Angin berhembus kencang membuat kelopak-kelopak bunga kamboja jepang berjatuhan menghiasi hamparan rumput manila di sebuah taman yang terletak di belakang resto yang saat ini tengah nge-hits di kota Bandung ini. Tidak jauh dari taman itu, terdapat sebuah kolam yang cukup luas sebagai tempat hidup puluhan ikan koi dengan beraneka warna.
Di permukaan air kolam itu juga nampak beberapa bunga teratai dengan daun lebar seolah menjadi tempat yang paling nyaman bagi ikan-ikan berwarna cerah itu bersembunyi. Keberadaan ikan-ikan koi dan bunga teratai itulah yang menjadi daya tarik bagi para pengunjung berbondong-bondong untuk datang ke resto ini. Mereka datang untuk menikmati sajian lezat yang disuguhkan olah resto ini dan ada juga yang hanya sekedar memesan minuman sembari menikmati suasana sekitar yang begitu asri. Seolah membuat mereka begitu betah dan nyaman untuk berlama-lama duduk di tempat ini.
Suasana damai di taman ini tiba-tiba diusik oleh suara dua orang wanita yang tengah adu mulut. Wajah kedua wanita itu nampak memerah menahan amarah. Dan rahang keduanya juga terlihat mengeras seolah menjadi tanda jika keduanya sama-sama larut dalam emosi jiwa yang sudah tidak mungkin dapat terelakkan.
Para pengunjung resto yang kebetulan tengah berada tidak jauh dari posisi kedua wanita muda itu seperti disajikan oleh drama FTV geratis yang membuat mata mereka tiada henti memandang adegan demi adegan yang tersaji di hadapan mereka. Bibir mereka terlihat menganga dan hanya bisa membentuk huruf O seolah begitu terkesima dengan apa yang mereka lihat.
Plak....
"Jaga bicaramu El. Kamu sungguh tidak pantas mengatakan hal itu di depanku!"
Terdengar teriakan seorang wanita dengan lantang setelah berhasil mendaratkan tamparannya di pipi wanita yang menjadi lawan bicaranya.
Wanita yang menerima tamparan dari lawan bicaranya itupun hanya bisa menundukkan kepalanya sembari memegang pipinya. Rambutnya sedikit menutupi wajahnya dan seketika rasa panas terasa menjalar di pipinya. Meskipun yang mendaratkan tamparan di pipinya itu adalah seorang wanita, namun rasa-rasanya tenaganya sama kuatnya dengan seorang laki-laki. Dan tamparan itu sukses meninggalkan bekas kemerahan di wajahnya yang putih mulus itu.
Wanita itu mendongakkan wajahnya. Ia menatap lawan bicaranya sembari tersenyum sinis. "Apa yang aku katakan memang benar, bukan? Kamu sama seperti perempuan jal*ang yang merebut kekasih orang. Yang lebih parah, kamu menikung sahabatmu sendiri. Dan aku rasa harga diri kamu jauh lebih rendah daripada wanita jal*ang di luar sana!"
Plak....
Sebuah tamparan kembali wanita itu daratkan di pipi lawan bicaranya. Jika sebelumnya ia mendaratkan tamparan di pipi kanan, kini pipi kiri dari wanita di depannya itulah yang menjadi sasarannya.
"Aku tidak terima kamu mengataiku sebagai perempuan jal*ang El. Salahkan dirimu sendiri karena kamu tidak bisa menjaga apa yang sudah kamu miliki, hingga pada akhirnya Diko memilihku!"
Wanita yang mendapatkan tamparan itu kembali mendongakkan wajahnya. Seketika ia menarik rambut wanita yang ada di depannya ini. Dengan kalap, ia menjambak rambut panjangnya.
"Aawwwwww... Lepaskan aku!"
"Kamu dan Diko sama-sama tidak tahu malu. Pantaslah pelakor dan penghianat bersatu. Sungguh, di mataku kalian berdua adalah pasangan yang sangat menjijikkan. Hanya karena aku tidak mau diajak berhubungan badan, membuat Diko melakukannya denganmu. Dan kamu dengan senang hati memberikannya? Dasar wanita jal*ng!"
Wanita yang sedari tadi mendapatkan tamparan itu semakin kuat menjambak rambut wanita yang telah menjadi duri dalam hubungannya dengan sang kekasih. Amarah dalam dadanya terasa berkobar layaknya api yang tersiram oleh bensin. Tanpa pikir panjang, ia menarik paksa wanita itu sembari melangkahkan kakinya. Ia mendekat ke arah kolam ikan koi yang berada tidak jauh dari tempatnya beradu mulut dan kemudian ...
Byuurrrr.......!!!!
"Rasakan wahai wanita jal*ng! Ini semua masih belum sepadan dengan kesakitan yang aku rasakan. Kamu adalah sahabatku dan Diko adalah kekasihku. Namun apa? Apa yang telah kalian lakukan di belakangku? Kalian berkhianat dan menghancurkan apa yang sudah terjalin di antara kita selama ini!"
Wanita itu melihat ke sekelilingnya. Benar saja, sudah banyak sepasang mata yang menatap lekat akan apa yang telah ia lakukan. Ia pun hanya tersenyum sinis.
"Ibu-ibu dan Mbak-mbak yang ada di sini. Wanita yang sedang berendam di kolam ikan koi ini adalah salah satu contoh nyata bahwa pelakor masih banyak berkeliaran di sekitar kita. Saya hanya bisa memperingatkan kepada ibu-ibu dan Mbak-mbak semua, bahwa seseorang yang paling dekat dengan kita pun bisa saja sewaktu-waktu menusuk kita dari belakang!"
Para kaum ibu-ibu dan remaja putri yang kebetulan melihat adegan di depannya ini terlihat mengangguk-anggukkan kepala mereka sembari berbisik lirih dengan orang-orang yang berada di samping mereka. Dari ekspresi wajah yang tersirat, mereka seolah sependapat dengan apa yang telah mereka dengar.
Sedangkan wanita yang berada di dalam kolam ikan koi itu hanya bisa mengumpat dalam hati. Semua rasa bercampur menjadi satu. Rasa kesal, rasa marah dan pastinya rasa malu karena ia sudah ditelanjangi habis-habisan di depan semua pengunjung resto ini.
"Nikmatilah ini semua wahai wanita jal*ang. Setidaknya aku berterima kasih kepadamu. Karena kehadiranmu lah yang semakin membuka mataku, bahwa lelaki penghianat seperti Diko itu tidak pantas untuk aku pertahankan!"
Wanita itu mengikat rambutnya asal. Tak lama kemudian ia melangkahkan kakinya dan bergegas meninggalkan kolam ikan koi ini. Ia mencoba tersenyum. Namun tetap saja hanya kegetiran yang ia rasakan. Rasa getir itulah yang membuat setetes bulir bening lolos begitu saja dari pelupuk matanya.
Melihat suasana sekeliling kolam yang semakin ramai, membuat wajah wanita yang tengah berendam di dalam kolam ikan koi itu bertambah pias. Ia mengepalkan tangannya dan rahangnya kembali mengeras.
"Aaaaaarrrgggggghhhhhh ... Ellanaaaaaaaaa!!!!!"
Wanita yang bernama Ellana itu sama sekali tidak menggubris teriakan seorang wanita yang masih berada di dalam kolam ikan koi. Ia berjalan menuju ke arah dalam resto. Ia dudukkan bokongnya di salah satu kursi yang yang berada di pojok ruangan. Ia lipat kedua lengannya di atas meja dan ia tenggelamkan wajahnya di lipatan lengan itu.
Wanita itu berupaya menahan tangisnya. Namun semakin ia tahan, justru rasa sesak itu begitu terasa menghujam jiwa. Ia pun menangis sesenggukan di sela-sela lipatan lengannya itu. Nafasnya terdengar tersengal-sengal seolah menandakan jika saat ini ia berada di dalam luka yang begitu dalam.
"Mbak!"
Suara bariton yang tiba-tiba terdengar di samping tubuhnya, memaksa Ellana untuk mendongakkan kepalanya. Ia mencoba menghapus air mata yang sudah membanjiri pipinya. Dan terlihat seorang lelaki muda seusianya berada di hadapannya.
"Apakah kamu tidak tahu jika saat ini aku sedang tidak ingin diganggu?"
Lelaki itu tersenyum simpul. "Saya tidak bermaksud mengganggu. Saya di sini hanya ingin meminta ganti rugi kepada Mbak!"
Wanita bernama Ellana itu hanya mengerutkan dahinya. "Ganti rugi? Kerugian apa yang harus aku ganti?"
Masih dengan seutas senyum di bibirnya, lelaki itu kembali melanjutkan ucapannya. "Karena Mbak yang sudah mendorong teman wanita Mbak di kolam ikan koi itu, membuat beberapa ikan di sana mati. Dan bunga teratai yang sebelumnya menghiasi kolam itu menjadi rusak parah. Maka dari itu, saya meminta ganti rugi dari Mbak!"
Ellana tersenyum sinis. "Bukan aku yang membuat bunga teratai di kolam itu rusak. Dan bukan aku yang membuat beberapa ikan koi di sana mati. Jika kamu ingin meminta ganti rugi, minta saja pada wanita jal*ang itu! Dia sudah banyak aku kasih uang yang katanya untuk pengobatan ibunya di kampung. Tapi ternyata ia menggunakan uang itu untuk bersenang-senang dengan kekasihku!"
Lelaki itu hanya bisa tertawa di dalam hati. Ia sedikit terperangah melihat tingkah polos wanita yang berada di hadapannya ini. Meskipun wanita itu terlihat begitu terluka namun sepertinya ia berusaha keras untuk menguatkan hatinya sendiri. Lelaki itu pun hanya bisa menahan senyum di bibirnya.
Ellana memindai ekspresi wajah lelaki yang ada di hadapannya ini. "Mengapa kamu senyum-senyum sendiri? Apakah kamu menertawakan keadaanku saat ini? Dimana kekasih dan sahabatku sama-sama menusukku dari belakang?" Ellana menjeda sejenak ucapannya. "Tapi tunggu. Memang kamu siapa? Berani-beraninya memintaku untuk mengganti kerugian atas apa yang terjadi di kolam ikan koi itu?"
Masih dengan santai, lelaki itu menyunggingkan senyumnya. "Saya Rama! Rama Gilang Pradana. Putra dari pemilik resto ini!"
.
.
. bersambung....
Warming up dulu kakak... 😘😘😘
Bagaimana? Apakah cukup menarik? Hehehehe..
Saking rindunya dengan kakak-kakak semua, membuat saya ingin segera rilis novel ini. Eittsss... tapi baru ini yang bisa saya sajikan. Inshaallah cerita ini akan kembali hadir dan berlanjut di pertengahan bulan. Jadi mohon tetap bersabar ya kak🤗🤗
Happy reading kakak...
Salam love, love, love❤❤❤
🌹Tetaplah yakin setiap cerita yang ditulis sepenuh hati, akan mendapatkan tempat di hati masing-masing para pembaca🌹
"Saya Rama! Rama Gilang Pradana. Putra dari pemilik resto ini!"
Ellana tersenyum kikuk. Ia benar-benar tidak menyangka jika lelaki yang berdiri di hadapannya ini adalah putra dari pemilik resto ini. "Aaahhh... Aku benar-benar minta maaf. Aku kira, kamu adalah lelaki tidak jelas yang sering mengganggu para pengunjung di sini!"
"Lalu bagaimana? Apakah saat ini Mbak bisa segera mengganti rugi atas kerusakan bunga teratai dan matinya beberapa ekor ikan koi yang berada di kolam?"
Ellana menggeleng. "Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mengganti kerugian di kolam itu. Karena itu semua bukan kesalahanku!"
"Tetapi Mbak sendiri yang sudah mendorong wanita itu hingga ia tercebur di kolam. Bagaimanapun juga ini semua adalah kesalahan Mbak. Jadi saya rasa, saya sudah berada di jalur yang tepat untuk meminta ganti rugi dari Mbak!"
Ellana berdecih. "Kamu minta saja sama wanita jal*ng itu. Jika dia tidak menusukku dari belakang, aku pasti tidak akan sampai mendorong dia ke kolam. Bunga teratai itu tidak rusak, dan pastinya ikan-ikan koi yang berada di sana tidak akan mati. Jadi ini semua adalah kesalahan wanita jal*ang itu!"
"T-tapi...."
"Sudahlah. Saat ini aku sedang malas berdebat. Energiku benar-benar telah terkuras habis untuk melawan wanita ular itu!" Ellana terlihat sedikit mengatur nafasnya. Ia kemudian melanjutkan ucapannya. "Namun jika kamu bersikeras untuk meminta ganti rugi, baiklah aku akan mengganti semua kerugiannya. Tetapi jangan sekarang. Saat ini aku benar-benar sedang tidak ingin memikirkan apapun, oke?"
Rama menghela nafas panjang kemudian ia hembuskan. Ia sadar bahwa mungkin saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk membahas ikan koi dan bunga teratai yang ada di kolam. Karena bagaimanapun juga wanita yang ada di hadapannya ini tengah mengalami patah hati. Sehingga membuatnya enggan untuk memikirkan hal lainnya.
"Baiklah kalau begitu, Mbak. Saya tidak akan pernah menuntut lagi kapan Mbak harus mengganti kerugian itu. Sekiranya Mbak sudah tidak berada di dalam keadaan seperti ini, silakan Mbak datang kembali ke sini untuk mengganti semua kerugian ini."
Rama membalikkan badannya. Ia bermaksud meninggalkan Ellana yang masih dipenuhi oleh kekecewaan yang begitu dalam. Ia mulai melangkahkan kakinya untuk kembali ke ruangannya.
"Tunggu!"
Ucapan Ellana sontak membuat Rama menghentikan langkah kakinya seketika. Ia pun kembali berbalik badan. "Ya?"
Ellana membuka tas nya dan mengeluarkan secarik kertas. Ia nampak menuliskan sesuatu di atas kertas itu.
"Ini, ambillah!"
Rama sedikit mengernyitkan dahi tatkala melihat Ellana mengulurkan secarik kertas di hadapannya. "Apa ini?"
"Itu nama dan juga nomor ponselku. Barangkali aku lupa jika aku memiliki hutang untuk mengganti rugi atas kerusakan bunga teratai dan matinya ikan koi di kolam itu. Jika sampai seperti itu, kamu bisa langsung menghubungiku."
Rama melirik ke arah tulisan yang ada di dalam secarik kertas itu. Ia pun hanya sedikit menyunggingkan senyumnya. "Baiklah mbak Ellana. Jika sampai empat hari ke depan Anda tidak datang kesini, saya akan langsung menghubungi nomor ponsel ini!"
Ellana mengangguk. Ia kembali membenamkan wajahnya di sela lipatan lengan tangannya. Dadanya kembali terasa sesak dan bulir-bulir bening dari pelupuk matanya juga mulai menetes satu persatu. Ia menangis sesenggukan seperti menandakan jika rasa sakit yang saat ini ia rasakan begitu menusuk jantungnya.
Rama hanya bisa menatap wanita yang tengah terluka itu dengan tatapan iba sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia dapat menyimpulkan jika wanita ini begitu mencintai kekasihnya yang sudah berselingkuh di belakangnya. Rama mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Ellana. Namun tak selang lama, ia kembali berdiri di depan meja yang dipakai oleh Ellana untuk membenamkan semua kesedihannya.
"Aku rasa Mbak memerlukan ini. Pakailah!"
Ellana mengangkat sedikit kepalanya. Terlihat, di depan matanya ada satu boks besar tisu wajah. "A-aku tidak memerlukan ini!"
Rama terkekeh pelan. "Meskipun tidak memerlukan, saya rasa tidak masalah jika Mbak memakainya. Setidaknya tisu ini bisa menjadi langkah preventif agar meja ini tidak berubah menjadi aliran sungai yang tengah banjir karena banyaknya air mata Mbak yang telah keluar!"
Mendengar perkataan Rama, sudut bibir Ellana sedikit tertarik ke atas sehingga melengkungkan sebuah senyum simpul yang terlihat begitu manis. Bagi Ellana, ucapan lelaki di depannya ini tidak memiliki kualitas humor yang tinggi bahkan rasanya terdengar garing. Namun entah mengapa, ia tidak bisa untuk tidak tersenyum tatkala mendengarkannya.
"Jika sampai ruangan ini banjir karena air mataku, apakah akan semakin besar ganti rugi yang harus aku tanggung?"
Rama hanya mengendikkan bahu sembari tersenyum simpul. "Entahlah. Namun sebelum diterjang oleh banjir, saya rasa, saya perlu membawakan ember plastik untuk bisa menampung air mata Mbak-nya. Dengan begitu kita bisa sama-sama mencegah banjir!"
Senyum tipis yang sempat tersungging di bibir Ellana, kini berubah menjadi kekehan kecil. Ia tertawa pelan sembari mengatur nafasnya yang masih tiada beraturan. "Bisakah kita berbicara biasa saja, dan tidak terlalu formal? Panggil aku El dan tidak perlu memakai embel-embel 'mbak', karena sepertinya kita ini seumuran."
Rama terlihat berpikir sejenak, tak lama setelahnya ia mengangguk. "Baiklah kalau begitu El. Apakah kamu menginginkan sesuatu untuk di makan?"
Ellana menggelengkan kepalanya. "Tidak, terima kasih. Rasa-rasanya perutku sudah kenyang karena sebuah penghianatan yang dilakukan oleh kekasih dan sahabatku!"
Rama mengangguk-anggukkan kepalanya. "Namun sepertinya kamu harus makan, El!"
"Mengapa begitu?"
"Karena berpura-pura tegar menghadapi perselingkuhan pasangan kita itu, juga membutuhkan banyak energi!"
Ellana terperangah mendengar perkataan Rama. Bibirnya sedikit mencebik. Tidak menyangka jika Rama menjadikan apa yang saat ini ia alami, sebagai bahan untuk bercanda. "Aku tidak berpura-pura, aku memang kuat menghadapi perselingkuhan mereka. Lagipula untuk apa aku berpura-pura tegar, jika kenyataannya aku memang tegar!"
Rama terkekeh geli melihat ekspresi wajah wanita muda yang ada di depannya ini. Entah apa yang terjadi, ia merasa ada sesuatu yang terasa begitu asing menggelayuti hatinya. "Jika kamu memang tegar, bukankah tidak seharusnya kamu mengeluarkan air mata sebanyak ini?"
Hati Ellana sedikit tercubit. Benar apa yang dikatakan oleh lelaki di depannya ini. Jika ia benar-benar tegar, seharusnya ia tidak sampai menangis seperti ini. Ellana menghela nafas panjang kemudian perlahan ia hembuskan. "A-aku bukan menangisi lelaki breng*ek itu. Yang aku tangisi adalah rencana pernikahan kami yang sudah dipersiapkan begitu matang, kini harus luluh lantak dalam waktu sekejap seperti ini."
Rama semakin paham dengan apa yang dialami oleh wanita di depannya ini. Mungkin memang benar saat ini yang ia tangisi bukanlah lelaki yang telah mengkhianatinya namun lebih cenderung kepada hubungan baik antar kedua pihak keluarga yang akan berakhir begitu saja.
"Baiklah kalau begitu. Aku tawarkan sekali lagi. Apakah kamu memerlukan sesuatu untuk dimakan? Barangkali bisa untuk menambah energi dalam tubuhmu, sehingga kamu bisa semakin tegar?"
Ellana berdecih. "Iissshhh... Apakah seperti ini cara kamu memaksa pelanggan di resto ini untuk mencicipi hidangan yang ada di sini?"
Rama tergelak. "Tidak keliru bukan? Jika mereka datang kesini hanya untuk sekedar menumpang menumpahkan air mata dan beradu mulut dengan lawannya hingga membuat kerusakan, bukankah aku akan rugi banyak? Jadi aku rasa tidak salah jika aku menawarkan menu yang ada di sini kepadamu!"
Ellana terperangah. Mendengar ucapan lelaki di hadapannya ini sungguh membuatnya merasa semakin pusing. Ia pun hanya bisa memijit-mijit pelipisnya. "Baiklah, berikan untukku hidangan yang paling lezat dan paling mahal di sini. Akan aku buktikan jika aku di sini tidak hanya menumpang menangis dan membuat kerusakan!"
Rama terkikik geli. Wanita itu terlihat semakin kesal namun wajahnya justru terlihat semakin menggemaskan. Sama seperti kedua adik perempuannya jika sedang merajuk, Raina dan Raisa.
Rama mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Ellana. Ia menghampiri salah satu waiters yang ada di dapur dan memintanya untuk menyajikan salah satu menu favorit di resto ini untuk Ellana. Ia pun kembali masuk ke dalam ruangan khusus yang ia gunakan untuk berkutat dengan aktivitas ketika berada di resto ini.
Tak selang lama, menu ayam goreng kalasan dengan sambal matah dan satu gelas es tipis (timun jeruk nipis) tersaji di meja Ellana. Tak lupa seporsi cah kangkung juga tersaji di sana.
"Selamat menikmati, Nona!"
Ellana mengangguk. "Terimakasih!"
Ellana membasuh tangannya di wastafel yang letaknya tidak jauh dari tempat ia duduk. Setelah itu, perlahan ia mulai memakan menu-menu yang ada di hadapannya ini. Suapan pertama, ia masih tidak merasakan apapun. Namun setelah suapan kedua, ketiga dan seterusnya ia mulai merasakan sesuatu di makanan ini. Rasa makanan ini sama persis dengan apa yang pernah dimasak oleh sang mama untuknya.
Tetiba rasa rindu kepada keluarganya terasa begitu membuncah di dadanya. Hingga satu bulir kristal bening itu kembali menetes dari sudut matanya. "Mama, Papa, Al... El rindu kalian semua. El rindu Jogja!"
Ellana mencoba acuh dengan rasa rindu kepada keluarganya yang tiba-tiba ia rasakan. Ia pun kembali melahap semua makanan yang ada di hadapannya ini hingga tandas tanpa bekas. Setelah itu, ia beranjak dan bermaksud untuk bersegera pulang.
"Jadi semuanya berapa Mbak?"
Ellana mengeluarkan dompet dari dalam tasnya sembari berdiri di depan meja kasir.
Kasir itu tersenyum simpul. "Mbak Ellana ya?"
Ellana terperangah. Ia merasa bukan salah satu publik figur yang terkenal, tapi mengapa kasir resto ini mengenalnya? Tetiba wajah Ellana berubah pias. Ia khawatir jika apa yang telah terjadi di taman dan kolam koi tadi ada tangan-tangan iseng yang merekamnya. Setelah itu di share melalui sosial media hingga menjadikannya tranding topic.
"Mbak!"
Panggilan sang kasir membuat Ellana tersadar dari lamunannya. "Eh, iya Mbak. Saya Ellana!"
Kasir itu kembali tersenyum simpul. "Mbak Ellana tidak perlu membayar. Makanan yang tadi dihidangkan untuk mbak Ellana, semuanya geratis!"
Ellana semakin terperangah. "M-maksud Mbak, bagaimana?"
"Ini semua atas instruksi dari mas Rama, Mbak. Mas Rama menggeratiskan semua menu yang tersaji untuk mbak Ellana."
Mata Ellana membulat sempurna. "A-apa?"
"Iya Mbak." Kasir itu mengambil sesuatu dari dalam laci. Kemudian ia berikan kepada Ellana. "Ini ada titipan dari mas Rama untuk mbak Ellana!"
Dahi Ellana sedikit mengerut saat menerima secarik kertas dari kasir di depannya ini. Perlahan, ia mulai membaca tulisan yang ada di kertas itu.
Allah tidak akan memberikan sebuah cobaan di luar batas kesanggupan manusia. Jika saat ini Allah memberikan cobaan hidup seperti ini kepadamu, percayalah jika kamu adalah salah satu hamba Nya yang terpilih, yang bisa melewati itu semua dengan hati yang ikhlas. Apa-apa yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Allah. Dan apa-apa yang menurut kita buruk belum tentu buruk menurut Allah. Selalu percaya jika apa yang kita jalani adalah yang terbaik menurut Allah pastinya akan selalu mengantarkan kita kepada kebahagiaan yang hakiki.
.
.
. bersambung....
Salam love, love, love ❤️ ❤️❤️
🌹Tetaplah yakin setiap cerita yang ditulis sepenuh hati, akan mendapatkan tempat di hati masing-masing para pembaca🌹
Rama duduk di kursi kerjanya sembari mengamati dengan lekat secarik kertas yang berada di dalam genggaman tangannya. Ellana Alessia Safaraz Ismail, nama itulah yang tertulis di secarik kertas itu.
"Nama yang sangat cantik. Seperti orangnya!"
Rama berkata lirih sembari pandangannya menerawang jauh. Entah apa yang terjadi, namun sepertinya pertemuan pertamanya dengan wanita bernama Ellana itu, menyisakan sebuah kesan yang begitu mendalam.
"Astaghfirullah hal'adziim..."
Rama tersadar dari pikirannya yang menerawang jauh. Gegas, ia mengusap-usap wajahnya berusaha mengusir bayang-bayang wajah wanita cantik yang siang tadi ia temui.
"Mungkinkah kisah pertemuan pertama ayah Juna dengan bunda, akan menurun kepadaku? Jatuh cinta pada pandangan pertama?" Rama membelalakkan matanya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya, akal sehatnya mulai sedikit terhenti. Ia pun menghela nafas dalam kemudian ia hembuskan perlahan. "Astaghfirullah hal'adziim... Astaghfirullah hal'adziim... Astaghfirullah hal'adziim..."
Kumandang suara adzan Asar dari masjid yang letaknya tidak jauh dari resto membuat kesadaran Rama pulih sepenuhnya. Setelah hatinya terasa begitu terusik oleh pertemuan pertamanya dengan Ellana, kini saatnya ia kembali menenangkan diri sembari bersimpuh menghadap sang pencipta.
Ia buka laci di meja kerjanya kemudian ia ambil kopiah dan juga sarung yang tersimpan di dalam sana. Ia beranjak dan bergegas menuju masjid untuk menunaikan ibadah shalat Asar berjamaah.
"Mbak, karena sudah masuk waktu shalat Asar, semua aktivitas resto dihentikan sejenak ya. Semua crew silakan sholat berjamaah terlebih dahulu di musholla, baru setelah itu aktivitas di resto bisa dilanjutkan kembali."
"Baik Mas."
"Ahhh iya sampai lupa. Jika nanti ada tamu yang bernama pak Afif mencari saya, suruh tunggu sebentar ya Mbak."
"Baik, Mas!"
"Astaghfirullah hal'adziim sampai lupa, untuk orderan via online tolong ditutup dulu ya Mbak. Setelah selesai shalat bisa dibuka kembali."
Supervisor yang saat ini tengah menjadi lawan bicara Rama hanya bisa terkekeh pelan. Jika menyangkut urusan shalat, putra pemilik resto ini begitu antusias dalam memberi peringatan. Padahal kebiasaan seperti ini sudah hampir berjalan enam bulan, tepatnya setelah Rama dipercaya untuk menghandle operasional resto.
Sejak Rama berada di resto ini, inovasi yang ia lakukan bukanlah membuat menu-menu baru untuk meningkatkan omset penjualan ataupun melakukan berbagai macam cara untuk menarik para customer. Namun lebih cenderung kepada sisi spiritual. Kebiasaan seperti ini selalu dinomorsatukan oleh resto, yaitu menghentikan semua aktivitas ketika telah masuk waktu shalat. Ketika adzan berkumandang, semua crew menghentikan aktivitas mereka, kemudian menuju ke musholla untuk shalat berjamaah.
"Iya Mas. Kami akan segera menuju ke musholla."
Rama tersenyum simpul kemudian bergegas menuju masjid yang letaknya tidak jauh dari resto. Saat-saat seperti inilah yang membuat pemuda berusia 28 tahun itu merasakan kebahagiaan luar biasa. Bisa kembali mendengar panggilan sang Khalik melalui suara adzan yang berkumandang, kemudian bersujud dan bersimpuh di hadapanNya untuk mencurahkan semua rasa cinta yang ia miliki kepada sang maha pemilik kehidupan.
***
Mobil yang dikemudikan oleh Ellana berhenti di depan pintu pagar sebuah rumah bergaya minimalis yang didominasi oleh warna abu-abu. Tak lama setelahnya, terlihat seorang lelaki dengan perawakan tinggi dan tegap membuka pintu pagar. Ellana kembali menginjak pedal gas nya dan mengarahkan laju mobilnya ke arah garasi.
"Rumah sepertinya sepi Mang. Om Afif sama tante Alya keluar kah?"
Ellana sedikit keheranan melihat keadaan rumah yang sepertinya sunyi senyap. Biasanya di sore hari seperti ini, om dan juga tantenya nampak berbincang-bincang di teras rumah. Namun sore ini tidak terlihat sama sekali.
" Ibu ada di dalam, Non. Sepertinya sedang menonton TV, sedangkan bapak sedari siang tadi keluar dan belum pulang."
Ellana mengangguk. "Kalau begitu aku masuk dulu ya Mang!"
"Silakan Non!"
Ellana memasuki area dalam dengan langkah kaki yang gontai sembari menundukkan wajahnya. Hari ini rasa-rasanya seluruh energi di dalam tubuhnya terkuras habis. Tentunya setelah terlibat adu mulut dengan wanita yang menjadi perebut kekasihnya itu.
"El... Baru pulang?"
Sapaan dari tante Alya membuat Ellana sedikit terkejut. Ia mendongakkan kepalanya dan melihat ke arah sang tante yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Ellana menghampiri tante Alya kemudian menjabat tangan wanita paruh baya itu.
"Iya tante. Urusan El di luar baru saja selesai."
Tante Alya tersenyum. "Sudah makan kamu, El?"
Ellana mengangguk. "Sudah Tante." Ellana mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. "Om Afif kemana, Tan? Kok tidak kelihatan?"
"Om kamu ada janji bertemu dengan rekan bisnisnya. Sepertinya baru setelah Maghrib, om kamu akan pulang."
Ellana hanya tersenyum simpul. "Kak Ais kapan pulang ke Bandung, Tan?"
Alya terkekeh. "Seperti tidak tahu kebiasaan sepupu kamu itu saja El. Kak Ais, suami, dan anak-anaknya itu baru akan pulang ke sini ketika liburan semester atau pada saat hari raya. Jadi jangan berharap kakak sepupumu itu pulang ke sini di waktu-waktu seperti ini."
Ellana mengangguk. "Sama seperti om Haki dan tante Nina. Setelah mereka pindah ke Surabaya jadi jarang pulang ke Jogja. Kenapa saudara-saudara papa dan mama pada pindahan semua sih Tan? Di Jogja jadi sepi, tahu?"
Alya terkekeh. "Tapi sebentar lagi keluarga besar kita akan kembali berkumpul bukan, pada saat hari pernikahanmu dengan Diko?"
Mendengar nama Diko disebut, membuat ekspresi wajah Ellana berubah seketika. Raut wajah yang sebelumnya berseri, kini menjadi sedikit muram. Dahi Alya sedikit mengerut tatkala memperhatikan dengan seksama perubahan raut wajah sang keponakan.
"Loh, loh, kamu kenapa El? Kok jadi sedih seperti ini?"
Ellana menghampiri tante Alya untuk duduk di sampingnya kemudian memeluk tubuh sang tante dengan erat.
"Tante...."
Alya semakin terperangah mendengar sang keponakan mengisakkan tangis di bahunya. Alya pun hanya bisa mengusap punggung Ellana dengan lembut.
"El... Ada apa denganmu? Mengapa kamu menangis seperti ini?"
Nafas Ellana masih tersengal-sengal. "Rencana El menikah dengan Diko gagal!"
Kedua bola mata Alya membulat sempurna tatkala mendengar penuturan Ellana. Padahal Alya tahu, El dan Diko sudah menjalani hubungan ini hampir tiga tahun lamanya. Bahkan kedua belah pihak keluarga sudah sepakat untuk membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Dan kini, setelah semua dipersiapkan dengan matang, hubungan mereka kandas di tengah jalan? Alya sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya menimpa keponakannya ini.
"Apa yang sebenarnya telah terjadi, Sayang?"
Lagi, Alya membelai rambut keponakannya ini dengan lembut. Ia benar-benar paham dengan apa yang saat ini dirasakan oleh Ellana. Meskipun kehidupan Ellana dikelilingi oleh orang-orang yang begitu menyayanginya, dan apapun yang ia mau bisa terpenuhi semua, namun untuk masalah percintaan, Ellana merupakan salah satu wanita yang kurang beruntung. Setiap ia menjalani hubungan dengan laki-laki, hubungan itu pasti kandas di tengah jalan.
Diko adalah seorang laki-laki yang paling lama menjalin hubungan percintaan dengan Ellana. Karena lelaki itu mampu menjalani hubungan bersama Ellana selama hampir tiga tahun lamanya. Sedangkan mantan-mantan kekasih El yang lain, hanya dengan hitungan bulan saja mereka memilih untuk mengakhiri hubungannya bersama wanita yang saat ini genap berusia 28 tahun itu.
"Diko berselingkuh dengan Mia, Tante!"
Alya mengernyitkan dahinya sembari melerai sedikit pelukannya. "Mia? Mia yang mana Sayang?"
"Sahabat El, Tante. Yang sama-sama dari Jogja."
"Astaghfirullah... Bukankah itu sahabat dekatmu?"
Ellana mengangguk. "Bukan hanya sahabat dekat, Tante. Bahkan Mia sudah El anggap seperti saudara sendiri, Tan."
"Aaahhh... Iya, iya, Tante baru ingat, Sayang. Tapi sepertinya selain Mia juga ada kan teman dekat kamu yang satu lagi?"
"Iya Tante, dia Nana. Diantara kami bertiga, Nana adalah wanita yang paling salihah. Karena hanya dia yang mengenakan jilbab."
Alya terkekeh kecil. Ia acak sedikit rambut keponakannya ini. "Tante yakin, jika keponakan Tante ini juga salihah. Sama seperti mama Arumi bukan?"
Ellana mengendikkan bahunya. "Sayangnya salihah nya Mama tidak menurun ke El. El merasa masih belum siap untuk mengenakan hijab seperti mama dan juga tante Alya. El takut jika tingkah laku El ini belum sesuai dengan hijab yang El pakai."
Alya kembali memeluk tubuh Ellana dengan penuh kasih sayang. Meski Ellana belum berhijab, namun dimatanya, Ellana memiliki hati yang tulus. Dan ketulusan hatinya lah yang terkadang dimanfaatkan oleh orang-orang yang dekat dengannya.
"Tante percaya jika El adalah anak yang baik. Semoga suatu hari nanti, El bisa menjemput hidayah itu untuk mulai berhijab seperti mama Arumi ya." Hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh El, Alya kembali melerai pelukannya.
"Eh, bukankah tadi kita membahas Diko dan Mia ya Sayang? Kok malah jadi beda pembahasannya?"
Ellana tersenyum kecut. "Sudahlah Tante, El tidak ingin membahas lelaki yang bernama Diko lagi. El capek, Tan. Ini El juga harus mencari cara untuk menyampaikannya ke mama papa. El takut mereka kecewa, Tan. Karena di usia El yang sudah masuk 28 tahun ini, El belum juga menikah."
Alya kembali menyunggingkan senyum sembari menggenggam tangan El dengan erat. "Dengan batalnya rencana pernikahanmu dengan Diko, Allah pasti sudah memiliki rencana yang jauh lebih baik untukmu, Sayang. Percayalah."
El tersenyum tipis. Bahkan untuk saat ini ia masih ragu bahwa ada seorang lelaki yang benar-benar tulus mencintainya. "Semoga ya Tan!"
.
.
. bersambung....
Bagi para pembaca yang asing dengan nama-nama Alya, Afif, Arumi, Haki, Nina, Ais, Nana, silakan mampir di novel Tiba-tiba Cinta dan Titik Balik. Hihihihi 🤗🤗
Happy reading kakak-kakak semua...😘😘😘
Salam love, love, love ❤️ ❤️❤️
🌹Tetaplah yakin setiap cerita yang ditulis sepenuh hati, akan mendapatkan tempat di hati masing-masing para pembaca🌹
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!