Happy Reading
****
Jasmine POV
"Apakah warnanya tidak terlalu mencolok menurutmu?" ucap Mrs.Jones dengan logat Prancisnya yang kental saat melihat beberapa karikatur yang kubuat untuk edisi majalah dan koran berikutnya. Dia menurunkan kacamata kotaknya yang tidak berbingkai lalu menatapku dengan tatapan menyelidik. Inilah hal yang paling menegangkan saat bertemu dia, seorang kepala editor di penerbit ternama di Inggris membuat dia begitu teliti dan menyeramkan. Sial.. Dia sangat disiplin dan tidak ada kata ampun dalam dirinya.
"Aku tidak merasa seperti itu, Madam.. Itu sesuai arahan dan konteks berita yang diterbitkan..." aku meremas-remas ujung kemejaku dengan gugup.
Dia menjilat ujung telunjuknya seraya menatap lagi lembaran kertas itu dan membalik-balikkannya dengan jarinya tadi. Sial. Aku sudah mengerjakan ini sepanjang tiga hari dan aku hanya tidur selama tiga jam karena mereka memberiku batas waktu yang cepat. Jika dia menolaknya, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa.
"Aku terkesan dengan kerapian gambarmu, padahal kau hanya mengerjakannya selama tiga hari.."
Yah.. Yah.. Jadi kumohon terima karikaturku ini. Kumohon. Terima saja. Kasiahanilah aku.
"Aku menyukainya walau aku tidak terlalu puas dengan warnanya..."
Yes!Yes!
Dia memasukkan gambar itu ke dalam map kuning kemudian memberikannya padaku.
"Berikan pada sekretarisku dan dia akan mengirimimu uang atas karikatur ini sesuai perjanjian..."
"Thank you, Madam.." ucapku dengan senyum sumringah seraya menjulurkan tangan kananku untuk berjabat tangan dengannya, tapi dia hanya memberi map itu ke tanganku. Aku menggaruk belakang leherku dengan canggung. Sial.
"Excuse me, Madam..." aku berdiri dan segera pergi dari ruangannya lalu menuju meja sekretarisnya.
"Madam Jones mengatakan untuk memberikan ini padamu..."
Sekretaris yang berkulit hitam itu menatapku dengan malas.
"Siapa namamu?"
"Jasmine Brown..."
"Nomor rekeningmu?"
Aku memberitahu nomor rekeningku, lalu nomor ponsel.
"Sudah dikirim, kau bisa memeriksanya."
"Okay... Thank you."
Aku segera pergi dari sana seraya merogoh sakuku untuk mengecek pemberitahuan bahwa uangnya sudah terkirim di rekeningku. Aku tersenyum senang lalu menatap lift yang akan di tutup. Aku berlari, berusaha menyusul lift itu seraya memasukkan ponselku ke kantong jaket.
.
"Tunggu...." ucapku pada beberapa orang yang ada di lift.
Namun, saat aku sudah di depan lift, lift itu tertutup. Mereka tidak menunggu. Aku memutar mata. Sialan. Inilah kenapa aku tidak suka Inggris. Orang-orangnya benar-benar tidak ramah, apatis, dan sangat sibuk. Ahh.. Dan yang utama dan terpenting adalah orang-orang di sini begitu pelit.
Aku akhirnya berdiri di sana beberapa saat hingga lift itu terbuka lagi. Beberapa orang berpenampilan rapi menatapku yang sedikit bengong.
"Permisi..." ucapku untuk memberiku celah untuk berdiri dan mereka hanya berdecak kesal.
Aku berdiri di sana dan aku merasakan sesuatu menyentuh leherku. Segera aku memegang botol bubuk merica di saku jaketku seraya memutar kepala dan hanya melihat sekumpulan orang yang menatapku dengan tatapan malas dan apatis. Aku menoleh ke depan dan menarik topi jaket. Sialan. Pelecehan. Seharusnya aku lebih hati-hati tadi.
Setelah pintu lift terbuka, aku segera turun dan tidak peduli entah di lantai mana aku turun. Aku bisa melanjutkannya dengan berjalan dengan tangga. Ini bukan kali pertamanya aku di lecehkan. Di bus, lift, pusat perbelajaan, dan di berbagai tempat yang memungkinkan untuk melakukan pelecehan.
Aku ingat saat di apartemenku yang dulu sekitar 3 tahun yang lalu, seorang pria yang merupakan tetanggaku membuat lubang kecil untuk mengintip seluruh kegiatanku di kamar. Semua terbongkar saat dia dengan beraninya masuk ke dalam apartemenku dan berusaha melecehkanku.
Aku ingat saat-saat dia berusaha menyentuhku dan dia membuka celananya, memamerkan miliknya dan mengarahkannya padaku. Untungku tetanggaku mendengar teriakanku minta tolong dan segera menghubungi polisi. Lalu, tiga hari kemudian pria yang berusaha melecehkanku itu di temukan bunuh diri dengan memotong urat nadinya. Sial, mengingat itu benar-benar membuatku bulu kudukku meremang.
Aku menarik napas dan menghembuskannya saat aku berjalan di anak tangga terakhir. Aku berjalan di lobi gedung penerbit yang ramai lalu berjalan keluar dari sana. Aku berjalan dengan langkah lebar menuju halte bus, menunggu bus, kemudian masuk ke dalam bus yang penuh.
Aku tidak melihat sisa gantungan bus lagi lalu mataku melihat seorang penumpang wanita gendut memegang dua gantungan bus sekaligus dan mata kami bertemu, dia melihatku tajam seolah mengatakan 'Apa yang kau lihat, sialan?'. Aku membuang mukaku dari dia dan akhirnya berdiri dengan berpegangan pada punggung kursi bus.
Sekitar lima belas menit penuh penderitaan,aku turun dari bus. Aku pergi ke sebuah mini market dan membeli beberapa bahan makanan yang kubayar dengan uang yang di beri Madam Jones padaku. Lalu aku membawa satu kantung kertas belanjaanku dan berjalan menuju apartemenku.
Aku suka lokasi apartemenku. Cukup ramai, tapi tidak terlalu bising. Dekat dengan pusat kota dan daerahnya cukup aman. Satu-satunya yang kusesali dari tempat ini adalah, tingginya biaya sewa dan luas kamarnya benar-benar sangat kecil.
Aku masuk ke lift yang kosong, aku segera keluar begitu pintu terbuka. Aku berjalan di lorong yang sepi menuju kamar apartemenku . Aku memasukkan sandi kamarku dan segera masuk setelah bunyi 'Bip' terdengar. Aku melepas sepatuku seraya berjalan masuk ke dalam apartemen dan..
"Ah!" aku berteriak kencang hingga menjatuhkan belanjaanku saat melihat sesosok wanita duduk dengan anggun di atas sofaku.
"MOM!!" teriakku kesal seraya menghentakkan kaki kananku dengan lantai. Aku memungut kembali belanjaanku yang terjatuh.
"Ah.. Honey. Sudah kukatakan jangan panggil aku Mom.. Panggil namaku saja, Jessi...."ucap wanita berusia 39 tahun tersebut seraya melepas kaca mata hitamnya.
Aku menggeleng kepala, "Terserah...."
Aku bangkit berdiri dan berjalan ke dapur yang terhubung langsung dengan ruang tamu. Aku menaruh belanjaanku di meja dan menarik kursi untuk duduk menghadap Jessi yang duduk tenang di satu-satunya kursi sofa di ruangan ini.
"Kali ini, apa alasanmu datang ke sini?" tanyaku. Hanya ada dua kemungkinan kenapa dia berakhir di sini, Pacar kayanya membuangnya atau dia membuang pacar kayanya.
Dia tersenyum manis.
"Aku membawa berita besar untukmu, sayang...."
****
MrsFox
Happy Reading
****
Jessica Elnora Brown, atau sering di panggil Jessi. Dia berusia 39 tahun dan memiliki anak berusia 24 tahun, yaitu aku. Semua bisa menebaknya, tentu saja karena dia hamil di luar pernikahan saat usianya masih menginjak usia 15 tahun. Jelas dia bukan remaja yang taat saat diusia itu.
Namun, dia tidak suka jika kupanggil 'Mom', dia berkata itu membuat dia terkesan tua karena jarak usia kami yang tidak jauh. Secara fisik, aku dan dia tampak seumuran, bahkan terkadang aku berpikir bahwa aku tampak lebih tua darinya. Aku juga tidak terlalu mirip dengannya, mungkin aku memiliki gen ayahku. Ayah yang tidak pernah kuketahui keberadaannya
Jessi cantik dan sejak dulu dia ingin menjadi artis. Dia putus sekolah setelah mengetahui kehamilannya. Satu tahun setelah melahirkanku, dia pergi dari Bristol, kota kelahiranku, Jessi, dan tempat Kakek-nenekku tinggal. Saat itu usianya sudah menginajk 17 tahun dan memberanikan diri pergi ke London untuk meraih cita-citanya, meninggalkanku yang masih balita bersama nenek dan kakek.
Namun, kota sebesar London yang terlihat menjanjikan untuk kita tidak selalu memberikan peruntungan yang baik, termasuk Jessi. Dia hanya memperoleh peran kecil dan dia memperoleh itu harus penuh perjuangan, termasuk mengkencani produser dan sutradaranya.
Namun, pada akhirnya Jessi banting setir sebagai wanita penggoda. Dia menggencani dan menggoda pria-pria tua yang kaya, yang bisa memberi dia dunia yang dia inginkan. Uang, emas, berlian, baju mewah, kendaraan mewah, dan berbagai kemewahan lainnya.
Sejujurnya, aku tidak senang dia melakukan itu karena dia menggoda pria yang sudah memiliki istri, anak, bahkan cucu. Namun, apa yang bisa kuperbuat. Setiap aku melarangnya, dia hanya mengatakan untuk jangan mengikutcampuri urusannya.
Dia boros, sangat boros. Aku selalu berkata untuk menyimpan uang yang diberikan kekasihnya agar dia bisa menggunakannya saat-saat genting, tapi dia tidak pernah mendengarku. Termasuk sekarang. Dia akan datang ke tempatku jika dia kehilangan kekasihnya dan menumpang di tempatku.
Dia selalu datang ke tempatku, membairkan dia tidur di kamarku, dan aku tidur di sofa yang keras. Duduk bermalasan sepanjang hari, mencuri uangku untuk perawatan, dan pada akhirnya pergi sendiri saat dia memiliki mangsa yang baru. Marahkah aku? Marah, tapi aku tidak bisa berbuat banyak karena dia Ibuku. Kakek dan nenek selalu berkata, jagalah Ibumu.
Jika kali ini dia datang karena di tendang kekasihnya, aku tidak tahu bagaimana mengurusnya karena aku belum juga mendapatkan pekerjaan tetap. Sulit bagi pelukis lulusan universitas kecil sepertiku untuk mendapat pekerjaan yang layak di kota besar ini. Namun, kali kedatangannya dengan alasan yang berbeda...
"Kau bilang apa?" tanyaku lagi, berusaha memastikan apa yang dia ucapkan.
"Aku akan menikah dengan pria kaya, my dear..." ucapnya dengan suara senang.
"Jangan bercanda... Ini bukan satu-dua kali kau mengatakan akan dinikasi pria kaya, tapi itu tidak pernah terjadi..."
Dia mengangkat tangan kirinya yang di rawat sempuran. Putih, mulus, dan kukunya dimaknikur sedemikian rupa. Namun, bukan itu yang membuatku terkejut. Aku melihat sebuah cincin dengan mata berlian yang besar dan terlihat mewah. Sangat mewah.
"Kau lihat cincin ini?"
"Wow... Itu kelihatan mahal..." aku berdiri dan duduk di sampingnya di sofa. Lalu memegang tangan kirinya, memeriksa berlian yang menawan itu, "Ini asli?" ucapku seraya mengetuk-etuk berlian itu dengan ujung telunjukku
"Tentu saja.. Sudah kukatakan. Dia benar-benar serius untuk menikahiku."
Aku melepas tangannya, "Berapa usianya? Apa kau menikahi pria yang masih beristri?" Jika ya, aku akan melarangnya dengan sekuat tenaga
"Tidak..." dia menarik tangannya dan bersandar dengan anggun di lengan sofa. Bau parfum yang mahal dan lembut tercium dari tubuhnya.
"Jadi?"
"Dia sudah lama berpisah dengan istrinya, sangat lama..."
"Usianya?"
"Tidak terlalu tua. 65 tahun..."
"Kau menikahi pria yang usianya hampir sama dengan kakek..."
"Huhss..." dia menyibakkan rambutnya yang panjang dan terawat, "Jangan bicarakan yang sudah meninggal.. Usianya memang tampak tua di dengar, tapi dia tidak setua itu. Mau kutunjukkan gambarnya?"
"Tidak usah... Kapan kau menikah?" Itu pun jika benar-benar terjadi.
"Sebulan lagi..." mata berubah bersemangat, "Dan kami tidak akan menikah di kota sialan ini. Ah.. Dia bukan orang Inggris, tapi spanyol.. Kau tau jelas, bukan? Pria-pria Spanyol sangat panas... Kami akan menikah di pula Halamahera... Ah.. Sejak dulu aku selalu ingin ke sana.."
Aku menggangguk seraya menatap wajah Jessi yang tampak sedang bermimpi, membayangkan mimpinya selama ini akan terwujud dan jelas, aku tidak ada di dalam mimpinya itu. Jika dia bahagia, cukup dia dan aku tidak ikut serta dalam mimpi indahnya itu.
"Jadi apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku, jelas dia tidak datang untuk mengundangku ke pesta pernikahannya karena dia tidak akan. Dia tidak ingin orang-orang mengetahui bahwa dia memiliki seorang anak perempuan yang hanya terpaut 15 tahun
"Ah... Soal itu..." dia berdiri dan mulai menjelajahi apartemenku yang kecil. Dia memegang TV kecilkun yang sudah tidak menyala lagi, meja kayu, dan semua perabot di ruangan ini. Kemudian menatapku.
"Apa kau tidak bosan tinggal di tempat tua dan sempit ini?"
Aku ingin berbicara dan berteriak padanya bahwa tempat tua dan sempit itu selalu menampungnya dalam keadaan susah.
"Setidaknya ini bisa melindungiku dari panas dan dinginnya cuaca...."
"Padahal kau pelukis dan kudengar seorang pelukis selalu membutuhkan ruangan luas agar bisa berpikir jernih saat melukis. Bukan begitu?"
Jessi memgang sebuah gelas dan secara sengaja menjatuhkannya.
"Mom!" teriakku kesal seraya berdiri.
"Ups..." ucapnya seraya menutup mulutnya, "Sudah kubilang tempat ini tua dan akan runtuh sewaktu-waktu...." Tentu saja rusak jika kau sengaja melakukannya!!
"Whatever, Jess.. Sekarang pergi dari tempatku..." aku tidak ingin lagi mendengar semua omong kosongnya yang penuh penghinaan.
"Dan di sinilah aku!" Jess tiba-tiba berteriak dan segera menginjak pecahan gelas dengan high-hellsnya yang tinggi. Dia gila. Sudah gila. aku harus segera mengusrinya sebelum merusak perabotku yang lain.
Dia berjalan ke arahku dan segera memegang kedua bahuku. Menatapku penuh semangat yang berapi-api.
"Aku akan membawamu ke tempat yang layak, Jasmine Brown..."
Hah?
Dia melepas tangannya dari bahuku, "Sekarang bereskan barangmu yang perlu dan mari pergi ke apartemenmu yang baru... Ah. Satu lagi. Ini apartemen mewah, sayangku..."
"Apa?"
****
MrsFox
Happy Reading
****
Jasmine POV
Aku akhirnya ikut dengan Jessi dan pergi dengannya.
"Akan kupesan taxi..." ucapku saat kami sudah di lobi apartemen.
Jessi menurunkan kacamatanya, "Taxi? jangan konyol... Aku tidak memakai benda seperti itu lagi...."
Aku memasukkan kedua tanganku ke saku jaket, "Dasar sombong.." aku mendorong pintu dan kami berdua berdiri di trotoar.
"Jadi mana mobilmu?" aku melihat mobil yang terparkir di pinggri jalan. Ada mobil sport berwarna merah kemudian aku menoleh pada Jessi dan dia mengangguk kecil.
"Itu mobilku..." ucapnya seraya menekan tombol pada kunci.
Gila! Kau tidak pernah melihat dia mengendarai mobil sekeren ini. Kekasihnya benar-benar kaya.
"Ayo..."
Aku terkekeh kecil dan segera berlari kecil menuju sisi lain mobil dan masuk ke dalam mobil.
"Cool... Kekasihmu benar-benar kaya..." ucapku setelah duduk seraya menatap interior mobil yang mewah dan terasa asing untukku. Mesin menyala lalu aku menoleh pada Jessi, "Kau tau mengendarainya?" aku memasang sabuk pengamanku.
"Tentu saja..." lalu dia melajukan mobil melintasi jalan London.
Dia menyalakan musik yang liriknya sangat cocok padanya, 'Sugar Daddy'.
"Di daerah mana apartemennya?"
"Hyde Park.."
"Ha--Ha apa?" ucap penuh keterkejutan.
"Hyde Park, my little sunshine...." ucap Jessi lagi dan tetap fokus mengendarai.
"Jangan bercanda?! Tidak mungkin!!"
Hyde Park! Oh my! Itu lokasi elite di London. Benar-benar elite. Harga hotel per malam di hotel itu bisa mencapai 8000 poundsterling. Gila! Jika satu unit apartemen, artinya..!
"Jangan bercanda. Mana mungkin..."
Dia menoleh padaku, "Sudah kukatakan calon suamiku benar-benar kaya.. Dia membeli satu unit untukmu!"
"Kenapa pula dia repot-repot membelinya padaku.."
"Akan kuceritakan nanti..."
"Kau serius itu Hyde Park?"
"Perlukah kau bertanya lagi?" suara Jessi sekarang sedikit kesal dan akhirnya aku tidak berbicara lagi. Membuat Jessi marah bukanlah hal yang bagus.
Kami berkendara hingga akhirnya kami sampai di lokasi Hyde Park. gedung-gedung tinggi berdiri dan aku bertanya-tanya, gedung mana yang dimaksud oleh Jessi. Lalu Jessi meminggirkan mobil mewahnya di parkiran di depan sebuah gedung yang tampak modren.
"Here we are..." ucapnya seraya keluar dari mobil. Aku ikut keluar dan menatap gedung itu. Aku bengong melihat gedung itu.
"Ayo... Jangan bengong saja...." ucap Jessi dan aku segera berlari kecil mengikuti dia.
Seorang penjaga menyapa dan membuka pintu pada kami. Aku terperangah melihat lobinya yang luas, rapi, dan mewah. Jessi membawaku ke arah lift dan dia menempelkan semacam kartu pada lift lalu lift terbuka. Kami berdua masuk dan segera lift bergerak sebelum Jessi menekan tombol.
"Jika tidak memiliki kartu pass, orang terrsebut tidak akan bisa masuk ke sini..." ucap Jessi dan aku mengangguk paham
Kami berhenti di lantai 15 dan segera aku keluar bersama Jessi. Aku melihat lorong dengan dindin putih elegan, ada tanaman hias, dan hanya ada dua pintu yang saling berhadapan.
"201, itu nomor kamarmu...." ucap Jessi dan kami berjalan ke arah tersebut. Jessi menempelkan kartu pass lagi dan pintu terbuka. Lampu menyala secara otomatis dan aku menatap ruangan itu dengan terperangah.
Itu luas dan sudah lengkap dengan perabotan.
"Aku sudah membeli perabotan sehingga kau tidak repot. Dan jelas kau tidak akan mampu untuk membelinya.." jelas Jessi sementara aku berjalan melihat-lihat tempat itu, menolak terpengaruh dengan sarkasme Jessi.
"Ada empat kamar dengan masing-masing dengan kamar mandi dalam. Kemari.. Agar kutunjukkan kamar utama yang akan menjadi milikmu...."
Aku segera mengikuti Jessi menuju 'kamar utama' yang dia maksudkan.
"Dan... Ini dia..." ucapnya merujuk pada suatu pintu, "Bukalah..."
Aku melangkahkan kaki dan membuka pintunya dengan malu-malu.
"Oh. My. God...." ucapku saat melihat isi kamar itu. Aku berjalan masuk dan betapa senang melihat kamar itu. Itu memiliki jendela besar yang menampilkan taman Hyde Park, ranjang berukuran besar di tengah kamar, sofa berwarna abu-abu, dan perabot lainnya Sepenuhnya kamar ini benar-benar minimalis dan luas.
Aku menoleh ke arah Jessi.
"Kau serius membelikan apartemen ini untukku?" tanyaku.
"Secara harfiah, aku dan calon suamiku hanya meminjamkannya untuku..."
Aku memutar mataku dengan jengkel.
"Ya. Ya. Yah... Jadi kenapa pula kalian repot-repot ingin meminjamkannya untukku?"
"Kekasihku takut aku terkena skandal. Aku hidup mewah sedangkan puterinya tidak...."
Aku menatap sinis Jessi. Seharusnya dia bisa berpura-pura dengan mengatakan bahwa dia ingin aku memiliki tempat yang nyaman.
"Ternyata kau menganggapku puterimu..." aku duduk di ranjang dan melompat-lompatkan bokongku di sana. Ini empuk.
"Baiklah..." Jessi bertepuk tangan sekali, "Aku sedikit sibuk dengan persiapan pernikahanku jadi aku harus pergi melakukan banyak hal..."
Aku berdiri.
"Baiklah.. Ayo pergi."
Jessi menggeleng, "Kenapa kau harus pergi? Tinggallah di sini. Untukmu..." Jessi memberiku dompet hitam.
"Apa ini?"
"Berisi kartu yang berhubungan dengan apartemen ini. Kartu pass, kartu listrik, air, dan sebagainya...."
Jessi memakai kacamata hitamnya dan berjalan pergi. Aku mengikutinya
"Aku ikut saja.. Aku masih perlu membereskan barangku..."
"Memangnya ada yang perlu kau bawa dari tempat itu?"
Aku hanya mendengus kecil, "Aku perlu pakaianku..."
"Kau masih membutuhkannya?" ucapnya seraya menurunkan sedikit kacamatanya
"Baiklah... Baiklah..."
****
Keesokan harinya aku telah selesai melakukan pindahanku. Itu hanya memakan waktu sebentar karena tidak banyak yang perlu kulakukan. Aku sekarang tengah menatap bajuku yang tidak seberapa di dalam lemari. Setelah selesai aku segera melemparkan badanku ke atas ranjang yang empuk.
"Astaga..." ucapku, masih belum percaya aku di tempat ini. Paling aku hanya beberapa bulan di sini.
Jessi akan berangkat besok ke Prancis, dia ingin mengurus gaun pengantinnya. Jelas sekali kalau calon suaminya benar-benar kaya. Ah.. Aku iri dengan Jessi. Hidupnya terasa santai dan tanpa beban, selalu baik-baik saja. Berbanding terbalik denganku.
Sejujurnya aku merasa baik-baik saja. Aku bisa menghasilkan uang yang lumayan dengan menjual hasil lukisanku. Namun, yang menyulitkan adalah aku tidak pernah memiliki pekerjaan tetap. Tidak banyak instansi yang membuka lowongan kerja untuk lulusan seni seperti aku.
Aku sempat bekerja sebagai pembuat comic di situs berbayar, uangnya lumayan. Hanya saja aku tidak sanggup dengan deadline dan peraturan yang di buat. Aku pernah pelukis jalanan dan uangnya tidak seberapa. Menjadi guru seni, tapi aku tidak betah karena remaja zaman sekarang tidak mengerti nilai dari sebuah seni.
Intinya.. Aku sudah menjalani banyak pekerjaan sebagai seorang seniman, tapi tidak ada yang membuatku betah. Setelah ini, aku mungkin ingin menjadi pelukis lepas saja. Membuka jasa melukis di internet dan menunggu orderan. Kudengar-dengar, bisnis internet cukup menjanjikan.
Aku bangkit dari tidurku dan memasang kembali earphoneku. Aku memasukkan ponselku ke saku celanaku lalu berjalan keluar dari kamar. Aku mengambil dua kantong sampah berukuran besar hasil dari pindahanku. Satu hal yang membuatku sedih dari tempat ini adalah bahwa aku harus membuang sampah sendiri.
Aku tidak melihat ada tong sampah di lorong apartemen ini. Jadi aku harus membuangnya sendiri. Aku berjalan ke arah pintu dan membukanya. Aku keluar dari apartemenku lalu melihat seorang pria berperawakan tinggi berada di dalam lift.
"Tunggu..." ucapku saat melihat pintu lift perlahan tertutup.
Kupikir dia tidak akan menungguku, tapi ternyata tidak. Dia menahan pintu lift untukku. Aku mendongkakkan kepalaku padanya dan tersenyum kecil.
"Thank you..." ucapku dan dia hanya mengangguk kecil dengan wajah datar.
Oups... Sial. Dia benar-benar tampan. Apa dia tetanggaku? Jika ya, betapa beruntungnya aku.
"Anda ingin ke lantai berapa, Miss?" tanyanya dengan suara baritton yang menggetarkan jiwa Oh my.. Aku benar-benar suka aksennya. Betapa sopannya dia.
"Anda duluan saja. Aku hanya ingin membuang sampah..." ucapku malu-malu. Well.. Wajar aku malu-malu. Dia sangat rrr... Menggetarkan jiwa.
"Membuang sampah?"
Aku menatap dia yang terlihat heran.
"Y--Yah.." aku mengangguk ragu seraya menggoyang kantong sampahku.
"Apa anda penghuni baru di sini?" tanyanya dengan suara kalem dan aku menatapnya dengan mulut setengah terbuka.
"Miss?"
Aku segera menggeleng kepalaku dan sadar dengan kebodohanku.
"Uhm.. Yah. Yah. Aku penghuni baru di sini..." ucapku dengan suara yang kubuat sekalem dan senatural mungkin.
Dia tersenyum kecil dan itu benar-benar manis. Oh my.. Aku berani bertaruh jika aku sanggup duduk seharian di depan kanvas untuk melukisnya.
"Di dalam dapur ada tempat untuk membuang sampah secara otomatis, Miss..." ucapnya dan aku menganga lagi. Sial.
"Be--Benarkah?" ucapku. Sial. Seharusnya aku tahu itu. Tidak mungkin apartemen mewah seperti ini tidak memiliki teknologi pembuang sampah otomatis.
Aku tertawa kecil. Menertawai kebodohanku sendiri.
"Aku tidak tahu soal itu karena ini pertama kalinya aku tinggal di tempat seperti ini..." ucapku dengan tertawa canggung.
"It's okay, Ms. Kebanyakan orang memang bingung saat pertama..."
Aku tertawa canggung dan pintu lift segera terbuka. Oh sial..
"Anda tidak keluar, Miss?"
"Ah.. Aku akan kembali ke apartemenku dan membuang ini..."
Dia menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kujelaskan.
"Kebetulan saya ingin keluar. Biarkan saya membuang sampah anda untuk kali ini....." ucapnya sopan.
Aku berjalan keluar dari lift lalu diikuti oleh dia, "Ah.. Terimakasih. Aku akan melakukannya sendiri..."
"Baiklah kalau begitu...." dia membuka pintu lift lagi dan masuk ke dalam. Kupikir dia ingin keluar. Kami berhadapan dan mata kami bertemu. Aku menatap wajahnya dan pintu lift perlahan tertutup. Di saat-saat terakhir, aku bisa melihat dia tersenyum kecil padaku.
Aku berdiri sesaat di sana dan merasakan perasaan menyenangkan. Ah.. Ternyata melihat wajah tampan adalah terapi sendiri untukku. Aku memutar tubuhku dengan perasaan ringan. Jika dia tetanggaku, betapa menyenangkannya. Ta-tapi... Bagaimana jika dia sudah beristri?
****
Mrs Fox
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!