"Bun, aku berangkat ke kampus dulu ya, Bye!"
"Tunggu, Rim! Rimba!!"
Sia-sia, anak itu sudah keburu ngacir bersama motornya.
"Kenapa, Bun?" tanya Galang yang baru saja turun dan langsung duduk di meja makan. Dengan santainya ia menyeruput teh hangat yang sudah tersedia disana.
"Adik kamu itu, Lang. Susah sekali dikasih tau, disuruh sarapan dulu kok malah ngeloyor aja pergi," omel Vania masih terlihat jengkel.
"Mungkin ada kuliah pagi, Bun," jawab Galang tenang.
"Masa tiap hari kuliah pagi? yang benar saja. Ini kuliah, bukan anak sekolah yang jamnya sudah diatur, masuk jam 7 pulang jam 2. Emangnya dulu bunda nggak pernah kuliah gitu?" omel Vania yang tiada henti, dan membuat anak sulungnya itu jadi ketiban apes. Gara-gara ulah adiknya, dia sendiri yang kena omelan dari sang bunda.
"Udah dong Bun, jangan ngomel-ngomel gitu ah. Percuma, Si Rimba-nya juga udah pergi, mana bisa denger dia tuh," kata Galang lalu beranjak dari duduknya.
"Tapi seenggaknya kamu dengerin keluhan bunda tentang adik kamu itu," ucap Vania.
"Iya Bun aku denger kok. Nanti malam aku tegur deh tuh anak, kalo perlu aku kurung dia dikamar mandi kalau paginya nggak mau sarapan," ujar Galang lalu mencium punggung tangan Vania hendak berpamit berangkat kerja.
"Hati-hati ya di jalan, bawa mobilnya pelan-pelan aja. Jangan kaya adik kamu itu, naik motor kok kaya naik Speedboat. Wusszz!!" kata Vania.
Galang hanya menanggapi sang bunda dengan senyuman kecil lantas berpamit pergi.
*
Jalanan kota dipagi hari selalu padat. Rimba dengan lihainya menyalip setiap kendaraan di depannya dengan meliuk-liuk.
"Gawat, udah telat! praktikum pasti udah dimulai," gumam Rimba seraya memainkan kedua matanya ke kanan dan ke kiri, melihat spion motor yang ditungganginya.
Dipertigaan depan saat lampu merah menyala, dia memilih belok ke kiri langsung, padahal arah ke kampusnya kan seharusnya masih lurus. Ternyata ia mengambil jalan pintas dengan menyusuri perumahan yang lebih sepi agar bisa lebih cepat, ketimbang harus nunggu lampu merah yang lamanya bisa bikin kita ketiduran sampai bermimpi indah.
BRAKK!!
Nahas, pas ditikungan yang lumayan tajam Rimba terlalu melambung ke kanan, mengambil lajur dari arah berlawanan. Bertepatan dengan itu muncullah mobil Outlander berwarna putih melintas didepannya. Dan tabrakan pun tak bisa terelakkan.
Motor Rimba bertubrukan dengan mobil sport tersebut, hingga body motor itu nyangkut di bemper depan mobil yang sudah terlihat penyok. Rimba pun terlempar ke sisi jalan dengan luka di tangan dan kakinya. Meski hanya luka sedikit, tapi perihnya luar biasa. Jaket dan celananya saja sampai robek begitu. Beruntung ia mengenakan helm full face yang tidak mencederai kepalanya meski terbentur trotoar.
Warga yang melintas disana pun langsung berkerumun menolong Rimba.
"Mas, nggak apa-apa kan?" tanya seorang warga membantu Rimba untuk berdiri, dan memapahnya berjalan ke dekat toko kelontong.
Sorang warga yang lainnya memberikan satu botol air mineral kemasan kepada Rimba.
"Minum dulu, mas!" ucapnya.
Rimba menerima botol minum itu tapi tidak langsung meminumnya. Tak lama seseorang dari dalam mobil putih itu turun, dan menghampiri Rimba yang tengah dikerumuni beberapa warga yang melintas disana.
"Kamu tidak apa-apa? ada yang luka?" tanyanya ikut berjongkok, menyeimbangi Rimba yang duduk selonjor di teras toko kelontong itu. Terlihat gadis itu terus mengatur deru napasnya yang ngos-ngosan, mungkin kaget efek kaget.
Rimba tak menjawab pertanyaan orang itu, ia hanya menggelengkan kepalanya.
Tak lama para warga disana mulai mengevakuasi motor Rimba yang masih menyangkut di bemper mobil. Setelah berhasil, mereka mendorong motor Rimba ke tepi jalan, tepatnya ke hadapan Rimba sendiri. Ternyata mesin motornya sudah tidak bisa menyala. Kaca lampu depan dan spion pun pecah, intinya motor bagian depannya benar-benar hancur.
Rimba langsung bangkit meski tertatih-tatih, ia ingin memastikannya lebih dekat kondisi motor kesayangan yang kini buruk rupa.
"Oh motor gue," lirihnya sambil mengelus jok motor yang masih terlihat utuh. "Brengsek!" ucapnya kini mengalihkan pandangan ke arah pengendara mobil yang masih berdiri disampingnya.
"Motor gue gimana nih? tanggung jawab!" geram Rimba seolah disini dia saja yang menjadi korban, padahal fisik mobil itu juga terlihat penyok dengan penuh goresan di bagian bemper depannya.
"Excuse me? bukannya disini anda yang salah? Harusnya saya yang minta pertanggung jawaban karena mobil saya juga penyok," ujar lelaki sang pemilik mobil sport putih itu sambil menunjuk ke mobilnya sendiri.
"Jadi Lo nggak mau tanggung jawab nih?" Rimba semakin geram. Dia melepas helm full face yang sedari tadi membalut wajah serta rambutnya yang panjang tergerai.
"Eh, Dia Cewek?"
"Kirain cowok."
"Tadi aku panggil dia Mas tapi diem aja."
gumam para warga yang tadi menolongnya.
"Bukannya saya tidak mau tanggung jawab, tapi disini sudah jelas anda yang salah karena mengambil lajur orang. Saya yang seharusnya minta pertanggung jawaban anda," kata yang punya mobil.
"Enggak! Gue nggak ngelambung, gue jalan sesuai lajur gue kok," ujar Rimba masih tetap Keukeuh.
Orang itu malah tersenyum miring meremehkan. "Oke, kalo gitu kita buktikan siapa disini yang salah dengan melihat rekaman CCTV itu!" tunjuknya pada CCTV yang terpasang di toko kelontong itu, yang kebetulan menghadap langsung ke jalan.
Mendengar hal itu Rimba terdiam, ia kembali mengingat-ingat apakah tadi dia mengendarai motornya itu melambung, atau tidak. "Haissh, Sial!!" desisnya setelah ia mampu mengingat semuanya.
"Betul Mbak, tadi saya lihat Mbak-nya pas dibelokkan itu terlalu ngelambung, dan nggak tau kalo mobil si Om bule ini baru keluar dari komplek," ujar salah satu warga yang kebetulan menyaksikan tabrakan itu dari awal.
"See? sekarang anda paham siapa disini yang salah?" ujar si pemilik mobil itu lagi.
Rimba hanya mampu menghela napas pasrah. Kenapa pagi ini sial sekali? udah telat kuliah praktikum, motornya hancur, nabrak mobil orang, suruh tanggung jawab pula. Helloow... apa kabar dunia!!
"Oke, saya tidak punya banyak waktu sekarang. Intinya saya tidak mau ribet, kita selesaikan secara kekeluargaan. Tapi kalau anda mempersulit, terpaksa saya ambil jalur hukum. Bagaimana?" ujar orang itu terlihat angkuh.
"Terus sekarang maunya gimana? gue harus bayar ganti rugi, begitu? trus kabarnya motor gue gimana? siapa yang mau ganti rugi? mana belum lunas pula cicilannya," ujar Rimba malah jadi curhat.
"Mana KTP kamu?" tanya orang itu tak memperdulikan ocehan Rimba.
"Buat apa? aku nggak bawa KTP!" dusta Rimba ketus.
"Kalau gitu SIM?" tanyanya lagi.
Rimba mendengus, lalu terpaksa membuka dompetnya dari dalam tas. Dia malah menyerahkan Kartu Tanda Mahasiswa kepada orang tersebut. Rimba hanya tidak ingin orang itu tahu alamat rumahnya. Bisa repot kalau sampai dia datang ke rumah dan bertemu bunda.
Orang itu mengernyit saat membaca nama, dan fakultas yang tertera di kartu mahasiswa itu.
"Rimba Dylania Putri, Fakultas Kedokteran," gumam orang itu membacanya, lalu memfoto Kartu mahasiswa tersebut dengan kamera di ponselnya.
"Kenapa difoto segala? takut gue kabur?" tanya Rimba seraya merebut kembali KTM-nya.
"Tidak, cuma kaget aja. Calon dokter kok kelakuannya preman," gumam orang itu masih sinis dan bikin sang gadis jadi makin geram.
Rimba menghela napasnya agar tidak terpancing lagi emosi, bisa berabe kalau jadi panjang urusannya. 'Sialan ni orang!' umpatnya dalam hati.
"Oke, hari ini saya sedang buru-buru. Kita selesaikan masalah ini diwaktu yang lain. Permisi." ucap orang itu lalu pergi gitu saja meninggalkan Rimba yang masih menatap bengong kepergiannya.
"Lha trus motor gue gimana? Astaga, dasar Om-om gila! bisa-bisanya cuma mentingin dirinya sendiri!" umpat Rimba disaat Mobil putih itu sudah melaju pergi.
"Sabar aja mbak, gimana lagi kan mbaknya yang salah," kata salah seorang warga tadi yang menolongnya.
"Iya Neng, segitu juga udah untung nggak ngelibatin polisi. Bisa berbuntut panjang nantinya," sahut ibu-ibu yang sepertinya baru pulang dari pasar karena banyak menjingjing kantung belanjaan ditangannya.
Rimba hanya bisa memejamkan matanya sesaat, bingung apa yang kini harus ia lakukan. Telepon si Bunda? tidak mungkin. Bisa-bisa dia dipukul pakai sapu kaya waktu itu, karena membuat mobil kakaknya penyok pas mundur digarasi.
Bagaimana reaksi Vania, Bundanya Rimba saat mengetahui motor yang cicilannya baru memasuki dua tahun itu sudah hancur seperti itu?
.
.
.
Akan selalu ada keberuntungan dibalik kesialan.
Rimba terpaksa menemui sang kakak di kantornya. Ia tak berani pulang karena takut diomeli bunda Vania.
"Sekarang motor kamu dimana?" tanya Galang setelah mendengar semua yang telah dialami adiknya hari ini.
"Aku langsung masukin bengkel lah, Kak. Tapi---"
Rimba tak melanjutkan kalimatnya karena ragu untuk diungkapkan.
"Tapi apa?" tanya Galang melotot.
"Biaya perbaikannya mahal. soalnya ada beberapa sparepart yang harus diganti dan barangnya sudah diindenkan," gumam Rimba mencoba menjelaskan.
"Berapa?" tanya Sang kakak seraya menatap tajam pada adiknya.
"Kurang lebih sekitar 4 jutaan," jawab Rimba seraya menggigit kuku jarinya. Kebiasaannya dari kecil kalau dia tengah gugup atau mengakui kesalahan.
"Astaga Rim, jumlahnya nggak sedikit, mahal itu. kamu tuh nggak cape apa cari masalah mulu? aku aja cape lho liatnya," ujar Galang yang bekerja sebagai Supervisor HRD di perusahaan MM Gemilang.
"Siapa juga yang mau celaka kaya gini, kalau tau bakal gini, ya mending tadi pagi aku tidur aja lagi, nggak usah ke kampus ngejar kelas praktikum yang nyatanya nggak ke kejar," jawab Rimba malah menyesali diri sendiri.
"Nggak gitu juga Rimba, kalau cara mengendarai motor nggak ugal-ugalan, hal seperti ini kemungkinan kecil tidak akan terjadi," kata Galang yang resah dengan perilaku adiknya yang semakin hari semakin membuatnya khawatir. "Andai saja ayah masih ada," lirihnya.
"Kok malah jadi bawa-bawa Ayah sih? aku kan jadi sedih, kak," gumam Rimba menunduk. Teringat sang Ayah yang sudah satu tahun ini tiada.
"Karena kamu cuma nurutnya sama Ayah, Rim! Pliss, kali ini kamu nurut sama omongan Bunda, jangan bertindak sesuai keinginanmu terus. Contohnya tadi pagi. Hargai Bunda, kalau bunda minta kamu sarapan dulu sebelum berangkat kuliah kamu turuti. Jangan seenaknya pergi gitu aja. Seenggaknya hargain bunda yang udah capek-capek siapin sarapan buat kita berdua," jelas Galang menasihati Rimba panjang lebar.
"Tapi aku nggak biasa sarapan pagi Kak, aku biasa makan jam 10 bukan jam 7, mual aku tuh kalo makan sepagi itu," bantah Rimba.
"Dibilangin masih aja bantah! kamu gitu terus, aku stop biaya kuliahmu. Emangnya kuliah kedokteran itu murah? aku capek kerja gini buat siapa? sebagian besar buat biaya semester kamu, paham?" ujar Galang mulai jengah dengan sikap sang adik yang cueknya bukan main.
Rimba hanya bisa menelan salivanya. Sadar, bahwa selama ini kalau bukan kebaikan hati dari kakaknya, mana mungkin dia bisa meneruskan kuliahnya sepeninggal sang Ayah.
"Oke, ini kali terakhir aku bantu kamu. Aku akan bayarin biaya perbaikan motor mu dibengkel. Tapi dengan syarat kamu harus Nurut apa yang aku dan bunda minta, apapun itu. Janji?"
"Apapun itu?" tanya Rimba mengulang ucapan sang kakak.
"Iyess, apa pun itu! mengerti?"
"Iya Kak, aku janji," jawab Rimba mantap.
"Bagus."
"Tapi---"
"Tapi apa lagi?" Galang memicingkan sebelah matanya curiga. Sepertinya ada hal lain yang ingin Rimba katakan.
"Orang yang punya mobil itu minta ganti rugi, Kak. Soalnya gara-gara tabrakan itu mobilnya jadi lecet-lecet gitu dan sedikit penyok," ujar Rimba kali ini menggigit bibir bawahnya. 'Mampuslah Lo, Rim. Kakak Lo nggak bakalan kasih ampun kali ini,' batinnya bermonolog.
"For God sake, Rimba!" geram Galang menjambak rambutnya yang kelimis itu ke belakang. "Berapa juta lagi itu? Kamu tau? perbaikan mobil itu lebih mahal dari motor!" Kata Galang kali ini benar-benar jengah dengan adiknya ini.
"Trus gimana? Kakak mau bantu juga kan? aku janji, kelak kalau aku sudah jadi dokter, aku bakalan gantiin uang kakak semuanya," ujar Rimba penuh keyakinan, namun segera dipatahkan Galang.
"Kalau kelakuanmu kaya gini, aku malah sanksi kamu bisa lulus dengan cepat," ujar Galang kesal.
"Ucapan itu doa lho, Kak. Jangan nyumpahin gitu dong!" sahut Rimba.
"Aku nggak nyumpahin, tapi realistis."
"So, kakak mau bantu aku apa nggak?" tanya Rimba beranjak dari duduknya.
"Sori, yang ini aku nggak mau bantu. Kamu pikirkan saja solusinya sendiri. Cari kerja kek, apa kek. Biaya semester kamu aja udah bikin aku pusing, Rim" ujar Galang kali ini tegas. Selama ini dia terlalu memanjakan adiknya itu. apa yang selalu ia inginkan selalu dituruti.
Rimba menghela napasnya sejenak sebelum berkata lagi. "Baik, aku nggak akan ngerepotin kakak lagi selain urusan kuliah. Permisi Kak!" ujarnya beranjak pergi. "Satu lagi!" gadis itu menghentikan langkahnya sejenak dan kembali menatap Galang. "Kakak dan bunda jangan protes kalo sekarang aku sering pulang malem," katanya.
"Kenapa?" tanya Galang seraya menautkan kedua alisnya.
"Kan kakak yang suruh aku kerja. Dan aku bisanya kerja malem, siangnya kan kuliah," sahut Rimba enteng, lalu kembali melanjutkan langkahnya keluar.
"Hey! Rimba!" Galang langsung berdiri dan mengejar adiknya itu keluar. "Tunggu Rimba! Malem-malem mau kerja apa kamu! Rim!" Lelaki itu mengejar adiknya sampai depan pintu lift.
"Apa sih, Kak? tadi kurang jelas?" tanya Rimba setelah menekan tombol turun disisi pintu lift.
"Kamu jangan macem-macem lagi ya!" ancam galang sedikit berbisik karena takut terdengar dengan sesama rekan kerja lain yang tengah sama-sama menunggu lift tersebut.
"Macem-macem gimana? Aku cuma mau nyari kerja di malam hari kok. Apa itu salah? kakak sendiri kan yang nyuruh aku kerja buat ngegantiin kerugian orang itu?" ucap Rimba, tak sadar suaranya sampai didengar orang-orang yang berada dekat dengannya.
"Tapi, Rim---"
Pintu lift pun terbuka, Rimba buru-buru masuk bersamaan dengan seseorang yang baru keluar dari lift yang sama.
"Rimba!" panggil Galang sekali lagi.
"See you, Kak" gadis itu malah melambaikan tangan bersamaan dengan pintu lift yang tertutup.
"Haish! bocah siyalaan!" umpat Galang.
"Siapa? pacar kamu?" tanya orang yang barusan keluar dari lift itu.
"Eh, bukan Pak Marco. Itu adik saya," sahut Galang saat menyadari orang itu ternyata atasannya sendiri.
"Oh, kirain pacarnya. Ya sudah, kembali bekerja!" ujar lelaki nomor 1 di kantor ini sambil berlalu.
"Baik Pak." sahut Galang sedikit membungkukkan badan padahal si Bos itu sudah pergi meninggalkannya.
.
Masih terngiang-ngiang dikuping Rimba omelan sang kakak yang terkadang membuatnya bosan dan jengah.
'Kamu tuh ya Rim, udah dibilang naik motor itu jangan ngebut, jadinya begini kan? makanya dengerin omongan kakak sama Bunda. Jangan masuk kuping kiri keluar kuping kanan, (dan bla....bla...bla...)'
"Aaaarrgg!" teriak Rimba meluapkan kekesalannya disebuah taman kota yang cukup sepi.
"Hey, ada masalah apa?" seseorang menepuk bahunya. Dialah Ellena, sahabat karibnya dari sejak SMP dulu.
Rimba memang tadi menghubungi Ellena dan memintanya untuk ke taman ini menemani dirinya yang tengah terguncang.
"Elle, kenapa nasib gue sial gini sih?" keluh Rimba pada Ellena.
"Sial kenapa? gara-gara tadi nggak bisa ikut praktikum?" tanya Ellena.
"Itu salah satunya, Elle." sahut Rimba lalu menyandarkan kepalanya dibahu Ellena yang penampilannya sangat bertolak belakang dengan Rimba yang urakan.
"terus, Lo kenapa lagi?"
"Lo ada info loker yang bisa part time?" tanya Rimba.
"Lowongan kerja? buat apa?" Ellena mengerutkan keningnya heran.
"Buat bayar utang gue ke orang," sahut Rimba.
"Lo punya utang ke siapa?"
"ke si om-om bule siyalan itu!" sahut Rimba jadi kesal kalau inget kejadian tadi pagi.
"Hah?"
.
.
.
Berpikirlah sebelum berbicara, karena dengan begitu kamu akan mengurangi kesalahan dan masalah yang mungkin akan terjadi.
Bunda Vania sudah tau semuanya tentang apa yang dialami Rimba hari ini. Tentunya dari siapa lagi kalau bukan dari Galang.
"Duduk kamu!" pinta Vania saat Rimba baru saja berani pulang ke rumah, setelah sang kakak memintanya pulang dengan jaminan si Bunda tidak akan mamarahinya.
"Maaf Bun," lirih Rimba.
"Maaf kenapa? kamu punya salah?" tanya Vania.
"Iya, karena nggak pernah nurut sama Bunda," gumam Rimba.
"Bagus kalau kamu menyadarinya," sahut Vania. "Bunda galak gini bukan karena bunda benci sama kamu, Rim. Itu karena Bunda ingin kamu belajar berfikir dewasa. Sejak ayahmu tiada, kehidupan kita berubah. Sekarang kita berdua hanya mengandalkan Galang sebagai tumpuan hidup, termasuk biaya kuliahmu," ujar Vania panjang lebar berharap kali ini Rimba paham.
"Iya Bun, aku tau aku salah," gumam Rimba seraya menundukkan kepalanya.
"Nanti kalo motor kamu udah selesai diperbaiki, segera kamu jual motor itu! lalu uangnya bisa buat ganti rugi yang punya mobil," kata Vania.
"Apa?" Rimba begitu terkesiap, mendongak menatap Vania nanar. Ia kaget bukan main saat sang bunda meminta motor kesayangannya untuk dijual.
"Tapi kan motor itu masih setahun lagi lunasnya, Bun" ujar Rimba, berharap Vania mempertimbangkannya kembali.
"Kan bisa over kredit. Lumayan kan buat bayar ke yang punya mobil itu. kali aja nanti ada sisanya buat nambahin uang semesteran. Nanti bunda tawarin ke anak Pak RW, kebetulan dia lagi nyari motor bekas buat di bawa ke Bandung." kata Vania bagitu antusias.
"Si Geri maksud bunda?"
"Anak Pak RW atu-atunya siapa lagi kalo bukan Geri. Aneh kamu ini," gumam Vania.
"Tapi Bun--"
"Apa? kamu nggak setuju kalo motornya dijual?" potong Vania seakan sudah tau arah pembicaraan anaknya itu.
Rimba hanya bisa memanyunkan bibirnya. Pasrah. Posisinya sudah lemah sekarang. Protes pun sudah tidak mungkin dipertimbangkan lagi. Semua sudah ketok palu, deal!
"Trus aku ke kampus naik apa?" gumam Rimba kemudian.
"Kan bisa naik ojol, lebih aman kan?" jawab sang bunda.
"Aman dari mana Bun, sama-sama naik motor kok," sahut Rimba.
"Tapi yang bawanya kan bukan kamu, itu yang bikin bunda tenang," kata Vania tak boleh kalah omongan sama anaknya yang satu ini.
Rimba hanya bisa mendengus tak bisa membantah lagi. Pupus sudah, tak ada kesempatan untuk kejar-kejaran dijalanan seperti biasanya. Baginya sekarang yaitu kuliah, lulus, co-***, ujian sertifikasi dan internship. Itu yang terpenting.
'Ayo Rim! fokus...fokus belajar! biar cepet jadi dokter, kerja, trus bisa beli motor sendiri,' batin gadis itu menyemangati dirinya.
***
Satu Minggu,
Dua Minggu,
Tiga Minggu,
Kini Rimba ke kampus pulang pergi menggunakan jasa ojek online, lebih murah karena sering ada promo dari aplikasi yang mensponsori. Gadis itu sudah mulai terbiasa dengan perubahan gaya hidupnya kini.
Motor kesayangannya pun kini sudah resmi jadi milik Geri, anaknya Pak RW yang seusia dengannya. Teman sepermainan, teman ngajak ribut dari kecil dulu. Hanya saja sejak beranjak dewasa mereka jadi tidak begitu akrab lagi. Mungkin karena kesibukannya yang sudah masing-masing membuat keduanya jarang bertemu. Ditambah Geri sekarang kuliah di Bandung, mengambil jurusan arsitek karena dari kecil memang punya hobi menggambar rumah, dan gedung tinggi.
Malam itu, saat tengah serius mengerjakan tugas kuliahnya, tiba-tiba ponsel Rimba bergetar di atas meja. Rimba mengernyit saat muncul nomor tak dikenal dari layar ponselnya.
"Hallo..." sapa Rimba ragu. Takutnya modus penipuan yang mengatasnamakan toko online terkemuka seperti pengalamannya baru-baru ini. Untungnya Rimba langsung sadar saat si penipu itu menanyakan OTP yang tak seharusnya orang lain mengetahuinya.
"Dengan Rimba?" tanya Seseorang diseberang sana.
"Ya, siapa nih?" Rimba mengernyit.
"Saya Steven, orang yang mobilnya kamu tabrak beberapa waktu lalu," ucap diseberang sana dengan suara baritonnya.
"Yang mana ya?" tanya Rimba pura-pura lupa. 'Gila nih om-om, tau dari mana nomer gue? perasaan di KTM nggak dicantumin nomer hp,' ucapnya dalam hati jadi penasaran. Padahal sebelumnya Rimba sempat berharap orang itu tidak bisa menemukan keberadaan dirinya jika hanya bermodalkan foto KTM saja. Ternyata lelaki itu serius dengan omongannya, meminta semua data tentang Rimba dari kampus.
'Jangan pura-pura lupa kamu!'
"Ih, kok sewot sih? Maaf ya Om, saya bukannya lupa, cuma ngetes aja takutnya Om itu penipu yang lagi marak. Waspada boleh dong!" ucap Rimba seraya menjulurkan lidahnya meledek. Bodo amat, toh dia kagak liat. Pikirnya.
'Perbaikan mobil saya habis 11 juta. Jadi kapan anda bisa membayar tagihannya?'
"Buseet, 11 juta?" kaget Rimba sampai mulutnya ternganga begitu.
'Kenapa? Anda tidak percaya? itu sudah saya kirim notanya di WA message. Kalo tidak percaya juga anda datang saja ke bengkelnya. Mobil saya masih disana, belum saya ambil,' ucapnya begitu serius diseberang telepon.
"Hmm... boleh saya cicil Om? Motor saya yang kemarin aja udah saya jual cuma kena 7 juta. Maklum cicilannya masih setahun lagi, ditambah abis tabrakan kemarin abis 4 juta. Tapi itu pake uang kaka saya," ujar Rimba malah jadi curhat.
'Whatever, I don't care what you say. Intinya saya sudah kirimkan bukti notanya, silahkan anda kirimkan uangnya ke rekening yang ada disitu. Selamat malam.'
Panggilan telepon pun langsung terputus begitu saja.
"Kampret ni orang, kagak sopan banget main tutup-tutup aja! Bodo ah, nggak bakalan gue bayar!" gumam Rimba mengumpat.
Tak lama kemudian suara nada pesan pun berbunyi.
081214xxxxx :
Jangan lari dari tanggung jawab kalau tidak ingin berhubungan dengan hukum.
"Astaga, bener-bener ya ni orang," geram Rimba. Lalu ia gatal untuk segera membalasnya.
Rimba :
Oke, gue transfer 7 juta sekarang juga. Sisanya gue cicil. Titik.
(Send)
081214xxxxx :
Sisanya saya kasih waktu sebulan.
Rimba menepuk jidatnya sendiri. "Gila ni orang, emang nggak punya perasaan. Gue musti pinjem 4 juta ke siapa? Ellena punya nggak ya?" gumamnya bicara sendiri. Rimba hanya ingin segera melunasi semuanya agar tidak berhubungan dengan orang itu lagi.
"Siapa tadi namanya? Steve? Steven? Siapalah itu, I don't care who you are," ujarnya didepan cermin sambil memasang wajah judesnya seraya berkacak pinggang.
.
.
.
Tak kenal maka tak sayang. Seringnya kita membenci orang yang belum kita kenal karena kita membenci semua yang tampak darinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!