NovelToon NovelToon

Jodohku Bukan Pemeran Antagonis

Prolog

Jovita Isaura Pranata, gadis ini sangat menyayangi kakaknya, tapi orang-orang hanya melihatnya sebagai gadis yang manja dan tak jarang ia bersifat bar-bar. Gadis itu sangat dekat dengan papinya.

Lucio Niscala Pranata, putra sulung di keluarga Pranata yang menjadi kesayangan maminya. Jika kalian berpikir bahwa dia adalah tembok, maka jawabannya adalah salah karena dia memiliki sikap seperti individu sebagai makhluk sosial pada umumnya, bukan introver juga bukan ekstrover. Ada poin plus di mata para kerabatnya karena pria ini sangat menjunjung tinggi kebahagiaan para wanita-wanitanya, siapa lagi jika bukan mami dan adiknya? Walaupun dia sangat menyayangi putri maminya itu, tapi tak jarang kalian akan menemui perdebatan di antara mereka. Sifat Jovi yang terkadang bar-barlah yang membuat Kala geram terhadap sang adik.

Eits, sekarang bukan 'Cio' lagi panggilannya karena—

"Kak Cio!"

"Panggil Cio lagi, Kakak potong lidah kamu!"

Ya, dia tidak mau di panggil dengan panggilan itu lagi karena ia merasa seperti bocah, katanya. Teman-temannya lebih sering memanggilnya dengan panggilan 'Kala'.

...***...

Bagi kalian yang sebelumnya sudah pernah membaca novel Lelaki Perjaka Beranak Satu pasti kalian sudah tau bahwa Erik Wira Pranata dan Tisha Viani Leonardo adalah orang tua dari Kala dan Jovi.

Jika nanti kalian ada rasa-rasa darah sudah sampai di ubun-ubun, maaf ya ... karena dalam pembagian gen ternyata Jovi lebih banyak menampung gen dari maminya. Sebenarnya Tisha bukan tipe wanita pembangkang, hanya saja ia memiliki sifat keras kepala dan itulah yang menurun kepada Jovi.

...***...

Seorang gadis kelas dua SMA masuk ke dalam kamar sang kakak tanpa mengetuk pintu.

"Sopan banget kamu," sindir Kala. Ia sedang mengerjakan tugas kuliahnya.

"Alhamdulillah ... terima kasih, Kakaknya Jovi," ucap Jovi. Ia tidak merasa tersinggung sama sekali.

Jovi duduk di tepi ranjang. Ia bertanya, "Kak, aku udah kelas dua SMA, umurku 16 tahun lebih beberapa bulan, tapi kok aku belum halangan, ya?"

"Aneh ... orang mah pengennya lancar, lah kamu malah pengen halangan," sahut Kala—santai.

"M*nstruasi loh, Kak ... m*nstruasi," jelas Jovi. Hal itu berhasil membuat sang Kakak tersedak air liurnya sendiri.

"Karena hormon esterogen kamu belum matang, Adikku sayang," terang Kala.

"Biar hormon esterogen punya Jovi matang, gimana dong, Kak?."

"Nonton film p*rno," celetuk Kala—enteng.

"Ya udah, pinjam laptopnya dong, Kak," pinta Jovi. Pandangan Jovi terarah pada laptop yang berada di hadapan Kala.

"Buat apa?"

"Ya, buat nonton film p*rno lah!" jawab Jovi—nge-gas..

Kala membelalakkan matanya. "Cewek kok mes*m, diajarin sama siapa?! Pacar kamu, ya?!"

"Pacar? Jovi kan belum dikasih izin buat pacaran sama Papi. Jovi kan diajarin Kakak," ucap gadis polos itu.

Kala menepuk jidatnya. "Keluar!" usir Cio.

Bersambung ....

Hai, apa kabar, readers-ku?

Bagaimana kesan awal cerita?

Oh, iya ... mau kenalan sama om Erik dan tante Tisha beserta si sulung dan si bungsu?

...Erik Wira Pranata (papi Kala dan Jovi)...

...Tisha Viani Leonardo (mami Kala dan Jovi)...

...Lucio Niscala Pranata (sulung Pranata)...

...Jovita Isaura Pranata (bungsu Pranata)...

Kalau tidak nyaman dengan visual yang diberikan, boleh kok menggunakan visual yang tersedia dalam imajinasi kalian sendiri-sendiri 🤗

Ini masih epilog, belum episode 1. Author makan dulu, ya ... insyaallah nanti dilanjutkan.

Jangan lupa like dan komentarnya, ya 🙏

PMS

Di pagi hari yang cerah ini, Kala sedang asyik memandikan mobilnya di halaman rumah. Ia bersenandung mengikuti alunan lagu barat yang ia putar di ponselnya.

Tak lama kemudian, suara lagu itu berubah menjadi nada dering telepon. Kala segera mencuci tangannya dan mengangkat panggilan tersebut. Dahinya berkerut, ia heran saat membaca nama adiknya yang tertera di notifikasi panggilan itu. Ia pun mengangkat panggilan itu. "Halo ... kenapa?" tanya Kala.

"...."

"Ya udah, Kakak ke atas sekarang." Setelah panggilannya terputus, ia langsung masuk ke dalam rumah, kamar Jovi-lah yang menjadi tujuannya.

Jovi membukakan pintu setelah Kala memberikan tiga kali ketukan pada daun pintu yang terbuat dari kayu itu.

"Kenapa?" tanya Kala. Ia melihat sang adik baik-baik saja, berbeda dengan apa yang dikatakan adiknya di telepon tadi.

"Di seprai ada darahnya, Kak ... darah apa, ya? dari mana? Aku takut kalau aku sakit. Jangan dibilangin ke papi atau mami ya, Kak ... Jovi nggak mau dibawa ke rumah sakit," papar Jovi.

Kala melihat ke arah ranjang, memang ada bercak merah di sana. Ia memutar tubuh sang Adik, lalu melihat ke arah yang ia duga. Kemudian, ia menghadapkan tubuh Adiknya ke arahnya. Kala menangkup kedua bahu Jovi. Ia berkata, "Dengerin Kakak, ya ... Jovi udah gede sekarang, Jovi udah m*nstruasi, itu artinya Jovi nggak boleh kaya anak kecil lagi. Jadi gadis jangan polos-polos banget ya, Vi ... nanti kamu dimainin sama buaya di luaran sana. Kalau orang tua ngomong itu di dengerin, kalau Kakak kasih nasihat juga di dengerin, jangan ngebantah!"

Jovi menganggukkan kepalanya. "Terus ini gimana, Kak?" tanya Jovi.

"Seprainya nanti diganti. Sekarang kamu mandi, Kakak beliin pembalut dulu buat kamu." Kala sudah bisa melakukan hal itu untuk maminya.

"Sama es krim, ya! Stok di rumah udah habis."

"Kalau lagi menstruasi nggak boleh kebanyakan makan es atau minum es," ujar Kala. Dia tau, pasalnya begitulah kebiasaan maminya jika sedang menstruasi.

Jovi mencebikkan bibirnya. "Ya udah, deh ...."

...***...

Pagi ini Jovi membuat kerusuhan di dalam kamar Kala. "Kakakkk! Bangunnn!" teriak Jovi. Namun, ia tidak mendapatkan respons dari si pemilik kamar. Jovi memukuli Kala dengan bantal guling. "Kakak, nanti aku telat, ayo anterin ke sekolah!"

"Sama papi aja," lirih Kala. Nyawanya belum terkumpul karena matanya masih terpejam.

"Makanya aku bangunin Kakak karena aku udah ditinggal sama papi."

"Bodo amat, ah ...," acuh Kala. Ia menaikkan selimutnya hingga menutupi kepala.

"Ya udah, nggak usah sekolah!" Jovi keluar dari kamar Kala dan membanting pintu kayu itu dengan keras.

"Kala!" seru sang Mami. Sepertinya maminya ada di lantai bawah.

Setelah mencuci wajahnya, ia keluar dari kamar dan menghampiri kamar Jovi. Ia membuka pintu yang tidak terkunci itu. "Ayo, Kakak anterin!" tawar Kala. Tidak tega rasanya melihat mata sembab milik adiknya. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa gadis manja itu tengah menangis, pasalnya walaupun Jovi itu manja tapi dia tidak pernah memperlihatkan kesedihannya di hadapan orang lain karena ia malu.

"Nggak usah! Gue mau tidur aja. Lo keluar sana!" ketus Jovi. Lo-gue? What? Adiknya benar-benar marah kali ini.

"Ayo!" Kala menarik pergelangan tangan Jovi.

Sesampainya di garasi, Kala menyerahkan helm kepada Jovi. Ia berkata, "Pakai motor aja biar nggak telat, ini udah siang."

***

Sesampainya di depan gerbang sekolah, banyak mata yang memandang ke arah keduanya. Pengguna celana pendek warna hitam dan kaos putih polos menjadi incaran mata kaum hawa yang melihatnya seperti seakan-akan matanya hendak keluar dari kelopaknya.

"Kenapa pada ngelihat ke sini?" gumam Kala.

Jovi yang mendengar gumaman Kala pun langsung menyahut. "Karena pakaian lo kaya gembel," ketus Jovi.

"Udah dianterin juga, masih aja marah-marah, udah nggak PMS, kan?" tanya Kala.

Jovi tidak menjawabnya, ia langsung menyerahkan helm yang tadi ia pakai kepada Kala.

Saat Jovi hendak pergi, Kala menarik lengan Adiknya. "Salim dulu! Nggak sopan main pergi kaya gitu," peringat Kala.

Setelah itu, ia mengambil dompetnya dan mengeluarkan selembar uang yang bergambar presiden pertama Indonesia. "Nih, buat jajan, traktir temennya juga kalau cukup." Kala menyerahkan uang itu kepada Jovi.

"Terima kasih. Aku masuk dulu, Kak, Assalamu'alaikum ...." Jovi berjalan masuk ke dalam gerbang sekolahnya setelah mengecup punggung tangan sang Kakak. Ya, dia sudah tidak marah, sikapnya langsung berubah menjadi sopan kepada sang Kakak.

***

Saat istirahat, Jovi memutuskan untuk pergi ke kantin bersama teman-temannya.

"Tadi lo berangkat sama siapa, Vi?" tanya Rita.

"Iya, Vi ... siapa tuh?" timpal Dela.

"Cowok gue," kilah Jovi.

"Emang lo punya cowok?" celetuk Merin. Ya, Merin adalah satu-satunya sahabat Jovi. Kenapa? Karena Jovi tidak ingin memiliki sahabat yang kecentilan atau sok cantik yang berniat untuk mengambil hati kakaknya, dan beruntungnya Merin bukanlah tipe gadis yang seperti itu.

Jovi menjadi kikuk sendiri, rupanya sahabatnya ini tidak bisa diajak kompromi di saat-saat mendesak seperti ini.

"Nah, loh! Ngibul kan, lo?" selidik Rita.

"Mau dia pacar gue kek, mau dia kakak gue kek, nggak ada urusannya sama lo," ketus Jovi.

"Kenalin dong, Vi ... ganteng tau ...," pinta Dela. Nah, kejadian ini membuktikan bahwa keputusan Jovi untuk tidak terlalu dekat dengan teman-temannya itu memang tepat.

"Iya dong, Vi ... jangan pelit dong ke kita," timpal Rita.

"Sampai bokap lo jadi kusir kuda juga nggak bakalan lo dikenalin sama kakaknya Jovi," ujar Merin.

"Lah, bokap gue supir pesawat, nggak bakalan jadi kusir kuda," balas Rita.

"Ya, siapa tau turun jabatan," celetuk Merin.

"Omongan lo, Mer ... kaya wasabi," sindir Dela.

"Mingkem, lo pada! Gue traktir hari ini, jangan ngebac*t terus!" tegas Jovi. Mode bar-barnya keluar.

***

Setelah mendengar seruan dari sang mami, kedua saudara berbeda gender itu keluar dari kamarnya masing-masing dan menyusul kedua orang tuanya di meja makan.

Sekian menit telah berlalu, hanya tersisa tulang belulang ayam di atas piring mereka masing-masing—pertanda acara makan malam telah usai.

Tisha melihat putrinya hendak beranjak meninggalkan meja makan. "Mau kemana, Cantiknya Mami?" tanya Tisha.

"PR, Mi. Waduh ... nggak bisa diganggu gugat," kilah Jovi.

"Sekarang drakor jadi mata pelajaran di sekolah kamu, ya?" sindir Kala.

"Pakai kurikulum tahun berapa itu?" timpal Erik.

"Siapa yang nge-drakor sih? Orang ngisi PR beneran."

"Beli cemilan ke mini market sekarang juga, mau?" tanya Erik.

"Ya maulah," jawab Jovi—mantap.

"PR-nya, gimana?" tanya Erik.

Jovi menjadi kikuk, trik Papinya sangatlah ajaib untuk membongkar kedoknya.

"Cuci piring dulu ya, Cantik!" titah Tisha.

"Imbalannya apa?" tanya Jovi.

"Emangnya Mami minta imbalan waktu ngelahirin kamu?" sindir Kala. Pertanyaannya sungguh membuat sang Adik menjadi kalah telak.

Bersambung ....

...Merin (sahabat Jovi)...

Jiwa Kelelakian

Hari ini hanya ada satu mata kuliah saja, dan itupun telah berakhir sejak lima belas menit yang lalu. Kini, Kala sedang memakai sepatunya selepas menunaikan ibadah shalat Dzuhur di masjid kampusnya. Tak sengaja saat Kala menengok ke sisi sebelah kanannya, ia menemukan pemandangan indah di radius tujuh meter dari tempatnya memakai sepatu. Ya, seorang gadis berkulit putih dengan geraian rambut hitam panjangnya yang melambai-lambai terkena hembusan angin, rupanya gadis itu juga sedang memakai sepatunya, sepertinya ia juga usai shalat. Kala kembali fokus dengan sepatunya. Setelah itu, ia berdiri hendak beranjak menuju kantin, tapi sebelumnya ia menyadari bahwa gadis itu sudah tidak ada di tempat yang tadi. Ia melangkahkan kakinya menuju kantin.

Sesampainya Kala di kantin, ia tidak mendapati bangku kosong di sana, semuanya berpenghuni. Lagi-lagi ia mengedarkan pandangannya untuk mencari bangku kosong di sana, pandangannya berhenti pada empat bangku yang saling berhadapan, tapi hanya memiliki satu penghuni saja di sana. Kala melangkahkan kakinya ke sana, ia cuek saja, toh tujuannya hanya untuk mengisi perut, bukan untuk macam-macam.

"Permisi, boleh duduk di sini?" izin Kala—sopan.

Gadis itu mengalihkan atensinya dari ponsel ke seseorang yang sedang berada di hadapannya. "Oh, iya, Kak," jawab gadis itu.

Wait, itukan gadis yang tadi ia jumpai di masjid, pikir Kala.

Cukup lama mereka saling diam sembari menunggu pesanannya datang.

Tiba-tiba, datanglah salah seorang kawan Kala. "Woiii! Mojok aja lo di sini," tukas kawan Kala. Orang itu menepuk bahu Kala.

"Gue kira udah pulang lo. Gue lapar, sini ikut makan!" ajak Kala.

Orang itu pun duduk di samping Kala, sedangkan gadis yang tadi duduk di hadapan mereka.

"Siapa nih? Kenalin dong," pinta kawan Kala.

Kala terkekeh pelan. "Gue aja nggak kenal," jawabnya—enteng.

"Lah, ajaib amat lo?" celetuk kawan Kala. Kini atensinya beralih pada gadis yang berada di hadapan Kala. "Hai ... kenalin, gue Bimo Sakti. Nama lo siapa?" ucap Bimo—kawan Kala. Ia mengulurkan tangannya ke hadapan gadis itu.

"Gladis, Kak ...," jawab Gladis. Ia menerima uluran tangan Bimo.

Bimo menyenggol lengan Kala sebagai kode 'jangan terlalu cuek!'.

"Kenalin, gue Lucio Nisacala, panggil aja Kala," ucap Kala. Ia mengulurkan tangannya.

Gladis menerima uluran tangan Kala. "Gladis, Kak ...."

"Lo dari prodi apa?" tanya Bimo.

"Ekonomi Pembangunan semester tiga," jawab Gladis, "Kakak sendiri?" lanjutnya.

"Kami dari Prodi Teknik Sipil semester tujuh," jawab Bimo.

"Hebat ya, Kak ... susah loh masuk ke prodi itu." Gladis tampak kagum dengan kedua pria yang berada di hadapannya.

"Biasa aja," ucap Kala.

"Sombong banget lo," balas Bimo.

"Bukannya sombong, semua orang sebenarnya bisa masuk ke jurusan favorit asalkan mereka mau belajar. Sekalipun mereka pasrah mau masuk ke jurusan yang paling gampang menurut mereka, tapi kalau mereka nggak belajar ya nggak bakalan bisa," jelas Kala. Rasional sekali pria tampan ini.

"Setuju sama pendapat, Kakak." Gladis melemparkan senyum manisnya ke arah Kala.

"Kenapa lo masuk ke prodi itu?" tanya Bimo.

"Karena aku suka sama pelajarannya, semua yang diawali dari hati pasti akan mudah dilakukan. Padahal aku nggak pengen jadi pengusaha, cita-cita aku jadi dosen, berhubungan aku suka banget sama pelajaran ekonomi jadi ambil prodi ini aja," papar Gladis.

"Kalau ada peluang lo jadi pengusaha, kenapa nggak jadi pengusaha aja? Masalah penghasilan sudah pasti jauh lebih besar penghasilan dari seorang pengusaha," pancing Kala.

"Kembali ke komitmen awal: apapun yang diawali dari hati pasti akan mudah dilakukan. Jugaan aku ini bukan orang kaya yang kalau mau jadi pengusaha udah ada yang modalin." Ia menjeda kalimatnya sambil terkekeh pelan. "Aku mau jadi dosen karena setiap ilmu yang aku kasih bisa jadi amal jariyah buat aku nanti." Wow, sungguh menarik pola pikir gadis ini.

Pesanan mereka datang, mereka menikmati santap siangnya masing-masing. Bimo pun ikut makan karena sebelumnya ia telah memesan menunya juga.

Lima belas menit berlalu, usai sudah acara makan siang mereka.

Kala memanggil pelayan kantin untuk membayar pesanan mereka tadi. "Semuanya berapa, Mba?" tanya Kala.

"Enam puluh ribu aja, Mas."

"Eh, aku bisa bayar sendiri, Kak," tolak Gladis.

Kala tak menanggapi gadis itu, ia menyerahkan uang pas kepada sang pelayan kantin.

"Ini, Kak ...." Gladis menyerahkan uang pecahan 20 ribu kepada Kala.

"Apa?" tanya Kala.

"Buat gantiin uang makanan aku," jawab Gladis.

"Nggak usah," jawab Kala.

"Pokoknya harus diterima, aku masih mampu kok bayar makananku sendiri," kukuh Gladis.

"Ya udah, deh, kalau lo maksa." Begitu enteng Kala mengucapkan; seolah tanpa beban; atau malah terkesan cuek; tidak ada usaha sama sekali untuk menolaknya.

"Eh, buset ... bokap lo kaya, kaya gitu aja lo terima. Dasar, kanebo kering!" umpat Bimo. Kala akan tampak seperti kanebo kering hanya ketika diawal saja karena jika sudah kenal, maka ia akan bersikap biasa saja seperti orang-orang pada umumnya.

"Lumayan buat jajan adik gue," jawab Kala.

"Ya udah, Kak ... aku pamit dulu," pamit Gladis.

"Maafin temen gue ya, Dis ... jangan kapok buat ketemu sama kita lagi," ucap Bimo. Ia merasa tidak enak hati.

"Iya, Kak," jawab Gladis. Ia pergi meninggalkan kedua pria tampan itu.

***

Saat di perjalanan pulang, Kala melihat ada seorang gadis yang sedang mendorong motornya. Ia menghentikan laju motornya tepat di samping gadis itu.

"Kenapa?" tanya Kala.

"Nggak tau, Kak ..., padahal bensinnya masih," jawabnya.

"Bengkel masih jauh. Naikin motornya, gue dorong di pijakan kaki bagian belakangnya," tawar Kala, "bisa, kan?"

"Bisa, Kak," jawabnya.

***

Sudah satu jam mereka menunggu di bengkel itu dengan saling terdiam, hanya sesekali Kala berbicara dengan si montir. Sebelumnya, gadis itu sudah menyuruh Kala untuk meninggalkannya saja, tapi jiwa kelelakian Kala sedang mode on: ia tidak mungkin meninggalkan gadis itu hanya dengan di temani oleh segerombolan pria tidak di kenal di bengkel ini.

Kala menatap ke arah gadis yang di tolongnya. "Kenapa kaya gelisah gitu?" tanya Kala.

"Ini masih lama ya, Kak?"

"Kayanya sih gitu."

"Ibu aku lagi sakit, Kak."

"Kenapa nggak ngomong dari tadi? Udah lo pulang aja bawa motor gue," titah Kala.

"Nggak apa-apa nih, Kak?"

"Hm." Kala merogoh saku celananya untuk mengambil kunci motornya. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Kala menyerahkannya kepada gadis itu.

Gadis itu pun menerimanya. "Boleh minta nomor Kakak? Biar besok gampang kalau mau tukar motornya," tanya gadis itu—sungkan.

Tiba-tiba ponsel Kala berdering. Baru saja mengangkatnya, Kala sudah mendapatkan omelan dengan kecepatan 130 kata per menit.

"Sorry, ada kendala. Kamu minta jemput papi aja, deh ...," nego Kala.

"...."

"Ya udah, pakai taksi online aja."

"...."

"Iya ... iya ... ntar Kakak yang gantiin uangnya."

Panggilan terputus. Begitulah kedua kakak beradik itu, jika salah satu di antara mereka ada yang sedang marah, maka mereka tidak akan menggunakan salam, sapa, sopan, dan santun.

"Bawa sini HP lo, gue catet nomor gue," pinta Kala.

"Aku ganggu Kakak, ya?"

"Nggak. Mana? Siniin HP lo!" pinta Kala.

Setelah Kala mencatat nomor ponselnya, ia kembalikan ponsel itu kepada si empunya.

"Udah aku miscalled ya, Kak."

"Hm," sahut Kala.

Gadis itu pergi menggunakan motor Kala.

Kala memandangi ponselnya, tertera satu nomor baru di riwayat panggilan tidak terjawab di sana. Jarinya bergerak untuk menyimpan nomor itu. 'Gladis', nama itu yang ia gunakan untuk menyimpan nomor baru tadi.

***

"Ya ampun, Kala!" Bimo terkejut saat membuka pintu rumahnya. Ia melihat Kala yang basah kuyup, hujan memang mengguyur ibu kota—sore ini. "Gue udah nunggu lo dari tadi, padahal tadi gue udah pulang ke apartemen gue dulu baru kesini, tapi malah gue duluan yang sampai."

Kala tidak menanggapi kawannya itu. "Jovi!" teriaknya.

Jovi menuruni tangga. "Kenapa sih teriak-teriak sega—" Jovi tidak menyelesaikan pertanyaannya, ia terbelalak melihat Kakaknya seperti anak ayam yang disiram air. "Hah!" Jovi terkejut.

"Ambilin handuk Kakak di kamar!" titah Kala.

Tak lama kemudian, Jovi sampai di hadapan Kala dengan selembar handuk di tangannya. "Mampus! Ini namanya azab seorang Kakak yang ngebiarin Adiknya nunggu, taunya nggak dijemput. Awas loh kalau sampai lantainya basah, pel sendiri!" ancam Jovi.

Tiba-tiba Tisha keluar dari dapur karena mendengar suara gaduh dari pintu utama. "Ya ampun, Kala ... kenapa masih di situ, ayo masuk! Buruan mandi!" titah sang Mami.

"Basah, Mi ...," ujar Kala.

"Nggak apa-apa, nanti Mami yang pel," ucap Tisha.

"Jovi, Mi, katanya dia yang mau ngepel," kilah Kala.

Jovi membelalakkan matanya. "Nanti Kakak kasih duit," bisik Kala.

***

Di ruang keluarga sudah ada Bimo sebagai penguasa channel televisi.

"Kak!" panggil Jovi, "bawa sini remote-nya!"

"Apaan dah lu, Bocil." Bimo mengangkat remote itu tinggi-tinggi.

"Gue udah gede! Kata kak Kala, gue udah gede."

"Apanya yang gede? Tepos semua gitu ...."

"Mamiii! Jovi dikatain tepos," adunya pada sang Mami.

Maminya datang membawa cemilan untuk menemani mereka berdua saat menonton televisi. "Udah gede, Vi! Malu, ah ... masa teriak-teriak melulu kaya anak kecil." Setelah meletakkan cemilan di hadapan Bimo dan Jovi, Tisha kembali ke dapur.

"Tontonan lo kaya yang iya-iya aja dah ...," keluh Jovi. Acara yang ditayangkan memang seputar pembangunan apartemen.

"Biar kalau gue bangun gedung tuh nggak roboh, Vi ... jadi, gue harus menambah wawasan gue."

"Di kampus kerjaan lo molor, ya?"

"Kok bisa ngomong gitu? Jangan-jangan itu pengalaman lo sendiri, ya?" goda Bimo.

"Gue siswi berprestasi, nggak level nebar air liur di dalam kelas," elak Jovi.

"Assalamu'alaikum ... I'm home!" seru Erik.

"Wa'alaikumussalam ... Papiii!" seru Jovi. Ia langsung memeluk Erik.

"Manja banget kaya anak koala," kata Erik. Ia menggendong Jovi seperti bayi koala.

"Bimo tuh, Pi, ngeselin," adu Jovi.

"Heh, mulutnya! Kalo manggil yang sopan!" tegur Erik.

"Itu di depan ada motor siapa, Bim?" tanya Erik.

"Nggak tau, Om. Tadi Kala yang bawa," jawab Bimo.

"Bukan motor Kakak, Pi?" tanya Jovi.

"Bukan," jawab Erik.

***

Makan malam telah usai, Jovi sedang mencuci piring, Tisha sedang membersihkan meja makan, sedangkan ketiga pria itu sedang menikmati dessert yang disediakan oleh Tisha.

"Kamu bawa motor siapa, Kal?" tanya Erik.

"Temen, Pi, tadi motor dia rusak mesinnya, terus Kala tolongin, tapi dia harus buru-buru pulang, jadi kita tukeran motor," jelas Kala.

"Temen kita yang mana, Kal?" tanya Bimo—penasaran.

"Gladis," jawab Kala.

Seketika Jovi mengehentikan gerakan mencucinya. "Kakak pacaran, ya?!" sahut Jovi.

"Emang kenapa?" tantang Kala.

"Papiii ...," rengek Jovi.

"Kenapa, Sayang?" balas Erik.

"Masa Kakak dibolehin pacaran," rengek Jovi.

"Emang itu beneran pacar kamu?" tanya Tisha.

"Bukan, Mi. Tanya aja sama Bimo kalau nggak percaya," jawab Kala.

"Baru kenal tadi, Tan," tutur Bimo.

"Emang kenapa sih kalau Kakak pacaran?" pancing Erik.

"Ya, aku juga ikutanlah," jawab Jovi.

Bersambung ....

...Bimo Sakti (sahabat Kala)...

...Gladis...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!