.... If I stand all alone, will the shadow hide the color of my heart
Blue for the tears, black for the night's fears
The star in the sky don't mean nothing to you, they're a mirror
I don't want to talk about it, how you broke my heart
If I stay here just a little bit longer…
Alunan lagu lawas milik Rod Stewart mengalun lembut di sebuah kafe di bilangan Tebet, Jakarta Selatan.
Anwa Khairani nama gadis itu, berpenampilan sederhana, berpostur tubuh dengan tinggi badan 160cm, kulit kuning langsat, memiliki rambut ikal keriting sebahu, ia duduk dengan memandang jauh keluar jendela. Kala itu hujan sedang begitu derasnya jatuh membasahi bumi. Sama dengan air matanya yang jatuh semakin deras saat mengingat kejadian enam bulan yang lalu. Semakin ia merelakan semakin sering wajah bahkan memori yang mereka habiskan bersama terpatri di hati.
Sekelabat ingatan muncul, dimana saat ia menemukan kekasih hatinya sudah terbujur dingin dan kaku di dalam kost milik lelaki itu.
Gadis itu menjerit, menolak pergi, menolak melepaskan, menolak melupakan. Dua tahun bersama melewati hari-hari bukan waktu yang singkat untuk mereka.
Serangan jantung merenggut nyawa kekasihnya, malam itu saat kekasihnya memberitahukan padanya akan berlatih basket seperti biasa dengan teman-temannya, maka ia memberikan ijin, menjelang subuh lelaki belahan hati itu melakukan video call dan mengatakan tiba-tiba dadanya sesak dan sakit serta berkeringat dingin, Anwa hanya mengatakan bahwa ia harus banyak beristirahat dan minum obat, tapi ternyata itu adalah percakapan terakhir mereka.
"Sayang, dada aku sakit, sesak,"
"Kamu udah minum obat?"
"Sudah, tapi tetap sakit."
"Besok kita ke dokter ya, kamu kayaknya kecapekan deh, pulang kerja langsung nge basket."
"Mungkin."
"Ya udah tidur lagi ya, nanti jam tujuh aku ke kos kamu, I love you."
"I love you too, Sayang."
Ungkapan hati untuk terakhir kalinya. Begitu sesak jika mengingat kembali. Takdir Tuhan tidak pernah ada yang tahu, yang hidup pun sudah pasti akan mati hanya entah kapan giliran kita kembali tak pernah kita tahu.
Air mata semakin deras, Anwa menelungkupkan wajahnya, menangis sesugukan. Enam bulan terakhir ini dia senang sekali menghabiskan waktu di kafe ini, suasana kafe ini seperti membawa kenyamanan untuk mengenang semua masa lalunya bersama sang kekasih.
Beberapa pelayan sudah sangat hafal akan kehadiran Anwa di sana, bahkan salah satu pelayan selalu memberikan tempat duduk yang sangat pas untuk Anwa melakukan aktivitas melamunnya. Duduk di sudut bersebelahan dengan kaca jendela bening menghadap ke taman samping kafe itu.
Hujan perlahan berhenti, Anwa merapihkan barang bawaannya, kembali ia masukkan ke dalam sling bag kulit berwarna coklat, ponsel juga buku kecil yang berisi coretan hatinya dan beberapa foto kenangan semasa kekasihnya hidup.
"Berapa Mas?" tanyanya pada kasir kafe itu.
"Tujuh puluh ribu Kak," ujar lelaki itu tersenyum manis pada Anwa, "aku diskon jadi empat puluh lima ribu."
"Eh, kok bisa?" Anwa seketika memandang lelaki itu saat ia akan memberikan uang lima puluh ribu dan dua puluh ribu.
"Bisa dong, spesial buat Kakak, karena pengunjung paling lama setiap bulannya."
"Eh, maksudnya?"
"Gak ada maksud kok Kak, Kakak salah satu member di kafe ini jadi kita kasih diskon, itu aja."
Mata Anwa yang terlihat sembab dengan bulu mata yang lentik itu mengerjap,
"Oh, makasih ya," ujarnya memberikan uang lima puluh ribu dan di kembalikan lagi lima ribu oleh pelayan kasir.
"Terimakasih Kak, semoga minggu depan datang kembali ya." Kasir itu menangkupkan kedua tangan di depan dada.
Anwa tersenyum, lalu membalikkan tubuhnya berjalan ke arah pintu keluar. Baru saja akan membuka pintu itu, tubuhnya tiba-tiba bertabrakan dengan seorang pria dengan yang memakai hoodie berwarna hitam, menutupi kepalanya mungkin menghindari jatuhnya air hujan.
"Ups, sorry maaf... silahkan." Seketika pandangan mereka beradu, lelaki itu membukakan pintu keluar lebar-lebar.
"Terimakasih," Anwa kembali menundukkan wajahnya.
Terdiam sebentar di teras kafe, karena hujan masih turun walaupun tidak deras, seperti mencari sesuatu lalu melambaikan tangannya pada salah satu bajaj yang lewat di sana, lalu berlari kecil menghampiri angkutan umum yang semakin lama semakin punah itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Hai, Sayang... apa kabar?" Anwa membelai nisan bertuliskan sebuah nama "Prananda Maulidika" lalu menepuk nepuk rumput yang basah karena hujan tadi, rumput itu tertanam rapih di gundukan tanah.
"Aku kangen Ka," ujarnya lagi menghapus air mata yang kembali turun itu.
"Besok aku mulai kerja, kemarin setelah interview seminggu yang lalu aku di telpon kembali dan ternyata aku di terima di salah satu perusahaan BUMN Ka," senyum nya tipis.
"Enam bulan nganggur gak enak ternyata, uang aku semakin menipis," Anwa pun tertawa kecil.
"Kalo kamu masih ada mungkin aku gak bakal susah kayak gini ya," ujarnya lagi sambil mencabuti rumput liar yang berada di gundukan tanah itu.
Anwa memang tidak pernah akan kesusahan jika Dika sang kekasih masih ada. Dika bekerja sebagai manager store di salah satu perusahaan retail terbesar di Indonesia. Puncak karirnya melejit setelah dua tahun bekerja di sana, hubungan percintaan pun tak pernah ada kendala yang berarti, hanya saja umur yang di tetapkan oleh Yang Diatas hanya sampai di sini.
Waktu menunjukkan jam lima sore, di rasa sudah banyak bercerita dengan sang kekasih, Anwa berpamitan untuk pulang.
"Kalo misalnya, aku kesini nya gak sesering seperti biasanya gak papa ya Ka, aku harap kamu ngerti ya, karena pasti aku bakal sibuk banget, tapi aku janji setiap dua minggu sekali aku bakal kesini, maafin aku ya Sayang." mencium nisan itu lalu membelainya lembut.
"Assalamualaikum Sayang." Beranjak dari duduknya dan berjalan menjauh meninggalkan tempat peristirahatan terakhir sang kekasih.
"Bang, lanjut ke Pal Batu ya," ujarnya pada abang bajaj.
Hanya membutuhkan waktu dua puluh menit dari tempat pemakaman sampai pada tempat kost Anwa kalau jalanan lengang.
Menapaki anak tangga menuju kamar kost nya, Anwa sesekali melempar senyum pada beberapa orang yang ia temui sebelum masuk ke dalam kamar.
Kamar kost itu hanya berukuran 2,5 x 3 m, tempat tidur berukuran 90 x 200 cm hanya cukup untuk satu orang, kipas angin yang tertempel di dinding, sebuah kaca panjang berada di dinding itu pula, lemari pakaian dan rak piring kecil serta rak sepatu berjejer rapih. Karpet bulu tebal berukuran 1 x 1 m berwarna merah marun menghiasi lantai keramik di sebelah tempat tidurnya, kaca jendela yang menghadap ke jalan membuat sinar matahari jika pagi menyapa masuk bebas ke dalam, serta terdapat kamar mandi kecil di dalamnya yang hanya muat untuk satu orang, dengan ember kecil, kloset duduk dan shower.
Setelah membersihkan dirinya, Anwa merebahkan dirinya lalu menatap langit-langit kamarnya, sayup terdengar kembali alunan lagu mengalun merdu di telinganya sama dengan alunan lagu yang ia dengarkan di kafe siang tadi, perlahan mata itu pun tertutup membawanya ke alam mimpi.
*haiii... Alhamdulillah ketemu lagi ya kita... aku harap kalian suka dengan jalan ceritanya nanti, jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya 😘
visual ada di ig aku semoga sesuai dengan khayalan kalian 😘
by the way untuk scene part 1 ini real story ya, semoga dia damai disana... Aamiin*
Lelaki itu turun tergesa dari mobil Pajero Sport berwarna hitam metalik, menutup pintu mobilnya lalu berlari kecil seakan menghindari hujan yang mulai reda turun ke bumi. Membuka pintu kafe miliknya tanpa sengaja bertabrakan dengan seorang gadis berambut ikal keriting, bola mata bulat, bulu mata yang lentik, hidung mancung, dengan tinggi yang hanya sebahu dari lelaki itu.
"Ups, sorry...maaf, silahkan," ujarnya meminta maaf, menatap punggung gadis itu yang berdiri di depan teras kafe seakan mencari sesuatu lalu melambaikan tangannya pada sebuah bajaj yang melintas, lalu berlari menghindari hujan.
"Masih suka kesini itu cewek?" tanya nya pada Dion, kasir sekaligus barista yang bekerja di kafe miliknya.
"Masih, gue kasian bos liatnya, kadang dia nangis, kadang dia senyum tapi tatapannya nanar keluar jendela, kadang dia nulis di buku kecil terus nangis lagi," jelas Dion, "rasa pengen gue temenin bos, terus gue hapus air matanya,"
"Elaaaah, kenapa gak lo samperin?"
"Gak bos, takut nge ganggu,"
"Ria mana?"
"Di ruangan bos," katanya ,"kalo gue perhatiin bos, si Ria kayaknya ada hati sama bos,"
"Bagus lah, kalo gak ada hati, mati dia,"
"Ish, bos ini,"
"Gue tinggal dulu, gue mo nge cek laporan keuangan bulan ini, awas aja sampe turun," ancamnya dan yang diajak bicara hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Namanya Arkana Putra Fajar, anak seorang pejabat BUMN, sejak umur 19 tahun Arkana sudah berkecimpung di dunia bisnis kuliner, mewarisi salah satu restoran milik mendiang kakeknya. Arkana banyak belajar dari sang Tante, adik dari ayahnya. Karena kepandaian yang ia miliki, satu restoran western itu berkembang menjadi beberapa cabang, terhitung di sepuluh provinsi di Indonesia setiap cabang pasti ada, termasuk Bali, Lombok dan Labuan Bajo, dan kafe yang berada di kawasan Tebet ini adalah salah satu kafe dari tiga kafe nya yang lain. Mengenyam pendidikan terakhir di salah satu universitas negeri di ibukota sebagai lulusan Sarjana Komunikasi. Paras yang tampan dengan postur tubuh tinggi 180 cm. Kulit putih layaknya seorang keturunan Belanda darah yang mengalir dari ayahnya, membuat Arkana di puja banyak wanita. Di umur 25 tahun ini Arkana di nobatkan sebagai salah satu pengusaha muda yang sukses.
Memasuki ruangan kerjanya yang sudah di tunggu oleh staf keuangan yang mengurus berjalannya kafe itu. Setiap bulan Arkana akan selalu berkeliling mengunjungi tempat usahanya, baik itu di Jakarta atau di luar kota.
"Laporan bulan ini," ujarnya sambil menghempaskan tubuhnya pada kursi di balik meja kerjanya.
"Ini Pak," wanita bertubuh tinggi semampai dengan rambut hitam tergerai memakai kemeja berwarna putih, memperlihatkan bra berwarna hitam di dalamnya, di padukan dengan celana pensil berwarna krem.
Arkana memperhatikan gerak-gerik wanita yang sudah hampir tiga tahun ini bekerja dan dan di percaya mengelola tiga kafe nya sekaligus.
"Sejauh ini menurut kamu, kafe kita yang berada di Bandung gimana, kalo di lihat dari laporan keuangan tiga bulan belakangan ini?"
"Menurut saya, tetap beroperasi seperti biasa, kita lihat tiga bulan lagi kalau memang tidak ada perubahan maka kita hentikan operasionalnya, karena menurut saya keadaan ini hanya karena dampak dari yang terjadi sekarang, semoga ke depannya lebih baik lagi Pak," ujarnya memberikan masukan kepada Arkana.
Arkana masih menbolak balikkan kertas-kertas yang berada di depannya. Memang ada beberapa yang harus di perbarui dalam manajemen perusahaan yang ia jalankan ini.
"Ya sudah, kamu boleh pergi, dan jangan lupa tolong kasih tau Dion, buatkan saya Latte... em dan boleh deh kentang goreng," ujarnya masih tak menatap gadis itu, "oh ya, Ria..."
"Ya Pak," Ria membalikkan tubuhnya.
"Makasih," ujar Arkana menatap sebentar ke arah gadis itu lalu tersenyum.
Ria pun hanya membalas dengan senyuman.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Gue balik Yon, ati-ati lo pas tutup ya, di cek semua jangan lupa,"
"Siap bos, aman," ujar Dion membulatkan jari telunjuk dan jari jempolnya pertanda jawabnya adalah OK.
Arkana keluar dari kafe itu sekitar jam sembilan malam, satu jam sebelum kafe miliknya tutup. Setelah berpamitan pada beberapa staff nya, ia melajukan mobilnya membelah malam.
"Arkan..." suara lembut sang Ibu mengagetkannya saat masuk ke ruang keluarga.
"Mama belom tidur?" tanyanya lalu duduk di samping wanita yang masih terlihat sangat cantik untuk umur yang hampir masuk lima puluh tahun.
"Belom, masih nunggu in Papa kamu,"
"Lembur?"
"Tadi pagi kan ke Solo, malam ini pulang... Papa bilang lagi ada masalah pembangunan tol di sana,"
Arkan hanya membulatkan bibirnya,
"Tidur Ma, biar Arkan yang nungguin Papa,"
"Mama belom ngantuk," jawab sang Mama, "siapa cewek yang deket sama kamu sekarang? udah lama kayaknya Mama gak pernah denger kamu cerita tentang pacar-pacar kamu,"
"Gak ada Ma, tapi kalo yang ngedeketin banyak," ujarnya tersenyum.
"Gaya banget," Mama mengacak-acak rambut anaknya, "kamu tuh mirip banget sama Langit waktu muda,"
"Didi?"
"Iya, banyak banget cewek yang ngedeketin dia, sama Mama dulu kewalahan bantuin dia," mengingat kenangan bersama Langit suami dari adik iparnya yang merupakan teman semasa ABG, "tapi sekalinya jatuh cinta, setianya bukan main,"
"Sama Mima?"
"Iya, pengorbanan dan perjalanan cinta mereka luar biasa,"
"Iya, Arkan bisa liat, sorot mata mereka penuh dengan cinta walaupun umur pernikahan mereka hampir memasuki 25 tahun ya Ma,"
"Iya, Mama kagum dengan mereka,"
"Emang Mama gak kagum sama Papa? jangan bilang Papa gak setia,"
"Papa itu tipe lelaki setia, keluarga Papa kamu itu memegang teguh kesetiaan, hanya saja Papa orang yang gak bisa mengungkapkan perasaannya secara langsung, lebih pada perlakuan dia ke Mama,"
"Tapi Mama bahagia kan?"
"Punya kamu, Annaya dan ada Papa di hidup Mama itu sudah pasti buat Mama bahagia, gak ada yang bisa gantiin itu,"
"I love you Ma,"
"I love you too my son," mengecup kening anak lelaki kesayangannya itu.
"Annaya kapan pulang? bukannya libur semester ya,"
"Awal bulan katanya,"
"Betah banget dia di Jogja,"
"Kan ada aunty Arumi di sana pasti betah lah dia,"
Suara deru mobil menghentikan obrolan mereka, Fajar sang ayah memasuki ruangan itu membawa beberapa paper bag. Menghampiri sang istri memberikan kecupan pada pipi wanita itu, sementara mengulurkan punggung tangannya untuk di cium oleh sang anak.
"Bawa apaan Pa?"
"Biasa lah titipan Ibu negara,"
Mama Cha Cha tersenyum merekah, membuka paper bag pertama, sehelai kain batik yang bernilai jutaan itu pun terbentang lebar, lalu membuka paper bag kedua sehelai kain batik lagi kali ini bermotif perwayangan yang sedang in, entah berapa meter membuat Mama Cha Cha memberikan kecupan kembali untuk sang suami.
"Makasih ya Pa,"
"Pantesan dari tadi nungguin, di suruh tidur gak mau ternyata nungguin ini... modus banget ya Ma," Arkan menyebikkan bibirnya, "udah lah, Arkan naik dulu ke atas, jangan lupa Ma... Papa di kasih hadiah juga,"
Pasangan suami istri itu sudah tak perduli lagi dengan kata-kata anaknya karena sekarang mereka sudah bercengkrama satu dengan yang lainnya.
***seru juga ya udah tua masih romantis gitu
jangan lupa like komen dari kalian yaaaah***
"Ar... kamu dimana?"
"Di rumah pa, kenapa?".
"Kamu sempetin ke kantor papa ya, berkas sama flashdisk Papa ketinggalan di ruang kerja, Papa ada meeting setelah makan siang, bisa gak?"
Arkana melirik arloji di tangan kirinya, padahal lelaki itu baru saja bersiap untuk mengunjungi restorannya di daerah Bekasi.
"Ok Pa, setelah sarapan Arkan berangkat,"
"Papa tunggu, jangan telat,"
Memutus hubungan telepon, lalu menyuapkan nasi gorengnya kembali ke dalam mulut.
"Ini berkasnya Papa dan ini flashdisk nya," ujar sang Mama yang sudah meletakkan berkas itu di sebelah kiri Arkan.
"Warna pink?" Arkana menaikkan satu alisnya saat melihat flashdisk berwarna pink itu.
"Gak tau Mama, Papa bilang yang warna pink di laci mejanya, waktu Mama tanya katanya itu flashdisk Naya yang gak ke pake," Mama Cha Cha hanya mengangkat kedua bahunya.
"Ya udah deh, ntar Arkan telat soalnya mau ke Bekasi dulu liat resto di sana, mo ketemu klien juga sore nanti di pasar Minggu biar sekalian sebelum kesana mampir ke kantor Papa," Arkana mencium punggung tangan wanita tua yang cantik itu, "Jalan ya Ma," kembali mencium pipi sang Mama.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Lelaki yang mengenakan celana jeans belel, kaos putih slim fit dengan potongan V neck berbalut jaket jeans berwarna coklat muda itu turun dari mobilnya berjalan memasuki lobby perusahaan BUMN tempat ayahnya bekerja.
"Siang Mbak," senyumnya lalu melepaskan kacamata hitam yang bertengger di dahinya.
Resepsionis itu pun tersenyum salah tingkah, "siang Mas, ada yang bisa di bantu?"
"Mau ketemu Pak Fajar, Mbak," ujarnya lagi.
"Mas nya--"
"Anaknya... saya anak Pak Fajar," Arkana memang jarang menampakkan diri di kantor tempat ayahnya bekerja, sedangkan posisi Fajar sendiri adalah Direktur Utama di perusahaan BUMN itu.
"Oh, maaf Mas... sebentar ya," wanita manis itu lalu menghubungi sekretaris Dirut yang berada di lantai 15, "silahkan Mas," ujarnya mengayunkan tangannya sembari sedikit menunduk.
"Mbak, baru ya?" senyum Arkana di jawab dengan anggukan resepsionis itu.
Keluar dari lift, Arkana dengan santainya berjalan menuju ruangan sang ayah, sebersit dia melihat sosok yang tidak asing saat melewati pantry, namun berusaha dia tepis dan berkata dalam hati ah mana mungkin.
"Pa," sapanya saat memasuki ruangan kerja Papa Fajar, disana sudah ada sekretaris Fajar, Ibu Ema dan beberapa petinggi perusahaan.
Arkana melemparkan senyum dan berjabat tangan pada semua disana.
"Ar, Papa tinggal dulu ya, kita mau ke ruang meeting sebelum Pak Menteri datang, kamu tunggu aja di sini kalo masih mau di sini, nanti ada junior Secretary nya Ibu Ema, kalo kamu butuh sesuatu,"
"Iya Pa, Arkan sebentar doang juga, ada meeting sama WO,"
"Papa tinggal ya," berlalu nya semua orang di ruangan itu meninggalkan Arkana di sana.
Sembari menunggu waktu jam tiga, Arkana fikir apa salahnya menghabiskan waktu sebentar disini, karena pertemuan dia dengan pihak WO yang akan bekerjasama dengan salah satu restorannya akan di laksanakan pukul empat nanti tempat yang di tuju pun tak jauh dari kantor Papa Fajar.
Pintu yang tak tertutup rapat itu, memperlihatkan seorang gadis yang berada di belakang meja kerjanya sibuk menghadap ke sebuah komputer, rambut ikal keriting yang di kuncir tinggi, kacamata bertengger di pangkal hidung, dengan mulut sedikit menganga dengan seriusnya melihat file yang ada di komputernya, membuat Arkana menyunggingkan sedikit senyumnya.
"Lucu juga,"
Handphone gadis itu berbunyi, tiba-tiba dia melihat masuk ke ruangan Papa Fajar dengan sedikit bicara dan mengangguk angguk. Refleks Arkana mengalihkan pandangannya ke lain tempat, lalu berpura-pura asyik memainkan ponselnya saat tahu gadis itu masuk mendekatinya.
"Maaf Pak, mungkin Bapak membutuhkan sesuatu?" tanyanya menatap mata sayu lelaki berkulit putih itu.
"Gimana?" Arkan kembali menatap mata bulat berbulu mata lentik itu.
"Bapak butuh sesuatu? atau saya buatkan sesuatu?" ujarnya lagi.
"Boleh... teh... manis,"
"Baik... teh manis," ujarnya mengangguk, lalu berbalik menuju pintu,
"Eh, bukan...,"
"Gimana?"
"Bukan teh manis, tapi kopi Latte, ada?"
"Kopi Latte? ada..." sembari berpikir sejenak.
"Masa ada?"
"Ada Pak," jawabnya mantap.
"Lo baru ya?" kali ini Arkana memberanikan bertanya,
"Satu minggu... baru satu minggu Pak,"
"Pantes,"
"Eh, maaf?"
"Pantes baru, setau gue mesin kopi di pantry itu gak ada kopi latte nya,"
"Ada Pak,"
"Oh baru berarti mesinnya,"
"Nanti pake kopi Latte punya saya Pak, saya ada stok yang sachet an... saya permisi,"
Rasanya Arkana ingin sekali tertawa, "latte sachet an, niat banget," gumamnya.
Selang beberapa menit, gadis itu datang kembali membawa satu cangkir dan satu toples berisi biskuit.
"Jangan bilang biskuit ini juga punya lo," Arkana menaikkan salah satu alisnya.
"Gak papa Pak, di makan aja, maaf saya tinggal dulu,"
"Ok... makasih ya," pintu ruangan itu tertutup rapat.
Sebersit senyum tersungging di sudut bibir Arkana.
"Cantik... matanya bagus," gumamnya lagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tepat pukul tiga, Arkana keluar dari ruangan itu, alih alih ingin berterimakasih tapi sosok yang di pikir sedang duduk di belakang meja kerjanya itu entah pergi kemana.
"Namanya siapa gue gak tau... payah," dia menyugar rambutnya.
Lalu berjalan menuju lift, pintu lift pun terbuka sosok yang dia cari tadi sedang berdiri di sana menunduk membawa satu plastik entah berisi apa.
"Maaf, permisi Pak," sedikit menundukkan kepalanya.
"Darimana?" tanya Arkana menahan pintu lift.
"Oh, saya beli ini Pak," jawabnya menunjukkan satu plastik gorengan.
"Sebanyak itu lo makan sendiri?"
Anwa hanya tersenyum, karena memang begitulah adanya enam bulan menganggur uang tabungannya pun sudah habis, menunggu gajian bulan depan masih lama maka dari itu dia harus menghemat. Tidak ada Dika maka tak ada yang bisa membantunya dari segi ekonomi. Sebelum kematian Dika, Anwa bekerja di sebuah bank swasta sebagai staf kontrak di sana, gaji yang ia dapat pun hanya cukup untuk ongkos, makan dan keperluan sehari-hari saja, sedangkan bila ia menginginkan sesuatu, Dika lah yang memenuhinya.
"Itu makan siang?" Arkan akhirnya melepaskan tangannya dari pintu lift.
"Makan malam Pak," ujarnya tersenyum, "saya permisi,"
"Sebentar," panggil Arkan, "nama lo siapa?" tanya nya membalas tatapan mata bulat itu.
"Anwa, Pak,"
"Oh... ok, sampai ketemu lagi,"
Anwa hanya tersenyum lalu berjalan menuju kembali ke meja nya. Arkan hanya bisa memandang sebelum pintu lift tertutup rapat.
Sesampainya di dalam mobil, meraih ponselnya lalu membuka aplikasi online yang menyediakan fitur pemesanan makanan. Jangan tanya apa yang di pikirkan oleh Arkana, saat ini dia hanya merasa kasihan melihat gadis berambut keriting dengan flatshoes berwarna hitam itu.
"Alamat sesuai aplikasi ya, atas nama Anwa, junior secretary, makasih," ujarnya menutup pembicaraan di telpon itu.
***gimana...gimanaaa... udah ada feel belooom??? mudah-mudahan yaaah.
jangan bosen... jangan lupa juga like nya komen nya... vote ole ugaaaa 😂***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!