NovelToon NovelToon

Menikah Karena Ijbar

Bab 1. Setiap yang bernyawa, akan mati

Blurb :

Seorang ayah tengah berjuang melawan penyakit kanker otak stadium akhir. Ada satu hal yang dia khawatirkan sebelum dia meninggal dunia yaitu putri satu-satunya yang masih berusia sepuluh tahun.

Karena sesuatu hal, menjelang ajalnya, dia menggunakan hak Ijbar¹ untuk menikahkan putri kandungnya dengan seorang laki-laki dewasa yang tak lain adalah seorang anak adopsi yang dia percaya bisa melindungi putrinya setelah dia meninggal.

Ini memang sebuah pernikahan paksa seorang anak yang masih di bawah umur demi menunaikan tanggung jawab terakhir seorang ayah untuk melindungi putrinya. Namun, tidak untuk menyalah gunakan keadaan seperti ini dengan tujuan yang merugikan anak-anak.

Semoga selalu bisa mengambil sisi baik dari setiap tulisan yang kita baca, sebagaimana saya mengambil banyak pelajaran dari apa pun yang saya baca. 🙏

...________❤️❤️❤️________...

Khayru tiba di rumah, tergesa-gesa. Berusaha mengatur napas, tapi bendera kuning yang terus melambai di gerbang rumah, semakin membuatnya sulit bernapas. Terlebih lagi, ada begitu banyak tamu yang datang dengan pakaian hitam, ditambah karangan bunga yang terus berdatangan memenuhi halaman rumah juga di sepanjang jalan sekitar itu. Tulisan-tulisan yang tertera, membuat pertahannya seperti akan runtuh. Namun, ia tetap berlari menuju pintu dan berdiri di sana. Berharap masih ada kesempatan untuk melihat wajah ayahnya di saat-saat terakhir.

Aldi yang pertama kali menyadari kedatangannya, segera menyambut dari dalam rumah. “Yang tabah, Ru. Semua pasti ada hikmahnya,” bisik Aldi sambil memeluk dan menepuk pundak sahabatnya, pelan.

 “Papaku?” gumamnya setengah sadar.

 “Dia baru selesai disemayamkan. Maaf tidak menunggu sampai kamu datang.”

 Khayru menjatuhkan tas yang dibawanya lalu bersimpuh di atas lantai. “Aku gak percaya Papa pergi begitu saja. Papa lelaki sejati yang tidak pernah ingkar janji,” gumamnya dengan mata berkaca.

Perlahan, Aldi menyadarkannya bahwa apa pun yang ada di dunia, akan kembali pada pemiliknya. Khayru hanya menyesal karena tak bisa datang lebih cepat. Harusnya dia pulang bersama, waktu itu.

 Tuan Zul dan istrinya dikuburkan berdampingan. Khayru hanya bisa duduk memandangi dua kuburan itu dengan hati yang menangis. Tak menyangka tiba di Jakarta hanya menumpahkan kerinduan di atas pusara.

Aldi kembali menepuk pundaknya. “Udah, Ru. Kita doakan saja mereka. Tugasmu saat ini adalah menjaga Maula. Hibur dia.” Aldi mengingatkan.

 Khayru menoleh dan bangun dari duduknya. “Di mana Maula? Kamu benar, Di. Aku hampir melupakannya.”

 “Dia sangat syok, Ru. Kasian Maula. Baru satu tahun ditinggal ibunya, tiba-tiba harus kehilangan ayahnya juga. Dia mengunci dirinya di dalam kamar.”

 Khayru kembali ke rumahnya, dia mendapati kamar Maula yang terkunci, lalu membukanya dengan kunci cadangan.

Maula duduk di sudut kamar mandi, memeluk lutut sambil menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangan. Pancaran air dari shower sudah membasahi tubuhnya yang menggigil. Dia tak peduli apa pun yang ada di sekitarnya. Yang dia tahu saat ini dia hidup sendiri. Satu persatu orang-orang terdekatnya sudah pergi seperti bayangan diterpa cahaya.

“Dek, kamu ngapain di sini? Keluar, yuk,” bujuknya sambil mematikan kran lalu jongkok di depan Maula. “Abang sudah kembali. Kemarilah, Abang mau gendong kamu.”

“Siapa kamu!? Pergi dari sini!”

“Ini Abang, dek. Abang sudah pulang. Abang gak akan ninggalin kamu lagi. Janji.”

“Aku gak punya Abang, gak punya mama, gak punya papa, aku gak punya siapa-siapa. Sekarang aku hidup sendiri.”

“Abang minta maaf, sungguh.”

“Aku gak butuh siapa-siapa sekarang. Aku mau sendiri.”

“Tapi jangan duduk di kamar mandi, nanti masuk angin. Abang gak mau kamu sakit.”

“Biar saja aku sakit, supaya cepet mati. Papa sama mama juga sakit lalu mati. Semuanya bilang, orang yang mati, sudah tenang di alam sana. Aku juga mau hidup tenang seperti mereka.”

“Istighfar, dek.” Khayru mengusap wajah Maula dan menyibak rambutnya. “Abang tahu kamu sedih, Abang juga merasakannya.”

“Enggak! Abang gak mungkin merasakannya. Semua ini gara-gara Abang. Mama sakit karena terlalu memikirkan Abang yang pergi dari rumah sampai dia meninggal. Papa juga drop sepulang dari Maroko karena bersikeras menemui Abang. Padahal aku sudah memohon supaya papa tidak pergi karena dia sedang sakit. Tak seorang pun mendengarkan permohonanku, termasuk Abang. Aku benci semuanya!”

“Abang mengerti, tolong maafkan Abang, dek.”

Maula mulai menjerit histeris menolak keberadaan Khayru yang baru kembali setelah satu tahun pergi dari rumah ini. Namun, Khayru tidak bisa membiarkan Maula lebih lama lagi dalam keadaan basah. Dia membawanya dengan paksa, meski Maula tidak berhenti meronta. Seperti yang biasa dia lakukan sebelumnya, Khayru mengganti pakaian Maula karena basah dia juga menidurkannya. Tanpa sengaja, dia pun tertidur di sana dalam keadaan memeluk Maula.

Khayru terbangun di tengah malam. Menatap wajah kecil penuh iba. Dulu, memang sudah terbiasa dia melakukan ini. Namun, sekarang statusnya berbeda. Dia bukan lagi seorang kakak dari gadis berusia sepuluh tahun di rumah ini. Dia harus menjalankan amanat dan juga wasiat terakhir dari ayahnya. Sepertinya akan sulit karena Maula kini bukan Maula yang dulu lagi.

Khayru bangun lalu pergi ke kamarnya. Perhatiannya hanya tertuju pada potret keluarga yang terpajang di atas meja di samping tempat tidurnya. Dia mengambil dan memeluk foto itu lalu matanya terpejam. Seketika bayangan orang tuanya tiba-tiba muncul dalam ingatan. Mereka berbisik dan mengucapkan sebuah pesan berulang-ulang. Namun, bias. Senyuman dan uluran tangan itu tak dapat ia raih. Perlahan terus menjauh darinya.

“Ma, Pa ... peluk aku seperti pertama kali aku datang ke rumah ini. Tidak pernah sekali pun kalian membiarkanku bersedih. Apa pun kalian lakukan untuk menghiburku. Lantas, siapa yang akan menghiburku setelah ini?” Khayru membaringkan tubuh sambil memeluk foto di dadanya hingga ia tertidur kembali.

Sisa malam memang hanya tinggal beberapa jam. Namun, rasa lelah membuat Khayru tidur terlalu lelap hingga ketukan pintu membangunkannya.

“Tuan muda ... Anda sudah bangun?” seru Bik Sulis dari luar sana.

Khayru mengerjapkan matanya lalu bangun sambil menatap jam tangan. “Astagfirullah, jam berapa ini? Aku kesiangan.” Dia segera berlari ke kamar mandi, membersihkan diri.

Meja makan yang begitu besar kali ini nampak kosong. Khayru menyentuh satu persatu kursi yang biasa diduduki orang tuanya saat makan. “Maula belum bangun, ya, Bik?” Suara yang tiba-tiba menjadi serak itu menyapa Bik Sulis yang tengah menata makanan di meja.

“Bibik gak bisa bangunin dia, Tuan. Dia bisa ngamuk kalau diganggu. Padahal Bibik khawatir banget, dia gak mau makan sudah beberapa hari.”

Khayru mengerutkan kening lalu berinisiatif membangunkannya. Ketukan pintu tak kunjung mendapat sahutan. Akhirnya, dia masuk, tetapi tiba-tiba sebuah pas bunga melayang hampir mengenai kepalanya.

“Jangan ganggu aku! Jangan muncul di depanku lagi!” teriak Maula saat Khayru masuk ke kamarnya.

“Abang cuma mau ngajak kamu sarapan pagi. Gak usah lempar-lempar pas bunga segala.”

“Aku gak mau makan. Aku gak lapar.”

“Kamu masih ingat, kan, Abang ini bisa melakukan apa kalau kamu bandel?”

“Itu dulu, sekarang aku gak peduli,” ucapnya sambil bangun lalu berlari ke kamar mandi dan mengunci pintu.

“Abang tunggu kamu di depan pintu kamar mandi. Cuci muka, abis itu keluarlah.”

Maula tak menghiraukan ucapan Khayru, dia hanya berdiam diri di sana sepanjang dia mau.

“Abang hitung sampai tiga, ya! Kalau gak keluar, Abang mau buka sendiri pintunya.”

Karena Maula memang tak ingin keluar, akhirnya Khayru membuka paksa pintu kamar mandi.

“Kenapa sih, kamu suka banget main air?” Khayru menggendong Maula dan membawanya ke meja makan. Mereka duduk bersebelahan seperti dulu saat mereka selalu makan bersama.

“Sudah kubilang, aku tidak mau makan. Jika masih ada yang memaksaku, akan kulempar semua piring dan gelas yang ada di meja ini!”

“Dek, tolong kita jangan ribut dulu. Dalam waktu empat puluh hari, mungkin papa masih berada di sini bersama kita.” Khayru menatap kursi kosong yang biasa ditempati ayahnya saat makan. “Coba kamu bayangin, mama sama papa duduk di sana. Menurut kamu, mereka sedih, gak, saat ini? Mereka nangis, gak liat kita berantem?”

Maula pun menundukkan kepalanya sambil menangis tersedu.

Khayru menarik Maula ke dalam pangkuannya. “Maaf, Abang gak bermaksud mengungkit kesedihanmu.” Khayru memaksa Maula untuk makan. Sementara, gadis itu tidak berhenti menangis sambil menerima tiap suapan dari tangan Khayru.

 To be continued ....

\_\_\_\_\_\_\_\_\_\_

Note :

¹**Hak ijbar** merupakan suatu kekuasaan yang diberikan kepada seseorang (wali mujbir) untuk menikahkan anak perempuan yang berada dalam perwaliannya walaupun tanpa dimintai persetujuannya. hak wali ijbar wali menurut pandangan Syafi’i diberlakukan bagi anak gadis yang masih kecil maupun yang sudah dewasa. Sedangkan Abu Hanifah memberlakukan hak wali ijbar hanya kepada anak perempuan yang masih di bawah umur atau belum dewasa atau kepada anak yang kurang sempurna akalnya (gila/majnunah) baik berstatus gadis ataupun janda.

Mayoritas ulama mazhab Syafi’i berpendapat wali mujbir adalah seseorang yang mempunyai kekuasaan penuh yaitu Ayah, Kakek dan Sayid untuk menikahkan anak perempuan secara paksa (tanpa izin dari anak perempuan), Hak wali tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun selama ia dapat menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan agama, dan menjamin serta dapat memastikan kebaikan untuk anaknya.

Informasi ini dikutif dari :

Helmi Abu Bakar El-Langkawi

Dewan Guru Dayah (Ponpes) MUDI Masjid Raya Samalanga, Aceh.

Bab 2. Wasiat dan warisan

“Kapan Abang harus mengantarmu ke sekolah?”

Maula menggelengkan kepalanya.

“Gak mau sekolah?”

Maula mengangguk.

“Pokoknya besok sekolah, ya. Main lagi sama teman-teman, biar gak sedih-sedih terus.”

Khayru membawa kembali Maula ke kamarnya untuk bersiap-siap karena pengacara akan datang untuk memberitahukan hal penting.

“Bentar lagi Pak Suryadi dan Kyai mau ke sini. Kamu mandi dulu, Abang tunggu di luar.”

Maula sama sekali tidak mengerti untuk apa pengacara datang ke rumahnya, dia pun tak ingin bertanya kenapa dia harus ikut menemuinya.

Tak lama, pengacara datang bersama Pak Kyai Abdurrahman. “Senang ketemu lagi Pak Kyai dan pengacara. Silakan duduk kita sambil nunggu Maula, dia masih di kamarnya.”

Khayru pergi ke dapur, meminta Bik Sulis membuatkan minuman dan sedikit makanan lalu duduk kembali.

Dia memandang ke lantai atas sesaat, tepat ke posisi kamar Maula berada. “Saya ada sedikit permintaan pada Pak Kyai dan pengacara. Bolehkah saya utarakan?” pinta Khayru, pelan.

“Silakan.”

“Selama itu tidak menyalahi aturan.”

“Saya ....” Seraya mengutaran secara panjang lebar apa yang ingin dia sampaikan, matanya berulang kali menatap ke lantai atas. Khawatir jika Maula akan mendengar perkataannya.

Kyai dan pengacara bertukar pandang sebelum akhirnya sepakat menyetujui permintaan Khayru.

“Terima kasih banyak. Saya permisi sebentar, mau panggil Maula dulu di kamarnya.” Khayru beranjak dari tempat duduk lalu mengetuk pintu kamar Maula. Dia buka sedikit pintu sambil melongokkan kepalanya.

“Sudah selesai belum, Dek?” Karena tak ada sahutan dari dalam, Khayru masuk dan langsung menuju kamar mandi. Dilihatnya Maula yang tengah mengenakan handuk sebatas dada, berjongkok memainkan air di dalam bathup.

“Kok, belum mandi? Tamu kita sudah nunggu di bawah.”

“Abang saja yang temui mereka. Ngapain aku ngobrol sama orang tua?” Maula masih sibuk memainkan air dengan busa sabun di atasnya.

“Loh, yang mau mereka temui kan, kamu.” Khayru membuka handuk yang melilit di tubuh Maula lalu mengangkat tubuh mungil itu ke dalam bathup. “Udah kelas empat SD, belum bisa mandi sendiri, ya?” gumam Khayru sambil menggulung lengan bajunya lalu mulai menggosok tubuh Maula, dimulai dari tangannya.

“Siapa yang minta dimandiin?” Gadis berambut sebahu dan memiliki poni yang lurus itu menoleh dan menatap wajah Khayru dengan tajam. “Aku bisa mandi sendiri. Selama satu tahun, tak ada seorang pun yang memandikan aku,” kilahnya.

Khayru membalas tatapan Maula sambil mengangkat alis, lalu memalingkan wajahnya. Kembali menggosok tubuh kecil yang nampak lebih kurus dibanding satu tahun yang lalu.

“Kurus banget,” gumamnya lagi. “Setahun ini kamu bener-bener jarang makan, ya?”

Maula mencipratkan air ke wajah Khayru untuk menghentikan ocehannya. “Berisik mulu kek lalat ijo.”

Khayru tertawa sambil memalingkan wajah dari cipratan air. Lalu mempercepat gerakannya. “Ya udah ayo selesaikan mandinya. Gak sopan bikin tamu nunggu lama.”

Beberapa menit kemudian, Khayru kembali ke ruang tamu dengan kemeja yang sedikit berantakan dan basah. Tangannya menuntun Maula yang ogah-ogahan menemui para tamu. Bahkan dia tak ingin duduk sebelum Khayru menarik tubuh yang tengah berdiri terpaku itu kepangkuannya.

“Maaf, menunggu lama. Silakan dimulai saja.”

“Silakan, Pak Kyai.” Pengacara mempersilakan karena dalam hal ini warisan akan dibagikan sesuai hukum islam dan perpindahan kepemilikan akan disahkan oleh pengacara.

“Baiklah. Mohon maaf sebelumnya, karena ini berkaitan dengan isi wasiat dari Almarhum. Dan pembagian warisan harus dilakukan sesegera mungkin.”

Sebelum Tuan Zul meninggal, dia sudah menghibahkan ⅓ hartanya pada Khayru karena statusnya hanya sebagai anak angkat, dia tidak akan mendapat warisan apa pun selain hibah tersebut. Namun, tugas dan tanggung jawabnya cukup berat di kemudian hari.

Maula sebagai anak perempuan satu-satunya, dia akan mewarisi ½ dari sisa harta yang sudah dihibahkan sebelumnya. Sementara ½ bagian lagi akan diberikan kepada para Ashabah sampai mereka ditemukan.

Menurut pengakuan Tuan Zul, Orang tuanya bercerai lalu sebelum meninggal, sang ibu menikah lagi di tanah kelahirannya--Lombok. Dia memiliki seorang anak perempuan. Namun, keberadaannya belum diketahui sampai saat ini. Mereka berpisah sejak Tuan Zul ikut sang ayah ke Jakarta. Jadi untuk sementara, setengah dari harta Tuan Zul dibekukan sampai pencarian menemukan titik terang.

Kemudian pengacara membacakan sebuah wasiat. Di mana isinya adalah sebuah permintaan terhadap Maula dan Khayru yang pernah diucapkan secara lisan dan disetujui, lalu ditulis kembali oleh pengacaranya.

1.     Setelah Tuan Zul meninggal, maka Khayru adalah satu-satunya orang yang paling bertanggung jawab atas Maula.

2.     Sebelum Maula cukup umur secara hukum, maka yang bertanggung jawab mengelola harta kekayaannya adalah Khayru.

3.     Menjalin silaturahmi seperti halnya Tuan Zul yang selalu menghadiri pengajian rutin di kediaman Kyai Abdurrahman semasa hidupnya.

Selain itu, ada satu wasiat yang akan dibacakan nanti setelah Maula berusia sembilan belas tahun.

“Sampai di sini, apakah keputusan ini bisa diterima?” tanya pengacara.

Khayru menatap wajah Maula. “Gimana, Dek, kamu bisa terima wasiat papa?”

“Gak ngerti. Aku pusing.” Wajah Maula memang menunjukkan bahwa isi kepalanya sedang kosong saat ini.

“Mungkin Maula terlalu kecil untuk mengerti hal-hal seperti ini. Sedikit demi sedikit kita jelaskan kembali setelah usianya memungkinkan,” ucap pengacara seraya membereskan kembali berkas-berkas yang ada di meja. Dia juga menyerahkan akta hibah yang sudah disahkan dan memiliki kekuatan hukum yang kuat kepada Khayru.

“Kapan pun kalian bisa datang pada kami jika ada hal yang ingin ditanyakan. Tentunya kita masih akan sering bertemu di kemudian hari,” pungkas Kyai menutup pertemuan hari ini.

“Baik. Terima kasih banyak atas waktunya Pak Kyai dan pengacara untuk hari ini.”

Selepas mereka pergi, Khayru memandangi sebuah surat yang disebut dengan nama ‘akta’ pemberian dari ayahnya.

Kenapa papa memberikan harta sebanyak ini pada seorang anak adopsi sepertiku? Aku gak butuh semua ini, pa. Aku hanya ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan kalian.

Ada sebuah surat juga yang ditinggalkan Tuan Zul sebelum meninggal.

Khayru anak kebanggaanku ... tak banyak yang bisa papa berikan untukmu. Satu harta yang paling berharga yang papa miliki di dunia ini, papa titipkan sama kamu yaitu Maula. Tolong jaga dia. Perbaiki sikapnya.”

“Paaa ...,” lirihnya sambil mengusap mata yang mulai berair dengan telapak tangannya.

“Abang nangis?” tanya Maula.

“Abang hanya teringat saat pertama kali mama dan papa membawa Abang ke rumah ini. Abang dalam keadaan sedih karena kehilangan orang tua. Mama dan papa yang menghibur kala itu.”

Pikirannya menerawang ke masa tujuh belas tahun yang silam. Masih jelas dalam ingatan ketika sebuah bencana memporak porandakan sebuah kota. Menghancurkan bangunan-bangunan ciptaan manusia. Dengan satu tiupan saja, Allah mampu merubah segalanya.

To be continue ....

 

Bab 3. Little Khayru story

Bertahun-tahun yang silam terjadi gempa dengan kekuatan 7,3 skala Richter mengguncang kota jakarta, pada Rabu, 2 September pukul 14.55 WIB.

BREAKING NEWS--Gempa tektonik yang terjadi akibat tumbukan lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia. Lindu memicu kerusakan di sekitar episentrum.

Salah satu daerah terdampak paling parah adalah kota Bekasi, di mana tanah longsor yang dipicu gempa menewaskan ratusan orang.

Gedung-gedung tinggi di Jakarta pun yang berjarak sangat dekat dari pusat lindu, bergoyang hebat karenanya. Ribuan orang di Ibu Kota berlarian keluar dari gedung-gedung tinggi juga pusat perbelanjaan.

Seperti berada di dalam perahu di tengah air yang bergolak. Gedung bergoyang. Pintu-pintu terbuka dan tertutup, buku-buku berjatuhan dari rak.

Guncangan akibat gempa menyebabkan 180 orang meninggal dunia, 215 lainnya hilang, sementara 1.250 warga luka-luka.

 

Pasca bencana, banyak orang berdatangan ke daerah pusat gempa. Menatap iba saat menyaksikan puing-puing reruntuhan dari bangunan-bangunan di sekitar pusat gempa. Rumah warga beserta penghuninya seperti hilang entah ke mana. Semua menjadi rata dengan tanah.

Tim SAR dan relawan terlihat sibuk dengan pencarian korban.

Sepasang suami istri sengaja datang dari Jakarta. Hati mereka terketuk ketika mendengar berita bencana yang cukup dahsyat terutama di pusat kota Bekasi.

“Pa, ada anak kecil sedang menangis di sana.” Sang istri berlari menuju anak yang luput dari pencarian tim petugas. Anak lelaki berusia delapan tahun tengah menangis kebingungan mencari keberadaan orang tuanya. Pakaiannya sangat kotor dan koyak. Di tubuhnya terdapat banyak luka.

“Nak, apa orang tuamu hilang?” Sang suami coba menggendong anak lelaki itu dan berusaha menenangkannya.

Anak kecil itu hanya menangis tidak berhenti memanggil kedua orang tuanya.

 

“Tolong dia, Pa. Kasihan.”

“Iya, Ma. Kita bawa dulu dia ke rumah sakit. Setelah itu kita bantu mencari orang tuanya.”

Pasangan suami istri itu tidak berhenti memantau jumlah korban yang terus bertambah. Namun, mereka pun bingung karena sang anak yang ditemukan belum bisa memberi informasi yang jelas tentang orang tuanya yang hilang.

“Pa, sementara kita cari orang tuanya, sebaiknya kita bawa pulang saja anak itu. Mama mau merawatnya di rumah. Toh, kalau mereka masih hidup, pasti datang mencari keberadaan anak ini.”

Mereka adalah sepasang suami istri yang begitu merindukan kehadiran seorang anak, tak heran jika mereka menyayangi anak korban bencana itu seperti anak mereka sendiri bahkan lebih.

Seorang anak yang memiliki darah campuran ini terlihat dari wajahnya yang sangat dominan. Dia belum bisa mengatakan banyak hal karena mungkin trauma yang dialaminya cukup hebat. Dia hanya berdiam diri sesekali menangis memanggil orang tuanya.

Sepasang suami istri itu tidak pernah menyerah untuk selalu memberinya semangat hingga anak tanpa identitas itu hidup normal kembali.

“Nak, bisakah kamu panggil aku mama?”

 

Anak itu menatap cukup lama mata wanita di hadapannya lalu menganggukkan kepala.

“Anak tampan, mama mau tanya siapa namamu?”

“Khayru. Ayah dan ibu selalu memanggilku ‘Yru/Iru’,” akhirnya dia bicara dengan tatapan matanya yang dingin lalu berubah memerah. Sepasang suami istri itu segera memeluk sambil memberikan tepukan lembut di pundak yang masih begitu kecil.

Khayru tumbuh menjadi satu-satunya anak kesayangan di dalam keluarga Tuan Zulfikar Ariffin dan istrinya—Nyonya Maulida. Perangainya yang santun, penurut, baik hati dan tegas membuatnya jadi kebanggan keluarga.

Waktu telah mengubur harapan untuk bisa bertemu kembali dengan orang tua kandungnya. Kemungkinan besar mereka telah hilang dan tewas dalam bencana. Namun, dia mendapatkan kasih sayang yang lebih dari orang tua yang baru.

Ketika usia Khayru menginjak lima belas tahun, ibu angkatnya—Nyonya Maulida menunjukkan tanda-tanda kehamilan yang tidak pernah diduga sebelumnya, padahal ketika itu usianya sudah memasuki kepala empat. Usia yang cukup rawan untuk menjalani kehamilan.

Tuan Zul memanggil dokter keluarga terkait keluhan yang dialami istrinya yang tiba-tiba selalu Merasakan pusing, mual dan juga asam lambung yang belakangan sering kambuh.

“Pa, apa tadi mama tidak salah dengar? Mama kira ini hanya masuk angin ditambah asam lambungnya kambuh lagi. Kok, dokter bilang mama hamil?”

“Salah dengar gimana? Papa juga dengar sendiri, kok. Emangnya mama gak seneng, ya? Kalau papa, sih seneng banget,” ucapnya sambil tersenyum.

“Bukannya gak seneng, Pa. Cuma takut aja kalau ini ternyata hanya salah diagnosa.”

“Gak ada yang gak mungkin, kan, Ma? Kita sudah berdoa dan berikhtiar semaksimal mungkin selama ini. Mungkin Allah mendengar doa-doa kita, Ma.”

“Dokter minta kita datang ke rumah sakit besok untuk memeriksanya lebih lanjut. Kalau ternyata mama memang hamil, berarti Allah memberi mama kepercayaan untuk mengandung seorang anak, padahal mama sudah pasrah tak ingin banyak berharap apa lagi usia mama sudah tidak muda lagi sekarang.”

“Mama hamil?! Teriak Khayru dari arah pintu.

“Masuk, Ru!” seru Tuan Zul. Dia tahu betul anaknya tidak akan masuk tanpa dipersilakan. Khayru pun berlari memeluk ibunya.

“Selamat, Ma. Akhirnya, Iru punya adik juga.” Khayru mengusap perut ibunya yang tengah duduk bersandar di tempat tidur.

“Kamu seneng, Ru?” tanya sang ayah sambil mendudukkan dirinya di sofa.

“Seneng bangetlah, Pa.”

“Tapi mama kuat gak, ya, hamil di usia sekarang ini, Ru? Mama deg-degan, loh.”

“Dengan izin Allah, Mama pasti kuat. Yakin, Ma.” Khayru memberi semangat pada ibunya. “Mama bisa minta bantuan apa aja sama Iru, Ma.”

“Tuh kan, Ma. Mama harus yakin kata Iru,” timpal sang suami turut menyemangati.

“Makasih, ya, sayang. Mama bahagia punya kamu. Percayalah, setelah adikmu lahir nanti, kasih sayang mama sama papa buat kamu gak akan berkurang sedikit pun.” Sang ibu membelai rambut anak itu dengan lembut. Nyonya Maulida tak pesimis lagi karena ia mendapatkan banyak dukungan hingga masa-masa sulit menjalani kehamilan bisa ia lewati dengan mudah.

Sembilan bulan kemudian, di tengah malam buta. Di kala semua orang harusnya tertidur lelap, lain halnya di kediaman Tuan Zul. Semua tengah panik karena sepertinya Nyonya Maulida akan segera melahirkan, begitu menurut Mbak Tini dan Bik Sulis—dua dari sekian banyak ART di rumah ini yang sudah memiliki pengalaman melahirkan anak-anaknya.

“Ru! Papa minta tolong, telepon tetangga kita--dokter Luthfie. Suruh datang ke rumah sekarang juga.” Menghadapi istri yang akan segera melahirkan, buat Tuan Zul merupakan pengalaman pertama yang sangat menegangkan. Dan akhirnya Nyonya Maulida dibawa ke rumah sakit milik Pak Ammar—ayahnya dokter Luthfie.

Pada pukul 03.17 dini hari bayi perempuan yang sangat cantik lahir ke dunia melalui persalinan Cesar, mengingat kondisi ibu yang tidak memungkinkan untuk lahir normal.

“Masyaallah, nangisnya kenceng banget, sih, dek.”

“Dia baru launching, Ru. Battre-nya masih full power, dong,” timpal ayahnya.

“Ahaha ... Ini sih bukan full power lagi tapi double full power namanya, Pa.  Ih, tapi dia kok lucu banget ya, Ma. Ngajak senyum terus. Cantik.”

“Yaah ... Mama dapat saingan dong sekarang. Dulu, kan cuma mama yang kalian bilang paling cantik di rumah.”

“Jangan sedih dong. Ibu Ratu sama inces, sama-sama cantik di hati papa.”

“Di hati Iru juga sama, Ma,” timpalnya sambil memberi pelukan hangat.

“Ya udah, ayo Abang kasih nama dulu yang bagus buat adiknya.”

Khayru memberi nama yang mirip dengan ibunya ‘Maula Qiana Ariffin’

“Loh, kok mirip nama mama, Ru.”

“Mama kan Maulida kalau Ade Maula. Biar cantik dan baiknya kayak Mama, Jadi namanya juga agak mirip dikit.”

“Kamu tuh bisa aja, Ru. Tapi ... nama yang kamu pilih bagus juga sih. Iya, gak, Pa?” Nyonya Maulida melirik suaminya. “Maula ... Nama kamu Maula?” Dia memanggil bayi itu dengan nama barunya sambil menimang tubuh mungilnya.

“Iya, Papa setuju. Maula Qiana Ariffin. Namanya cantik.”

Terdengar ketukan pintu disertai ucapan salam dari luar ruangan. Dokter muda itu datang untuk memeriksa keadaan Nyonya Maulida. Dokter Luthfie yang baru-baru ini menjadi dokter kepercayaan keluarga Tuan Zul karena kebetulan mereka bertetangga. Dengan senyumnya yang ramah datang menyapa.

“Selamat, ya, Bu. Putri cantiknya sudah lahir dengan selamat. Semoga menjadi putri yang salihah, jadi kebanggan keluarga.”

“Aamiin, dokter. Terima kasih banyak. Saya mau minta maaf juga karena semalam mengganggu waktu istirahat Anda. Saya jadi gak enak karena bayi ini minta lahir lebih cepat dari waktu yang sudah dijadwalkan.”

“Itu sudah menjadi pekerjaan kami, yang penting Ibu sehat dan bayi selamat, Bu.”

To be continue ....

 

 

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!