamun, Bro," ledek Riki, yang tepat di samping kembarannya.

"Wa'alaikum salam," jawab Adnan.

Anak kembar itu bersamaan menarik kursi, lalu duduk di bangku masing-masing.

"Udah lama nunggu?" tanya Riko.

"Baru lima menit," jawab Adnan singkat.

"Ya elah, Nan. Ini cafe, bukan kantor. Datar amat tuh muka! Lama-lama lo kayak Paman Egi. Si kulkas dua pintu keluaran baru." Riki tertawa geli.

Riko yang mendengarnya juga tidak kuat menahan hasrat, untuk tak tertawa.

"Paman, ya, paman. Jangan samakan!" sungut Adnan.

"Iya, dah. Kita minta maaf," cakap Riko langsung menghentikan aktivitas yang menggitik perutnya.

"Nan, proyek yang di kota Bogor gimana? Jadi lo kasih ke PT Putra Sulung?" tanya Riki.

"Gue ngerasa engga cocok, kalau ke mereka. Harga yang mereka tawarkan terlalu tinggi," sela Riko.

Adnan diam sejenak. Proyek yang rencananya akan dimulai pertengahan maret 2021 ini, memang sudah jauh-jauh hari dipersiapkan. Sebuah kawasan elit akan didirikan di atas tanah bekas sawah sekitar 1500 hektar. Tanah tersebut, Ia beli dari warga kampung di daerah sana. Harga tinggi tak menjadi masalah, karena invest ke depannya lebih menjanjikan.

Sektor perkembangan industri di daerah tersebut di prediksi akan melesat tajam beberapa tahun ke depan. Terlebih, untuk menunjang rencananya. Adnan akan membangun fasilitas umum seperti, sekolah swasta, mall terbesar, ruko-ruko, rumah sakit, tempat beribadah dan pasar modern.

"Tapi ... hasil kerja mereka bagus di proyek sebelumnya," imbuh Adnan.

"Bener sih." Riko membenarkan.

"Gue mah ikut kepututan lo aja deh," tukas Riki

Terdengar sayup-sayup pelanggan cafe membicarakan kehadiran Adnan. Seorang Direktur utama perusahan di bidang property ini tak seperti lainnya. Adnan tak sombong ataupun memilih teman dan tempat ia bergaul.

Pengalaman sulit di masa lalu beberapa tahun ke belakang selalu mengajarkannya tetap sopan, ramah dan berendah hati. Kebangkrutan perusahan orang tuanya yang terjadi setelah ia lulus kuliah, membuat ia dan keluarganya harus berusaha tabah. Kala itu usianya baru 22 tahun.

Saat itu, seorang mata-mata menyamar sebagai pekerja di kantor Papanya. Ia telah mencuri beberapa dokumen penting dari kantor. Sehingga, rencana bisnis yang akan dilakukan oleh papanya bocor ke pihak lain. Karena hal itu, perusahaan mengalami kerugian besar dan terlilit hutang.

Untuk memenuhi kebutuhan, Adnan hanya mengandalkan bengkel kecil yang telah ia kelola selama masa kuliah. Atas dukungan Papa dan bundanya, akhirnya ia merangkak mendirikan perusahaan sendiri.

Empat tahun berlalu, semua kembali normal. Atas izin Allah, kerja keras dan doa orang tua. Adnan sukses sebagai pemilik perusahaan "Wijaya Land". Banyak orang mengenalnya. Namun, ia tak ingin terusik akan hal itu.

"Cepetan nikah sana! Tante Lisa suka nanya ke gue mulu soal pacar lo," ungkap Riki. "Mana gue tau. Lo aja engga pernah gandengan cewek."

Riko menyikut tangan kembarannya. "Nyuruh orang nikah. Lah, sendirinya masih belum berani juga nemuin orang tua Lia."

"Jangan bahas itu lah. Gue lagi puyeng, Bambang!" sungut Riki. "Gue pusing, kalau dia udah ngomong pake bahasa daerahnya."

Riko tertawa, sedangkan Adnan hanya menyimak. Waktu menunjukkan pukul 15.00 sore. Adnan pamit pulang, karena harus mengantarkan bundanya ke dokter sehabis salat Asyar. Ia membayar terlebih dahulu pesanannya di meja kasir, lalu bergegas keluar cafe meninggalkan Riko dan Riko.

Tanpa membuang waktu, Adnan segera masuk ke mobil. Mengarahkan kendaraannya ke jalan raya utama. Lima menit berkendara, tepat mendekati lampu merah. Mobil Adnan menyalip sebuah motor. Ia tak tahu, bahwa hal itu membuat si pengendara motor oleng dan terjatuh ke samping kiri.

Adnan yang melihat kejadian itu dari kaca spion segera menginjak rem. Ia bergegas keluar mobil dan menghampiri si pengendara motor gede. Dari balik helm, tampak wajah cantik berambut panjang yang sempat ia lihat di cafe tadi.

"Bisa nyetir engga sih, lo?" tanya Alina, pengemudi motor gede tersebut.

Tatapan mereka bertemu. Persis yang terjadi 6 tahun lalu. Mata kecoklatan itu benar-benar menghipnotis Adnan. Ia tak berkedip seraya memutar memori otak. Kejadian ini bagaikan dejavu untuk keduanya.

"Kamu gadis bar-bar yang 6 tahun lalu terlibat kejadian seperti ini denganku kan?" tanya Adnan memastikan.

...****************...

BERSAMBUNG~~~

Bismillah ...

Selamat datang di cerita Adnan🤗

Sesuai janjiku, aku akan menuntaskan cerita Adnan dan dua R di sini.

Semoga kalian suka.

Sebelumnya, aku mohon maaf --perihal-- pekerjaan Adnan ataupun perusahaannya. Maaf, jika ada kesalahan ataupun risetku yang kurang tentang hal itu.

lift macet.

Bertemu dengan seseorang di masa lalu bisa jadi menimbulkan dua rasa, antara bahagia atau terluka.

💗💗💗

"6 tahun?" Alina bangkit, lalu Adnan membantu mendirikan motor gede-nya. Suasana jalanan tak begitu ramai, sehingga tidak banyak pengendara yang lewat. "Lo ngigau apa, ya?"

"Tidak."

Gadis manis itu menepuk-nepuk baju kaos pendek sepinggang yang dikenakan. Ia tak ingin aspal yang kotor itu meninggalkan bekas di pakaiannya.

"Udah ah, lo kalau gila jangan bawa-bawa orang." Alina bersiap menaiki kembali motornya.

"Anak Mami." Seketika mulut Adnan mengucapkan nama julukan yang ia dapat dari gadis tersebut kala itu. "Masih inget dengan kata anak mami?"

Dahi Alina berkerut. "Semuanya juga anak mami. Emang kalau bukan anak mami, mau anak apa? Anak gajah juga dibilang anak maminya."

Alin berdecak kesal. Hari ini perasaannya bukan hanya terluka, akan tetapi juga merasakan kekesalan. Dengan cepat ia mengendarai kuda besi tersebut meninggalkan Adnan.

"Dasar cowok aneh. Bukannya minta maaf, malah ngajak nostalgiaan," omel Alina di atas motor.

Sementara Adnan masih diam di tempat memandangi Alina yang kian menjauh. Ingatannya tak salah, gadis itu benar orang yang sama. Dia sama sekali tak berubah, masih bar-bar seperti yang dulu.

"Astaghfirullah, sudah Asyar. Pasti bunda nunggu." Bergegas kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan.

Dengan kecepatan sedang, Adnan mengarahkan kendaraannya ke jalan perumahan elit Samudra no 39. Di sanalah rumah baru yang ia beli untuk orang tua dan dirinya tinggali. Sedangkan rumah lama Papanya dijual saat masa krisis dulu.

Sesampainya di depan gerbang, seorang satpam membukakan pintu. Adnan menurunkan kaca mobil sambil berkata, "As-alamu'alaikum. Terima kasih, Mang."

"Wa'alaikum salam. Sama-sama, Den Adnan."

Mang Juned, lelaki berusia 40 tahun yang Adnan pekerjakan sebagai satpam. Ia mendapatinya di tengah jalan tengah melamun sendiri. Kala itu, Mang Juned yang hanya lulusan SD berusaha mencari pekerjaan untuk menyambung hidup bersama istri. Tak ada anak ataupun saudara, mereka tinggal berdua di kota yang kejam ini.

Kini, Mang Juned beserta istri tinggal di rumah Adnan. Mereka di fasilitasi makan, minum, tempat tinggal, pakaian tanpa memotong uang gaji bulanan.

Mobil Adnan masuk ke perkarangan rumah, berhenti tepat di depan pintu. Lelaki berusia 28 tahun itu keluar dari mobil dan masuk ke rumah.

"As-alamu'alaikum," ujarnya pelan sembari melangkah.

"Wa'alaikum salam." Lisa tampak duduk diam di sopa. "Udah pulang, Nak?"

Adnan menghampiri, mencium telapak tangan bundanya. "Maaf, telat, Bun."

Lisa menggeleng.

"Tadi ketemu cewek bar-bar yang dulu."

"Bar-bar?" Alis Lisa terangkat sebelah.

"Yang waktu itu dijadiin bahan leluconan sama paman." Adnan jadi teringat tentang Egi. Lelaki itu sudah memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan berusia 5 tahun.

"Oh ... yang itu. Ya, Bunda baru ingat." Menatap lekat anaknya. "Ketemu di mana?"

"Di jalanan lagi, Bunda," imbuh Adnan. "Udah Asyar, aku engga sempat ke Masjid. Bunda tunggu sebentar, ya. Aku sholat dulu."

Lisa mengurai senyum, mengusap beberapa kali punggung anaknya. "Iya, Nak."

Adnan membalas senyum, lalu melangkah menuju tangga untuk bisa sampai ke kamar. Dengan cepat ia mengerjakan salat Asyar, akan tetapi tetap khusyu dan tenang. Tak lupa seutas doa ia panjatkan, karena doalah adalah senjata orang muslim.

Tepat pukul 16.00, Adnan dan Lisa meluncur ke salah satu rumah sakit. Sudah beberapa hari ini bundanya mengeluh sakit pinggang. Dan Adnan tak ingin sang bunda kesakitan, ia dengan sigap mengantar orang yang telah mengandungnya itu ke dokter.

10 menit selanjutnya, tibalah mobil Adnan di parkiran rumah sakit Salahudin. Salah satu rumah sakit terbesar dan terlengkap di kota tersebut. Seperti pasien lainnya, Adnan dan Lisa mengantre. Tak peduli jabatan ataupun status sosial. Bagi mereka di tempat umum semuanya sama.

Duduk menunggu di depan ruangan dokter spesialis tulang(ortopedia). Adnan sembari bercerita perihal kejadian tadi. Sesekali orang yang bersama mereka mencuri pandangan pada keduanya.

"Jadi tadi kalian ketemu lagi?" tanya Lisa dengan wajah sumringah. "Bunda penasaran pengen lihat wajahnya."

"Dia gadis biasa kok, Bun. Hanya saja ... penampilannya mirip cowok."

"Benarkah? Ternyata gadis seperti itu yang bisa bikin hati anak Mami ini melunak," goda Lisa.

"Enggalah, Bun. Dia bukan type-ku." Tersenyum manis.

Lisa menggenggam erat tangan Adnan. "Nak, siapapun istrimu nanti. Bagaimanapun dia, kamu harus bisa menerimanya. Ingat, menikah itu bukan mencari kesamaan. Justru, perbedaan itu yang akan membuat irama tersendiri di rumah tangga. Asalkan keduanya bisa mengolah menjadi nada yang indah."

"In syaa Allah, Bunda."

Lima detik kemudian seorang perawat memanggil nama Lisa. Adnan yang tiba-tiba merasakan ingin buang air kecil meminta izin untuk tak ikut ke dalam.

"Bunda bisa sendiri kok."

Setelah memastikan bundanya masuk, Adnan bergegas mencari toilet. Tak kunjung ditemukan, akhirnya ia terpaksa turun ke lantai bawah. Ruangan dokter itu berada di lantai dua, dengan begitu Adnan harus menaiki lift.

Hajat sudah selesai terbuang. Adnan segera kembali menuju lantai dua. Ia tengah menunggu giliran naik ke atas, tak berapa lama suara lift terbuka. Empat orang keluar dan Adnan masuk sendiri. Tak di sangka seorang gadis sama yang hari ini ia lihat dua kali ikut naik. Keduanya tersentak, mengapa takdir mempertemukan mereka beberapa kali hari ini?

Tak ada yang lain, pintu lift tertutup. Baru hendak naik, tiba-tiba lift kembali ke semula. Adnan yang merasakan keganjalan segera memencet tombol, akan tetapi pintu lift tak terbuka.

"Macet," tutur Adnan hendak memberi tahu Alina. Keadaan di dalam lift pun gelap karena mati lampu.

Adnan segera mencari tombol darurat, dan meminta bantuan pada teknisi gedung. Posisi Alina di pojok kiri, ia tertunduk lesu dengan tubuh bergetar sambil berjongkok. Keadaan sekitar yang gelap mengingatkannya pada hal yang menakutkan. Rasa kesakitan di tubuh mulai menyerang, seakan bayangan masa lalu yang kejam mengitari pikiran.

"Tolong, jangan siksa aku lagi," gumamnya.

Adnan yang tengah berdiri mendengar akan hal itu, ia segera merogoh saku mencari gawai. Dengan bantuan lampu ponsel, Adnan bisa melihat remang-remang ke arah Alina. Gadis itu ketakutan sambil memohon untuk tak di siksa kembali.

Dahi Adnan berkerut. Mungkinkah gadis ini takut kegelapan? Seorang gadis bar-bar seperti dia. Adnan berjongkok tepat di hadapan Alina. Mengarahkan lampu senter ke wajah gadis itu.

"Tenanglah, ada aku di sini. Jangan takut, tidak akan ada yang menyiksamu," imbuh Ardan lembut.

Tubuh Alina bergetar hebat. Adnan tak berani merangkul, karena pada dasarnya mereka bukan muhrim. Semenit kemudian, Alina mendongkakkan kepala. Tatapan mereka bertemu lagi di remang-remang cahaya. Ada kesejukan di pancaran netra Adnan. Hangat dan nyaman, itu yang Alina rasakan.

"Aku berjanji akan memakai hijab dan menutup aurat semana mestinya ... jika bisa keluar dari tempat menakutkan ini secepatnya."

...****************...

BERSAMBUNG~~

Jangan lupa like, coment dan vote😊

Derita Alina

kegagalanmu hari ini bukan akhir dari segalanya. Tapi, awal dari kesuksesanmu yang belum teraih.

💗💗💗💗

Dua insan berbeda jenis terjebak dalam satu keadaan yang tak di inginkan. Mencoba saling menenangkan di sela-sela kepanikan. Adnan diam tatkala Alina berkata. Jarak keduanya yang dekat membuat kerja jantungnya bertambah keras.

"Apa ini? Tatapannya berbeda dari biasa. Mungkinkah ia membalut luka dalam watak keras kepalanya." Berbagai prasangka mulai berdatangan dalam pikiran Adnan.

Setengah jam bersama di tempat yang gelap dan sempit. Bertahan, berbagi oksigen dan menghirup bersama. Adnan tak berani sekalipun untuk sekadar memegang tangan Alina. Ia hanya duduk di samping gadis itu sambil terus bersholawat. Dan Alina, wanita itu merasakan sesuatu yang damai. Ia seakan menemukan mata air yang jernih di hutan rimba.

Dengan kerja keras tim teknisi gedung berhasil mengevakuasi Adnan dan Alina. Saat pintu lift berhasil di buka sedikit dan saat pertama kali Adnan melangkah keluar. Sang Bunda tengah berdiri dengan wajah sendu. Kesedihan itut tak terelakan. Lisa merengkuh tubuh sang anak sambil berkata, "Alhamdulillah. kamu baik-baik aja, Nak."

Alina keluar, menyaksikan pemandangan yang tak pernah ia rasakan. Pelukan hangat ibunda adalah momen paling dirindukan. Alina melangkah melewati keduanya. Namun, Adnan seketika menyadari akan hal itu. Dengan berat hati ia melepas pelukan sang ibu. Pandangannya beralih ke depan, tepat pada sosok gadis yang tadi menangis di sampingnya.

"Tunggu!" cegah Adnan cepat. Alina berhenti, lalu Adnan menghampiri. Posisi keduanya kini saling berhadapan.

"Jika sudah bernadzar. Kamu wajib melaksanakannya," imbuh Adnan tegas.

Alina mengerjap. Menatap lekat pada Adnan. Lelaki yang hari ini ia temui tiga kali.

"Aku engga tau siapa dirimu. Tapi, aku harap, jika Allah mempertemukan kita lagi. Kamu berubah seperti janjimu," tambah Adnan.

"Lo engga berhak ngatur kehidupan gue."

Intonasi bicara Alina tinggi. Lisa yang berada tak jauh dari mereka, mengamati interaksi anaknya dan Alina.

"Dan ... Gue harap, kita engga usah bertemu lagi."

Alina melangkah melewati Adnan.

"Jangan melawan takdir," ujar Adnan. "Kita engga tau bagaimana teka-teki masa depan. Bisa jadi kamu dan aku, dua partikel berbeda yang digariskan bersama."

Alina tak menanggapi. Ia memilih melenglang jauh dari Adnan. Ia bahkan lupa akan tujuannya datang ke rumah sakit. Bahu Alina bergetar begitu mendengar perkataan Adnan terakhir. Kita memang tidak pernah tahu seperti apa jalan kehidupan di masa depan nanti.

💖💖💖💖

Waktu berjalan begitu cepat. Setelah kejadian di lift tiga hari lalu, Alina masih belum menepati janjinya. Entah mengapa jiwanya ragu. Masih pantaskah ia berubah?

Malam ini di rumah, Alina tak berniat turun untuk makan malam. Sedangkan, di lantai bawah tampak sepasang paruh baya dan satu lelaki tampan sedang asyik menikmati makan malam. Mereka seolah tak memperdulikan ketidakhadiran Alina.

"Rio, gimana pekerjaanmu?" tanya Pak Willy --ayah Alina.

"Lancar, Pah," jawab Rio, --kakak tiri Alina.

"Tenang aja, Pah," sahut Bu Sinta, --istri muda Pak Willy. "Rio ini bisa kita andalkan. Buktinya perusahaan Wijaya Land percaya terus sama hasil kerja kita."

Pak Willy adalah pemilik dan pendiri PT Putra Sulung yang bergerak dalam saran prasana insfratruktur jalan. PT tersebut sudah berdiri sejak 28 tahun lalu, tepatnya 3 tahun sebelum Pak Willy menikahi ibunya Alina, Bu Winda.

"Papa mau kita memenangkan tender di daerah Bogor itu," ujar Pak Willy.

"Tenang aja, Pah. Rio yakin kita satu-satunya kontraktor terkuat di antara yang lain," jawab Rio.

Pak Willy menganggukkan kepala. Tak berapa lama ia menyuruh istrinya melihat Alina di lantai dua. Namun, Rio mengatakan, bahwa biarkan dirinya saja yang menengok adik dirinya itu.

"Suruh anak pembangkang itu turun dan makan!" perintah Pak Willy.

Bu Sinta menyunggingkan senyuman. "Jangan terlalu kasar, Pah. Bagaimanapun, Alina itu anakmu juga."

"Anak itu selalu bikin pusing." Pak Willy memijat keningnya. "lihatlah penampilannya, udah seperti cowok."

Rio bangkit dari tempat duduknya. "Kalau gitu, Rio ke lantai atas dulu."

Pak Willy mengangguk. Dan Rio mempercepat langkahnya menaiki satu per satu anak tangga. Kamar Alina berada tepat di sebelah kamarnya. Alina 3 tahun lebih muda, saat ia datang ke ke rumah ini usia Alina berumur 15 tahun."

Rio mengetuk pintu Alina. Tak berapa lama sosok wanita cantik keluar dari balik pintu.

"Ayo, makan," ajak Rio sambil menatap lekat pada Alina.

"Jangan ganggu gue!" bentak Alina.

Rio tak terima dengan sikap Alina. Ia mendorong gadis itu ke dalam dan cepat menutup pintu. Dipojokkannya tubuh Alina ke tembok bercat abu-abu. Tatapan Rio tajam seperti singa siap menerkam mangsa.

"Berani ngelawan?" Tangan Rio mengelus pipi putih Alina. "Lo mau gue bilangin ke Papa, kalau lo bukan gadis lagi."

Tangan Alina mengepal, emosinya mulai melonjak tajam. Tatapan itu seakan merendahkan dirinya. Bayangan penyiksaan yang ia terima masih jelas di ingatan.

"Lo tau kan risikonya," bisik Rio. "Papa bakal ngusir. Bahkan lebih tepatnya bunuh lo, kalau dia tau faktanya."

Alina mendorong badan Rio menjauh darinya. Menghadiahi tamparan keras tepat di pipi kanan kakak tirinya. "Jangan berani sentuh Gue lagi. Lo, lelaki bejat sama seperti ibu lo itu."

"Lancang banget wanita kotor seperti lo hina ibu gue." Rio membalas tamparan keras di pipi Alina hingga gadis itu tersungkur ke bawah lantai.

Rio mendekat dan berjongkok tepat di hadapan Alina. "Lo seharusnya bersyukur, ibu gue masih mau ngurus lo dari remaja sampai sekarang. Lo pikir, ibu lo yang terbaring koma bertahun-tahun itu bisa ngebesarin lo."

Bahu Alina bergetar menahan tangis. Dadanya bergemuruh hebat mendengar ucapan Rio. Mengingatkan ia akan kenyataan pahit yang ia terima bertahun-tahun.

"Gue bisa aja ngelakuin hal yang sama, kalau lo terus ngelawan. Lo tau kan, papa lebih percaya ke siapa?" Ujung bibir kanan Rio terangkat, lalu ia bangkit dan meninggalkan Alina sendirian.

Cucuran air mata tak kuasa ditahan. Mereka berlomba-lomba membasahi pipi Alina. Kondisi ibunya yang kecelakaan dan koma selama 10 tahun tersebut membuat ia bertahan di rumah ini. Ia belum sanggup membayar biaya rumah sakit yang melambung tinggi. Pekerjaannya yang hanya pembuat kue di sebuah toko tak jauh dari rumahnya tak bisa mencukupi.

Pak Willy mencabut semua fasilitas Alina. Hanya motor gede itulah yang tersisa. Di mata Pak Willy, Alina adalah anak pembangkang yang tak ada gunanya. Alina berubah menjadi gadis tomboy dan susah diatur setahun setelah masuk kuliah. Ia bahkan sering mendapatkan surat peringatan dari pihak kampus sampai yang terakhir ia di DO dari tempatnya membina ilmu.

"Ibu ... Alina lelah. Bolehkah Alina ikut tidur tenang seperti ibu ...," lirih Alina sembari menangis tersedu-sedu.

...****************...

Bersambung~~

Jangan lupa like, coment dan vote💖

Ada sedikit perubahan dalam umur kedua tokoh. Maaf, kemarin aku salah menulis dan memperhitungkannya🤗🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!