NovelToon NovelToon

Aku Wanita Terhormat

Chapter 1. Di Fitnah

Meisani Ayunda, gadis yang berusia 22 tahun, hidup dalam keluarga sederhana dan bekerja sebagai customer service di salah satu bank.

Ia sebagai anak pertama dan sebagai tulang punggung keluarga, di mana ayahnya yang sudah lumpuh berusia lima puluh delapan tahun, namanya Pak Fajar.

Ibunya hanya sebagai cleaning servis di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang penjualan roti. Namanya Ibu Nirmala.

Pada suatu pagi saat Meisa memasuki kantor untuk memulai pekerjaan tiba-tiba ia mendengar desas-desus tentang dirinya.

"Eh lihat tuh, itu kan wanita simpanan Pak Bimo. Gayanya saja penampilan sederhana tapi sebenarnya dompetnya tebal atau mungkin kartu kreditnya ada beberapa dari pemberian Pak Bimo."

"Iya wajahnya polos tapi ternyata punya nyali yang besar menerima ajakan menjadi wanita simpanan."

Meisa tampak kaget mendengar perkataan yang di lontarkan padanya itu, ia sangat yakin jika mereka sedang membicarakan dirinya karena tidak ada lagi yang lewat selain dirinya saat itu.

Pak Bimo adalah seorang manajer di bank tersebut ia sudah memiliki keluarga. Jika di lihat Pak Bimo memang sangat tampan usianya masih sekitar 31 tahun namun tetap saja yang namanya sudah memiliki keluarga tidak mungkin bisa menarik perhatian seorang Meisa.

"Sepertinya mereka sudah salah paham padaku, ini sepertinya semua karena Pak Bimo yang selalu mengajakku untuk membantunya. Baiklah mulai saat ini sebaiknya aku menolak saja jika ia menawarkan tambahan untukku jika membantunya bekerja saat jam kerja sudah habis. Tapi aku juga membutuhkan uang itu yasudah kalau begitu aku mencari uang tambahan dengan pekerjaan lainnya saja." gumam Meisa.

Belum sempat Meisa melangkah pergi tiba-tiba ada seorang wanita yang menarik kasar tasnya.

Suara tamparan tiba-tiba terdengar mendarat kasar di wajah Meisa.

"Anda-" (ucapan Meisa terpotong sesaat karena ia mengenali siapa wanita itu).

"Kamu dasar wanita perebut suami orang! Apa kamu tidak malu wajahmu masih muda mengapa kamu merebut suamiku?" Teriaknya dengan lantang hingga menarik perhatian semua pekerja di kantor itu.

Tidak ada yang berani membela Meisa pagi itu karena mereka tahu bahkan salah satu dari mereka lah yang melaporkan kejadian di kantor yang beberapa kali mereka lihat saat Meisa dalam satu ruangan bersama Pak Bimo.

"Tidak Bu, itu tidak benar. Saya sama sekali tidak ada hubungan dengan suami anda, saya mohon maafkan saya Bu, biarkan saya menjelaskan semuanya." ucap Meisa dengan wajah yang sudah memerah menahan malu dan menahan sakit.

"Diam! Diam kamu! Jangan kamu berani berani berbicara denganku satu kata pun karena aku tidak sudi mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut kotor mu itu."

Kebetulan hari itu Pak Bimo sedang tidak masuk bekerja karena ia sedang ada tugas keluar Kota. Hingga Meisa hari itu menahan malu seorang diri tanpa ada yang membelanya.

"Iya Bu, usir saja dia bila perlu lempar dia dari kantor ini, dia sudah mengotori kantor kita tempat kita mencari nafkah sehari-hari." sahut salah seorang karyawan yang tampak tidak suka dengan Meisa.

"Sini kamu! sini kamu! ikut saya. Kamu katakan sudah berapa banyak uang suami saya yang sudah kamu ambil? Katakan!" teriak wanita itu dengan beberapa urat di wajahnya yang sudah tampak menegang karena ia tengah menahan emosi ingin menghabisi wanita dihadapannya saat ini.

Istri dari Pak Bimo itu sudah menarik kasar rambut Meisa hingga jatuh tersungkur saat di lempar ke dasar lantai. Ia hanya bisa menangis tanpa bisa melakukan perlawanan apapun karena di tempat itu, saat itu tidak ada satu pun orang yang bisa membelanya bahkan tidak ada satu orang pun yang mempercayai jika dirinya tidak melakukan hal seburuk itu.

"Benar saja yang di katakan Pak Bimo, Bu Diana benar sangatlah kasar menjadi wanita, tapi aku selama ini selalu membelanya bahkan aku selalu memberi masukan pada Pak Bimo agar bisa mengerti tentang isi hati istrinya, namun apa yang dia lakukan padaku justru dia memperlakukanku seperti sampah." tutur  Meisa dengan menangis terisak tanpa melakukan perlawanan.

"Bu Diana, saya mohon selesaikan masalah anda di luar kantor. Jangan membuat keributan di tempat bekerja kami." ucap salah seorang kepala cabang di tempat itu.

"Nah ini, kalau kamu mau mengganggu laki-laki ganggulah pria ini. Dia lebih memiliki banyak uang dan dia juga belum memiliki istri." sahut Bu Diana dengan ketusnya sembari menunjuk ke arah pria yang ada di hadapannya saat ini.

Meisa yang mendengar hanya terdiam menunduk malu ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Sementara ia tahu jika Aldi yang berposisi sebagai pimpinan kepala cabang bank tersebut memang benar memiliki rasa dengannya namun beberapa kali Meisa selalu menolaknya karena Meisa masih enggan untuk memikirkan dirinya. Ia harus fokus memikirkan keluarganya terlebih dulu.

"Ya Tuhan, apa salahku? mengapa pandangan mereka begitu hinanya padaku? Aku sama sekali tidak ada niat untuk mengangguk ketenangan rumah tangga orang."

"Bu Diana, saya mohon percaya pada saya. Saya sama sekali tidak pernah niat mengganggu Pak Bimo, Bu." tutur Meisa meneteskan air matanya karena tidak ada satu pun yang membelanya di tempat itu selain Aldi.

"Bi Diana, sebaiknya anda selesaikan dengan suami anda. Karena semua tergantung dari suami anda." ujar Aldi.

"Tidak Pak Aldi, saya tidak perduli. Yang jelas selama ini saya tahu jika wanita ini sudah mendekati suami saya." Suara lantang Bu Diana menggelegar di telinga mereka.

"Baik kalau begitu berikan saya waktu untuk berbicara dengan Meisa terlebih dulu, Bu." ucap Pak Aldi.

Bu Diana hanya terdiam dengan nafas yang terengah-engah menahan rasa emosi yang ingin meledak dari dalam dirinya.

Mata sembab Meisa kini menunduk saat melewati Bu Diana dan melangkah masuk bersama Pak Aldi.

Di dalam ruangan, "Meisa, saya tahu kamu wanita baik-baik. Tapi fitnah itu sepertinya akan membuat reputasi kerja kamu buruk." tutur Aldi.

"Pak Aldi, percaya dengan saya. Saya sama sekali tidak ada hubungan dengan Pak Bimo. Saya hanya sebatas membantu dan karena saya juga membutuhkan uang tambahan Pak." terang Meisa di ikuti isak tangis yang terus terdengar.

"Apakah kamu mau menghindari fitnah ini?" tanya Aldi dengan wajah seriusnya.

Meisa mengangguk, "Iya, Pak. Tentu saja saya mau. Saya tidak ingin nama saya buruk di tempat kerja ini." tutur Meisa dengan antusiasnya.

Beruntung saat ini tempat kerja mereka sudah tidak menerapkan sp3 yang di susul oleh phk pada karyawan yang memiliki hubungan pernikahan dengan sesama pekerja lainnya.

"Menikahlah denganku, Mei. Aku akan bertanggung jawab penuh atas dirimu."

Meisa yang mendengarnya begitu terkejut matanya membulat sempurna saat mendengar perkataan itu. Ia tampak meneguk kasar salivahnya.

"Pak Aldi, itu ti-dak mungkin, Pak." ucap Meisa yang merasa tidak masuk akal.

Ada apa sampai harus menikah? Bukankah dirinya hanya ingin menghindari tuduhan seperti itu dari Bu Diana.

"Meisa, Bu Diana bukanlah wanita sembarangan. Dan jika kau tidak membuat dirinya yakin jika tidak memiliki hubungan dengan suaminya, semua hal yang tidak masuk akal pasti akan di lakukan. Setidaknya dengan kita menikah, fitnah tentangmu akan segera berakhir." tutur Aldi.

"Saya sama sekali tidak mencintai Bapak." terang Meisa.

"Soal cinta apa salahnya jika kita biarkan dia tumbuh sendirinya nanti. Yang terpenting kau adalah wanita baik-baik dan aku sangat yakin rumah tangga kita pasti bahagia." Mendengar ucapan Aldi, Meisa merasa tersentuh hatinya dengan ketulusan pria di hadapannya itu.

"Pak, bolehkah Meisa memikirkannya terlebih dulu?" tanyanya meminta persetujuan.

Aldi tersenyum mengangguk, kini keduanya pun segera keluar menemui Bu Diana. "Bu Diana, saya mohon untuk Ibu meninggalkan tempat kerja kami karena saya dan Meisa sedang mendiskusikan tentang pernikahan kami." ucap Aldi mengejutkan semua para pekerja termasuk Meisa.

Bu Diana yang mendengarnya tersenyum puas. "Bagus, pastikan istri Bapak tidak mengganggu suami saya lagi nanti. Dan satu lagi, ini tanggal gajian kalian, kan?" tanya Bu Diana.

"Iya, Bu." ucap Aldi.

Dengan cepat tangan Bu Diana menarik kasar tas di tangan Meisa.

"Bu, tas saya mau di apakan?"

"Lepaskan tas kamu! Saya akan mengambil apa yang seharusnya menjadi hak saya." pekik Bu Diana.

Ia meraih ponsel Meisa dan mengetik nomor rekeningnya kemudian meminta Meisa menyebut sandi mbangking di ponselnya.

"Bu, saya mohon itu gaji saya untuk biaya keluarga saya." tutur Meisa dengan wajah sedihnya.

"Kamu selama ini sudah banyak memakai uang suami saya, sekarang saya meminta ganti!" hardik Bu Diana.

Mau tidak mau Meisa pun mentransfer seluruh gajinya bulan itu juga pada rekening Bu Diana.

Setelah puas, wanita itu pergi meninggalkan semuanya yang masih berdiri menatap kepergiannya dengan sebuah mobil sport mewahnya.

Meisa yang menangis hanya melangkah dengan lemas ke tempat kerjanya tanpa bicara apa pun.

Aldi yang tidak tega, segera menyusul Meisa ke tempat kerjanya. Sebelum itu, ia membubarkan terlebih dulu para pekerja yang berdiri dengan asyiknya bergosip.

"Apa yang kalian lihat? Cepat kerja!" Suara Aldi begitu tegasnya.

"Mei, jangan khawatir kamu akan saya berikan pengganti uang tadi." ucap Aldi.

Meisa menggelengkan kepalanya, "Tidak Pak Aldi, tidak perlu saya bisa mencari uang tambahan di luar setelah pulang kerja." ucap Meisa menolak.

Dengan cepat Aldi menyodorkan amplop yang berisi uang dan segera pergi meninggalkan Meisa ke tempat kerjanya.

"Apa yang harus ku lakukan? Apa aku menerima pernikahan itu demi pekerjaanku dan demi fitnah yang Bu Diana tuduhkan padaku? Aku juga tidak ingin di pandang buruk seperti itu." gumam Meisa meneteskan air matanya ia sama sekali tidak bisa fokus bekerja saat ini.

Chapter 2. Pernikahan

"Semoga dengan begini aku bisa memiliki dirimu, Mei." gumam Aldi yang begitu penuh harap.

Ia sangat yakin jika Meisa benar akan menjadi istri yang sempurna untuknya. Dan keluarganya akan sangat menyukai pilihannya kali ini.

Karena Pak Aldi yang selalu di jaga baik-baik dengan keluarganya beberapa kali ingin menikah selalu tidak mendapatkan restu saat mereka tahu kehidupan wanita yang ingin ia nikahi tidak baik.

Sedangkan Meisa yang berada di ruang kerjanya merasa gelisah, ia ingin segera pulang agar bisa mendiskusikan dengan keluarganya tentang lamarannya itu.

Semoga pernikahan yang berlandaskan menghindari diri dari fitnah bisa menjadikan rumah tangga yang mereka akan bisa bahagian sesuai keinginan mereka.

Tanpa terasa hari sudah sore, akhirnya mereka semua pulang ke rumah masing-masing. Meisa yang menaiki ojek menuju rumahnya begitu merasakan detakan jantung yang tidak karuan.

"Semoga apa pun keputusanku mereka akan setuju dan ini akan menjadi awal yang baik." gumam Meisa.

Tak lama setelahnya, Meisa pun tiba di rumah sederhana yang begitu terlihat bersih.

"Assalamualaikum," ucap Meisa.

"Walaikumsalam, Mei." Ibu Nirmala yang baru saja pulang dari tempat kerjanya menyambut anaknya dengan baik.

Bu Nirmala tampak kelahan karena kerjanya yang sebagai cleaning servis di sebuah pabrik roti terpaksa ia jalani demi mencukupi kebutuhan pengobatan suaminya.

"Ayah mana, Bu?" tanya Meisa.

"Ayah di kamar, dadanya sesak lagi gara-gara obatnya habis. Uang Ibu kurang untuk menebus obat Ayahmu, Mei. Apa kamu ada uang lebih untuk menambahkannya?" tanya Ibu Nirmala dengan pelannya.

"Uang ini harusnya tidak aku pakai, tapi bagaimana dengan ayah?" gumam Meisa dengan termenung merasa ragu untuk memakai uang pemberian dari Aldi.

"Apa aku pinjam saja dulu? nanti aku akan menggantinya." gumam Meisa lagi.

"Iya, ada Bu. Mana resep obatnya? Biar Meisa yang membelikan untuk Ayah." tuturnya dan Bu Nirmala menyerahkan pada putrinya catatan resep obat kemudian Meisa segera pergi ke apotik.

Sepanjang jalan ia terus berpikir apa yang harus ia katakan pada kedua orang tuanya. Ia tidak berani berkata jujur apa alasannya untuk menerima lamaran dari Pak Aldi.

Setelah Meisa selesai menebus obat, ia segera pulang dan meminumkannya pada sang ayah. 

"Ayah, Ibu, Meisa ingin bicara sesuatu bisakah ayah dan ibu memberikan Meisa waktu?" tanyanya dengan wajah ragu.

"Iya, Mei. katakan ada apa?" tanya Bu Nirmala penasaran.

"Meisa ingin menikah dengan pimpinan cabang tempat Meisa bekerja Ayah, Ibu." jawabnya dengan menundukkan kepalanya takut jika kedua orang tuanya menolak.

"Kamu ini meminta izin menikah seperti orang sedang mengakui telah mencuri saja. Mengapa wajahmu menunduk takut seperti itu?" tanya Nirmala.

"Ti-dak, Meisa hanya takut jika Ayah dan Ibu menolak permintaan izin dari Meisa." jawabnya lirih.

"Mei, kau sudah dewasa. Ayah dan Ibu tentu akan menyetujui apa pun yang menjadi keputusanmu. Kau sudah bisa menentukan mana yang baik dan mana yang tidak." terang Ibu Nirmala dan di ikuti dengan anggukan Pak Fajar.

Meisa lega karena dua orangtuanya sudah setuju, saat ini ia tinggal memberi kabar pada Aldi saja.

"Yasudah Meisa ke kamar dulu yah Ayah, Ibu."  ucapnya bergegas menuju kamarnya untuk menghubungi Aldi.

"Halo, Mei." Suara pria di seberang telfon sana yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu.

"Halo Pak Aldi, mohon maaf saya mengganggu waktu Bapak. Saya hanya mau memberi tahu tentang persetujuan orangtua saya untuk pernikahan kita." terang Meisa tanpa basa basi lagi.

"Oh iya bagaimana?" tanya Aldi begitu antusiasnya.

"Mereka sudah setuju, Pak." jawab Meisa dengan wajah tidak bersemangatnya.

Aldi yang mendengarnya begitu senang, satu tahap sudah terlewati tinggal kedua orangtuanya lagi saat ini setelah itu barulah mereka memikirkan pernikahan.

"Meisa, semua biar saya yang mengurusnya. Besok malam kami akan datang ke rumahmu yah. Beritahu orangtuamu." tutur Aldi.

Meisa pun menyetujuinya dan sambungan telfon kini sudah terputus. Saat itu juga tubuh Meisa jatuh tersungkur ke lantai dan menyandarkan kepalanya di pinggir kasur miliknya.

Ia takut akan langkah yang ia putuskan saat ini, apakah semua akan berjalan dengan baik hubungan yang di mulai berdasarkan paksaan tanpa adanya cinta.

Tapi Meisa sebagai wanita lemah juga tidak ingin mendapat cibiran yang menganggap dirinya sangat rendah seperti itu. 

***

Hari lamaran sudah terlewati dengan baik, kedua keluarga setuju untuk mengadakan pernikahan. Namun sesuai dengan permintaan Meisa, ia tidak menginginkan pernikahan yang mewah. Ia hanya ingin satu acara sederhana yang di adakan saat hari libur kerja saja.

Dengan begitu ia tidak perlu mengambil hari libur saat jam kerjanya.

Pernikahan berjalan dengan baik, dekorasi gedung sederhana itu tampak memukau dengan hiasan bunga-bunga segar yang bergantung di setiap sudut dan gaun yang di pakai Meisa berwarna putih tulang senada dengan pakaian yang di pakai Aldi.

Para tamu undangan turut hadir yang di hadiri para keluarga dan kerabat kedua keluarga mereka saja.

Wajah kedua keluarga yang terlihat sangat bahagia membuat beban Meisa sedikit terobati.

Wajah tampan Aldi terlihat semakin terpancar jelas saat pernikahan berlangsung. Namun berbeda dengan Meisa, ia hanya berwajah datar sesekali senyuman tampak ia paksa hadir di wajahnya.

Meski matanya begitu bekerja keras menahan air mata yang ingin jatuh.

"Dia sudah menjadi milikku. Akhirnya... aku sungguh tidak menyangka bisa mendapatkannya dengan cara seperti ini." gumam Aldi tersenyum lega menatap Meisa dari samping.

"Pah, sudah siap?" tanya Bu Diana yang baru saja selesai make up untuk menghadiri pernikahan Meisa.

Ia ingin memastikan jika pernikahan itu benar-benar ada bukan hanya untuk menipu dirinya.

Bimo yang sudah selesai menggandeng istrinya menuju mobil. Meskipun rumah tangga mereka tidak begitu baik namun untuk hal acara seperti ini ia tidak mungkin untuk menampilkan pada orang lain tentang buruknya pernikahan mereka.

"Pernikahan ini adalah jasa dari Mamah. Seharusnya papa bangga memiliki istri seperti Mamah." ucap Bu Diana.

Bimo merasa heran apa maksud perkataan istrinya itu ia menatap Bu Diana dengan tatapan yang tidak bisa di artikan.

"Apa maksud Mamah?" tanya Bimo.

"Mamah yang membuat mereka berdua menikah, Mamah tahu selama papa dan wanita itu sudah memiliki hubungan kan?"

Mendengar tuduhan istrinya, tiba-tiba Bimo menghentikan mobilnya dengan kasar. "Mah, jangan bilang-" (ucapan tak Bimo terhenti seolah ia tahu apa yang dilakukan istrinya).

"Jangan-jangan apa, Pah? papah tentu tahu apa yang sudah Mamah lakukan. Seperti wanita-wanita sebelumnya mamah melabraknya." terang Diana.

Bimo terkejut mendengar pengakuan istrinya, ia sungguh tidak habis pikir dengan kepergiannya beberapa hari saja keluar kota istrinya lagi-lagi membuat masalah dengan wanita lain.

"Mau sampai kapan Mamah selalu bersikap seperti itu? Papah sungguh tidak tahan dengan sikap Mamah seperti itu selalu saja mengusik pekerjaan yang Papah lakukan."

Mobil yang tadinya sudah ingin menuju ke acara pernikahan tiba-tiba saja berputar balik Bimo melajukan mobilnya kembali ke rumah.

"Loh Pah, kita ko pulang?" tanya Diana dengan suara bernada tingginya.

"Mamah sebaiknya di rumah saja. Mamah tidak seharusnya Papah beri kebebasan untuk keluar rumah." pekik Bimo dengan geramnya.

Sesampainya di rumah Bimo menarik kasar tangan istrinya dan melemparnya ke dalam rumah ia sudah benar-benar tidak habis pikir dengan perlakuan istrinya. 

Selama ini Bimo sudah berusaha sabar menghadapi sikap Diana yang suka berlebihan mencemburui dirinya.

"Kau di rumah." teriak Bimo dan mengunci pintu rumah dari luar kemudian melajukan mobilnya ke tempat pernikahan Meisa dan Aldi.

"Mengapa bisa seperti ini? Sungguh aku tidak enak dengan Meisa. Dia pasti tidak bahagia di pernikahannya ini. Maafkan saya, Mei. Karena istri saya kau harus terpaksa menikah dengannya." ucapnya sepanjang perjalanan terus merasa bersalah.

Beberapa waktu berlalu, kini Bimo pun sampai di tempat acara itu. Ia melihat dari kejauhan wajah Meisa yang sama sekali tidak bahagia.

"Maafkan istriku, Mei." ucap Bimo sungguh merasa tidak enak hati.

Sementara Adi ia tahu jika pria itu sangat menyukai Meisa sejak dulu.

Kini para tamu undangan sudah berjalan menemui mempelai pengantin. satu persatu berjabat tangan Begitu juga dengan Bimo yang datang sendirian. 

"Selamat untuk kalian berdua semoga pernikahan kalian akan bahagia." Ucap Bimo dengan tersenyum.

"Terimakasih, Pak Bimo." sahut Meisa berusaha menunjukkan senyumannya.

Setelah selesai acara, kini Aldi dan Meisa pun menuju kamar mereka. Meisa segera membersihkan diri di kamar mandi setelah itu Aldi juga ikut membersihkan diri.

Keduanya sama-sama telah tampak segar, suasana beberapa waktu begitu hening. Sampai mata pria itu menatap tubuh istrinya yang sudah terbalut dengan handuk memperlihatkan bagian-bagian yang tampak putih dan mulus.

Perlahan Pak Aldi mendekat pada sang istri dengan ragunya.

"Jangan ragu, Pak. Saya milik Bapak." ucap Meisa yang sadar akan statusnya saat ini. Meski jauh di lubuk hatinya ia sama sekali belum siap.

"Mei, jangan memanggilku seperti itu. Kita sudah menikah dan saat ini kita bukan sedang bekerja." tutur Aldi dengan suara khasnya yang sudah meraih dagu Meisa dengan tangannya agar menatapnya.

Meisa menurut dan menatap wajah suaminya saat ini. "Mas, yah aku memanggil Mas saja yah?" 

Aldi menganggukkan kepalanya setuju dengan panggilan itu dengan wajah tersenyumnya. Tatapan yang semakin dalam kini mulai membuat pria itu memiringkan wajahnya hingga kedua bibir mereka sukses saling bertemu dan dengan cepatnya Aldi menerobos indera perasa milik sang istri.

Perlahan sentuhan demi sentuhan Aldi berikan untuk sang istri. Meisa pun yang merasa sudah berkewajiban melayani sang suami tampak menikmati.

Chapter 3. Meragukan

Ruangan yang begitu dingin dengan sapuan AC perlahan menjadi panas kala kedua pasangan pengantin baru itu tengah memadu kasih di atas pembaringan yang empuk.

Aldi benar-benar merasa termanjakan dengan aksinya menyatukan tubuh pada Meisa, wanita yang telah berganti status menjadi istri sahnya kini.

Perpaduan dua tubuh yang berbeda jenis tampak begitu saling menikmati meski di awal Meisa begitu kesakitan, begitu pula dengan Aldi. Namun semua berakhir dengan kenikmatan.

Tubuh mereka merasa begitu lelah saat ini.

"Ada apa, Mas?" tanya Meisa merasa tatapan suaminya seakan mencari tahu sesuatu dari dirinya.

"Kau pernah melakukannya dengan siapa?" tanya Pak Aldi dengan wajah menekuknya.

Meisa menggelengkan kepalanya, "Me-lakukan apa?" tanya Meisa bingung.

"Melakukan seperti yang tadi?" Aldi pun bangun dari tidur dan matanya melirik ke segala bagian tempat tidur mereka.

Ia menyunggingkan senyuman meremehkan. "Ternyata kau tidak perawan, ku pikir hanya orang di luar sana yang terlalu memandang mu buruk. Ternyata memang benar yang mereka katakan."

Detakan jantung Meisa seketika rasanya terhenti, perkataan suaminya benar-benar menusuk hatinya.

"Mas, aku tidak mengerti maksud mu. Aku memang tidak pernah melakukan hal itu pada siapa pun. Apa kau meragukan diriku?" tanya Meisa dengan kedua bola mata yang sudah berkaca-kaca.

"Ingat Meisa, aku sama sekali tidak menyangka jika aku menikah dengan wanita bekas pria lain." pekik Aldi tampak tidak terima.

Tangan Meisa seketika mendarat di wajah suaminya. "Saya tidak pernah melakukan hal serendah itu, kalau memang tidak menginginkan pernikahan ini sebaiknya katakan. Tidak perlu menghinaku seperti ini." teriak Meisa dengan tubuh yang sudah bergemetar.

"Kau benar-benar istri tidak tahu diri yah." Aldi yang ingin menampar balik wajah Meisa segera di tahan.

"Menuduhku dengan tidak suci lagi, apa anda tidak bisa merasakan apa yang baru saja anda usaha tembus di kepemilikan ku?"

Memang benar rasanya Aldi seperti tengah berusaha keras untuk menembus saat permainan tadi. "Ah tidak, itu kan bisa saja karena ia sudah lama tidak melakukannya dan bisa saja karena dia memakai sesuatu. Sekarang sudah banyak yang menjual berbagai macam obat." gumam Aldi.

"Sekarang ikut aku." Meisa di tarik ke luar kamar setelah memakai pakaian. Mereka menuju ke mobil dan mobil pun melaju.

"Kita mau kemana?" tanya Meisa.

"Katakan padaku, siapa pria itu?" tanya Aldi.

"Pria siapa? tidak ada." sahut Meisa dengan wajah marahnya.

"Apa benar dia Bimo?" tanya Aldi begitu emosinya.

"Hentikan! aku sama sekali tidak pernah melakukan hal seperti itu. Jangan menuduhku yang tidak-tidak." ucap Meisa di iringi tangisan yang begitu memilukan siapa pun yang mendengar.

Keraguan akan keperawanan dari sang suami tentulah hal yang paling menyakitkan. Hanya karena tidak ada tetesan darah yang keluar saat berhubungan, Aldi sampai tega memvonis Meisa tidak suci lagi.

"Turunkan aku." pintah Meisa.

Aldi enggan menurutinya, mobil masih terus melaju. Meisa tidak tahu ke arah mana mereka saat ini. Beberapa waktu berlalu, kini mobil itu berhenti di sebuah rumah.

Tangan Meisa di tarik kasar lalu di bawa menghadap pada pintu rumah yang masih tertutup.

Beberapa kali tangan Aldi mengetuk pintu rumah itu, tak lama terlihat seorang wanita dengan piyama tidak terlalu terbuka membuka pintu rumahnya.

"Kalian." ucap Bi Diana.

"Bu Diana." ucap Meisa kaget saat mengetahui suaminya telah membawanya ke rumah Bimo.

"Siapa, Mah?" tanya Bimo yang menyusul istrinya ke depan pintu.

Ia mengernyitkan dahinya menatap Aldi dan Meisa di hadapannya saat ini.

"Pak Aldi, Meisa, ada apa ini?"

Belum sempat Meisa menjawab, tiba-tiba tubuhnya di dorong kasar oleh sang suami hingga Meisa terjatuh dalam pelukan Bimo.

"Ada apa ini?" tanya Bimo dengan wajah bingungnya.

"Berapa kali kalian menghabiskan malam? berapa kali kalian melakukannya?" teriak Aldi begitu geramnya pada pria di hadapannya.

Meisa hanya terus menangis dan melepaskan genggaman Bimo pada lengannya. "Ini semua tidak benar, Pak Bimo. Dia salah paham." ucap Meisa dengan tangis yang begitu tersedu-sedu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!