NovelToon NovelToon

TAWAKU TERBALUT LUKA

Telat

Laki-laki dan perempuan yang menggunakan seragam putih abu-abu tengah terengah-engah, mereka berlari dari gerbang sekolah menuju ruang kelas. Jam mahal yang melingkar sudah menunjukan pukul 07.35 itu artinya mereka telat 20 menit.

"Aduh, banyak banget kita telatnya. Pasti dimarahi Pak Santoso." lelahnya berlari, mereka berhenti sejenak didepan kelas. Suara Pak Santoso, guru killer disekolah menggelegar sampai diluar kelas.

"Kakak sih bangunnya telat. Kita juga telat 'kan. Kalau kita naik mobil masih bisa kekejar, lah ini kita naik onthel." sang adik mengomel, melirik sinis kearah kakaknya. Keringat membasahi dahi dan baju yang dikenakan.

"Kamu nyalahin aku, salahin tuh si baby nutrigel semalam rewel. Aku begadang jagain dia. Tau sendiri dia kayak permen karet." sungutnya kesal.

"Ya tapi kita telat juga gara-gara kakak to! ditambah lagi aturan kakak setiap hari selasa, rabu harus naik othel jadinya gini, kita sendiri yang repot!" Nata bersemangat mengomeli sang kakak.

"Aturan itu udah disepakati bersama, jangan nyalahin aku aja dong, salahin mereka juga!" tak terima disalahkan, suara itu ia tinggikan. Mereka lupa jika berdebat didepan kelas.

"Tapi kakak yang menyetujui kesepakan itu dan kakak yang meresmikannya. Jangan lupakan itu!"

"Heh, dasar menyebalkan!"

"Kakak yang menyebalkan!"

"Kamu!"

"Kamu!"

Mereka saling adu pandang dengan sengit.

"Taka, Nata!" Pak Santoso sudah berdiri disamping mereka. Dibalik jendela sudah ada murid lain yang mengintip dan memenuhi permukaan kaca.

"Diam! tidak usah ikut campur!" Taka memarahi sosok guru yang berdiri samping mereka. Ia belum sadar jika itu adalah guru killer.

"Kalian berdua bersihkan toilet!"

"Enak saja! Nggak sudi. Sana bersihkan sendiri sama adik laknat ini!" Taka menunjuk didepan wajah Nata, sama sekali belum sadar dengan keberadaan guru killer.

"Enak aja, nyuruh-nyuruh aku! aku juga nggak sudi. Kakak itu yang lancar menyikat kloset! Tangan lentik ku bisa kasar kalau pegang alat bersih-bersih." Nata masih terlihat kesal.

"Taka, Nata. Lihat, siapa yang berdiri disamping kalian." salah satu siswa yang mengintip dari balik jendela setengah berteriak agar Taka dan Nata sadar dengan keadaan.

Mendengar itu, keduanya langsung menoleh.

"Wadidaw..."

"Omegos..."

Teriak Taka dan Nata. Keduanya terkejut melihat Pak Santoso dengan wajah merah padam menahan kekesalan. Buku cetak yang digenggam bergetar karna menahan dorongan tangan yang ingin menjewer telinga keduanya.

Dua murid yang terkenal bandel dan bar-bar.

"Ka-li-an!"

"Eh.. Bapak." Nata menyengir, Taka ikut menunjukan deretan giginya.

"Apa bapak-bapak! kalian sudah telat malah asik berdebat disini. Setiap mata pelajaran saya, selalu kalian berdua yang telat. Bosan saya ngasih hukuman." suara pak Santoso terdengar tegas. Rambut yang sudah ditumbuhi uban tapi masih punya semangat 54 untuk memarahi dan memberi hukuman pada siswa siswi yang bandel.

"Maaf Pak, dijalan tadi macet." Taka menunduk tidak berani menatap pak Santoso.

"Macet? kalian berangkat naik sepeda onthel dan terkena macet? saya yang bodoh apa kalian yang terlalu pintar?" pak Santoso mengeratkan gigi-gigi yang mungkin mulai keropos, atau mungkin gigi yang sudah kw alis gigi palsu.

Taka menyenggol lengan Nata, memberi kode agar adiknya ikut membantu memberi alasan.

"Ah, ini pak. Tadi pagi perut kita mules, jadi kelamaan dikamar mandi dan kita jadi telat." Nata ikut membuat alasan.

"Perut mules bisa bersamaan?" Pak Santoso meninggikan sebelah alis, tentu tidak mungkin percaya begitu saja.

"Iya pak, bunda kami lupa mau masukin garam malah masukin obat pencuci perut jadi kita sakit perut berjamaah. Ini saja perut kita masih sakit pak, badan kita lemes." akhirnya Nata menemukan ide. Badan yang pura-pura lemas dan bersandar ditembok, Taka ikut berakting dengan memegangi perut.

"Oh... kalau begitu kalian ke UKS saja istirahat, tidak perlu masuk kelas. Dan, jangan lupa minta obat diare."

"Tapi pak, nanti absen kita kosong." sahut Nata.

"Tidak, nanti ditulis izin."

"Eum, kita masih kuat kok ngikutin pelajaran bapak. Boleh ya kita masuk,"

"Kalau sakit nggak usah dipaksain. Kalian istirahat saja." suara pak Santoso sudah tidak terdengar tegas.

"Kami sudah minum obat diare, pak. Kita masih bisa ngikutin pelajaran bapak. Apalagi sebentar lagi mau ulangan, nanti ketinggalan pelajaran."

"Ya sudah, kalian boleh masuk."

Kalimat singkat dari pak Santoso bagai angin segar, hari ini mereka lolos dari hukuman. Bahkan guru killer yang terkenal tegas dan mengerikan bisa dikibuli dengan duo kembar super.

Mengikuti langkah pak Santoso untuk masuk kedalam kelas, Nata dan Taka kegirangan. Mengayunkan gerakan tangan keudara "Yes," keduanya cengengesan.

Gubrak...

Salah satu murid yang mengintip lewat jendela terjungkal.

"Huuuuu...." murid-murid satu kelas menyoraki siswa yang terjatuh tadi. Ali baba muncul dari bawah meja, dengan wajah kesakitan. Satu kelas tak henti bersorak dan tertawa keras.

Tok...tok...

"Diam....!" suara pak Santoso menghentikan kegaduhan yang terjadi. Ajaib, teriakan yang hanya satu kali itu bisa terdengar sampai keruang kepala sekolah. Membuat kelas IPA 3 serentak menghentikan tawa mereka. Bukan hanya teriakannya saja yang menakutkan, tapi guru killer itu sering melempar benda diatas meja kearah muridnya.

"Kamu tu ngapain Ba, salto dari atas meja?" Taka tersenyum meledek Ali Baba yang duduk disampingnya.

"Sial! ini gara-gara ngintip kamu tadi, pantatku jadi sakit." keluhnya.

"Hei kalian diamlah, kalian mau ngerasain lemparan spidol!" Mujirah memperingati Taka dan Ali Baba yang berisik. Keduanya langsung menutup mulut dan mulai memperhatikan kearah depan. Mencoba fokus mendengar penjelasan dari pak Santoso yang menjelaskan tentang Trigonometri.

Setelah 45 menit, akhirnya pelajaran itu telah selesai. Murid satu kelas itu bisa bernafas lega, guru killer sudah meninggalkan kelas dengan segala kengeriannya. Kini mereka sedikit bisa bersantai sebelum guru selanjutnya datang.

"Bos, beh...beh... kalian mantap banget kalau suruh bohong. Guru killer juga bisa percaya sama aktingmu." Mujirin memuji Taka dan Nata. Satu geng itu tengah duduk bergerombol.

"Aku dilawan." Taka menepuk dadanya pelan, mencebik dan bangga akan dirinya yang sudah berhasil membohongi guru killer.

"Sopo dino iki seng ora numpak onthel? bayar dendo! (Siapa hari ini yang tidak naik onthel? bayar denda)" ucap Taka. Ia mengamati wajah-wajah satu gengnya.

"Dewe nggowo kabeh. (Kita bawa semua.)" jawab Dudung.

Diparkiran

"Bos kita jadi kejalan Kremang nggak?" tanya Mujirin.

"Jadi nggak ya? keponakanku sakit, aku harus jagain dia. Kalian tau sendiri baby nutrigel lengket banget sama aku. Aku nggak tega terlalu lama ninggalin dia." Taka menjawab dengan tidak bersemangat. Sebenarnya hari ini satu geng itu akan mengadakan acara rutinitas kegiatan mereka. Tapi, Om yang sangat menyayangi keponakannya tidak tega jika meninggalkan baby Saf-Saf terlalu lama, karna keponakannya itu sedang demam.

"Besok aja loh kak kita pergi ke Kremengnya, kasihan baby Saf-Saf nanti nyariin kakak kalau pulang sore." sahut Nata, ia juga ingin menemani baby Saf-Saf.

"Gimana, kalian setuju nggak kalau kita perginya besok aja. Lagian besok masih naik onthel, besok hari rabu." meski Taka adalah ketua geng, tapi setiap mengambil keputusan ia selalu berdiskusi dengannya yang lain. Satu geng yang berjumlah 6orang itu sangat senang dengan sikap Taka yang ceplas-ceplos tapi tetap menghargai keberadaan mereka.

Bahkan anak horang kaya ke 3 itu tidak pernah memilah-milah teman. Semua dianggap sama. Hanya saja ia tidak suka dengan orang sombong.

Dudung, Mujiren, Mujirah dan terakhir Ali Baba mengangguk antusias, apapun keputusan sang Bos mereka menyetujui.

Hari ini tidak ada jam tambahan belajar, hingga jam 2.15 menit mereka sudah mulai meninggalkan kelas.

"Rek, jangan lupa, besok naik onthel lagi. Kalau nggak naik onthel, siap-siap didenda. Mengerti?" Taka melihat satu persatu temannya. Sebagai kepala geng, ia wajib mengingatkan aturan geng yang sudah disepakati.

Beberapa bulan lalu, ayah Dudung yang tinggal di Jawa tengah sakit. Motor Hindi Beot satu-satunya terpaksa dijual demi pengobatan sang ayah. Sekembalinya dari Jawa tengah, ia dibawakan sepeda onthel peninggalan kakeknya. Hanya itu satu-satunya kendaraan yang dia punya, daripada berangkat dengan berjalan kaki.

Pertama kali membawa sepeda onthel ke sekolah banyak teman-teman lain yang mengolok-olok dan menghinanya, karna disekolah elit itu hanya dia sendiri yang membawa onthel.

Taka dan anggota yang lain berdiskusi untuk menyelamatkan harga diri Dudung, agar teman-teman lain tidak menghina lagi. Akhirnya Taka mencari situs pencarian di guling membeli sepeda onthel seperti milik Dudung.

Solidaritas mereka memang tinggi dalam satu geng itu, jika salah satu ada masalah, maka yang lain akan membantu.

Mereka memberi kejutan dengan berangkat menaiki sepeda onthel tanpa memberitahu dulu sebelumnya. Dudung sampai menangis karna terharu dengan usaha kawan-kawan yang begitu perduli padanya.

Kesulitan ekonomi yang dialami, bersyukur mempunyai teman-teman yang baik. Mendukung dan menolong, tidak seperti pertamanan pada umumnya, yang mungkin akan meninggalkan dirinya jika tau ia miskin.

Teman satu geng Taka bukanlah dari kalangan berada, mereka hanya orang-orang biasa. Untuk setiap kali kesulitan uang Taka dan Nata sering membantu, bahkan uang untuk membeli sepeda onthel juga hasil dari iuran. Disitu Taka dan Nata yang mengambil peran banyak.

"Siap Bos," 4orang memberi gerakan seperti hormat. Mereka selalu patuh dengan perintah ketua geng.

"Rek, numpak pit',e Ojo banter-banter yo. (Teman, naik sepedanya jangan kencang-kencang ya.)" ucap Dudung.

"La emang ngopo, Dung?( La, emang kenapa, Dung?)" tanya Mujirah.

"Rem pit ku belum tak ganti. Los dol." jawabnya.

"Soke...." Jawab yang lain bersamaan.

Sampai diparkiran sekolah paling elit, begitu banyak mobil sport dan juga moge (motor gede) paling ujung sendiri ada 6sepeda onthel milik mereka.

"Haha... kalangan kaum onthel dateng, mau ngambil sepeda butut. Hadeh, kismin-kismin, kasihan amat!"

"Diem Lo, Joe? mulut macam comberan kotor dan bau." ejek Taka.

"Taka! beraninya Lo ngatain mulut ningrat gue comberan! gue telponin bokap gue mampus Lo." Joe menatap tajam. Taka tak mau kalah, ia juga menatap tajam.

"Heleh, ora wedi! (Halah, tidak takut!)" sinisnya.

"Dasar rombongan gila! kalian selalu ngomong pakai bahasa orang miskin. Nggak level sama gue!"

"O... koe kui seng gendeng!( O... kamu itu yang gila!)" Taka sudah mengepalkan tinjunya, tapi teman-teman yang lain mencegah.

"Wes, Bos. Ayo kita pulang, nggak ada guna meladeni Joe-glongan(galian tanah)" Mujiren memegangi tangan Taka.

Disana Nata tak banyak bergerak, ia hanya curi-curi pandang kearah kekasih hati yang menjadi anggota geng Joe. Dua geng yang seperti musuh. Tapi tidak akan berkelahi jika diantara mereka tidak ada yang membuat ulah.

"Aja ngurus bocah gemblung, bos. Dewe melu-melu gemblung, priwek?(Jangan mengurus anak gila, bos. Kita ikut-ikut gila, gimana?" Ali baba menyahut.

"Ngomong opo to, Ba. Hes, mingkem wae. (Ngomong apa sih, Ba. Udah, tutup mulut aja.)" Taka menampol mulut Ali Baba pelan. Ali Baba hanya mendengus sebal, ia ingin melerai tapi malah tak mendapat respon.

Taka masih belum paham dengan bahasa yang digunakan Ali Baba, dengan campuran bahasa Jawa dan bahasa Ngapak(bahasa dari Tegal, Banyumasan.)

"Sudah Joe, ayo kita pulang." lelaki yang bak malaikat bagi Nata terdengar bersuara, mendengar suara itu jantung Nata sudah berirama dengan cepat. Baginya, itu suara paling merdu diantara lainnya. Ya, Martin Sagara Alberto. Kekasih hati, pujaan-nya. Mereka bersepakat jika sedang bersama anggota geng masing-masing tidak akan saling menyapa, tapi ketika bertemu empat mata mereka seperti orang berpacaran pada umumnya.

Adu sengit tadi tidak berlanjut, dengan gaya angkuh dan sombong Joe dan 3orang lainnya masuk kedalam mobil mereka. Mulai meninggalkan parkiran dengan sengaja memainkan gas mobil didepan mereka.

"Arep tuku cendol cawet ora?(Mau beli cendol celana da**m nggak?)" Tanya Mujiren dengan cengengesan.

"Lambemu Ren-Ren... njalok disolatip! (Mulutmu Ren-Ren... minta diikat plastik!)" sahut Taka. Mereka mulai mengeluarkan sepeda onthel kebanggan masing-masing.

"Selamat siang menjelang sore Bu, Hany." mereka menyapa seorang guru sedan berjalan mendekat yang juga akan mengambil motor diparkiran itu.

"Selamat siang menjelang sore. Kalian naik onthel?" tanya Bu Hany ramah, selain cantik guru Biologi itu sangat ramah.

"Iya Bu. Naik onthel juga bisa berolahraga, Bu. Badan kita jadi sehat." jawab Taka, ia sangat pandai menjawab.

"Iya, betul. Tapi, apa kalian nggak capek? rumah kalian jauh 'kan?" tanya Bu Hany lagi.

"Enggak Bu, kalau kita bareng-bareng nggak akan capek. Malah asik bisa menikmati polusi udara sama sengatan matahari. Yang penting jangan terkena sengat listrik, auto is dead Bu." jawab Taka cengengesan, diikuti dengan yang lainnya.

"Kamu ini Taka, selalu ada aja yang buat bahan lelucon. Ya udah, Ibu duluan. Kalian hati-hati jangan terlalu mengambil jalur ditengah ya." pesan Bu Hany. Bibir yang terdapat lipstik berwarna orange itu mengembangkan senyum. Yang juga dibalas senyum oleh mereka.

Baby Saf-Saf Demam

"Assalamu'alaikum..." Taka dan Nata mengucap salam bersamaan. Mereka mulai menjejakan kaki untuk masuk kedalam rumah.

"Walaikum salam, kalian sudah pulang? tumben jam segini sudah sampai rumah." bunda Sensa menyambut kedua anak kembarnya. Menyodorkan tangan untuk dicium oleh Taka dan Nata.

"Iya Bun, kami tidak jadi kumpul di base camp, 'kan baby Saf-Saf sedang sakit." Jawab Nata.

"Heum, dari tadi nangis terus. Ini baru aja diem, setelah minum obat baby Saf-Saf baru bisa tidur."

Taka mengusap keringat yang bercucuran seperti air mancur, rambutnya yang lurus semakin lepek karna basah.

Bunda Sensa memperhatikan mereka.

"Uluh-uluh, anak bunda pulang dari sekolah apa pulang dari sawah. Lihat keringat kalian kayak orang kerja cangkul sawah." kata bunda Sensa, memperhatikannya putra putrinya.

"Kak Taka Bun, naik onthel ngebut-ngebut. Kesel aku, 'kan kakiku capek ngikutin dia." sungut Nata kesal.

"Kesal ya kesal, tapi air ludahmu nggak usah muncrat-muncrat." jawab Taka yang di balas lirikan maut dari Nata. Taka hanya cengengesan.

"Hust.. kalian ini, lihat baju yang kalian pakai itu ada lambanya SMA." kata bunda Sensa, menunjuk bagian lengan Nata dan Taka yang ada tulisan nama sekolahan mereka.

"Memang kenapa Bun kalau ada tulisan SMA nya?" tanya Nata.

"Ya itu artinya kalian sudah dewasa, udah nggak pantes berdebat kayak anak kecil."

"Maklumi Bun, Nata itu masih kayak anak kecil. Pikirannya cetek(dangkal)." sahut Taka.

"Ye... kakak itu yang cetek. Gua mah Nata si gadis jenius." Jawab Nata dengan mencebik.

Bunda Sensa menghela nafas, menggelengkan kepala melihat kelakukan si kembar yang susah akur. Tapi dimana ada Taka disitu ada Nata. Itu yang mengherankan.

"Ya sudah, kalian bersih-bersih dulu. Badan kalian bau debu dan asap kendaraan. Setelah itu makan, nanti bunda siapin." wanita paruh baya yang masih tetap terlihat anggun itu selalu bersikap baik pada anaknya. Meskipun keduanya sering membuat ulah, tapi kasih sayang tetap tercurah.

"Siap Bun." jawab Taka dan Nata, mereka berdua menuju kekamar masing-masing untuk membersihkan diri dan beristirahat sejenak.

Setelah membersihkan tubuh, Taka melupakan makan siangnya. Kini terlentang diatas ranjang yang empuk, terdengar dengkuran halus. Menandakan ia benar-benar terlelap.

Satu jam terlelap dengan mimpi indah, samar-samar ia mendengar panggilan yang tidak asing. Setiap saat panggilan itu menghantui pikirannya.

"U'um..." baby Saf-Saf memanggil dengan suara serak, balita itu dari tadi menangis. Mungkin merasakan tubuhnya yang sedang demam. Hingga dari semalam terus merengek.

Sebenarnya Umi Seika sudah berkonsultasi dengan dokter khusus. Dokter menerangkan, untuk balita wajar mengalami demam, mungkin karna kondisi tubuh yang masih rentan dengan cuaca yang berubah-ubah atau dari makanan yang dikonsumsi.

Umi Seika juga sudah menebus obat yang diresepkan oleh dokter, jika dalam 2hari demam baby Saf-Saf belum turun maka terpaksa harus opname.

"Hei... bangun!" seorang lelaki paruh baya menggoyangkan pundak Taka agar terbangun.

"Opo to? (Apa sih?)" ucap Taka masih terkantuk-kantuk. Kelopak matanya enggan terbuka.

"U'um..." baby Saf-Saf mencebik, sebentar lagi tangisnya akan pecah. Melihat Om kesayangan belum bangun-bangun, akhirnya tangis itu pecah. Baby Saf-Saf menangis dengan keras membuat Taka terkejut dan segera bangun.

"Hei... baby nutrigel, kesayangan U'um kenapa menangis?hem?" Taka yang sudah terduduk segera mengambil baby Saf-Saf dari gendongan ayah Arsel.

"A'i, Um... A'i?" lapornya pada Om Taka.

"Sakit?" Taka mengulang dengan kata yang jelas. Baby Saf-Saf mengangguk, kedua pipinya basah dengan airmata.

"Oh, kesayangan Om sakit. Sudah minum obat?" tanya Taka dengan lembut, ia tau keponakanya sedang tidak enak badan. Ia harus bisa membuatnya tenang. Bocah perempuan itu menggeleng dan menunduk. Sedangkan tangannya melingkar dileher Omnya.

"Kamu mau mainan sama Om?"

Baby Saf-Saf menggeleng.

"Eum, mau denger lagu dangdut? Om ada lagu baru, judulnya Harusnya aku. Mau denger?" Taka menawari. Tapi lagi-lagi baby Saf-Saf menggeleng.

"Terus kamu mau apa?" tanyanya lagi.

"Bu...bu." jawabnya. Kepala yang disandarkan dibahu Taka. Taka mengelus rambut baby Saf-Saf dan menimang-nimang.

Melihat keponakan yang biasa aktif dan kini terlihat tidak bersemangat membuat Taka kasihan.

"Taka, sepertinya kamu sudah pantas menjadi ayah." kata ayah Arsel. Ia duduk ditepian ranjang.

"Bukannya ayah yang selalu melarangku untuk menikah?" jawab Taka.

"Kalau ayah menyuruhmu menikah apa kamu akan menikah sama si siapa? eum... Sartinem?"

"Sarinem, yah. Mungkin, tapi aku juga masih ragu. Aku pengen cari yang ke bule-bulean gitu." mata Taka memandang jauh, seperti sedang menerawang masa depan.

"Yeelah, ngomong aja pakai bahasa Jawa, gitu mau nikah sama bule? terus, bagaimana kalian mau komunikasi?"

"Sekarang sudah canggih yah, tinggal tanya sama guling translate. Beres." jawab Taka.

Terdengar suara tawa dari ayah Arsel. "Kalau kamu mau ihik-ihik, juga tanya sama guling translate?" dibibir tuanya masih tersisa senyum mengejek.

Taka mendengus sebal. "Taka akan gunakan bahasa isyarat yah, tenang saja. Taka sudah pakar."

"Yah.." Taka memanggil ayah Arsel, setelah tadi mereka terdiam.

"Tabungan Taka abis, isiin lagi dong." pintanya penuh harap.

"Apa? habis? bener-bener kamu, Taka. Segitu banyaknya ayah menambah isi ATM-mu sudah habis lagi?" ayah Arsel menggelengkan kepala. Heran dengan putra keduanya yang terlalu boros, ketika sudah ditransfer tak lama sudah habis.

Ayah Arsel tak pernah memeriksa pengeluaran Taka.

"Plis, yah. Taka butuh banget, besok ada kumpul sama temen-temen, masak anak horang kaya nggak punya uang. Bukan aku saja loh yang malu, tapi ayah juga kena imbasnya." bujuk Taka.

Ayah Arsel melirik sinis. "Apa-apaan? ayah udah nggak kurang-kurang ngasih jatah sama kamu, tapi kamu saja yang selalu boros."

Taka terdiam, ia seperti kebingungan harus merayu sang pemimpin keluarga itu.

"Baiklah, kalau begitu Taka hutang deh. Ntar kalau jatah uang bulanan turun Taka bayar."

"Itu sama aja Taka...." ucap ayah Arsel dengan gelengan kepala.

"Taka bener-bener butuh uang, yah." ucapnya memelas. Tangan kanannya tak henti mengelus rambut baby Saf-Saf yang kini sudah memejamkan mata.

"Kamu butuh berapa Taka? nanti kakak yang transfer." Saka sudah berdiri didepan pintu. Ia berjalan masuk untuk mengecek kondisi putrinya, apakah masih demam.

"Beneran kak?" Taka terlihat gembira.

Saka mengangguk.

Ayah Arsel tersenyum, ia bangga dengan sikap Saka yang perduli dengan adiknya. Ia sengaja membiarkan Saka melakukan itu. Paling tidak, itu menunjukan kasih sayang kepada saudara.

Saka selalu mengingat kebaikan Taka yang rela meluangkan waktu untuk menjaga baby Saf-Saf. Menyayangi dengan sepenuh hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!