NovelToon NovelToon

Sekeping Asa Dalam Sebuah Rasa

Prolog

Cinta sejati.

Sebuah rasa yang datangnya dengan perlahan, dan tanpa alasan.

Kendati demikian, hanya segilintir insan yang mampu menerapkan.

Selebihnya, mereka mengukur cinta lewat harta, serta rupa.

Cinta, ia datang dengan sejuta rasa.

Terkadang menjelma menjadi cahaya, memberikan penerang serta kehangatan, laksana sinar surya yang menerangi alam fana.

Namun, terkadang cinta juga menjelma menjadi serpihan kaca. Menorehkan luka yang teramat dalam, meretakkan hati, dan mengubur diri dalam kelam.

Cinta, jangan terlalu diagungkan.

Biarlah ia mengalir seperti air, biarkan ia berhembus seperti angin. Cukup arus waktu yang menjawab, kemana, dan seperti apa cinta yang datang menyapa. Tetaplah dalam keyakinan, Tuhan tak akan pernah salah, dalam memilihkan jalan takdir untuk setiap hambanya.

Saat diri merasa sendiri, ingatlah, masih ada Tuhan yang selalu ada untuk kita.

Disaat tiada lagi bahu untuk bersandar, ingatlah, masih ada lantai untuk bersujud. Hanya Tuhan tempat berkeluh kesah yang tak pernah salah. Hanya Tuhan, pemilik takdir yang maha indah.

Seperti halnya takdir yang telah digariskan pada dua insan yang saling berdiri berhadapan, keduanya terpaku, dan bergeming pada tempatnya masing-masing. Hanya Tuhan yang tahu, seperti apa jalan mereka selanjutnya. Akankah tetap terpisah, ataukah kembali bersama.

Mereka adalah Ghani dan Bylla, dua insan yang telah lama tak bersua. Entah kenapa Tuhan mempertemukan mereka di sana, di sebuh taman, di bawah menara. Tak ada kata yang sanggup mereka ucapkan, keduanya hanya menyelami netra masing-masing, demi mencari sebuah kejujuran.

Banyak hal yang telah mereka lalui dalam beberapa waktu terakhir, hal pahit yang membuat keduanya tersiksa dalam rasa sakit. Ketika Bylla membuka mulutnya dan hendak berbicara, seorang wanita cantik tiba-tiba datang dan menggandeng tangan Ghani.

"Ayo Ghani!" ucap wanita itu dengan nada yang manja, sebaris kalimat yang cukup menyesakkan dada Bylla.

Ghani hendak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun belum sempat ia membuka suara, tiba-tiba seorang lelaki datang menghampiri Bylla.

"Maaf sayang aku sedikit lama," ucap lelaki itu sambil tersenyum ke arah Bylla.

Ghani menghela napas panjang, berusaha meredam api cemburu yang membara dalam hatinya. Sayang, satu kata yang cukup menjelaskan seperti apa hubungan mereka.

"Kenapa Bylla, kenapa takdir kita harus seperti ini? Karena kesalah pahaman, aku harus kehilangan kamu. Andai saja aku tahu akan ada hari ini, aku tak akan pernah menerima tawaran itu, aku tidak akan pernah mau menjadi penyanyi. Bylla, tak adakah kesempatan lagi untukku?" batin Ghani sambil menatap punggung Bylla yang berjalan semakin menjauh.

****

Di bawah terik sang surya yang cukup menyengat kulit, Bylla berjalan cepat sambil membawa segelas matcha latte dingin, salah satu minuman yang sangat disukainya. Ia baru saja menghadiri rapat disalah satu kantor milik relasinya. Dia adalah Salsabylla Dela Vinci, atau kerap dipanggil Bylla.

Bylla adalah wanita keturunan Indo-Perancis, wajahnya sangat anggun dan cantik, membuat setiap pasang mata betah memandangnya lama-lama. Bulu matanya yang lentik, hidung mancung, bibir mungil kemerahan, dan mata biru bening yang diwariskan dari sang ayah. Rambutnya lurus panjang kecoklatan, dengan postur tubuh yang nyaris sempurna. Ditambah lagi dengan lesung pipit yang terlihat menawan, setiap kali ia tersenyum, benar-benar gambaran yang sempurna.

Selain bentuk fisik yang nyaris tiada cela, Bylla juga memiliki kecerdasan yang ada di atas rata-rata. Ini adalah salah satu hal yang diwariskan oleh sang ibu.

Bylla tinggal di Indonesia bersama kakek, dan neneknya. Sedangkan orang tuanya, mereka tinggal di Paris bersama adiknya, Mikayla Dela Vinci.

Bylla sengaja tinggal di Indonesia untuk menemani kakek, dan neneknya. Sebenarnya mereka memiliki dua orang anak, namun tidak ada yang tinggal di Indonesia. Kairi Da Vinci, ayah dari Bylla, dia tinggal di Paris. Sedangkan Andra Dwi Anggara, adiknya Kairi, dia tinggal di London. Alhasil, sekarang hanya Bylla yang menemani kakek, dan neneknya.

Belum terlalu jauh Bylla melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia menabrak seorang lelaki dengan pakaian yang sangat lusuh. Tubuh lelaki itu sempat terhuyung, dan bungkusan nasi yang dibawanya jatuh berserakan di pinggir jalan.

"Maaf, aku tidak sengaja," kata Bylla sambil menatap lelaki itu. Ia mengabaikan kemejanya yang sudah kotor, karena tersiram matcha latte yang sedang dibawanya.

Lelaki itu tak menjawab, ia hanya terpaku sambil menunduk, menatap nasi tanpa lauk yang sudah berbaur dengan debu. Raut wajahnya tampak sangat kecewa, Bylla benar-benar merasa bersalah.

Bylla menatap lelaki itu dari ujung kaki, sampai ke ujung kepala. Pakaiannya jauh dari kata bagus. Tubuhnya seperti tidak terawat, namun kadar ketampanan masih terpancar jelas di wajahnya yang berkeringat. Dua insan yang berdiri saling berhadapan, namun penampilan mereka tampak begitu kontras.

"Maaf aku benar-benar tidak sengaja, aku berjanji akan menggantinya," kata Bylla dengan suara yang lebih keras, berharap lelaki itu mau menoleh, dan menjawab ucapannya.

"Tidak apa-apa, tidak usah diganti," ucap lelaki itu sambil menatap Bylla, dan mengulas senyuman hambar.

"Aku yang salah, aku harus menggantinya," kata Bylla sambil membuka tas selempangnya. Ia meraih dompetnya, dan mengambil dua lembar uang ratusan ribu.

"Semoga cukup," kata Bylla sambil menyodorkan uang itu.

"Tidak perlu, simpan saja uang itu untuk kebutuhanmu," kata lelaki itu menolak pemberian Bylla.

"Tidak apa-apa, aku merasa sangat bersalah, jika kau tidak mau menerimanya," ucap Bylla.

Lelaki itu tidak menjawab, namun ia menatap Bylla tanpa kedip.

"Apakah aku sedang bertemu dengan bidadari, seumur hidupku baru kali ini aku melihat wanita secantik dia, apalagi kepribadiannya sangat baik, benar-benar sosok yang sempurna," batin lelaki itu dalam hatinya.

Dia adalah Ghani Alghibrani, lelaki muda yang hidup dengan penuh kekurangan. Ia tinggal di sebuah panti asuhan yang sudah terbengkalai, bersama anak-anak jalanan yang tidak punya keluarga. Untuk memenuhi tuntutan hidup, ia bekerja sebagai kuli bangunan. Namun pekerjaan itu tak selalu bisa ia harapkan, terkadang proyek sepi, dan terpaksa ia harus menganggur. Demi sesuap nasi, seringkali ia bernyanyi di pinggir jalan, hanya untuk mengumpulkan recehan.

"Hei!" kata Bylla saat melihat Ghani kembali terpaku.

"Maaf," ucap Ghani.

"Siapa diriku, berani sekali mengagumi wanita seperti dia. Dia pasti orang kaya, yang derajatnya jauh diatasku," batin Ghani sambil tersenyum hambar.

"Maaf Nona, saya tidak bisa menerimanya," kata Ghani tetap bersikeras untuk menolak.

"Tidak apa-apa, ambilah! Aku merasa bersalah, jika kau tidak mau menerimanya," kata Bylla.

"Aku tidak apa-apa Nona, aku bisa mencarinya lagi. Simpan uang itu untukmu," ucap Ghani sambil melangkah pergi meninggalkan Bylla.

"Tapi tunggu!" teriak Bylla.

Namun Ghani terus melangkah, seolah tak mendengarkan teriakan Bylla.

"Aduh kenapa dia tidak mau ya, kasihan, pasti nasi ini sangat berharga baginya," gumam Bylla dalam kesendirian.

"Ya Allah berikanlah rezeki untuknya, maafkan hamba yang sudah merampasnya," ucap Bylla sambil melangkahkan kakinya, dan menuju ke mobil.

Meskipun Bylla terlahir ditengah keluarga yang kaya raya, namun kepribadiannya sangat sederhana. Ia rendah hati, dan tidak pernah menyombongkan apa yang ia punya.

Tak berapa lama kemudian, Bylla sudah masuk ke dalam mobilnya, ia duduk di depan kemudi, dan mulai melajukannya.

Bersambung...

Bylla Dan Reymond

Sinar surya semakin meredup, awan-awan hitam mulai bergulung menutupi bentangan langit biru. Deru angin semakin lama semakin kencang, seolah hujan badai akan mendatang. Kilatan petir sesekali menyambar, cahayanya seakan-akan membelah alam raya, suasana yang sangat menyeramkan.

Seorang wanita yang matanya menyimpan manik biru, sedang duduk di atas kursi, di sudut ruangan. Ia gelisah menanti sang kekasih yang tak kunjung datang. Beberapa jam yang lalu, mereka berjanji untuk bertemu, di sebuah restoran yang menjadi langganan mereka. Meskipun wanita ini tegar, dan tangguh, namun ia sangat takut dengan halilintar, terlebih lagi jika ia sedang sendiri.

"Kamu di mana Rey, aku sudah di sini menunggu kamu," gumam Bylla dengan pelan.

Tatapan matanya tak lepas dari pintu masuk, ia berharap sosok lelaki yang ditunggunya akan segera tiba.

"Aku tidak berani pulang Rey," kata Bylla sambil menatap rintik hujan yang mulai berjatuhan, kebetulan saat itu ia sedang duduk di dekat jendela.

Bylla menunduk, sambil menutupi kedua telinganya. Meskipun hanya terdengar samar-samar, namun suara halilintar itu tetaplah menakutkan baginya.

Beberapa menit telah berlalu, di luar hujan mengguyur dengan semakin deras. Mata Bylla mulai berkaca-kaca, manik birunya mulai buram, karena air mata yang mulai menggenang.

"Aku sangat takut," bisik Bylla pada dirinya sendiri.

"Jangan takut, ada aku di sini. Maaf ya sayang aku datang terlambat, tadi mobilku mogok di jalan. Aku harus menunggu taxi untuk sampai kesini," kata seorang lelaki sambil memeluk Bylla.

Dia adalah Reymond Been Jackson, lelaki muda yang tampan, dan berwibawa. Kendati demikian, ia sangat romantis, dan penyayang. Ia selalu memperlakukan Bylla dengan lembut, tak sekalipun ia menyakitinya. Reymond adalah putra tunggal dalam keluarga Jackson, salah satu keluarga yang cukup berpengaruh di Negara Indonesia.

Bylla dan Reymond adalah teman sewaktu kuliah, lalu dua tahun terakhir, mereka menjalin hubungan. Mereka saling merajut rasa dalam sebuah cinta.

Bylla dan Reymond adalah pasangan yang sangat serasi, keduanya berkepribadian baik. Keduanya memiliki wajah yang nyaris sempurna, dan keduanya sama-sama terlahir di tengah keluarga yang berada.

"Rey, kamu sudah di sini, aku sampai tidak menyadari kehadiran kamu," ucap Bylla sambil mendongak, menatap wajah sang kekasih yang berada di hadapannya.

"Kamu tadi menunduk sayang, tentu saja tidak tahu. Maaf ya, aku datang terlambat. Kamu jadi ketakutan di sini," kata Reymond sambil melepaskan pelukannya.

"Hujannya sangat deras Rey, ada angin, ada petir, aku gelisah," ucap Bylla sambil menyeka sudut matanya yang mulai basah.

"Sekarang jangan takut lagi, ada aku di sini." Reymond tersenyum, seraya menyelipkan rambut Bylla ke belakang telinganya.

"Nanti pulangnya bagaimana? Hujannya semakin deras."

"Nanti kuantarkan sayang, apa gunanya aku di sini, kalau masih membiarkan kamu pulang sendiri," ucap Reymond dengan senyum manisnya.

"Tapi aku bawa mobil sendiri Rey," jawab Bylla.

"Aku tidak bawa mobil, aku tadi naik taxi. Jadi nanti aku bisa mengantarkan kamu, Bylla," kata Reymond.

"Terus kamu pulangnya bagaimana?"

"Menginap di rumah kamu," goda Reymond.

"Rey, aku serius!" teriak Bylla.

"Naik taxi sayang," ucap Reymond sambil terkekeh.

"Sudah pesan makanan?" tanya Reymond.

"Belum, aku menunggumu," jawab Bylla sambil menggelengkan kepalanya.

"Kalau begitu kita pesan sekarang ya."

"Mbak!" panggil Reymond, sambil melambaikan tangannya pada seorang pelayan yang sedang mengantarkan makanan.

"Pesan apa Tuan, Nona?" tanya pelayan itu, saat ia sudah berdiri di dekat Bylla dan Reymond.

"Kamu mau makan apa sayang?" tanya Reymond sambil menatap Bylla.

"Seafood asam manis sepertinya enak."

"Seafood asam manis dua, white coffe satu, matcha latte satu," kata Reymond kepada pelayan.

"Baik Tuan, silakan tunggu sebentar! Kami akan segera menyiapkan makanan Anda," ucap pelayan sambil melangkah pergi.

"Kamu sangat hafal dengan minuman kesukaanku," ucap Bylla sambil tersenyum.

"Bukan hanya sehari dua hari aku mengenal kamu sayang. Masa begitu saja tidak tahu," jawab Reymond.

"Begitukah?"

Reymond menanggapinya hanya dengan anggukan, dan senyuman.

"Bylla!" panggil panggil Reymond.

"Hmmm."

"Kamu tahu, aku sangat bahagia bisa menjadi pasangan kamu. Meskipun kau bukan cinta pertamaku, tapi dulu aku tidak pernah merasakan cinta yang seindah ini," ucap Reymond.

Bylla menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mulai merona.

Kata-kata cinta dari Reymond, selalu saja membuatnya tersipu malu.

"Kamu sangat pandai merayu Rey," ucap Bylla.

"Aku tidak hanya merayu, aku serius Bylla. Nanti saat orang tuaku sudah kembali, akan aku ajak ke rumah kamu. Aku ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengan kamu," ucap Reymond sambil menggenggam tangan Bylla.

"Aku sangat menantikan hari itu Rey," jawab Bylla.

Tak lama kemudian, mereka menghentikan perbincangannya, karena pesanan mereka sudah diantarkan.

Reymond dan Bylla mulai melahap makanannya, dengan hati yang penuh dengan kebahagiaan.

***

Kerlip bintang mulai tampak samar-samar di angkasa raya. Sementara sang rembulan, masih menyembul malu-malu di balik awan kelabu. Semilir angin malam, berhembus perlahan, menyisakan hawa dingin yang menusuk tulang. Guyuran hujan sudah reda, tinggal tanah becek yang masih tersisa.

Seorang lelaki duduk di teras rumah, sambil menatap anak-anak asuhnya yang sedang makan di ruang tamu. Mereka makan dengan begitu lahap. Raut kebahagiaan terpancar jelas dari wajah-wajahnya, meskipun mereka hanya makan dengan lauk tempe goreng.

"Semoga kebahagiaan itu tetap kalian jaga, semoga senyuman kalian tak pernah pudar, meskipun takdir hidup tidak sejalan, dengan apa yang kalian harapkan," gumam Ghani sambil tersenyum getir.

Sesungguhnya hatinya terasa sangat sakit, setiap kali menatap anak-anak asuhnya. Di usia mereka yang masih dini, mereka tak pernah mendapatkan kasih sayang dari keluarga. Mereka hidup ditengah kekurangan, tanpa pendidikan, tanpa harta, bahkan untuk makan saja tidak tentu sampai kenyang.

Ghani mulai memetik senar gitar yang ada dalam genggamannya, melantunkan lirik lagu, guna menghibur hati yang terbersit rasa lara.

Semakin lama, Ghani semakin larut dalam alunan melodi, yang ia ciptakan sendiri. Lambat laun, bayangan sosok wanita tergambar samar-samar dalam ilusinya.

Dengan pelan, Ghani menarik bibirnya menjadi sebuah senyuman. Mata biru yang menenangkan, pikirnya kala itu.

"Jangan ngelamun Bang, kesambet lho!" teriak seorang lelaki sambil menepuk bahu Ghani dengan cukup keras.

Ghani tersentak kaget, lalu ia menoleh, dan menatap wajah lelaki yang sekarang duduk di hadapannya. Arron, dia adalah teman Ghani. Dia adalah satu-satunya orang, yang membantu Ghani dalam menghidupi anak-anak asuhnya.

"Lihat Bang! Lumayan kan?" Arron mengeluarkan kantong plastik, yang tadi ia simpan di sakunya. Lalu Arron mengeluarkan isinya, beberapa koin uang, yang kemudian ia jajar di atas lantai.

"Tiga ribu, lima ribu, delapan ribu, sepuluh ribu. Tambah dua lagi, jadi dua ratus sepuluh Bang," kata Arron sambil meletakkan dua lembar uang ratusan ribu.

"Siapa yang memberimu uang sebesar itu?" tanya Ghani sambil mengernyitkan keningnya.

Dizaman sekarang, mencari recehan saja sangat sulit. Sungguh sangat langka, jika ada yang mau memberi dengan jumlah sebesar itu.

Masa sekarang, banyak orang yang kaya harta, namun miskin kepedulian.

"Seorang wanita kaya Bang, penampilannya mewah. Wajahnya sangat cantik, seperti bidadari. Matanya biru bening, mungkin dia wanita impor Bang!"

"Mata biru bening," batin Ghani dalam hatinya.

Ada desiran aneh dalam hatinya, saat ia mengingat sang pemilik mata biru.

Bersambung...

Tentang Ghani

"Mata biru." Gumam Ghani dengan sangat pelan, diiringi seulas senyum yang tampak mengembang di bibirnya.

"Kau kenapa Bang?" tanya Arron sambil mengernyit heran.

"Tidak apa-apa." Jawab Ghani sambil tetap tersenyum.

"Kau seperti orang yang sedang jatuh cinta Bang, senyum-senyum sendiri, tanpa alasan yang jelas." Kata Arron sambil menyimpan uangnya ke dalam kantong.

"Alasanku jelas Ron, aku tersenyum karena aku bahagia melihatmu pulang membawa uang." Kilah Ghani.

"Tidak percaya, kau seperti sedang membayangkan seseorang Bang." Cibir Arron.

"Terserah kau saja, aku tidak memaksamu untuk percaya!" Kata Ghani sambil beranjak dari duduknya. Ia melangkah masuk ke dalam rumahnya, tak lupa ia juga membawa gitar yang selalu menemaninya.

"Sudah selesai?" tanya Ghani pada anak-anak asuhnya.

"Sudah Bang." Jawab Bayu, bocah berumur 12 tahun, dia adalah bocah yang paling besar, karena yang lainnya masih berusia 7 sampai 10 tahun.

"Sangat kenyang Bang." Sahut Alina sambil tersenyum senang.

Alina adalah satu-satunya bocah perempuan yang ada di sini. Di antara temannya, dia yang paling kecil. Umurnya baru menginjak 7 tahun, kendati demikian dia sangat cerdas, dia gemar sekali melukis. Ghani sangat menyayanginya, dia merasa sangat iba dengan anak itu.

Alina menjadi yatim piatu sejak berusia 4 tahun, orang tua dan kakaknya meninggal dalam kecelakaan.

Sebenarnya Alina terlahir ditengah keluarga yang berada, namun sejak keluarganya tiada, Alina hidup di jalanan. Harta milik orang tuanya, diambil paksa oleh bibi dan pamannya. Alina kecil tak bisa apa-apa, dia hanya bisa menangis di pinggir jalan, saat dirinya dibuang ke Kota Surabaya. Sebuah kota yang cukup jauh dari tempat tinggalnya dahulu, yakni Kota Jakarta. Alina mulai bisa tersenyum, saat Ghani menolongnya, dan merawatnya.

"Sudah berdoa?" tanya Ghani sambil menatap ketujuh anak asuhnya. Bayu, Doni, Sandi, Albi, Ian, Raffi, dan Alina.

"Belum Bang." Jawab mereka serempak.

"Ayo sekarang berdoa dulu, ingat ya selesai makan kita wajib berdoa. Kita bersyukur karena Allah masih menurunkan rezekinya untuk kita. Ayo Abang bimbing!" kata Ghani sambil duduk di antara mereka.

"Alhamdulillahilladzi At'amana wasakhaana waja'alana minalmuslimin aamiin." Ucap mereka bersama-sama.

"Pinter sekali adik-adik Abang ini. Ayo sekarang cuci tangan, cuci kaki, setelah itu tidur ya, sudah malam. Besok tidak boleh bangun telat ya, harus bangun sebelum adzan shubuh, okey?" ucap Ghani sambil mengacungkan kedua jempolnya.

"Okey Bang!" Jawab mereka serempak.

Kemudian mereka berlarian menuju ke kamar mandi. Ghani mengikutinya di belakang. Melihat mereka tertawa, Ghani merasa sangat bahagia.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah berbaring di atas tikar, yang digelar di dalam kamar. Mereka tidur bersama, kecuali Alina. Karena dia perempuan, ia tidur sendiri di atas tikar kecil, namun masih berada dalam satu ruangan. Panti ini memiliki dua kamar, satu kamarnya anak-anak, dan satu lagi kamarnya Ghani dan Arron.

"Dongeng Bang, ayo bacakan dongeng!" rengek mereka, ketika melihat Ghani hendak keluar dari kamar.

"Iya Bang, aku ingin mendengar cerita seorang putri yang baik hati," sahut Alina sambil menatap Ghani.

Ghani tersenyum, lalu ia kembali ke dalam kamar. Ia duduk bersimpuh di antara anak-anak asuhnya yang sedang berbaring.

"Setelah dongengnya selesai, kalian langsung tidur ya," ucap Ghani.

"Iya Bang."

"Janji Bang."

"Pada zaman dahulu, di sebuah istana yang sangat megah. Istana ini dibangun dengan emas, kekayaannya sudah tak terhingga, raja dan ratu adalah orang yang paling kaya di wilayah itu.

Mereka memiliki seorang putri yang cantik jelita, anggun, lemah lembut, dan sangat bijaksana. Tutur sapanya menenangkan, senyumannya membuat orang terpesona, dan lagi dia memiliki mata biru yang sangat menawan." Kata Ghani dengan panjang lebar. Ia menatap anak-anak yang mendengarkan ceritanya dengan seksama.

"Banyak pangeran dari beberapa kerajaan yang datang melamarnya. Namun sang putri menolak, karena kebanyakan pangeran-pangeran itu sombong, sedangkan sang putri, ia sangat sederhana, dan baik hati.

Pada suatu hari sang putri pergi berburu di tengah hutan belantara, dan ia tersesat." Sambung Ghani.

"Kasihan putrinya Bang." Kata Bayu.

"Iya Bang, dia baik hati kenapa tidak bahagia?" tanya Ian.

"Sstt, kalian diam dulu, ceritanya belum selesai!" Kata Ghani.

"Lanjut Bang, lanjut Bang!"

"Dengarkan baik-baik ya, putri itu tersesat, dan tidak bisa menemukan jalan pulang. Hingga malam tiba, ia tetap berputar-putar di dalam hutan.

Namun tak lama kemudian, ada seorang lelaki yang baru saja pulang dari sungai. Lelaki itu menolong sang putri, dan membawanya pulang ke gubuknya. Lelaki itu menjamu sang putri dengan ikan yang baru saja ia tangkap. Dan lelaki itu juga yang menunjukkan jalan pulang, untuk sang putri.

Semakin lama hubungan mereka semakin dekat, lelaki baik hati itu berhasil menarik perhatian sang putri. Akhir cerita, sang putri menikah dengan lelaki sederhana yang berhati mulia. Mereka hidup bahagia selama-lamanya. Tamat." Kata Ghani mengakhiri ceritanya.

"Kenapa menikah dengan lelaki sederhana Bang, seorang putri kan harusnya menikah dengan pangeran?" tanya Albi.

"Iya Bang, kenapa putrinya malah memilih lelaki itu. Dia pasti tidak punya apa-apa, mana bisa menbahagiakan sang putri." Sahut Ian.

"Kebahagiaan tidak diukur dari harta, tapi dari hati yang tidak murka. Sesorang akan selalu merasa cukup, jika hatinya mau bersyukur, hatinya mau puas dengan pemberian Tuhan. Sebaliknya, sebanyak apapun harta yang telah ia punya, seseorang akan terus merasa kurang, jika hatinya telah dikuasi oleh hawa nafsu.

Dan satu lagi, jangan menilai seseorang dari harta, ataupun rupa. Tapi nilailah dari hati, dan akhlaknya. Kalian mengerti?"

"Jadi kita juga harus bersyukur Bang?" Tanya Alina.

"Tentu saja. Kalian masih bisa makan, punya tempat tinggal, punya satu sama lain. Kalian tahu, di luar sana masih banyak orang yang hidup sebatang kara, tidak punya tempat tinggal, dan jarang makan." Jawab Ghani.

"Aku selalu bersyukur, karena masih punya Abang." Sahut Raffi.

"Aku juga."

"Aku juga."

"Abang juga bersyukur, punya anak-anak pintar seperti kalian. Ya sudah sekarang ayo tidur, sudah malam!" kata Ghani.

"Baik Bang."

"Dongeng, akankah suatu saat nanti hidupku bisa berakhir seperti dongeng. Ahh apa yang kupikirkan, mimpi ini terlalu tinggi, aku tak tahu bagaimana cara menggapainya." Batin Ghani sambil menghela nafas panjang.

***

Semburat sinar fajar sudah menyingsing di kaki langit timur. Semilir angin pagi, berhembus perlahan, menjatuhkan buliran-buliran embun yang sebening kristal. Dengan berbalut celana panjang lusuh, dan kemeja kusam, Ghani melangkah meninggalkan rumahnya. Ia pergi ke warung depan, membeli sarapan untuk anak-anak.

Ghani menghentikan langkahnya, di depan warung nasi yang berada di pinggir jalan.

"Pagi Mel!" Sapa Ghani pada Melani, anak dari pemilik warung itu.

"Eh Bang Ghani, silakan duduk Bang!" kata Melani sambil tersenyum. Sejak lama ia menyimpan perasaan untuk Ghani, namun sepertinya lelaki itu tak pernah menganggapnya lebih dari teman.

"Nasi seperti biasa, lauknya soto saja ya Mel," kata Ghani sambil menatap Melani.

"Iya Bang, tunggu sebentar ya," jawab Melani.

Ghani tersenyum sambil mengangguk.

"Sudah lama anak-anak tidak makan enak, pasti nanti mereka sangat bahagia." Batin Ghani sambil menatap lembaran uang ratusan ribu yang sedang digenggamnya.

Tak berapa lama kemudian, Melani sudah selesai membungkuskan pesanannya.

"Ini Bang." Ucap Melani sambil meletakkan bungkusan itu di atas meja, di hadapan Ghani.

"Terima kasih, ini uangnya Mel," ucap Ghani sambil menyerahkan uang yang tadi ia genggam.

Melani menerima uang itu, dan kemudian memberikan kembaliannya. Ghani beranjak dari duduknya, ia bersiap untuk meninggalkan warung milik Melani.

"Bang Ghani!" panggil Melani.

"Kenapa Mel?" tanya Ghani sambil menoleh, dan menatap Melani.

"Kita, kita sudah lama berteman. Apakah Bang Ghani tidak merasakan hal lain?" tanya Melani dengan gugup.

"Hal lain apa ya Mel? Aku tidak merasakan apa-apa, aku nyaman-nyaman saja berteman dengan kamu." Jawab Ghani.

"Maksudku bukan itu Bang."

"Lalu?"

"Apa tidak ada sedikit saja perasaan yang lain Bang? Perasaan yang, perasaan yang mirip-mirip cinta gitu Bang." Ucap Melani sambil menunduk.

Sesungguhnya ia sangat malu untuk mengatakan hal ini, namun disisi lain, ia juga ingin Ghani tahu bagaimana perasaannya. Sekian tahun saling mengenal, namun hubungannya dengan Ghani tetap seperti dulu, hanya sekadar teman.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!