Selamat datang di Menikahi Majikan Ibu Season 2 dengan judul baru Menua Bersamamu. Disarankan untuk membaca season 1 dengan judul Menikahi Majikan Ibu.
...***...
Cinta kita memang tidak semudah yang dibayangkan.
Dulu kita saling menyakiti dan hampir menyerah.
Tapi kini kita ada 'tuk saling menyempurnakan.
Kuberdoa untuk bisa hidup dan MENUA BERSAMAMU
Waktu begitu cepat berlalu, melesat sampai tidak sanggup terkejar. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Tanpa terasa, pernikahan Bara dan Bella melewati tahun ke lima, sebentar lagi memasuki tahun ke enam.
Kehidupan rumah tangga mereka asam, manis, asin seperti nano-nano. Bara masih sama, tetap pemarah, emosian dan temperamen seperti dulu, meskipun sesekali ia bisa bersikap manis dan menggemaskan. Namun, Bara tetap seorang ayah yang sempurna untuk ketiga anaknya, Rania, Issabell dan si bungsu Real.
Bella, ibu muda itu juga tidak banyak berubah. Tetap lemah lembut, penyayang dan keibuan. Sesekali kekanak-kanakan, bersembunyi di balik kedewasaannya. Semua tetap sama seperti dulu, tidak ada yang berubah. Hanya anak-anak yang semakin besar, dan orang tua semakin menua.
Yang membedakan adalah Bella, gadis belia putri seorang pembantu itu sekarang sudah menjelma menjadi nyonya majikan. Bahkan terkadang Bara, yang dulunya adalah majikan ibunya itu dibuat tidak berkutik saat berhadapan dengan Bella.
...***...
Pagi hari di kediaman Barata Wirayudha.
Kericuhan sudah terdengar sejak azan subuh berkumandang. Suara pertengkaran terdengar jelas dari kamar Rania yang bersebelahan dengan kamar utama, sang pemilik rumah. Kesalahpahaman, perdebatan, pertengkaran kecil yang hampir setiap hari terjadi, membuat Bara harus turun tangan menengahi. Ada saja yang diperdebatkan dua gadisnya, dari berebut boneka sampai berebut foto idola.
“KAKAK!!” jerit Issabell terdengar begitu kencang dan memekakkan telinga.
“NO!” Rania tampak menjulurkan lidahnya, mengejek gadis kecil itu dengan bahasa tubuh terlihat menjengkelkan.
“Kakak!!” Kembali Issabel menjerit, tidak kalah kencangnya.
“Jangan katakan apapun pada Daddy dan Mommy, aku akan mengembalikannya.” Rania melunak.
“Kak, ayo kembalikan ponselku,” pinta Issabell dengan wajah memelas, menyodorkan tangannya.
“Janji dulu, jangan katakan pada Daddy apa yang kamu lihat di ponselku!” ancam Rania, mengarahkan telunjuknya pada adiknya.
“Caca tidak melihat apa-apa, Kak. Sungguh!” ucap gadis mungil itu, menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan, membentuk huruf V.
Aku tidak suka opamu itu, Kak. Sudah setua Opa Sutomo,” ledek Issabell, membandingkan penampakan pria di ponsel kakaknya dengan opa Rania yang sering datang menginap di rumah.
“Caca!” Rania naik darah, saat pujaan hatinya dibandingkan dengan pria renta yang tak lain kakeknya sendiri.
“Dia bukan tipe Caca, Kak. Caca sukanya dengan Oppa RM!” ucap Issabell, gadis kecil yang sebentar lagi akan duduk di bangku sekolah dasar. Yang kecilnya penyuka Hello Kitty tetapi sekarang beralih menjadi penyuka Bangtan Boys.
“Ayo Kak, kembalikan ponselku,” pinta Issabell lagi. Kali ini lebih manis dan tidak sekasar sebelumnya.
“Nanti pulang sekolah aku akan mengembalikan ponselmu, Ca.” Rania menjawab dengan santainya. Berjalan menuju ke meja rias, bersiap mengenakan dasi abu-abunya.
“KAKAK!!” pekik Issabell menahan kesal saat Rania tak kunjung mengalah. Teriakan itu terdengar begitu kencang, memekakkan telinga bertepatan dengan suara pintu kamar terbuka.
Terdengar suara berat Bara, pria tampan itu sudah rapi dengan setelan kerjanya. Berjalan masuk ke dalam kamar putrinya dengan tangan terselip di saku celana. Menatap lekat pada Rania dan Issabell bergantian.
Aura mengerikan itu tampak jelas. Bara adalah sosok ayah yang penyayang, tetapi dia juga sangat tegas dengan putrinya. Itu terbukti semua anak-anaknya akan bergidik ketakutan saat dia sudah memasang tampang seriusnya. Kelemahan Bara hanya dua, saat Bella mengambek atau Real mengamuk.
“Bertengkar kenapa lagi?” tanya Bara, menjatuhkan tubuhnya di sofa. Memandang Rania dengan tatapan tajam.
“Tidak ada apa-apa, Dad. Kakak dengan Caca sedang bercanda,” potong Rania buru-buru, tidak mau sang adik mengadu.
“Benar, kan Ca?” Rania meminta dukungan Issabell untuk kebohongannya. Memasang mimik lucu, demi menghempaskan curiga Bara. Gadis manis dengan seragam putih abu-abu berusaha menyembunyikan semuanya dari Bara. Ia tahu bagaimana mengerikannya Bara saat sudah marah.
“Benar begitu, Ca?” tanya Bara memastikan, beralih menatap putri keduanya.
“Ya, Dad. Kita cuma bercanda,” ucap Issabell tertunduk. Ingin rasanya mencekik Rania saat ini, tetapi apa daya. Daddy-nya lebih mengerikan dari apa pun juga.
Bara masih duduk dengan kaki menyilang, kedua tangannya terlipat di dada. Wajah datar dengan tatapan tajam, sampai kedua gadis itu tertunduk.
“Ayo! Kalian belum memberikan Daddy kecupan selamat pagi,” ucap Bara tiba-tiba berubah ramah, merentangkan tangannya bersiap menyambut kedua putrinya, Rania Wirayudha dan Issabell Wirayudha.
Issabell berlari mendahului, meloncat naik ke pangkuan Bara, menghunjami pria tampan itu dengan kecupan.
Rania terlihat lebih santai, hanya duduk di sebelah dan menghadiahkan Bara kecupan di pipi kanan.
“Kalian sudah siap?” tanya Bara, tersenyum.
“Sudah Dad!” jawab keduanya bersamaan.
“Ayo kita sarapan, Mommy dan Real sudah menunggu di bawah.”
Bara menggendong Issabell, seperti biasa gadis kecil ini paling sering bergelayut manja padanya. Hingga hampir berusia enam tahun pun, kebiasaan itu tidak berubah.
...***...
Meja makan sudah dipenuhi dengan berbagai makanan. Ada nasi goreng, sandwich, kentang goreng, telur dadar dan ada juga sereal. Memiliki tiga orang anak yang berbeda sifat dan karakternya, rumah tangga Bara dan Bella begitu berwarna. Terlihat jelas dari meja makan yang penuh dengan menu makanan.
Bella terlihat berdiri di samping meja makan, mengisi piring-piring kosong untuk sarapan putra dan putrinya. Real, putra tampannya yang sekarang hampir berusia tiga tahun terlihat duduk di bangku utama. Tempat di mana harusnya Bara duduk.
“Bell ....” Bara melangkah mendekat sembari menggendong Issabell.
“Good morning, Mommy.” Kecupan di pipi, dilabuhkan Issabell sembari merengkuh leher Bella. Gadis kecil yang masih di gendongan Bara itu terlihat tersenyum melihat sarapan paginya.
“Sandwich?” ucap Issabell.
"Ya, habiskan sarapanmu sekarang, Ca!” ucap Bella, meletakan segelas susu di samping potongan sandwich.
“Good morning, Mom.” Rania memeluk pinggang Bella, berjinjit mengecup pipi ibu muda yang tampil casual pagi ini. Dengan kaos hitam dan rambut dikuncir kuda.
“Morning, Sayang. Habiskan sarapanmu, Kak.” Bella menyodorkan piring berisi kentang goreng dengan sepotong telur dadar di sampingnya.
“Thanks, Mom.”
“Habiskan secepatnya, Kak. Ini sudah terlambat.” Sembari meletakan segelas jus jeruk di hadapan putri tertuanya.
“Mas, giliranmu.” Bella beralih menatap Bara, suaminya sedang berdiri di belakangnya setelah menurunkan Issabell di tempat duduknya.
“Aku mau nasi goreng saja, Bell. Dengan ciuman selamat pagi yang mesra,” bisik Bara tepat di telinga Bella, menghembuskan napas berat di sana.
“Mas, jangan begini. Ada anak-anak,” protes Bella. Tangan lincahnya sedang mengisi nasi goreng ayam buatan asisten rumah.
“Nanti malam dandan yang cantik. Kita buat adek untuk Real. Supaya ia tidak menjerit sepanjang hari,” goda Bara, ikut mengecup pipi Bella, mengikuti dua putrinya.
“Sudah Mas, nanti terlambat.”
“Real, pindah Sayang. Itu tempat Daddy," pinta Bella, sembari menggendong anak bungsunya, kembali ke tempat duduknya. Anak laki-laki Bara dan Bella itu sejak tadi memilih diam, sibuk mengaduk semangkok sereal.
Jeritan Real terdengar memekakan telinga begitu tubuhnya melayang di dalam gendongan Bella. Berteriak, tidak terima saat tempat duduk yang direbutnya dengan tidak hormat, harus dikembalikan pada pemiliknya.
“No! Daddy ... duduk syana!” Menunjuk kursi paling jauh dari semua anggota rumah, meminta Bara menempatinya. Dia masih nyaman dengan kursi kebesaran milik daddy-nya
“Ini tempat Daddy, Real.” Seperti biasa Bara dan putranya selalu bertengkar untuk hal-hal kecil.
Melihat Bara mengambil alih kursinya, jeritan Real semakin menjadi. Bercampur tangisan kencang, mengamuk di dalam pelukan Bella.
“Sudah Bell, aku pindah.” Bara mengalah setelah melihat amukan sang putra mahkota tak mau reda. Mengangkat piringnya, duduk di kursi sebelah, berhadapan dengan kedua putrinya. Baru saja akan menjatuhkan tubuhnya di atas kursi, kembali terdengar suara Real.
“No! Daddy syana ...” Tangan anak tiga tahun itu menunjuk ke ujung meja makan. Meminta Bara memisahkan dirinya. Jauh dari anggota keluarga yang lain.
“Daddy mau makan di sini saja,” tolak Bara, terbahak melihat Real semakin menjadi.
“Mommy ....” ucap Real di tengah amukannya.
“Mas, kenapa kamu senang sekali mengerjainya?” protes Bella, saat melihat Bara menertawai putranya yang masih saja mengamuk.
“Dia yang mengerjaiku duluan, Bell,” lanjut Bara, masih enggan berpindah.
“Sudah Dek, biarkan Daddy duduk di sini ya. Mommy suapin serealnya.”
“No! Daddy syana!” Masih menunjuk ke arah yang sama. Belum mau berhenti mengamuk sampai keinginannya terpenuhi.
Setelah hampir sepuluh menit meramaikan meja makan, Bara mengalah saat melihat tangisan putranya tetap tidak mau berhenti.
“Habiskan serealmu, Dear. Daddy pindah ke syanaaa,” ucap Bara tergelak, mengikuti gaya bicara putra kesayangannya.
Sembari mengangkat piringnya, pria tampan itu masih mengomel.
“Kamu apa kan putraku sampai seperti ini, Bell?” cicitnya dengan raut menyedihkan. Membawa sepiring nasi goreng, duduk menjauh dari semuanya.
“Itu salahmu, Mas. Setiap hari mengajaknya bertengkar!” sahut Bella, tidak mau disalahkan.
“Sudah menangisnya, Real. Tidak boleh seperti ini pada Daddy. Nanti siapa yang akan membelikanmu mobil-mobilan remote control,” bujuk Bella.
***
TBC
Menyelesaikan sisa waktu sarapan pagi dengan tenang setelah Real berhenti membuat kekacauan, anggota keluarga Barata Wirayudha disibukan dengan menu makanan di atas piring mereka masing-masing. Rania terlihat memotong telur dadarnya dengan sendok dan menusuknya bersama dengan potongan kentang.
Issabell, gadis kecil itu menggenggam sandwich dengan daging asap dan keju lembaran terjepit di dalamnya. Melahap sandwich racikan sang mommy dengan begitu antusias. Real, putra mahkota Bara itu terlihat sibuk menarik masuk cairan kental yang memenuhi rongga hidungnya, imbas mengamuk tak berkesudahan.
“Sudah Real, ayo Mommy suapi serealnya.” Bella meraih putranya. Membawa batita itu duduk di pangkuan setelah menyingkirkan sepiring nasi goreng miliknya yang baru akan disentuh. Mengalah demi memastikan Real menghabiskan sarapannya. Menyuapi dengan telaten, sesekali mengusap noda susu memutih di sudut bibir mungil Real.
Dan sang kepala keluarga yang terasing, terlihat menyelesaikan sarapannya dengan buru-buru. Tidak tega saat melihat Bella harus menahan laparnya demi mengurusi Real.
Apa boleh buat, putra mereka satu ini sedikit spesial. Sejak lahir tidak mau dipegang pengasuhnya. Alhasil, Bara hanya mempekerjakan babysitter beberapa bulan saja, seterusnya Bella mengurus sendiri dibantu dengan Ibu Rosma dan Opa Oma Rania yang saat ini sedang liburan ke Bali.
Tampak Bara menghampiri Bella yang sedang memangku Real, setelah merapikan sendok dan garpunya di atas piring yang sudah bersih bersinar.
“Sayang, habiskan sarapanmu. Biarkan aku menemani Real bermain sebentar di halaman depan,” ucap Bara, meraih tubuh Real yang baru saja menghabiskan semangkok sereal.
“Ca, kamu hari ini tidak sekolah, kan?” tanya Bara, menatap putri keduanya yang juga baru selesai menghabiskan sandwich-nya
“Ya, Dad.”
“Ayo ikut Daddy ke depan,” ajak Bara.
“Mas tidak ke kantor?” tanya Bella, mengerutkan dahi.
“Hanya sebentar, Bell. Ini masih pagi. Sambil menunggumu menghabiskan sarapan, aku mau bermain dengan mereka,” jelas Bara. Tanpa menunggu jawaban, pria dengan setelan kerja itu sudah menggendong Real sembari menggandeng Issabell menuju halaman rumah mereka.
Setahun belakangan, perusahaan Bara berkembang pesat. Membuka beberapa cabang di luar kota, membuat Bara harus memangkas waktu berkumpul dengan keluarganya. Tidak jarang pria yang tahun ini akan menginjak usia 41 tahun itu harus mengorbankan kebersamaannya bersama ketiga putra-putrinya.
Mencuri momen singkat di pagi hari seperti inilah yang bisa dilakukan Bara untuk saat ini. Karena ia tahu, setiap pulang kantor hanya akan ada Bella yang menyambutnya. Anak-anak mereka sudah terlelap di peraduan malam, berlayar di alam mimpi.
***
“Mas ....” sapa Bella. Setelah hampir lima belas menit, Bella menyusul Bara. Ikut menikmati pemandangan menenangkan di pagi ini. Terlihat Issabell sedang menemani Real bermain di halaman berumput. Berlarian kecil sesekali berguling di rerumputan hijau.
“Sudah selesai sarapan? Mana Kakak?” tanya Bara, menatap wanita berkaos hitam yang tampak cantik menyegarkan. Wanita yang mengisi hidupnya lima tahun terakhir ini.
“Sebentar lagi Kakak keluar.”
“Bell, tolong awasi anak itu. Aku tidak mau Kakak pacaran dulu, sebelum menyelesaikan sekolahnya.”
“Namanya anak-anak, Mas. Biarkan saja.” Bella menjawab dengan santai. Pandangannya masih tertuju pada Real, putra kecilnya sedang tertawa bersama Issabell.
“Bell, kamu tahu sendiri, kan? Anak-anak seumur Rania itu bagaimana pergaulannya. Pokoknya kakak tidak boleh pacaran dulu sampai menamatkan SMA-nya!” tegas Bara.
“Aku khawatir, Bell. Aku tidak mau Kakak ....”
“Mas, biarkan saja. Namanya juga anak remaja, yang penting diawasi. Jangan terlalu keras, Mas. Kasihan Kakak,” ucap Bella, memberi alasan.
“Bell ....”
“Cukup Mas, aku tidak mau berdebat!” Bella mengangkat tangannya, meminta Bara berhenti berbicara.
“Kita juga pernah ada di posisi Kakak. Apa dulu Mas juga tidak pacaran sewaktu SMA? Bukankah dulu Mas pacaran dengan Mbak Brenda sejak duduk di kelas 10 SMA.” Bella mengingatkan.
Deg—
Bara merapatkan bibirnya, tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi. Ucapan istrinya seperti menampar wajahnya sendiri.
“Mas khawatir Kakak akan bersikap aneh-aneh. Itu sebenarnya hanya ketakutan Mas saja ... atau jangan-jangan dulu sewaktu SMA, pergaulan dan gaya pacaran Mas mengkhawatirkan. Jadi Mas tidak mau Kakak mengikuti jejakmu, Mas,” serang Bella.
“Sudah Bell, kita selesaikan perdebatan sampai di sini saja. Intinya, tolong kamu awasi anak itu. Aku mengkhawatirkannya,” ucap Bara, menelan ludahnya.
Sejak hamil, melahirkan sampai sekarang dia selalu kalah setiap berdebat dengan Bella. Ada-ada saja kalimat Bella yang sanggup mematahkan pendapatnya. Bara sampai heran sendiri, sejak kapan istrinya menjadi begini cerdas dan pintar membantah kata-katanya.
Kalau tahu Bella sepintar ini, harusnya ia mengirim istrinya ke fakultas hukum dulunya. Setidaknya kepintaran Bella bisa disalurkan di ruang sidang dan tidak perlu berdebat dengannya yang hanya seorang arsitek.
Dari dalam rumah, muncul Rania dengan tas menggantung membelah tubuhnya. Tersenyum, sembari menatap layar ponsel, sehingga nyaris tersandung pijakan anak tangga,
“Tuh, Mom. Apa tidak lihat?” Bara sudah memulai kembali.
“Biasa saja Mas. Aku akan mengawasinya, Mas tidak perlu khawatir.” Bella menenangkan.
Memilih tidak mau berdebat lagi, Bara meneriaki Real dan Issabell sebelum berangkat ke kantor.
“Sayang, Daddy mau berangkat ke kantor sekarang. Ayo!” teriak Bara, menarik celana kainnya dan berjongkok menyambut putra dan putrinya. Dalam hitungan detik, Issabell dan Real menghambur naik ke gendongan Bara. Satu di sisi kiri, satu di sisi kanan.
“Daddy mau ke kantor, hari ini daddy pulang malam lagi.” Bara berpamitan, mengecup pipi Issabell dan Real bergantian.
“Dad, mau mobil emot,” pinta Real.
“Ya, minggu kita beli mobil-mobilan.” Bara tersenyum menatap putranya. Miniatur dirinya, sama kerasnya, sama emosiannya.
Menurunkan keduanya, beralih memeluk Rania. “Kakak berangkat dengan Pak Rudi, ya. Daddy harus ke puncak hari ini.” Bara mengecup kening putrinya, menepuk pelan pipi gadisnya yang semakin hari semakin cantik. Kecantikan Rania yang pad akhirnya membuat Bara khawatir. Takut dengan kumbang jantan yang akan datang memetik madu.
“Ya, Dad.” Rania menjawab singkat.
Setelah melepaskan pelukannya pada Rania, Bara beralih menatap Bella. “Mom, aku harus keluar kota lagi. Pulang malam dan ...”
“Ya, Mas,” potong Bella, tersenyum. Ibu muda itu mulai terbiasa dengan kesibukan Bara, tidak pernah protes, tidak pernah mengeluh.
“Love you, Sweetheart.” Kecupan tipis di bibir Bella, sebelum masuk ke dalam mobil. Diiringi lambaian ketiga anaknya.
***
“Mom, Daddy tidak punya istri lagi, kan?” celetuk Rania tiba-tiba. Keduanya masih menatap mobil Bara yang menghilang di balik pagar rumah mewah mereka.
“Apaan sih, Kak!” ucap Bella, menatap tajam ke arah Rania.
“Kakak itu bukan anak kecil lagi. Daddy itu pulang malam hampir setiap hari. Keluar kota hampir setiap minggu. Memang Mommy tidak curiga?” tanya Rania.
Deg—
“Masuk ke mobil sekarang, Kak. Pak Rudi sudah menunggu,” usir Bella, berusaha menghempas pikiran buruk yang ditanamkan Rania padanya.
***
TBC
“Mom, Kakak pamit.”
Rania memeluk Bella dan melabuhkan kecupan singkat di pipi sang Mommy, sebelum masuk ke dalam mobil. Masih sempat melambaikan tangan dari balik jendela mobil. Tersenyum, memamerkan deretan gigi putihnya sampai mobil yang dikendarai Pak Rudi menjauh pergi dan hilang di balik tembok tinggi.
Bella bergeming. Ucapan putri tertuanya seakan menampar. Membuatnya mengoreksi kembali perjalanan rumah tangganya selama beberapa tahun belakangan.
Apakah selama ini ia terlalu percaya pada suaminya? Apakah selama ini ia begitu tidak peduli dan menutup mata? Apakah sebagai seorang istri, ia terlalu mengampangkan dan percaya seratus persen pada suaminya? Apakah memang sebenarnya tidak ada apa-apa dengan Bara? Semua pertanyaan itu berputar, mengisi pikirannya.
Fokusnya kembali saat dua tangan mungil memeluk lututnya, diiringi dekapan Issabell yang mengerat di pinggangnya.
“Mom, kenapa melamun?” tanya Issabell, menempelkan wajahnya pada tubuh Bella.
“Kalian sudah selesai mainnya? Kita mandi sekarang?” tanya Bella, menatap wajah-wajah polos itu satu persatu, bergantian dan menghadiahkan putra-putrinya senyuman hangat.
“Mom, main di syana ....” tunjuk si kecil Real, menatap ke arah jalanan komplek yang masih sepi. Hanya ada beberapa kendaraan pribadi yang lalu lalang sesekali.
“Nanti saja Real ... ini sudah siang,” tolak Bella pelan. Mendapati matahari pagi yang menyorot, Bella memilih membawa anak-anaknya masuk.
“Mom ....” Rengekan kecil sembari menghentakan kaki itu tidak menerima penolakan. Bahkan putra kecilnya menyeret tangan Bella, membawa sang Mommy menuju gerbang rumah yang masih terbuka
“Ya ... ya, Dek. Sebentar saja, ya.” Bella mengalah.
“Ca, pergi mandi sama Mbak, ya. Mommy bawa adek keliling sebentar,” pinta Bella saat langkahnya sampai di depan gerbang.
Mengitari jalan komplek yang masih lenggang, Bella menggenggam tangan putranya sembari menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan. Sampai di kavling kosong dengan rerumputan tumbuh liar, putra kecilnya tiba-tiba berlari mengejar capung yang terbang melayang di atas ilalang.
“Real, jangan terlalu jauh, Sayang,” teriak Bella, pelan. Mengingatkan Real yang berlarian ke sana kemari.
Berdiri menunggu di tepi jalan, indra pendengaran Bella menangkap obrolan para pembantu komplek yang sedang berkumpul sambil menunggu tukang sayur lewat. Sontak membuat perhatian Bella teralihkan. Apalagi topik yang dibahas begitu mengena dengan topik yang mengisi otaknya saat ini.
“Guys, ada gosip terbaru?” ucap salah satunya membuka suara.
“Hmmm.”
“Ada apa?”
“Buruan!” Ada banyak lagi kata-kata yang menunjukan ketidaksabaran akan informasi yang akan dibagi sang pembawa berita. Beberapa gadis muda yang hampir seumuran itu tampak begitu antusias menunggu kalimat selanjutnya.
“Juraganku menikah lagi!”
“Astaga?”
“Serius?”
“Bukannya terlihat baik-baik saja!” Berebutan para asisten rumah itu berkomentar, menggosipkan salah satu majikan tempat mereka menggantungkan nasib, mengais rezeki.
“Nyonya majikanmu masih muda, cantik begitu ... ditinggal nikah, jeng!”
“Emmm ... pantas saja, juragan sering pulang malam. Terkadang tidak pulang, alasan keluar kota. Sudah hampir setahun belakangan.”
“Tahunya punya istri lagi di luaran sana,” jelasnya dengan raut wajah begitu menyebalkan.
“Astaga, kalau laki-laki begitu, ya. Banyak uang sedikit, sudah cari suasana baru,” celetuk salah satunya.
Kisah para asisten itu begitu merasuki Bella, sampai konsentrasinya terpecah. Bahkan sempat mengabaikan putra semata wayangnya yang sibuk mengejar capung.
Tersentak saat mendengar celotehan Real. Bella, kembali memusatkan perhatian pada putranya.
“Real, kita pulang sekarang, Nak. Ini sudah siang,” panggil Bella, mendekati putranya. Sepanjang perjalanan, Bella memupuk curiganya. Kata-kata Rania dan rumpian para asisten membuat Bella semakin was-was dan hati-hati. Perasaannya kian tidak tenang.
***
Sepanjang hari, Bella terlihat termenung. Menemani Issabell dan Real dengan setengah hati. Separuh jiwanya mengepakan sayap, terbang bersama Bara. Tersemat curiga yang sama, saat mengingat kembali bagaimana Bara yang setahun belakangan sering beralasan keluar kota setiap pulang malam.
“Mudah-mudahan Mas Bara tidak termasuk golongan suami-suami seperti itu,” bisik Bella pelan. Menemani Real tidur siang, Bella yang biasanya ikut memejamkan mata tidak bisa tidur kali ini. Bolak balik menepuk punggung putranya, berharap Real cepat terlelap.
Hampir setengah jam, akhirnya ibu muda itu bernapas lega. Perlahan keluar dari kamar putranya, melangkah menuju teras samping. Ragu-ragu, akhirnya Bella menghubungi suaminya melalui sambungan video call. Hal yang jarang dilakukannya selama ini.
Menunggu panggilan itu tersambung, jantung Bella berdegup kencang. Layaknya gadis remaja yang sedang jatuh cinta, menghubungi sang pujaan hati. Tak lama, muncul wajah Bara memenuhi layar ponselnya.
“Bell, ada apa menghubungiku?” Bara tersenyum, menyapa. Wajahnya sumringah, terlihat bahagia dari biasanya. Bagaimana tidak, sepanjang sejarah pernikahannya, baru kali ini Bella melakukan panggilan video call.
“Mas ... sedang apa?” tanya Bella, ragu. Rasanya memalukan saat tertangkap basah mencurigai suaminya sendiri.
“Aku sedang makan siang, Bell. Anak-anak sedang apa? Ada apa menghubungiku, Bell?” tanya Bara. Terselip heran di dalam nada bicara Bara. Bukan hal biasa, Bella menghubunginya tanpa ada hal penting.
“Anak-anak tidur, Mas. Kakak masih les piano,” sahut Bella, tersenyum datar.
“Kamu sudah makan siang? Ada apa menghubungimu, Bell?” tanya Bara.
“Aku ... aku ....” Bella terdiam. Tanpa sengaja sudut matanya menangkap penampakan seorang wanita yang duduk di sisi Bara. Sekelebatan, tetapi jelas terlihat. Muda dengan rambut panjang tergerai. Duduk di sisi suaminya sedang menikmati sesuatu di atas piringnya.
Deg—
“Mas ....”
“Ya, Sweetheart.”
“Mas sedang di mana? Bukannya Mas di luar kota?” tanya Bella, mencari tahu.
“Ya, Bell. Ini masih di Puncak. Makan siang bersama Donita dan Dion,” sahut Bara santai.
“Donita ... siapa, Mas?” tanya Bella ragu-ragu.
“Sekretaris baru, Bell.”
“Hah? Sekretaris yang lama ke mana, Mas?” tanya Bella, semakin penasaran. Tidak biasanya ia bertanya banyak hal tentang pekerjaan suaminya. Selama ini, Bella memilih tidak mau terlalu ikut campur.
“Yang lama sudah dipindahkan ke divisi lain, Bell. Kerjanya hamil terus setiap tahun. Sudah seperti lebaran saja. Sebentar-sebentar cuti hamil, sebentar-sebentar cuti melahirkan.” Bara mengeluh.
“Hah! Benarkah? Sekarang siapa, Mas?” tanya Bella, mencari tahu.
“Aku meminta Dion mencarikan yang baru tamat kuliah. Yang masih belum punya pacar. Jadi aku tidak dipusingkan lagi.” Bara menjawab dengan santai. Tanpa tahu istrinya menyimpan kecurigaan.
“Namanya Donita,” ucap Bara, mengarahkan kamera ponselnya tepat pada wajah cantik Donita.
Deg—
Bella terpana melihat seberapa cantiknya sekretaris Bara yang baru. Terlihat masih muda, wajahnya manis dengan rambut hitam panjang tergerai. Cantik sempurna! Dan yang membuat Bella ketar-ketir saat mendapati gadis itu jauh lebih muda dari sekretaris Bara yang lama.
“Mas ... malam ini pulang jam berapa?” tanya Bella, mengalihkan pembicaraan.
“Kalau tidak macet jam delapan mungkin sudah tiba di rumah.” Bara menjawab santai.
“Oh, ya sudah. Aku menunggu Mas di rumah.” Bella mematikan sambungan teleponnya.
***
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!