"Jatuh cinta itu..., Gimana rasanya, ya aku Pengin sekali ingin merasakan jatuh Cinta itu seperti apa Raga
Raga sedikit kelimpungan menanggapi pertanyaan Senja yang tidak biasa Memangnya kenapa?" Dia bertanya dengan hati-hati Senja tersenyum lebar dan memutar tubuh untuk menghadap Raga "Kayaknya, menyenangkan banget, bisa pergi berdua ke mana-mana, tukeran hadiah, ngerayain hari-hari penting sama-sama, seperti Kak Devan dan Kak Sheila " Senja menyebut nama abang Raga yang akhir-akhir ini sedang dilamun cinta dengan pacarnya
"Huh." Raga mendengus dan menekan kepalanya di bawah lengan. "Itu kan, kelihatan dari luarnya aja. Kalau lagi berantam, Kak Devan kerjaannya marah-marah terus. Cemberut sepanjang hari, atau mohon-mohon sama Kak Sheila supaya dimaafin. Kak Raga bilang, selalu Pihak Cowok yang harus ngalah, belum lagu harus inget tanggal-tanggal penting, misalnya tanggal jadian, terus mesti pusing mikirin harus beli kado apa.
Bikin kesalahan sedikit, Ceweknya bisa ngambek berhari-hari. Jatuh cinta itu ngerepotin, tau."
Senja tertawa, sudah terbiasa dengan gerutu khas Raga yang sangat sinis. "Itu kan, karena Raga belum pernah jatuh Cinta."
Raga meleletkan lidah tak peduli. "Kamu sendiri juga belum, kan?"
"Udah." senja mengerling jenaka. Sama Kak Devan
"Yeee...." Dengan gemas, Raga menepuk kening sahabatnya, ringan. "Itu sih Cinta monyet
Senja cengengesan, lalu kembali serius.
" Makanya, aku kepingin tahu, cinta yang sesungguhnya itu gimana rasanya...." Mereka berdua terdiam, larut dengan pikiran masing-masing
"Di antara kita berdua, siapa ya kira-kira yang bakal jatuh Cinta duluan? Kamu atau aku "
Raga secara otomatis menjawab pertanyaan itu. "Kamu lah ?
Senja tergelak. "Mungkin. Tapi, kamu atau aku, kita harus saling Cerita, ya? Janji ?
Raga hanya tersenyum dan mengangkat bahu, tidak ingin berjanji apa-apa. Senja yang tidak puas dengan jawaban tersebut mengulurkan tangan untuk menggelitik pinggang Raga. Dua remaja SMP itu bergulat di atas Reremputan, tertawa keras-keras sambil berusaha saling mendahului, hingga akhirnya Raga setuju untuk mengaitkan kelingkingnya dengan jari Senja. Janji dua orang sahabat untuk selamanya bersama
17 tahun kemudian
Jarum jam menunjukkan waktu lima belas menit sebelum pukul tujuh ketika terdengar bunyi gedubrak yang cukup kencang. Suara pintu dibanting, diikuti dengan langkah kaki yang cepat-cepat menuruni tangga.
Tidak lama kemudian, sesosok remaja perempuan yang baru beranjak usia tujuh belas tahun melongokkan kepala ke arah dapur dan tersenyum usil pada ibunya.Sang ibu cuma bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Hidup dengan dua putri yang sedang beranjak puber sama saja seperti hidup di medan perang, sewaktu-waktu bisa dengan tak sengaja menginjak ranjau yang meledak hebat. Senja anak pertamanya yang sudah duduk di bangku SMA sedang heboh-hebohnya melewati masa rebelling yang mengikutsertakan mood swing akut, keinginan untuk jadi seperti teman-temannya yang lain, juga mulai jatuh cinta. Setiap pagi, dia berkutat di kamar mandi setengah jam,
meluruskan rambut dengan alat catok, mengaplikasikan lipgloss penuh glitter, sampai mencoba bermacam-macam jenis diet. Belum lagi nilainya yang jeblok lantaran kebanyakan main ke mall, dan gampang melawan kalau dinasihati. Sementara, adik Senja bulan yang dua tahun lebih muda, memang cenderung lebih kalem dan dewasa daripada kakaknya. Tetap saja, sesekali kedua putrinya itu bisa bikin kepalanya mau pecah
"Ma, Senja berangkat dulu!"
Senja tampak sudah rapi. Rambutnya yang lurus sebahu dihiasi jepit kuning. Seragam putih abu-abunya sengaja dibuat model ketat zaman remaja sekarang, juga sepatu Converse bergaris kuning dengan pin kecil warna-warni di kaus kakinya. Sebelum sang ibu bisa berkata apa-apa mengenai aksesoris itu, Senja sudah mengecup pipinya dan melesat keluar, tidak lupa menyambar sarapan berupa setangkup roti gandung di atas meja makan.Mama Senja menghela napas lagi, lalu tersenyum
Senja melempar ranselnya hingga tersampit di punggung dan berdiri di bagian belakang sepeda. Kedua tangannya erat di Pundak Raga, dan dia mengkomando dengan suara lantang,
"Jalan, Bos
Raga yang sudah menunggu dua puluh menit di garasi terbuka rumahnya, menggerutu dengan kesal. "Udah telat masih nganggep gue sopir, pula."
Senja menepuk ubun-ubunnya dengan gemas. "Cuma telat sebentar aja, kok. Tadi ada emergency, Raga
Raga memalingkan wajah sekilas sambil terus mengayuh. "emergency apaan? Bad hair day ?"
Senja tertawa lepas. "Tau aja ih, Raga."
Lagi-lagi, Raga menggumam tak jelas, tak dihiraukan oleh Senja. Tentu saja Cowok gak akan ngerti, begitu pikir Senja Memangnya, enak tiba-tiba bangun pagi dengan rambut kriwil yang supermegar, atau kram perut karena datang bulan
Begitu tiba di sekolah, Senja segera ngeloyor masuk kelasnya, dengan ceria mengucapkan
Selamat Pagi. jenny sang ketua cheerleader, meneliti penampilannya dari atas sampai bawah, lalu mengangguk puas. Senja tersenyum bangga, mengambil tempat duduknya satu baris di depan Raga
Diam-diam, Senja sebenarnya ingin seperti Jenny dan teman-temannya. Mereka selalu kelihatan keren. Cantik. Lengkap dengan tas, jam tangan dan sepatu model terbaru, Cewek-cewek seperti Sheila selalu up-to-date dengan gaya fashion terbaru. Mereka juga jadi bagian elite grup pemandu sorak yang tidak bisa sembarangan merekrut anggotanya.Sejak dulu, impian terbesar Senja adalah menjadi cheerleader. Dia merengek pada Mama sampai akhirnya diperbolehkan les balet. Dia menonton setiap film tentang cheerleader dan dance dengan seksama, menghafalkan gerakan dan koreografinya. Kadang-kadang, dia latihan sendiri di kamarnya, menciptakan gaya tarian baru dan belajar dengan mengamati gerakan orang lain.Salah satu alasan Senja menyukai sekolah ini adalah karena tim cheers-nya yang jadi kebanggaan. Setiap tahun, tim cheers SMA Harapan selalu masuk kategori final kejuaraan cheerleading seluruh Jakarta, malah tidak jarang menyabet juara satu. Ada sesuatu yang magical dengan pompom--persatuan, kreativitas, disiplin ketat, latihan keras, dan kecintaan pada musik dan seni tari. Senja menghargai itu. Ia ingin jadi salah
Satu dari mereka.Dia masih ingat hari ketika dia mengikuti audisi untuk anggota baru. Kakinya bergerak begitu saja mengikuti hentakan musik, lalu tubuhnya mengikuti gerakan demi gerakan yang sudah dilatihnya selama berbulan-bulan. Lompatan maupun gerakan cartwheel yang biasanya merupakan tantangan besar bagi gadis-gadis lain tidak jadi masalah buat Senja, dia bisa melakukannya dengan mata terpejam sekali Pun. Ketika selesai, Senja tahu dia pasti berhasil. Dia bisa melihatnya dari tatapan kagum para senior, tepukan tangan Para anggota lain, dan anggukan samar Para guru. Dan sejak saat itu, akhirnya Senja berhasil menjadi bagian dari tim Pemandu sorak yang begitu diidolakannya
Eh, tau gak, hari ini ada anak baru yang masuk, lho!" Vanya, salah satu anggota geng jenny memutar kursi untuk menghadap Senja Katanya pindahan dari New York. Blasteran bule!"
"Oh ya ?" Senja mengangkat muka sekilas, walau dia sedang sibuk mengerjakan PR Matematika yang lupa diselesaikannya semalam, gara-gara begadang nonton Gossip Girl bersama Bulan, adiknya
Jenny mengangkat jari-jari lentik yang kukunya habis di Poles cat warna nude. Suaranya rendah dengan nada misterius. Denger-denger sih... anaknya model yang terkenal gak salah namanya Sandra Calthin
Kali ini, Senja langsung melupakan PR-nya. Sandra Clathin ? Model terkenal itu Senja Cinta Sandra Clathin Bahkan, dia punya posternya di kamar, tepat di atas meja belajarnya. Kalau lagi suntuk belajar, Senja akan bengong menatap poster itu sambil berkhayal. Sandra Clathin melenggak-lenggok di atas CATWALK untuk memamerkan koleksi musim gugur
Prada, launching koleksi hasil desainnya sendiri di New York tempo hari, yang masuk masalah fashion lokal maupun luar negeri. Sandra Clathin yang garis wajahnya mirip Claudia Schiffer, tapi dengan keanggunan ala Gisele Bundchen.
"Tuh, anaknya baru aja dateng
Secepat kilat, separuh isi kelas berhamburan keluar untuk melihat rupa anak tunggal Sandra Calthin yang hari ini resmi jadi murid SMA Harapan. Hanya Raga yang bermalas-malasan di mejanya, lebih senang mendengarkan musik dengan Hp nya daripada ikut bergosip.
"Raga, anaknya Sandra Clathin " Senja masih dengan bersemangat mengguncang lengannya.
"Terus kenapa...?"
" Huh. Senja cemberut, lalu menyusul Helena keluar. Raga tidak akan peduli sekalipun itu anak presiden
Dia melihat seorang gadis dalam balutan seragam merah kotak-kotak, yang menenteng tas Juicy Couture terbaru seperti yang Pernah dilihatnya di katalog fashion bulan ini. Gadis itu memang jelas-jelas Indo, dengan rambut kecokelatan sepunggung yang ditarik dengan baret hitam. Tubuhnya sangat tinggi dan sangat kurus, terlihat sedikit canggung ketika berjalan
"Ceking banget, Pasti anorexic. Bisik-bisik terdengar di antara kaum perempuan, raut iri dan kagum terlukis jadi satu di wajah mereka. Senja tidak mengindahkannya, dia sudah terbiasa mendengar komentar sinis teman-temannya.
Murid-murid laki-laki mulai bersiul dengan kurang sopan, membuat gadis itu mendongak ke atas, ke arah mereka yang sedang bergelantungan di depan kelas di lantai dua. Matanya tak sengaja bertemu Pandang dengan Raga. Raga tersenyum kikuk. Gadis itu memiringkan kepalanya sekilas, lalu kembali bergegas ke arah ruang TU
Jadi anak baru memang menyabalkan; salah satu hal paling menyebalkan di dunia ini selain kepergian Mama berbulan-bulan lamanya dan mendapat label anak aneh hanya karena dia lebih suka membaca daripada hangout seperti remaja lain seumurnya.
Bianca sudah sering pindah sekolah. Saking seringnya, dia sampai tidak ingat sudah berapa kali dia hengkang dari satu sekolah dan masuk ke sekolah lainnya. Beberapa kali keluarganya pindah mengikuti jadwal tour Mama keluar negeri, mulai dari Tokyo, London, New York, sampai balik lagi ke Jakarta, tempatnya dilahirkan. Bianca tidak
terlalu ingat tahun-tahun pertamanya tinggal di sini, waktu itu dia masih sangat kecil. Baginya, kota ini besar tapi semrawut. Sarat polusi, macet, dan panas setiap saat. Namun, entah mengapa dia suka tinggal di sini. Begitu banyak hal menarik yang bisa dipotretnya dengan kamera Nikon yang mengganduli lehernya ke mana-mana .
Bianca mendengus mengingat momen pertama kalinya dia menyeberangi lapangan basket sekolah baru ini--tadi pagi. Dia berjalan lengkap dengan seragam sekolah lamanya yang berbasis kotak-kotak merah, tas suede krem hadiah dari Mama waktu ke Milan, dan sepatu kets baru yang masih bersih. Terdengar siulan-siulan kurang senonoh dari lantai atas, dan begitu dia mendongak, belasan remaja laki-laki sedang menunduk ke bawah, memperhatikannya dengan seksama. Malah ada beberapa yang dengan cuek memotretnya dengan kamera HP. Dengan ngeri, Bianca mempercepat langkah ke arah ruang tata usaha untuk mengambil buku-buku Pelajarannya semester ini.
Bunyi suit-suit makin keras mengikuti bayangannya, lalu jadi senyap setelah guru BP yang berdiri di depan ruang TU menghardik mereka dengan galak. Bianca menghela napas lega, untuk sementara dia bebas, tapi predikat anak baru sudah keburu melekat. Dia merasa seperti objek, hanya karena dia bule. Blasteran. Indo. Beda dari yang lain.
Belum lama dia duduk di kantin sendirian, sudah banyak yang bergosip tanpa berusaha mengurangi volume suara.
"Itu anaknya Sandra Clathin, kan? Model terkenal tahun sembilan puluhan
"Katanya sih begitu. Tadi liat gak dia diantar pakai Jaguar hitam? Pasti tajir banget."Ya anaknya model dan Perancang terkenal, gitu lho
Kuping Bianca panas mendengarnya. Dia memang berat di nama--mamanya adalah Sandra Clathin Roberts, model senior yang masih sering muncul di vogue walau usianya sudah hampir empat puluh. Model berdarah Russia-Amerika-Indonesia yang namanya sudah malang-melintang di dunia fashion, yang akhir-akhir ini banting setir untuk berkiprah di dunia fashion design. Walaupun itu berarti beliau akan jarang di rumah, lebih sering
menghabiskan waktu di atas kursi empuk bussiness class pesawat terbang, menenggak beberapa butir aspirin untuk menghilangkan jet lag di kamar hotel, lalu sibuk mengurus ini-itu dengan partner bisnisnya. Walaupun itu berarti Bianca akan sangat merindukan Mama sampai akhirnya terbiasa dengan ketidak hadirannya.Bianca menarik sejilid buku usang dari tas dan mulai membaca sambil menikmati makan siangnya. Wuthering heights, sebuah judul yang tak pernah bosan dibacanya. Diam-diam dia hilang dalam bacaan itu, barisan kalimat yang bagaikan menghipnotis, untuk sementara membuatnya lupa bahwa dia adalah orang asing di sekolah ini
Di sisi lain
Raga tidak ingat kapan tepatnya Senja mulai berubah.senja yang dikenalnya dulu adalah anak perempuan bandel yang tidak gentar memanjat pohon jambu di halaman rumahnya. Anak kecil yang cekikikan sambil mengebut dengan sepeda gunungnya, juga tak ragu bermandi hujan dan air banjir yang becek. Mereka sudah bertetangga sejak usia lima tahun, jadi Raga bisa bilang kalau dia mengenal sahabatnya ini luar dalam
" Raga "
Raga bahkan menghafal suara cempreng itu dengan baik.Senja berdiri di hadapannya sambil mengunyah batangan snack kismisnya, lengkap dengan seragam cheers yang serba pink.
Rambut sebahunya dikucir satu tinggi-tinggi di atas kepala, bibirnya terulas lipstik merah muda senada, dan matanya dibingkai sedikit Pemulas
Mau latihan cheers atau mau ke pesta, sih?" Raga tidak tahan untuk tidak menyindir pedas. Akhir-akhir ini, Senja jadi gemar dandan. Dia jadi salah satu anggota cheers, jadi tergila-gila dengan warna pink, selalu diet dengan hanya mengonsumsi makanan rendah
kalori, dan jadi... centil. Raga masih kurang terbiasa dengan kebiasaan baru macam ini
Senja melengos sambil Cemberut. "Hari ini mau nungguin aku selesai latihan, kan
Raga melirik jam tangannya. Masih ada satu jam. "Ya udah, deh."
"Sip!" Dengan senyum lebar, Senja menepuk pundak Raga dua kali sebagai ungkapan terima kasih, lalu menghilang di balik pintu ruang olahraga. Tidak lama kemudian, lagu Avril Lavigne yang sering dipakai tim cheers untuk latihan menggema sampai ke luar
Raga menggaruk kepala dan menyeret langkah ke arah UKS. Tidur siang lagi di ranjang UKS, deh. Kalau tidak, kasihan Senja nanti pulangnya jalan kaki sendirian
Flashback
Senja bisa bersahabat dengan Raga karena ibu mereka dekat. Sejak keluarga Senja pindah ke seberang rumah Raga, ibu mereka saling mengunjungi sambil membawa anak masing-masing. Kadang kursus masak bareng, kadang ikut kelas aerobik sama-sama, Perawatan di salon, arisan atau sekedar mengobrol dengan dua cangkir teh hangat. Anak-anak ditinggal di pekarangan begitu saja, mungkin semacam latihan sosialisasi supaya mereka mudah berinteraksi sejak usia dini.
Awalnya, Raga dan Senja tidak acuh terhadap satu sama lain. Raga duduk sendiri dengan robot-robotannya di pangkuan, sedangkan Senja main Barbie lengkap dengan rumah-rumahannya. Bulan selalu tertidur di atas sofa, mengisap jempol. Namun, setelah berjam-jam, para Mama mengobrol tanpa ada tanda-tanda akan selesai, Senja sepertinya mulai gerah.
" Aku Senja kamu Punya sepeda kan "
Senja mendongak ketika ditodong seperti itu. Dari tadi dia sengaja tidak menyapa gadis kecil itu, takut koleksi robotnya dirusak atau terpaksa main Barbie juga. Ih, Raga tidak akan mau ke-gap sedang main boneka perempuan! Punya sepeda nggak Anak itu mengulangi dengan tidak sabar.
Raga menunjuk ke arah garasi tanpa berkata-kata lebih lanjut.
"Yuk
Dengan tenaga yang Cukup besar untuk seorang anak perempuan, Senja menarik tangan Raga setengah menyeretnya ke garasi
Senja yang pertama kali mengajarinya bahwa mengayuh Pedal kencang-kencang lalu membiarkan sepeda menuruni lintasan Curam adalah salah satu hal paling mengasyikkan di dunia
Senja memberitahunya bahwa kenikmatan main ayunan adalah udara segar yang menerpa Wajah saat mereka berdiri di atas papan kayu sambil menentang Senja juga yang sibuk bercerita bahwa langit yang paling indah ada tepat sebelum malam beranjak
masuk--ketika langit berubah ungu dan merah jambu dengan loreng-loreng merah oranye, dengan mataharinya kembali ke peraduan. Sebagai gantinya, Raga mengajari Senja menangkap kunang-kunang dengan tangan kosong, juga berbagai tempat kesukaannya di kebun belakang dengan gadis kecil itu. Mereka bergantian membonceng sepeda sampai Mama Senja mengajak anak Perempuannya Pulang. Waktu itu, Raga hanya bisa memandang Senja yang berjalan menjauh, sambil sesekali berbalik dan melambai ke arahnya dengan gigi ompong yang terlihat di balik senyum lebarnya
" Bianca, seragamnya sudah selesai "
Tiga potong seragam putih abu-abu yang sama persis bentuk dan ukurannya diserahkan dalam bungkusan plastik. Bianca lega besok dia bisa mulai berseragam sama dengan murid-murid di sini.
Gara-gara tidak ada seragam yang pas dengan tubuhnya yang tinggi kurus, pihak sekolah terpaksa membuat tiga setel khusus costum-made untuknya .Besok, hari-hari sekolahnya sebagai Pelajar SMA di Jakarta akan dimulai. Hari ini, dia setengah membolos, untuk mengurus administrasi
"Bu, bisa minta obat ?" Bianca bertanya sopan pada perempuan di balik meja Tata Usaha. Kepala saya pusing.
"Oh, minta saja di UKS. Tuh, di lorong kedua belok kiri."
"Terima kasih." Bianca bergegas ke arah yang ditunjuk dengan kepala berdenyut. Tiba-tiba saja kepalanya pusing. Semalaman berkutat mencetak hasil fotonya di ruang gelap membuatnya kurang tidur, dan kalau sedang asyik sendiri, Bianca jadi sering lupa dia punya problem anemia yang Cukup Parah.Ruang UKS kosong. Ada tempat tidur berkelambu putih di pojok, lengkap dengan kabinet obat-obatan di sampingnya dan sebuah meja kecil. Tidak yakin apa yang harus dilakukan, ia memutuskan untuk menunggu sambil bersandar pada sebuah kursi
Tak lama kemudian, seorang murid laki-laki masuk tanpa mengetuk pintu, membawa iPod hitam special edition U2 dengan volume diputar keras-keras. Dia menyapukan pandangan sekeliling, dan tanpa berkata apa-apa langsung melompat ke atas ranjang UKS. Bianca diam saja, berharap penjaga UKS segera datang.
Tidak lama kemudian, terdengar suara murid laki-laki itu yang bertanya, "Sakit apa
Bianca tadinya tidak yakin dia sedang mengajaknya bicara, tapi berhubung hanya mereka berdua yang sedang ada di sana, dia memberanikan diri menjawab lirih. Pusing
Pipinya memerah seketika. "Ya. Anemia." Tirai yang menutupi tempat tidur disibakkan dengan bunyi berisik. Murid laki-laki itu melongokkan kepalanya untuk melihat Bianca.
"Kalau begitu lo pasti lebih butuh tempat tidur ini daripada gue
Dia setengah memaksa Bianca untuk berbaring di sana, tidak menghiraukan tolakan bernada sungkan. Bianca memperhatikannya diam-diam; rambut yang terjuntai berantakan di kerah dan melewati telinga, sepasang mata gelap dengan pandangan tajam, dan ekspresi wajah cuek yang tidak tersenyum. Lalu, pemuda itu mengambil tempat duduk tidak jauh dari sana, memejamkan mata sambil mendengarkan lagu. Bekas tempatnya berbaring hangat, dan Bianca pun turut memejamkan mata
"Kamu sendiri sakit apa ? Pemuda itu menarik sebelah earphone-nya supaya bisa mendengar lebih jelas. "Penyakit malas. Lagi pula, Cumama tempat ini yang bisa dijadiin sarana tidur siang yang aman dan nyaman
Bianca tertawa kecil mendengar jawaban yang dilontarkan seenaknya itu. "Lagi denger lagu apa
Lawan bicaranya menyeringai ketika ditanya begitu. " Mau denger juga?"
Bianca menyambut sebelah earphone dengan ragu dan melekatkannya di telinga. Bukan jenis lagu yang biasa didengarkannya, tapi... cukup menarik. Interesting, Bianca menyimpulkan this guy has an interesting sense of music
"Ragaaa
Pintu UKS dibuka dengan sembrono, membuat Raga terlonjak sedikit. Senja masuk dengan napas tersengal, ikat rambutnya longgar sehingga helai-helai rambut yang membingkai pipi bulatnya basah oleh keringat. Langkahnya terhenti ketika melihat seorang gadis berdiri tidak jauh dari tempat tidur UKS yang sempit. Senja mengenalinya sebagai murid baru (anaknya Sandra Clathin ) yang pagi tadi datang dengan seragam sekolah lamanya. Kalau tidak salah namanya Bianca Putri. Nama yang anggun sekali, seperti nama seorang putri. Dalam jarak dekat seperti ini, Senja bisa melihatnya lebih jelas; sepasang alis yang melengkung sempurna, mata hijau tua yang dibingkai oleh bulu mata panjang yang super lentik, dan wajah polos yang pucat tanpa make-up. Fitur-fitur
Wajahnya begitu menonjol dan tidak proporsional--kedua matanya sipit, sedangkan hidungnya sedikit crooked, persis seperti ibunya, namun entah mengapa dia terlihat menarik. Seperti model, Senja membatin. Di matanya, Bianca terlihat begitu keren dalam
balutan seragam sekolah swasta luar negeri.Sebelum Senja sempat berkata apa-apa pada anak baru itu, Raga bangkit berdiri, lalu menghampiri Senja. Seperti biasa, ditariknya tas yang disandang Senja sehingga kini ia membawa dua tas, termasuk miliknya sendiri yang tersampir di Punggung. Mereka
Berdua berjalan menuju lapangan parkir sekolah. Sesekali Senja menengok ke belakang, melihat Bianca yang masih duduk di atas tempat tidur UKS.
"Kamu kenal sama anak baru itu
Raga mengangkat bahu. "Tadi baru kenal waktu di UKS doang kok."
Bianca Panggilannya akrab banget, Senja berpikir diam-diam. "Dia sakit ?
"Katanya sih pusing."
"Ooo. Dia mirip sama Sandra Clathin ya? Cantik, ya, Raga Mudah-mudahan dia sekelas sama kita
Tidak lama kemudian, akhirnya Senja berhenti menyebut nama Sandra dan mulai sibuk bercerita tentang gaya dance baru yang diciptakannya tadi waktu latihan. Sepanjang perjalanan dengan Senja membonceng bagian belakang sepedanya, bercerita dengan penuh semangat. Raga mendengarkan tanpa antusiasme total, pikirannya merembet ke mana-mana
Raga memang tidak ingat kapan tepatnya Senja berubah, tapi dia ingat jelas kapanPertama kalinya dia menyadarinya. Hari itu hari pertama orientasi SMA Para kakak kelas dengan kejamnya memaksa seluruh murid tahun pertama untuk memakai seragam SMP lama mereka lengkap dengan rangkaian petai terkalung di leher. Yang perempuan harus mengepang rambut jadi tiga puluh bagian--tidak peduli seberapa berantakan yang penting ada tiga puluh set per kepala. Yang laki-laki harus pakai bando perempuan, plus jepitan rambut warna-warni.Pagi itu, Senja muncul sambil merengut. Ia tampil heboh dengan tatanan rambut dikepang rapi kecil-kecil, juga untaian petai yang semerbak. Rok SMP-nya sudah Saracilan dan kependekan, sehingga dia terus-menerus menarik ujungnya dengan tak nyaman
Raga tidak sadar betapa Cepat Senja berkembang selama dua bulan libur musim Panas kemarin. Padahal, dari dulu Senja kan pendek, kecil, dan pakai kawat gigi. Pokoknya boyish abis. Rambutnya juga biasa dibiarkan pendek dan menjuntai hingga leher, lebih banyak terkena matahari sehingga ujungnya pecah-pecah
"Aneh, ya?" Senja bertanya dengan gemas, menarik-narik rambutnya. Mana petainya bau banget lagi
Raga ingin tertawa, tapi dia malah tercengang. Senja masih Senja, tapi Senja bukan lagi
Senja Masuk akal gak sih ? Maksud Raga sekarang Senja kelihatan berbeda. Entah sejak kapan kedua tungkai kakinya mulai memanjang, diikuti dengan lekuk pinggang yang sempurna. Kulitnya terasa lembut ketika menyentuh Raga Rambutnya mula
di panjangkan hingga menyentuh bahu, bersih dan berkilau di bawah terik matahari. Raga jadi ingin menyentuhnya, ingin tahu karena kelihatannya halus sekali. Matanya bulat, bibirnya kemerahan, lehernya jenjang. Senja Cantik. Adjektif terakhir itu terdengar aneh di mulut Raga Karena dia tidak pernah menganggap sahabatnya itu sebagai perempuan sungguhan.Lalu, ada lagi kejadian ketika Cowok-cowok kelasnya berkumpul, topiknya tentu saja tidak jauh-jauh dari perempuan
" Cewek-cewek SMA Harapan Cantik-cantik, ya." Rizky, salah satu anak baru, buka suara. "Gak nyesel masuk sini."
Waktu itu, Raga diam saja, tanpa komentar menonton anak-anak kelas dua main basket
di lapangan dari tempatnya bergelayut di pagar lantai dua. Dia paling malas ikut nimbrung masalah perempuan dan penaklukan--kesannya macho tapi norak.
"Iya," timpal Debo, salah satu teman sekelas Raga sejak SMP. "Cakep-cakep. Liat sih Jenny mulus banget. Atau si Vanya."Lalu, murid-murid pun ikut berdiskusi dengan seru.Kalau gue sih lebih suka sama Linny. Seksi." Yang lain sibuk menggoda dan bersiul nakal.
"Kalo Gue milih Sara. Gue demen cewek yang mungil kayak dia.
"Sara biasa aja. Kalo Senja bagimana?"
Kuping Raga jadi supersensitif mendengar nama itu disebut." Senja Nikola ciputra ya...?" Salah seorang dari mereka mulai memperhatikan gerak-gerik Senja yang sedang mengobrol seru dengan teman-temannya di tepi lapangan.
"Manis. Ceria, kayaknya orangnya asyik."
"Tipe gue banget tuh
" Senja, kan, teman dekat Raga sejak kecil." Kiki, yang memang sudah mengenal Raga dan Senja sejak SD berkomentar. Gimana menurut lo Raga "
Raga mengangkat bahu dengan cuek, tapi hatinya sedikit berdebar. "Biasa aja. Gue udah terlalu lama sahabatan sama dia
"Jadi boleh kita kejar, ya
Raga tidak terlalu mendengarkan lagi. Dia tidak ingin mengakui bahwa dia juga merasa
Senja menarik. Kenapa, ya? Padahal, dari dulu Raga biasa aja di dekat Senja Cewek itu yang berubah... atau Raga yang berubah
Pikiran Raga buyar seketika begitu Senja melompat dari sepeda dan meraih tasnya. Pelukan di pinggangnya melonggar begitu saja.
" Thanks, Raga ! See you tomorrow."
Sebelum masuk ke rumah, Senja sempat melambai dan tersenyum lebar. Bau Cologne bayi yang dipakainya masih menusuk hidung Raga membuatnya sedikit kepayang.Pintu rumah Senja sudah tertutup rapat, tapi Raga masih bengong sambil menuntun sepedanya. Iya, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
Namanya Raga angkasa Stevano Bianca mendengar Orang-orang
memanggilnya Raga jadi dia pun mencoba menyebutkan nama itu diam-diam, untuk
mengetes bunyinya. Raga, Raga
Dengar-dengar, dia sangat pintar. Nilainya tidak pernah kurang dari angka delapan,
Walaupun dia jarang belajar dan lebih sering ketiduran saat pelajaran. Gayanya Cuek dan sepertinya sifatnya agak pendiam. Bianca mengambil tempat duduknya di sebuah bangku kosong di baris kedua paling
Belakang. Hari ini, resmi jadi hari pertamanya belajar di sekolah baru. Tasnya sudah terisi beberapa Buku tulis kosong dan daftar pelajaran per minggu, juga sekotak pen warna biru yang khusus dibelinya. Murid murid lain masih berkeliaran di luar sebelum
Bel berdering, beberapa duduk di atas meja sambil mengobrol Bianca tahu dia masih jadi pusat perhatian. Diam-diam, dia menyalahkan bentuk tubuhnya yang kurang normal dan penampilannya yang sangat jauh dari raut Asia.Juga nama Mama yang sangat, sangat tenar.Dengan gugup, Clara mengeluarkan buku bukunya. Merapikan mereka di atas meja, menyusunnya berdasarkan urutan pelajaran. Memasukan beberapa ke dalam laci, lalu berubah pikiran
"Duh, kapan sih bel akan berbunyi ?
Di depan kelas, Bianca melihat Raga Dia sedang bercanda-canda dengan murid sekelasnya, seorang gadis berambut poni yang lengan kemeja putihnya digulung dan dijepit bros pink--gadis yang kemarin membuka pintu UKS, lalu pulang bersama Raga Dia menyambut uluran tangan Raga menerima earphone dan memasangnya di telinga.
Tiba-tiba, Raga mendongak Pandangannya dan Bianca bertemu tanpa sengaja. Bianca jadi salah tingkah, lalu menunduk malu. Ketika ia mengangkat muka, Raga
Sudah mengambil kembali earphone-nya dari gadis itu. Tiga detik kemudian, bel pertama berbunyi. Raga mengambil tempat duduk tepat di belakangnya. Bianca menyembunyikan wajahnya yang memerah walau dia yakin Raga tidak akan bisa melihatnya.
Cewek yang tadi berdiri di samping Raga justru duduk di samping sheila. Dia memperhatikan Bianca sejenak, lalu pertanyaan itu tersembur begitu saja dari mulutnya,
"Kamu beneran anaknya Sandra Clathin kan?"Pertanyaan itu terdengar sungguh polos sehingga insting pertama Jenny adalah ingin tertawa daripada tersinggung, tapi jika dia tertawa pasti akan tidak sopan sekali. Jadi sambil menahan tawa, Bianca mengangguk serius
Raga berkomentar singkat dari belakang. Senja fans beratnya Sandra Calthin
Gadis itu-- Senja mengangguk antusias. Bisa minta tanda tangannya gak yah?"
Senja tersenyum dikulum, lagi.
"Sekarang, Mama lagi tour ke Paris. Nanti ya kalau
" Udah balik, aku mintain tanda tangannya untuk kamu." Mata Senja membulat kagum.
Bianca sadar sesuatu, lalu menjulurkan tangannya. "Oh ya, aku Bianca Pleasure to meet you."
Senja menyambut jabatan tangannya dengan senyum lebar. "Aku Senja Panggil aja Senja
Raga menggeleng-geleng ringan.
"Hati-hati sama Senja nanti diterkam. Dia mengoleksi segala hal yang berbau Sandra Clathin
Yang diledek memukul lengan Raga dengan lembut, lalu mencubitnya. Bianca merasakan kedekatan mereka, mungkin mereka teman baik, atau bahkan... pacar?
"Senja sahabat gue, sejak kecil." Raga berkata lagi dengan tiba-tiba seakan bisa membaca pikirannya. Bianca bersemu merah sekali lagi, lalu mengangguk mengerti.
"Kemarin, belum sempat tur keliling sekolah, kan?" Senja berkata sambil tersenyum.
"Nanti, pas istirahat siang, aku tunjukin tempat-tempat rahasia sekolah ini, dari tempat makan bakso paling enak sampai tempat bolos paling oke
Bianca menyanggupi tanpa banyak bicara. Sejujurnya, dia tidak berharap banyak untuk persahabatan ini, toh Sheila tidak terbiasa memiliki sahabat. Setiap pindah sekolah, selalu ada teman-teman lama yang ditinggalkannya, juga orang-orang baruyang harus dikenalnya. Awalnya dia terus berkoresponden dengan beberapa teman lamanya, tetapi lama-kelamaan rutinitas menulis e-mail untuk satu sama lain semakin
berat dan mereka hilang kontak begitu saja. Sejak saat itu, Bianca tidak ingin terlalu dekat dengan remaja-remaja seumurnya--dia benci rasa kehilangan ketika akhirnya harus mengucapkan selamat tinggal.
"Kamu mau ikut ekstrakulikuler apa?" Gadis di sampingnya mulai berbicara lagi.
Sepertinya, dia tidak pernah kehilangan energi. "Di sini ada kelas melukis, memasak,
" olahraga, band, sampai cheerleading." Sambil membusungkan dada, Senja melanjutkan
dengan nada bangga, "Aku anggota cheers. Kamu mau ikutan? Dengan postur tubuh seperti kamu, pasti gampang banget jadi anggota."
Sheila tidak ingin menjawab bahwa jadi pemandu sorak adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya. Mereka semua tidak tahu seberapa buruknya dia dalam olahraga apa pun jenisnya. Dia tidak bisa memegang raket dengan benar, selalu gagal memasukkan bola ke dalam gol maupun keranjang, selalu lari paling lambat, dan dengan ceroboh jatuh karena tersandung kaki sendiri. Jadi cheerleader? Bisa-bisa semua
Orang mati ketawa melihatnya berlaga di atas panggung dengan pompom rafia warna-warni dan gerakan patah-patah
"Ada kelas fotografi?"
"Ada" Raga yang menjawab. "Tahun ini anggota klub fotografi mau bikin galeri kecil untuk pentas seni."
Hati Bianca melambung, dan segera dia teringat pada kameranya yang sudah lama tidak menjepret foto. Kalau begitu aku akan bergabung dengan klub fotografi."
Senja kelihatan sedikit kecewa. Padahal, kamu pasti cocok banget jadi cheerleader."
"Nanti aku foto kalian para cheerleader aja deh." Bianca menawarkan, dan dengan cepat semangat Senja pulih. Kamu bisa jadi modelnya
Tangannya sudah gatal ingin memotret. When you take a Photography of someone, you take a potrait of their soul, begitu ayahnya sering berkata. Bianca ingin mengunci ekspresi di
Wajah Senja, semangatnya yang berkobar-kobar dan wajah polosnya yang manis. Wajah orang-orang asing di sekitarnya, yang merupakan objek fotografi paling menarik. Lalu,
Wajah Raga sorot matanya yang tajam, garis wajahnya yang tegas, dan senyumnya yang belum pernah benar-benar tampak sebelumnya.
Jika dia tersenyum, Bianca ingin menyimpan kenangan ekspresi itu melalui lensa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!