Seorang gadis belia usia delapan belas tahun dengan perawakan tinggi semampai, rambut panjang lurus dan kepribadian yang menyenangkan, sedang memimpin rapat di ruang OSIS SMA Tunas Bangsa. Dia terpilih menjadi ketua OSIS karena kemampuan akademik dan kepribadiannya yang tegas dan mandiri.
Saat ini Kanaya Basuki sedang duduk di bangku kelas sebelas. Ini adalah rapat terakhir yang dipimpinnya sebelum lengser dari jabatannya sebagai ketua OSIS. Sesuai peraturan sekolah, bahwa siswa-siswi kelasdua belas tidak diperkenankan aktif dalam organisasi sekolah, agar tidak mengganggu konsentrasi dalam menghadapi ujian nasional.
“Sekian rapat kita hari ini, semoga acara perpisahan untuk kakak kelas kita minggu depan berjalan lancar.” Ucapnya mengakhiri rapat.
Semua peserta rapat segera beranjak dari kursinya masing-masing dan kembali ke kelasnya. Lusi dan Tigor berjalan menghampiri Naya yang terduduk lesu.
“Kenapa kamu, Nay? Lesu amat? Detik-detik menjelang lengser terasa berat ya?” tanya Lusi.
“Bukan, Lus. Bapak.” Jawabnya singkat.
“Kenapa lagi bapakmu?” Tigor menyahut.
“Biasa, asmanya kambuh. Aku harus segera pulang nanti, untuk urusan dekorasi aku serahkan pada kalian berdua ya, maaf.” Sesalnya.
“Tenang, kita berdua selalu siap untuk membantumu.” Tigor menepuk bahunya.
Naya, Lusi dan Tigor sudah bersahabat sejak awal masuk SMA karena mereka bertiga dinobatkan sebagai Trio Ngeyel karena selalu membantah perintah senior apabila dirasa permintaannya ngadi-ngadi alias di luar akal sehat dan tidak mendidik, saat masa ospek berlangsung.
“Terima kasih ya, Temanku.” Memonyongkan bibirnya seperti akan mencium.
“Nay, kebiasaan deh! Pantes gak ada cowok yang naksir sama kamu. Walaupun bodi oke, wajah cantik, kalau kelakuan minus ya males lah cowok mau deketin kamu.” Tigor menegur Naya yang suka melakukan tindakan-tindakan konyol dan menjijikkan.
“Aku melakukannya agar tidak ada cowok yang mendekatiku. Bikin pusing aja.” Ucapnya sombong.
“Idih, mulai deh sombongnya.” Lusi menarik lengan Tigor untuk keluar ruangan meninggalkan Naya.
Naya hanya tersenyum melihat dua sahabatnya itu melangkah keluar ruangan. Diambilnya buku agenda miliknya dan menyusul dua temannya menuju ke kantin sekolah.
****
Ketika bel tanda pulang sekolah berbunyi, Naya segera bergegas ke parkiran sekolah dan mengambil sepeda bututnya. Naya tidak pernah merasa malu megendarai sepeda pemberian bu Laras, karena itu akan membuatnya lebih cepat sampai rumah tanpa mengeluarkan tambahan ongkos. Sesimpel itu jalan pikiran Naya, begitu jauh dari kesan anak SMA yang kebanyakan ingin tampil modis.
Naya mengayuh sepedanya di bawah teriknya sinar matahari yang membakar kulit dengan penuh semangat. Dia ingin lekas sampai rumah dan bertemu dengan bapak. Butuh waktu dua puluh menit baginya untuk sampai rumah dengan kecepatan penuh sesuai kemampuannya.
Banyak teman sekolahnya yang menawarkan tumpangan, tapi Naya selalu menolak. Dia bukan tipe orang yang suka berhutang budi. Namun, karena kondisi ekonomi keluarganya, Naya dan orangtuanya terpaksa menerima kebaikan pemilik panti untuk tinggal di rumah kecil di bagian belakang panti. Itupun tidak mereka terima secara cuma-cuma, keluarga Naya bekerja di panti sebagai imbalannya.
“Naya pulang,” sapanya pada wanita paruh baya yang sedang menjemur pakaian penghuni panti.
“Eh, Naya sudah pulang. Apakah kamu beli obat asma punya bapak?” wanita itu Wati, ibu Naya.
“Iya bu, sudah Naya belikan.” Naya memarkir sepedanya dan mencium tangan ibunya yang kurus dan keriput.
“Segera cuci tangan dan ganti bajumu. Tadi bu Laras bilang ke ibu, kalau ada yang mau bu Laras sampaikan padamu.” Naya mengangguk dan masuk ke dalam rumah.
Rumah yang Naya tempati bersama bapak dan ibunya itu, dulunya sebuah gudang penyimpanan logistik panti karena berdekatan dengan dapur. Sejak lima tahun lalu, Naya tinggal di sini karena kebaikan pemilik panti yang mau menerima bapak dan ibunya sebagai tukang kebun dan tukang cuci di sini.
Tugas Naya sepulang sekolah adalah membantu pengurus panti menyelesaikan pekerjaannya, mengajak adik-adik bermain atau membantu membersihkan panti. Panti sosial ini adalah rumah singgah untuk anak yatim piatu, penyandang difabel, tuna wisma dan para lansia (jompo).
Naya sebagai anak tunggal, merasa betah tinggal di panti bersama banyak orang sehingga dia tidak kesepian lagi. Namun terkadang hatinya perih ketika melihat ada bayi baru yang dikirim dengan sengaja untuk diserahkan pada Laras dan lainnya.
“Pak, ini obatnya. Naya bantu minumkan ya.” Naya masuk ke kamar bapak setelah berganti pakaian dan makan siang.
“Hmm, makasih.” Basuki sudah seminggu ini terbaring lemah karena sakit asmanya kambuh.
Bila sedang kambuh begini, Basuki menjadi lebih pendiam dari biasanya. Mungkin karena napasnya akan sesak bila terlalu banyak bicara dan bergerak. Selesai membantu bapaknya minum obat, Naya bergegas menemui Laras di kantornya.
“Permisi, Bu. Boleh Naya masuk?” Naya masuk ke ruangan Laras yang pintunya sedang terbuka.
“Silahkan, Naya.” Laras menjawab dari balik meja kerjanya. “Duduk, Nay.”
Naya duduk di kursi yang biasanya dipakai untuk menerima tamu panti. Mata Naya berkeliling, melihat sekeliling ruangan dan menilai kapan sebaiknya dia membersihkan ruangan itu lagi.
“Sudah, jangan terus mencari pekerjaan. Sekali-kali, kamu boleh hanya bermain dan membantu menjaga adik-adik.” Rupanya Laras tahu apa yang sedang Naya pikirkan. “Naya, ada yang ibu ingin sampaikan padamu.” Laras
duduk di dekat Naya. “Apa Naya bersedia menjadi pengurus panti, membantu ibu dan yang lain?” tanya kepala panti itu.
“Maksudnya bagaimana, Bu? Naya tidak mengerti.”
“Jadi, ibu berpikir untuk merekrut Naya menjadi pengurus panti. Melakukan pekerjaan seperti yang biasa Naya lakukan, tapi mendapatkan gaji. Memang tidak besar, tapi bisa Naya jadikan uang saku atau tabungan. Gimana?”
“Wahh, Naya bersedia sekali, Bu.” Sahut Naya dengan mata berbinar senang.
Selama ini dirinya dengan tulus melakukan berbagai pekerjaan sebagai ucapan terima kasih pada pengurus dan pemilik panti, yang Naya tidak pernah temui, karena sudah bersedia menerima bapak dan ibunya bekerja di sini dan memberikan mereka tempat tinggal secara cuma-cuma.
“Selama lima tahun ini, Naya tidak pernah berubah dan selalu tulus membantu kami mengurus penghuni panti. Karena itulah pak Indra ingin merekrut Naya sebagai pengurus. Mengingat usia Naya sekarang sudah lebih dari tujuh belas tahun.”
Oh, jadi pemilik panti ini pak Indra namanya. Seperti apa ya orangnya? Semoga Tuhan selalu melindungi dan memberkati beliau karena sudah mendirikan panti ini untuk tempat kami berlindung, doanya dalam hati.
“Naya?” Laras membuyarkan lamunannya.
“I-iya, Bu.” Sahutnya tergagap.
“Ini kamu baca dulu, tidak perlu terburu-buru. Tanyakan bila ada yang tidak dimengerti, baru kamu bisa tandatangani.” Laras menyodorkan amplop cokelat yang bersi satu bendel surat kontrak dan ketentuannya.
“Ini Naya bawa dulu ya, Bu. Mau disampaikan ke ibu dan bapak dulu.” Setelah mengatakannya, Naya pamit pulang.
“Wah, aku akan punya uang untuk membantu bapak dan ibu membeli keperluan mereka. Wah, senangnya…” sepanjang koridor, tak hentinya Naya tersenyum dan menggumam bahagia.
Dia menghentikan langkahnya di depan pintu dapur, ketika dilihatnya ibu sedang mengambil piring dan mengisinya dengan makanan.
“Bu, mau ambilkan makan untuk bapak?” Ibunya hanya mengangguk. “Sini biar Naya yang bawakan, ibu bantu Naya bawa amplop ini.” Naya menyerahkan amplop di tangannya dan mengambil piring dari tangan ibunya.
“Ini amplop apa, Nay?” Wati membolak-balik amplop sambil terus berjalan mengikuti langkah putrinya.
“Itu awal kebahagiaan bapak dan ibu.” Naya begitu senang dengan apa yang berhasil dia dapatkan, satu langkah untuk membahagiakan orangtuanya telah terwujud.
****
Hai, Smart readers.
Bagaimana kabarnya? Semoga selalu sehat dan dalam lindungan Tuhan. Jangan lupa ritualnya tiap selesai baca ya. Like, komen, tekan simbol hati, vote dan rate bintang lima ya.
Terima kasih.
“Ibu makan saja dulu, nanti kita buka amplopnya sama bapak.” Naya meletakkan piring yang dibawanya tadi di sebuah meja yang biasanya mereka gunakan untuk makan bersama.
Rumah yang mereka tempati hanya terdiri dari dua buah kamar dan satu ruangan yang lebih luas dari kamar yang mereka tempati. Naya tidak memiliki ruangan khusus untuk makan atau menerima tamu karena mereka jarang kedatangan tamu seperti keluarga kebanyakan.
Kalaupun ada tamu, biasanya mereka akan berbincang di teras atau koridor panti. Untuk kegiatan kebersihan diri, mereka menumpang di kamar mandi panti. Begitu juga untuk urusan perut. Praktis rumah Naya hanya digunakan untuk beristirahat.
Setelah ibunya menghabiskan makannya, Naya mengajak Wati ke kamar bapaknya berikut amplop yang dia dapat dari Laras. Naya sudah tidak sabar memamerkan pada kedua orangtuanya bahwa sebentar lagi dia bisa membelikan obat asma bapak dan keperluan mereka menggunakan hasil keringatnya.
“Pak,” panggilnya lirih.
“Hmm.” Bapak menoleh ke arah pintu dan tersenyum melihat Naya, tangannya melambai meminta Naya mendekat. “Ada apa? Senang? Hhh…” tanya Basuki singkat.
“Pak, ini Naya punya berita bagus buat kita semua.” Naya meminta Wati duduk di tepi ranjang, sedangkan dia sendiri berdiri seraya membuka amplop seperti pembaca teks proklamasi.
“Tadi bu Laras manggil Naya ke kantornya. Beliau menawarkan pekerjaan untuk Naya.” Basuki menggerakkan kepalanya ke atas seperti bertanya, 'Kerjaan apa?'.
“Naya diminta menjadi pengurus panti, karyawan tetap seperti bu Laras, mbak Rini dan mas Bagas. Bagaimana, Pak, Bu?” Naya meminta pendapat.
“Apa kamu bisa, Nak? Jadi pengurus panti itu kerjanya banyak, tanggung jawabnya besar. Hubungannya bukan hanya dengan orang sekitar dan penghuni panti, tapi itu amanat dari Tuhan. Tidak boleh asal-asalan kerjanya.” Wati khawatir karena Naya masih terlalu muda, mudah goyah pendiriannya.
“Iya sih. Kalau bapak, bagaimana?”
“Bapak ingin Naya kuliah.” Basuki menghela napas pendek-pendek.
“Iya, Pak. Naya juga ingin kuliah. Nanti uang hasil Naya kerja di panti akan Naya gunakan untuk membayar biaya kuliah. Bapak ingin Naya jadi apa?”
“Orang berguna.”
“Hehehe, ini lebih berat lagi dari mengurus panti.” Naya tersenyum mendengar keinginan bapaknya.
Bapaknya melambai, meminta Naya mendekat. Basuki memegang tangan Naya erat dan berkata, “Lakukan yang membuatmu bahagia.” Lalu pria itu melambai lagi meminta Naya meninggalkannya.
“Ayo, Nay. Biarkan bapak istirahat. Kita bicara di luar saja.” Wati menarik lengan Kanaya agar mengikutinya.
“Bu, sepertinya bapak belum membaik. Apa tidak sebaiknya kita panggilkan dokter?”
“Nanti juga membaik. Lagipula, pinjaman kita pada panti sudah begitu besar. Ibu malu bila harus pinjam lagi.” Ucap ibunya sendu.
“Tidak apa, Bu. Nanti biar Naya yang membayar pinjaman kita menggunakan uang gaji Naya.” Ibu hanya tersenyum seraya membelai kepala Naya.
“Nay, kamu sudah besar. Ingat pesan bapak dan ibu, jangan pernah melakukan hal yang membuatmu tidak bahagia. Sudah cukup kamu merasakan ketidakbahagiaan selama bersama kami.”
“Ibu kok ngomongnya gitu? Seperti mau pergi jauh saja. Naya khan jadi sedih. Lagipula, Naya bahagia kok.” Naya memeluk ibunya erat.
“Jadi wanita itu harus kuat, tegar, tidak boleh lemah. Karena wanita itu tempat bersandar suami dan anak. Kita harus bisa menjadi penopang keluarga.”
“Iya, Bu. Akan Naya ingat pesan ibu. Lalu bagaimana dengan amplop ini?” Naya melambaikan amplop di tangannya.
“Pikirkan dulu baik-baik. Kalau kamu merasa sanggup, lakukan. Bapak dan ibu selalu mendukung pilihanmu.”
“Terima kasih, Bu.” Naya memeluk dan mencium pipi keriput ibunya.
****
Tak terasa acara perpisahan siswa kelas dua belas akhirnya digelar hari ini. Naya sudah sibuk sejak pagi untuk memeriksa kesiapan tim dan acara. Naya termasuk tipe perfeksionis dan teliti bila menyangkut pekerjaan.
“Lus, sudah kamu pastikan semua seksi siap ya?”
“Beres, Nay. Aman.”
“Tigor mana? Untuk area parkir dan keamanan, siap?”
“Tigor masih diskusi dengan pak Rudi dan satpam sekolah terkait itu. Kamu sendiri bagaimana? Mau jadi pasangan siapa nanti malam? Reza atau Akbar? Atau malah Rafli?”
“Apaan sih. Aku akan tetap menjadi ketua kegiatan. Sudah, kerja sana. Gosip aja kerjanya.” Naya melenggang meninggalkan Lusi yang sedang mencebik ke arahnya.
“Nay, Naya!” seseorang berteriak memanggil Naya.
Naya menghentikan langkahnya dan menengok ke belakang. Tiga pria yang Lusi sebutkan namanya tadi sedang berjalan cepat ke arahnya.
“Nay, untung ketemu kamu di sini.” Ucap Reza.
“Ada apa nih? Kok pada ke sini semua?” Naya kebingungan melihat tiga pria tampan sekolahnya menghampirinya bersamaan.
“Kami tidak mau saling tikung. Secara jujur kami mau meminta kamu untuk memilih menjadi pendamping acara perpisahan nanti malam bersama salah satu dari kami.” Timpal Akbar.
Reza, Akbar dan Rafli adalah tiga pria tampan dan memukau di sekolah Naya, mereka bersahabat dan digandrungi hampir semua siswi, kecuali Naya. Reza mantan ketua OSIS sebelum Naya. Akbar selalu menjadi juara umum di sekolah. Rafli kapten tim basket dengan fans yang sebagian besar cewek-cewek cantik di sekolah Naya.
“Kamu tentukan pilihanmu di depan kami semua. Agar sportif dan tidak ada yang sakit hati atau bermain curang.” Tambah Rafli.
“Apaan sih kalian? Naya tidak bisa memilih salah satu, karena…”
“Kalau begitu, kamu nanti temani kita bertiga ya.” Celetuk Reza. “Kita gak keberatan kalau kamu maunya begitu.” Disambut anggukan kedua teman lainnya.
“Bukan begitu, Naya tidak bisa menemani kalian nanti malam. Karena Naya sudah harus ada di rumah sebelum maghrib. Kalian pilih saja salah satu dari mereka, pasti mereka bersedia. Maaf ya.” Naya meninggalkan ketiga pria tampan yang sedang melongo mendengar jawaban Naya.
Reza yang pertama kali menengok ke arah yang tadi Naya tunjuk dengan dagunya. Ternyata di belakang mereka sudah ada beberapa siswi yang sedang tersenyum centil dan mengedipkan matanya ke arah mereka bertiga menunggu dipilih untuk dijadikan pendamping acara perpisahan.
“Waduh, bisa babak belur kita. Kabuuurrr…!” Reza berlari ke arah Naya pergi diikuti dua temannya.
****
Sudah hampir maghrib ketika Naya memarkir sepedanya di tempat parkir panti. Tidak biasanya halaman depan sepi dengan keliaran anak-anak yang bermain atau sekedar berkumpul melihat teman lainnya bermain.
Naya bersenandung lirih saat melewati koridor panti menuju rumahnya. Bahkan kantor Laras juga sepi dan pintunya tertutup. Tak ingin banyak berpikir, Naya terus saja melangkah. Hingga tiba di dekat rumahnya, suasana di hadapan Naya berbanding terbalik dengan yang dilihatnya sejak memasuki halaman panti.
Semua pengurus dan penghuni panti tumpah ruah di depan rumahnya, bahkan berdesakan di ruang tengah. Dan yang membuat Naya segera berlari, hampir semua yang ada di sana menangis. Bapak, batinnya.
Naya menyerbu kerumunan orang yang berada di rumahnya. Melihat Naya datang, semua orang secara otomatis membuka jalan baginya. Naya langsung menuju kamar bapak dan apa yang dilihatnya membuat lututnya lemas.
“Bapak! Ibu!” Naya menubruk tubuh bapak yang terbujur kaku di ranjang. Mengguncangnya dengan keras agar bapaknya bangun dan membuka mata.
“Bapak!” Naya meraung seperti singa kesakitan. Tak berhasil membangunkan bapaknya, Naya beralih pada tubuh ibunya, “Bu, Ibu. Ini Naya, Bu. Bangun, Bu!” Naya mengguncang tubh ibunya tak kalah keras dengan yang dilakukannya pada tubuh bapaknya.
“Pak! Jangan tinggalkan Naya. Bu! Naya takut sendirian.” Naya terus menangis meraung tanpa henti.
Semua yang hadir di situ turut menangis menemani kesedihan Naya yang kehilangan kedua orangtuanya sekaligus.
****
“Naya, sudah nak. Jangan sampai tangismu menghambat jalan mereka menuju kedamaian. Kita doakan saja mereka, ya.” Laras meraih dan memeluk Naya dengan erat.
“Bu Laras, apa yang terjadi dengan orangtua Naya?” Kesedihan tergambar jelas pada sorot matanya.
“Tenangkan dulu dirimu, Nay. Itu ada dokter Lyla yang tadi sempat memeriksa mereka. Kamu bisa tanyakan pada beliau.” Laras menunjuk seorang wanita cantik berjas putih yang tersenyum ke arah Naya.
Dokter Lyla mendekati Naya dan memeluk bahunya. “Dik, tadi pak Basuki mengalami serangan asma. Ketika saya sampai, bapak sudah meninggal. Saya pastikan dan saya sampaikan ke bu Wati bahwa suaminya sudah meninggal.”
“Lalu apa yang terjadi dengan ibu Naya, Dok?” Naya menghapus airmatanya dengan kasar. Hati dan otaknya berontak, tidak terima dengan apa yang terjadi padanya.
“Ibumu terkena serangan jantung. Karena saya tidak membawa peralatan lengkap untuk situasi semacam ini, maka ibumu terlambat menerima pertolongan. Maafkan saya, Naya.” Dokter Lyla merasa ikut andil atas meninggalnya Wati karena dia gagal menyelamatkan pasiennya.
“Naya, yang sabar ya. Semua ini sudah garis takdir bapak dan ibumu.” Laras memeluk Naya lagi. Namun Naya berontak dan berlari keluar rumah dengan airmata terus mengalir di pipinya.
“Nay, Naya!” teriakan bu Laras tidak menghentikannya berlari. “Mari kita sucikan dulu jenazah pak Basuki dan bu Wati.” Segera saja para pelayat melaksanakan permintaan Laras.
Naya terus berlari tanpa arah hingga kakinya terantuk batu dan Naya jatuh tersungkur. Tangisnya semakin kencang karena badannya juga merasakan sakit seperti hatinya.
“Bapak, Ibu, bawa Naya serta. Naya takut sendirian.” Ratapnya disertai tangisan. Naya bersimpuh di atas tanah, airmatanya terus menetes.
Seorang pria tampan melihat Naya berlari dan terjatuh dari balik kaca mobilnya. Entah mengapa hatinya terasa perih melihat gadis belia itu menangis meraung meratapi kepergian orangtuanya. Dia seperti melihat dirinya sendiri dalam gadis itu.
“Ris, tolong kamu beritahu salah satu pengurus panti untuk membawa gadis itu pulang. Jangan biarkan dia terus menangis seperti itu. Aku benci melihat wanita muda yang rapuh.” Perintahnya pada sekretaris ayahnya yang mendampinginya melayat.
Haris, pria yang dia suruh tadi segera turun dari mobil dan bergegas melaksanakan perintah putra tertua majikannya.
“Nay, Naya.” Seseorang memanggil namanya seraya mengguncang bahunya pelan.
“Mas Bagas.” Naya memeluk pria di depannya yang sudah dianggapnya seperti abangnya itu dn menumpahkan semua kesedihannya di dada Bagas. “Bapak dan ibu Naya, Mas.”
“Sabar ya. Naya harus kuat. Bapak dan ibumu akan sedih melihatmu seperti ini. Bersedihlah secukupnya, jangan terlalu larut di dalamnya. Kamu pasti bisa melewati ini semua, Nay.” Bagas menepuk punggung Naya dengan lembut.
Hingga beberapa saat, Naya masih terus memeluk Bagas sampai tangisnya berangsur reda.
“Ayo kita pulang. Bapak dan ibumu akan disholati dan segera dimakamkan. Kasihan bila terlalu lama menunggu.” Naya mengusap sisa airmatanya dan mulai berdiri dengan bantuan Bagas.
Pemakaman kedua orangtua Naya dilakukan di tanah panti yang dikhususkan untuk tanah makam bagi penghuni panti yang tidak memiliki sanak saudara. Pemakaman berlangsung singkat namun khidmat. Para pelayat mulai meninggalkan makam, tersisa Naya, Bagas dan bu Laras.
“Nay, sebaiknya kita segera pulang. Hari sudah malam.” Ajak Laras.
Dengan berat hati, Naya berdiri dan bersandar pada Laras mulai melangkah meninggalkan makam yang masih basah.
“Untuk malam ini, sebaiknya kamu tidur bersama mbak Rini di kamar panti. Sampai kamu tenang dan bisa memutuskan.” Naya hanya mengangguk dan terus berjalan dalam dekapan Laras.
Setelah memaksa menelan tiga suap nasi, Naya meminum obat yang diberikan dokter Lyla agar lebih tenang. Nyatanya itu adalah obat tidur agar Naya bisa melupakan kesedihannya dan beristirahat malam ini. Naya tidur bergelung dalam kesedihannya setelah kepergian kedua orangtuanya.
****
Sehari, dua hari hingga tiga hari setelah kepergian orangtuanya, Naya hanya mengurung diri di kamar barunya bersama Rini. Sejak pagi hingga sore hari, Naya akan duduk diam di depan jendela dan memandang ke arah rumah kecilnya tempat bapak dan ibunya tinggal bersamanya.
Menjelang maghrib, Naya akan mulai menangis meraung mengingat kepergian bapak dan ibunya. Bu Laras semakin khawatir melihat kondisi Naya seperti itu. Lusi dan Tigor sudah datang menjenguk bersama Reza, Akbar dan Rafli. Namun tidak mampu mengundang tawa Naya yang selalu tersungging di bibirnya.
Naya seperti hidup dalam dunianya sendiri. Sudah tiga hari ini, Naya tidak makan. Segala upaya sudah diusahakan oleh pengurus panti. Tomo, lansia kesayangan Naya pun sudah menyerah membujuk Naya untuk makan, bahkan sekedar menanggapi cerita kesukaan Naya pun tidak berhasil. Si kembar Joni dan Doni juga tidak digubris oleh Naya.
Sampai hari ini, lima hari meninggalnya Basuki dan Wati, Naya hanya makan tiga suap tiap kali waktu makan. Kulitnya pucat, wajahnya tirus, tersisa tulang dan kulit pembungkus daging.
Sebuah Mercy hitam memasuki halaman panti, Rini berlari-lari mencari Laras dengan panik.
“Jon, kamu lihat bu Laras?” tanyanya pada Joni.
“Ndak lihat tuh.” Jawabnya singkat, tanpa mengalihkan matanya dari buku gambar miliknya.
“Ihh, jelas aja kamu gak lihat, nunduk gitu.” Rini melanjutkan pencariannya.
Di dekat ruang makan, Rini melihat ada Bagas sedang bermain dengan beberapa anak panti. Rini mendekatinya, berharap Bagas tahu keberadaan Laras.
“Mas Bagas, lihat bu Laras tidak?” tanyanya dengan nada selembut mungkin.
“Tadi aku lihat sedang berbincang dengan Naya di kamarmu. Coba kamu lihat ke sana.” Bagas kembali bercanda dengan Doni dan anak lainnya.
“Makasih, Mas Ganteng.” Ucapnya centil, lalu bergegas kembali ke kamarnya.
“Bu,” Rini sampai di depan kamarnya dan melihat Laras sedang berbicara dengan Naya.
Laras menoleh ke pintu dan melihat Rini yang berdiri di sana dengan napas terengah-engah. “Kamu ini kenapa, Rin? Kok seperti habis dikejar setan.”
“Bu, ini lebih menakutkan dari rajanya setan. Ada mobilnya pak Indra masuk ke halaman, Bu.” Ucapnya panik disertai gerakan heboh yang khas dari seorang Rini Rusnani, mantan penyanyi dangdut kampung Pahlawan.
“Halah, lihat mobilnya saja kamu heboh begini. Apalagi lihat pemilik mobilnya.” Tukas Laras seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lho, bu Laras ini gimana. Kalau ada mobilnya berarti ada pemiliknya, Bu. Masa mobilnya datang sendiri tanpa penumpang?”
“Bisa saja itu pak Haris yang datang. Sudah sana, temui dulu siapapun yang datang.” Laras menyuruh Rini kembali ke depan.
Dengan wajah cemberut rini kembali ke depan. “Huh, hari-hari ngurusin anak yatim piatu yang hampir gila itu. Apa manfaatnya coba?” Sambil menggerutu, Rini berjalan ke depan seperti perintah Laras.
Sepeninggal Rini, Laras kembali duduk di sebelah Naya. “Nay, sepertinya orang suruhan pak Indra datang untuk menemuimu. Ayo kita temui, tidak sopan membuat mereka menunggu terlalu lama.” Bujuk Laras.
****
Tiga bab pertama sudah berhasil di up. Jangan lupa like, komen dan votenya ya. Tunggu lanjutan ceritanya ya, akan up setiap hari. See you.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!