NovelToon NovelToon

Renjana Senja Kala

Bab 1. Turn Back Crime

Turn Back Crime

(Melawan kejahatan)

***

Surabaya, 02.39 WIB

Tama

Bruk!

Dari jarak sekitar dua meter, ia melempar kunci mobil ke atas meja makan sembarangan, meletakkan dompet beserta dua ponsel, lalu membuka tudung saji yang di dalamnya terdapat piring berisi ayam goreng serundeng, tahu, tempe goreng, semangkuk kecil sambal bajak, dan setoples kerupuk udang.

Tangannya terulur meraih sepotong tahu, melahapnya dalam satu suapan.Terasa hambar mungkin karena sudah dingin. Sembari mengunyah, matanya menangkap selembar kertas buku tulis yang tersimpan di bawah toples kerupuk. Bentukannya seperti kertas buku yang disobek terburu-buru, sebab bekas koyakan menimbulkan garis asimetris.

 --

Sayur lodeh ada di kulkas.

ttd,

Yu Adah.

--

Pasti sayur lodeh kesukaannya berisi serutan buah pepaya muda, labu, udang, dengan kuah kental yang lebih menyerupai kari daripada sayur lodeh.

Tapi sekarang sudah terlalu larut. Ia sama sekali tak berminat menyantap hidangan berkuah santan. Ia lebih tertarik mengambil pinggan tahan panas di pantry, mengisi dengan tiga potong ayam goreng serundeng, dan memasukkannya ke microwave. Sambil menunggu, ia meraih remote televisi lantas menyalakannya.

"Indonesian national team beaten Thailand national team, with score 3-1, in the friendly match at the Gelora Bung Karno (GBK) Stadium, Jakarta, on ...."

Ia memperhatikan layar televisi, mengamati Satria Abimanyu, striker muda andalan Indonesia menyarangkan dua gol ke gawang Thailand.

Ting!

Sembari terus memperhatikan layar televisi, ia beranjak menuju pantry, mengeluarkan ayam yang baru dipanaskan, kemudian mengambil sepiring nasi dan segelas air putih. Namun begitu kembali ke meja makan, televisi tak lagi menayangkan berita kemenangan timnas U-19.

"Anda sedang menyaksikan Metropolitan Malam."

Ia mulai menyantap hidangan dini harinya dengan lahap.

"Konglomerat Jusuf Parawihardja akhirnya bersedia tampil di depan publik, untuk menanggapi berita panas yang bergulir sejak dua pekan terakhir."

"Beberapa sumber menyebutkan jika sang taipan memiliki hubungan asmara dengan Cundamanik Larasati. Penyanyi muda berbakat Indonesian Sweetheart."

"Saya berbicara di sini atas nama pribadi ...."

Sesosok pria muncul di layar televisi.

"Saya tidak memiliki hubungan dengan Cundamanik."

"Jangan membuat berita mengada-ada. Saya ini sudah hampir 60 tahun. Sementara artis muda itu ... berapa usianya sekarang?"

"Saya lebih pantas menjadi ayah ketimbang kekasih."

Namun layar televisi justru menayangkan kebersamaan pria paruh baya tersebut dengan sang artis di berbagai acara privat kalangan jetset. Ia melanjutkan makan sembari sedikit menyayangkan pengusaha sekaliber Jusuf Parawihardja tak bisa menghindari skandal. Kemungkinan paling masuk akal adalah anggota keluarga Parawihardja yang lain sudah muak dan membiarkan media mengendus.

Ia masih mengamati layar televisi yang mengupas tuntas latar belakang kehidupan sang Indonesian sweetheart ketika menyadari nasi dan ayam goreng di dalam piring telah licin tandas. Ia lantas meneguk segelas air putih kemudian merentangkan kedua tangan ke atas sembari menguap.

Raganya benar-benar penat.

Selama dua minggu terakhir, ia disibukkan upaya penyidikan pelbagai kasus. Mulai dari mafia tanah yang menyeret nama sejumlah oknum pejabat daerah. Kasus pembunuhan dan mutilasi mayat dalam koper di Kediri. Kasus bunuh diri satu keluarga crazy rich di Ngagel. Terakhir semalam, ia memimpin langsung penggerebekan dua pusat perjudian di Star Zone, Gubeng dan Club House, Menganti.

Ia kembali menguap malas sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 02.57 WIB. Masih cukup waktu mengistirahatkan tubuh barang sejenak sebelum waktu Subuh tiba.

Tanpa membereskan meja makan, ia beranjak ke kamar, melemparkan diri ke atas tempat tidur, mencoba melelapkan diri.

Ia berpikir telah tertidur nyenyak. Namun anehnya masih bisa melihat lambaian kain berwarna biru di kejauhan. Ia memperhatikan dengan seksama kain cantik tersebut. Lalu terhenyak manakala angin mendaratkan di bahunya.

Ia meraih kain yang terasa begitu halus saat menyentuh telapak tangan. Keharuman lembut yang baru kali ini dijumpai, perlahan membuai seluruh kesadarannya.

Ia masih mengagumi keindahan kain berwarna biru dalam genggaman ketika bayangan seseorang muncul di kejauhan. Aura kecantikan yang memancar menarik minat kedua matanya untuk menyipit sempurna menajamkan penglihatan. Namun sekeras apapun berusaha, bayangan tersebut tak juga bisa dikenali.

Ia hampir beranjak ingin melihat dari jarak dekat. Ia benar-benar penasaran dengan bayangan tersebut. Siapakah dia? Tapi keburu seseorang melemparkan bunyi telepon padanya.

"You're all I need beside me girl

You're all I need to turn my world

You're all I want inside my heart

You're all I need when we're apart"

(White Lion, You're All I Need)

Matanya tetap terpejam dengan tangan terulur ke atas nakas berusaha meraih ponsel bermaksud mematikannya. Namun yang diinginkan tak kunjung tergapai.

Sialan!

Ia baru tertidur barang sejenak tapi seseorang telah berani mengganggu di pagi buta.

Ia masih meraba-raba keseluruhan permukaan nakas berusaha meraih ponsel. Namun lengkingan Mike Tramp terus mengejar.

"Damned!" makinya kesal begitu menyadari bunyi ponsel ternyata berasal dari ruang makan.

Ia berjalan terhuyung-huyung menuju ruang makan, bergegas meraih ponsel yang menggelepar-gelepar di atas meja.

Erik Calling

"Lapo (ada apa), Rik?" tanyanya dengan kepala melayang akibat masih mengantuk tapi terpaksa bangun.

***

Ia sempat mengganti polo shirt navy yang semalam dikenakan saat memimpin operasi penggerebekan dengan polo shirt warna gelap lain yang diambil dari tumpukan baju paling atas. Memastikan revolver berada di tempat semestinya. Bergegas memacu kendaraan menuju apartemen di bilangan Kedungdoro yang berjarak sekitar 7 Km dari tempat tinggalnya. Di mana menurut informasi Erik tadi, telah terjadi kasus pembunuhan.

Di tempat tujuan, ia mengarahkan kemudi menuju basement sebab halaman gedung telah dipenuhi sejumlah mobil dinas kepolisian, ambulance, dan minibus berlogo stasiun televisi swasta nasional.

"Sopo (siapa)?" tanyanya pada Erik yang menyambut di lobby.

"Salah satu tokoh yang kemarin masuk majalah Forbes," gegas Erik seraya menggelengkan kepala.

Ia tak berkomentar. Jujur saja, kepalanya masih sangat pening. Belum bisa digunakan untuk memikirkan hal rumit dan berat.

Namun sebelum memasuki lift, ia berteriak pada Teguh yang melintas.

"Guh, steril, Guh! Wartawane kongkon nyengkreh (wartawannya suruh pergi saja)!"

"Siap, Ndan!" Teguh mengangguk mengerti.

Namun sedetik kemudian ia berubah pikiran, "User ae (usir saja)! Wartawane user ae teko kene (wartawannya usir saja dari sini)!"

Teguh kembali mengangguk. Kali ini lebih mantap.

Begitu pintu lift tertutup, ia langsung bergumam tak habis pikir, "Dari mana wartawan tahu kalau korbannya orang penting? Garai mumet ae (membuat pusing saja)! Jangan sampai keluar di berita sebelum kita selesai investigasi!"

"Siap!" Erik mengangguk.

Dari lobby utama, mereka naik menuju lantai 52.

"Ini lantai tertinggi, unit paling eksklusif, private lift, akses sidik jari, nggak semua orang bisa masuk," terang Erik bersamaan dengan pintu lift yang terbuka.

Matanya langsung disambut oleh hamparan ruangan luas yang kental dengan nuansa kemewahan. Menyerupai lobby hotel bintang lima berdesain modern minimalis. Namun ada satu aksen pembeda berupa police line bertuliskan 'do not enter'.

"Di lantai ini ada berapa unit?" tanyanya sambil berjalan melintasi marmer yang licin.

"Dua," jawab Erik sambil memeriksa ponsel. "Sigit sudah mendatangkan pengelola gedung. Tapi manajer buildingnya masih on the way."

Ia mengangguk, "Penghuni sebelah?"

"Dihandle Cahyo," jawab Erik. "Begitu selesai dengan Mas, saya sendiri yang turun tangan."

"Oke," gumamnya sambil memijat kening yang semakin berdenyut.

Ia melangkah tergesa melewati koridor eksklusif menuju pintu berwarna putih di sisi sebelah kiri yang terbuka lebar, TKP.

"Pak?" Sejumlah petugas mengangguk hormat begitu melihat kemunculannya.

Ia hanya mengangkat tangan kanan sebagai jawaban. Bergegas melangkah ke tengah ruangan di mana dua petugas yang mengenakan rompi bertuliskan Biddokkes (bidang kedokteran dan kesehatan) Polda dan Bid TI (bidang teknologi informasi) Polda di bagian punggung, tengah melakukan pemeriksaan sekaligus mengabadikan posisi terakhir korban.

Begitu selesai, dua petugas tersebut mengangguk ke arahnya lalu bergerak menyingkir. Memberi ruang padanya untuk melihat kondisi korban dengan lebih jelas dan leluasa.

Pria berusia sekitar 60 tahunan itu duduk di kursi, kepala dan dada terkulai ke atas meja, mulut dan hidung mengeluarkan buih berwarna putih.

"Perkiraan waktu kematian sekitar tiga sampai empat jam yang lalu," terang petugas forensik. "Indikasi utama terjadi henti napas mendadak akibat serangan jantung koroner."

"Dari pemeriksaan luar, tidak didapati tanda kekerasan dan bekas luka. Baik karena benda tajam, benda tumpul, maupun tangan kosong." Petugas forensik memungkasi laporan.

"Damned!" makinya begitu menyadari sang korban. Membuat Erik dan dua orang petugas berompi melihat ke arahnya dengan penuh tanda tanya.

Ia masih terpaku di tempat, belum bergerak sejengkalpun ketika ponsel dinas yang tersimpan di saku kembali melengkingkan suara Mike Tramp sebagai tanda panggilan masuk.

"You're all I need beside me girl

You're all I need to turn m ...."

(White Lion, You're All I Need)

Ia mengangkat panggilan.

"Are you there?"

Ia mengembuskan napas panjang sebelum menjawab pertanyaan menuntut dari sang penelepon, Rajas.

"Yes." Lidahnya kelu.

"Is he, right?" tanya Rajas dengan suara tak sabar.

"So sorry ...." gumamnya sambil memandangi korban, yang tak lain dan tak bukan adalah paman Rajas, Jusuf Parawihardja.

***

Ia masih membicarakan kemungkinan yang terjadi dengan tim reskrim ketika para petugas mulai memasukkan tubuh kaku om Jusuf ke kantung jenazah, mengangkatnya keluar ruangan untuk dibawa ke Rumah Sakit agar divisum.

"Satu-satunya saksi mata," gumam Erik begitu ia menyudahi koordinasi dengan tim seraya menunjuk salah satu pintu yang berada di sisi sebelah kanan ruangan.

"Nggak ada tanda-tanda orang luar masuk," jelas Erik. "Ataupun orang di dalam yang keluar."

"Semua bersih dan sangat normal," lanjut Erik seraya menunjukkan kertas coretan hasil investigasi awal.

"Mereka pulang dari private party di sebuah hotel berbintang. Mampir ke salah satu bar di pusat perbelanjaan," imbuh Erik dengan telunjuk mengarah ke bawah. Sebab apartemen mewah ini berada satu tower dengan pusat perbelanjaan menengah ke atas. "Memakan semangkuk sup jamur dan segelas red wine."

Ia segera menemui saksi mata yang duduk di dalam kamar tidur utama dengan ekspresi wajah pucat pasi. Lelehan air mata gadis belia itu bahkan belum sepenuhnya mengering.

Cundamanik Larasati.

Penyanyi pendatang baru jebolan ajang pencarian bakat nomor wahid negeri ini yang digadang-gadang akan menjadi the next Gayatri, diva pop Indonesia.

Dunia benar-benar sempit. Dan (seringkali) gosip adalah fakta yang tertunda.

"Selamat malam, perkenalkan saya Tama," sapanya sambil mendudukkan diri di hadapan gadis yang dari penampilannya terlihat berusia sebaya dengan Anja, si adik bungsu.

Sejak awal, Cundamanik sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan. Remaja belia itu hanya menangis dan terus menangis, membuat Erik jatuh iba lantas menyediakan bahu untuk bersandar.

Ia memprotes kesigapan luar biasa Erik. Tapi menemui bantahan melalui isyarat, berdalih sebagai bagian dari tugas.

"Jangan khawatir, nanti ada petugas kami yang mendampingi," terang Erik seraya menepuk bahu Cundamanik yang bergetar hebat karena isakan.

Ia hanya menyeringai melihat ketangkasan khusus yang diperlihatkan Erik dalam waktu singkat. Lalu meninggalkan kamar bermaksud menemui penghuni unit sebelah yang mungkin memiliki petunjuk berarti tentang peristiwa ini.

"Cahyo!" panggilnya begitu melihat Cahyo sedang berbincang dengan tim dari Biddokkes.

"Ya, Pak?" Cahyo berjalan menghampiri.

"Kamu katanya lagi ke unit sebelah, kenapa malah di sini?"

Cahyo terlihat gugup sebelum menjawab. "Sudah di handle sama bang Erik, Pak."

Ia mengernyit. "Lho? Erik lagi di dalam, kok."

"I-iya ...." Cahyo semakin gugup. "Maksud saya ...."

"Di mana mereka?" tanyanya cepat.

"Siapa, Pak?"

Ia memandang Cahyo kesal karena menanyakan hal bodoh. "Penghuni unit sebelah. Mereka di mana?"

"Di ... unit mereka, Pak. Sedang didampingi oleh Sigit. Atas perintah Bang Erik, kami ...."

"Saya mau ketemu sama mereka." Tanpa menunggu jawaban, ia bergegas menuju pintu keluar.

"Pak Tama!" Cahyo menyusul di belakang. "Bang Erik bilang, Pak Tama jangan ketemu sama mereka dulu."

Ia bergeming. "Sejak kapan Erik bisa ngatur saya?"

"B-bukan begitu, Pak. Tapi ...."

Ia tetap melangkahkan kaki melewati pintu keluar, menyusuri koridor berlantai marmer yang licin, menuju pintu kedua di sisi sebelah kanan koridor.

"Pak Tama!"

Rupanya Cahyo masih mengejar. Tapi ia sudah keburu memasuki pintu bercat warna putih di mana Sigit dan Wahyu terlihat sedang berbincang dengan seorang pria paruh baya berpenampilan familiar.

Ia hampir memberikan kata sapaan, namun urung sebab sudut matanya lebih dulu menangkap bayangan sesosok wanita yang muncul dari ruang dalam membawa nampan berisi tiga buah cangkir.

Wanita tersebut tertegun begitu menyadari kehadirannya di depan pintu.

Kejadian yang sama sekali tak terduga, dalam sekejap berhasil membuat pening yang masih mengganggu menjadi semakin menggusarkan.

Ia sempat mengira seseorang dengan sengaja memukulkan palu godam tepat di atas kepala secara bertubi-tubi, dengan tanpa ampun, mematikannya saat itu juga, menghancurkan harga diri hingga tak bersisa.

Remuk redam lalu binasa.

***

Keterangan :

Istilah 'Turn Back Crime' atau melawan kejahatan, muncul dalam sidang tahunan Interpol yang digelar April 2014, di Lyon, Prancis (sumber : liputan6.com).

Lyon adalah markas pusat Interpol. Peluncuran istilah itu dilakukan bertepatan dengan satu abad lahirnya lembaga yang beranggotakan 190 negara.

Turn Back Crime merupakan program Interpol tahun 2014. Jaringan kepolisian negara-negara sedunia ini, mengampanyekan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama melawan kejahatan terorganisir di sekeliling mereka.

Beberapa kasus kejahatan yang tertulis, dikutip dari berbagai sumber. Seperti : beritajatim.com, suarajatim.id, merdeka.com, dll.

Visum adalah laporan tertulis yang dikeluarkan oleh penyedia layanan kesehatan (ditandatangani oleh dokter yang berwenang) berdasarkan pemeriksaan terhadap korban kekerasan seksual, fisik, atau mental. Dalam laporan tersebut, terdapat rincian kondisi kesehatan fisik dan psikis korban yang diperiksa (sumber : hellosehat.com).

Visum dilakukan pada luar tubuh. Bisa dilakukan pada mereka yang hidup maupun meninggal.

Bab 2. "Adek Cantek Boh Hate Abang"

"Adek Cantek Boh Hate Abang"

(Adik cantik kesayangan Abang -bahasa Aceh-)

***

Jakarta, dini hari

Pocut

Apakah sekarang ia sedang bermimpi?

Kemungkinan besar. Sebab ia melihat bang Is menyantap makan siang di dapur.

"Abang?" panggilnya sekedar memastikan.

Pria rupawan itu mendongak seraya melempar senyum. Namun tak mengucapkan sepatah kata pun, sama seperti pertemuan mereka sebelumnya.

Entahlah, akhir-akhir ini bang Is kerap datang berkunjung meski mereka tak pernah berbicara. Hanya saling menatap dan melempar senyum. Meski begitu, kehadiran bang Is sudah menjadi momen paling berharga baginya.

Kali ini ia tak ingin membuang kesempatan. Seraya mengembuskan napas meneguhkan hati, ia memberanikan diri mengambil duduk di hadapan pria yang sedang melahap nasi putih dengan lauk favorit, kuah asam keu-eung.

Ia memperhatikan bagaimana jemari kokoh itu menyendok nasi beserta lauk, lalu melahapnya dengan gerakan cepat. Ciri khas bang Is jika sedang makan. Seperti hendak menunjukkan sikap bahwa waktu tak boleh terbuang percuma. Bahwa kehidupan hanyalah secepat mengedipkan kelopak mata.

"Abang mau tambah?" tawarnya demi melihat isi piring sudah hampir kosong.

Bang Is tersenyum mengangguk.

Ia bersegera mengambil piring lalu beranjak ke sisi dapur yang bersisian dengan dinding kamar mamak, tempat di mana sebuah meja kecil menyimpan magic com.

"Nasi banyak atau sedikit?" tanyanya ingin tahu.

Namun tak terdengar jawaban.

Ia pun berinisiatif menyendokkan satu centong nasi ke dalam piring, lalu beralih ke depan kompor mengambil sepotong ikan tongkol dari atas wajan, dan menyiramnya dengan kuah asam keu-eung.

"Abang lapar?" tanyanya begitu meletakkan piring berisi nasi dan lauk ke atas meja.

Pria itu menyambut dengan penuh suka cita. Melahap makanan dari dalam piring tanpa ragu. Sementara ia kembali terpaku memandangi cara suami tercintanya makan. Cepat, tangkas, cekatan, tak ada leha-leha, apalagi bermalas-malasan.

"Loen rindu keu gata (aku merindukanmu) ...." bisiknya tanpa sadar dengan air mata berlinang.

Ia benar-benar merindukan keberadaan bang Is di sisi. Amat sangat merindu.

Ingatannya lantas melayang pada kebersamaan terakhir mereka sebelum berbulan-bulan kemudian bang Is dinyatakan meninggal tertembak perompak. Mereka sekeluarga piknik ke Ragunan, masuk melalui pintu utara, dan langsung disuguhi pemandangan indah berupa taman kandang burung Pelikan. Lengkap dengan sekumpulan burung Pelikan yang berjajar cantik seolah menyambut kedatangan mereka.

Sasa bertepuk tangan dengan riang. Bang Is lantas meraih Sasa dan mengangkat putri bungsu mereka tinggi-tinggi agar bisa melihat burung Pelikan lain yang bersembunyi di taman.

Dari burung Pelikan, mereka beralih melihat sekumpulan orang utan, melewati kandang buaya muara, mengunjungi beruang madu, kemudian mengamati berbagai jenis burung.

"Canciiiik ...." seru Sasa dengan mata takjub ketika mereka melewati burung merak yang sedang meregang memamerkan bulu.

"Sasa suka?" tanya Icad antusias. "Nanti Abang buatin gambar burung merak yang bulunya indah, khusus buat Sasa."

"Aku mau!" Umay mengangkat tangan kanan tak mau kalah. "Aku juga mau digambarin sama Abang!"

"Antre, ya," jawab Icad tak acuh. "Aku mau gambarin buat Sasa dulu."

"Nggak apa-apa antre juga." Umay tetap gembira. "Yang penting aku digambarin buaya yang tadi, sama beruang madu, burung beo, sama ...."

"Ogah, ah!" tolak Icad cepat. "Kamu bukannya nyuruh orang ngegambar tapi ngerjain! Itu sih minta digambarin sekebun binatang namanya!" Icad menolak mentah-mentah.

"Ah, Abang pilih kasih! Nggak adil!" Umay kesal dan berkacak pinggang.

"Umay gambarin juga dong, Bang," gumam bang Is berusaha meredam gejolak adik-kakak.

"Umay juga." Bang Is melihat ke arah Umay yang merengut, tak terima mendapat penolakan dari sang kakak. "Minta gambarnya jangan banyak-banyak. Secukupnya saja."

"Tuh!" Icad bersorak kegirangan sambil menunjuk muka Umay.

"Ya udah!" Umay akhirnya menyerah. "Gambarin aku burung elang aja."

Ia dan bang Is tergelak bersama.

Dari kandang burung, mereka melewati kandang harimau putih yang berhasil menghipnotis Icad dan Umay. Dua putranya itu terkesima melihat betapa gagah seekor harimau putih berjalan dari satu sisi kandang ke sisi lain. Kemudian mereka beralih memperhatikan harimau Sumatera, lalu singa.

"Hauuuummm!" Tiba-tiba Umay mengagetkan Sasa.

"Hiiiyy! Abang kakal (nakal)!" jerit Sasa marah. Diikuti jeweran Icad ke telinga Umay.

Setelahnya ada gajah Sumatera.

"Sasa sayang, mau naik gajah?" tawar Bang Is.

Sasa dengan menggeleng kuat-kuat, "Atuuut (takut) ...."

Jadilah yang berkesempatan menaiki Gajah hanya Icad dan Umay.

"Pegangan, May!" Bang Is meneriaki Umay yang tergelak-gelak di atas punggung gajah entah sedang menertawakan apa. Sementara Icad diam membisu lengkap dengan ekspresi wajah kaku dan tegang.

Dari kandang gajah, mereka melihat jerapah, mengelilingi kawasan pusat primata, melihat gorilla, lutung, kera, monyet.

Namun karena anak-anak mulai kelelahan, mereka memutuskan beristirahat di sekitar patung primata, menggelar tikar sambil menikmati makan siang yang dibawa dari rumah.

Ketika hendak membereskan sisa makanan, bang Is bergumam seraya mengerling. "Biar aku yang bereskan."

Ia hanya menggeleng tertawa. Tetap melanjutkan kegiatan memisahkan sampah dan wadah yang hendak dibawa pulang.

"Adek cantek boh hate Abang (adik cantik kesayangan Abang) ... tolong belikan Abang kopi saja," sambung Bang Is sembari mengambil alih membereskan sampah di atas tikar.

"Rasanya harus di doping sama kopi, nih. Setelah seharian menggendong anak gadis keliling Ragunan," kalimat yang diucapkan bang Is membuatnya tertawa.

Tapi tidak kali ini, karena ia justru memandangi bang Is yang telah selesai makan dengan air mata berlinang. Ia hampir kembali mengucapkan kata rindu. Ketika pria tampan itu tiba-tiba berucap pelan, "Adek cantek boh hate Abang ... tolong buatkan Abang kopi."

Isak tangisnya tak terbendung lagi. Ia bahkan tersedu sedan dengan hebatnya.

"Aku mau buatkan Abang kopi setiap hari," bisiknya dengan suara bergetar.

"Sampai kita sama-sama tua," imbuhnya di sela isakan.

"Sampai anak-anak tumbuh besar. Sampai aku jadi nenek-nenek. Sampai lututku tak kuat lagi untuk berjalan. Sampai mataku rabun dan susah untuk melihat wajah tampan Abang. Sampai aku pikun dan lupa pada diriku sendiri. Aku akan tetap ingat untuk membuatkan Abang kopi setiap hari. Tapi kenapa justru Abang pergi lebih dulu?" Tangisnya semakin menjadi tak terkendali.

Ia telah mengikhlaskan kepergian bang Is dengan cara yang cukup tragis. Namun seandainya boleh meminta, ia ingin memiliki waktu lebih lama lagi bisa hidup bersama bang Is. Tak terpisahkan jarak dan waktu demi menyambung hidup, walau hanya dalam mimpi.

Dari pandangannya yang terbatas sebab tertutup deraian air mata, ia bisa mengetahui bang Is mengulurkan tangan kanan dan mulai menyentuh wajahnya. Namun yang terasa bukan belaian lembut, justru tepukan ringan di lengan.

"Cut? Cut?"

Ia masih terisak, sangat berharap itu adalah suara bang Is yang memanggilnya. Tapi bang Is tak pernah memanggilnya dengan sebutan Cut. Bang Is selalu menyapanya dengan nama dara ceudah (gadis cantik) atau ade cantik boh hate abang, jika sedang ada maunya.

"Pocut? Pocut?"

Suara orang memanggil dan tepukan halus di lengan kembali mengusik. Dalam sekejap berhasil mengembalikan kesadarannya.

"Mak?" Ia terkejut mendapati wajah mamak yang memandanginya dengan tatapan cemas.

"Kau bermimpi?" tanya mamak dengan kening berkerut.

Ia buru-buru mengusap air mata yang meleleh kemudian bangkit.

"Sudah jam berapa?" tanyanya dengan suara serak berusaha mengalihkan perhatian mamak.

Mamak masih tertegun menatapnya, namun sejurus kemudian tersenyum tipis. "Sudah hampir Subuh."

"Aku kesiangan?" keluhnya sambil beringsut turun dari tempat tidur.

Tapi mamak justru menepuk bahunya lembut. "Tak apa sekali-kali bangun kesiangan. Kau sedang tidak sholat ini."

***

Ia sedang mengacau kuah sie itiek (kuah bebek) di atas panci ketika Sasa berteriak dari dalam kamar mandi.

"Maaaa! Handuknya mana?"

"Sebentar, nak," jawabnya yang sedang mencicipi rasa.

"Dingiiiin, Maaa!" teriak Sasa tak sabar.

Setelah yakin telah memperoleh rasa yang diinginkan, ia segera mematikan kompor bergegas mengambil handuk dan menghampiri Sasa.

"Nanti simpan handuk di dalam kamar mandi saja, Ma," pinta Sasa setengah menggerutu.

"Nanti jatuh lagi," ujarnya mencoba mengingatkan.

Sasa sempat beberapa kali terpeleset ketika hendak mengambil handuk dari atas gantungan. Atau handuk yang terjatuh ke lantai kamar mandi sebab posisi gantungan cukup tinggi, lumayan menyulitkan bagi Sasa yang bertubuh mungil.

"Buat gantungan baru, Ma," rengek Sasa.

Ia mengangguk. "Iya. Nanti Mama beli gantungan baru di toko bang Ahmad."

"Eh ...." Tiba-tiba Sasa seperti teringat sesuatu. "Tunggu Yah bit ke sini aja deh, Ma."

"Kenapa?" tanyanya tak mengerti. Sementara tangan terus bergerak menyelimuti tubuh Sasa dengan handuk.

"Mama kan dulu pernah, buat gantungan baru di kamar kita, tapi gagal," sungut Sasa.

Ia tertawa sambil membimbing bahu Sasa keluar dari kamar mandi.

"Mama nggak jago." Sasa menggelengkan kepala. "Aku mau nunggu Yah bit ke sini biar gantungannya nggak gagal lagi."

Ia kembali tertawa.

"Yah bit masih lama ke sininya." Ia menggeleng tak setuju. "Yah bit sekarang tinggalnya jauh, di Bandung."

Tapi Sasa tetap menggelengkan kepala. "Sasa sabar kok, nunggu Yah bit datang."

Ia mendesis tak percaya. Ketika melewati ruang tamu, dilihatnya Icad sedang asyik menggambar di atas meja. Sedangkan Umay tengah memelototi layar televisi.

"Umay!" gelengnya tak setuju. "Masih pagi sudah nonton TV!"

"Lagi seru, Ma," jawab Umay tanpa menoleh dengan tangan kanan menunjuk layar televisi.

Sebelum masuk ke kamar, ia sempat melirik layar televisi yang tengah menayangkan acara ....

"Anda masih bersama kami di Buru Sergap!" Menjadi kalimat yang diucapkan oleh pembaca berita di layar televisi.

"Nonton acara anak-anak, Umay!" serunya dari dalam kamar.

Tapi tak seorangpun yang menjawab seruannya.

"Aku mau nonton Cloud Bread, Abang!" teriak Sasa, yang kini sedang mengeringkan tubuh dengan handuk.

Sementara ia tengah berusaha mengambil baju seragam Sasa di dalam lemari.

Tapi tetap tak ada sahutan dari arah ruang tamu.

"Cepetan, Ma, pakai bajunya!" rengek Sasa dengan terburu-buru. "Aku mau nonton Hongshi sama Hongbi."

Ia mengangguk. Lalu membantu Sasa untuk mengenakan baju.

"Ma?"

"Ya?"

"Nanti sore ... aku pergi ke ulang tahun Raline, pakai baju yang dikasih sama Om ganteng ya, Ma?"

Ia menghentikan kegiatan sejenak dari mengancingkan baju seragam Sasa.

"Baju princessnya baguuuus ...." mata Sasa mengerjap dengan gembira. "Sasa sukaaaa bangeeeet ...."

Ia menelan ludah sebanyak dua kali. Lalu menghela napas panjang.

"Pakai baju lebaran yang dibelikan sama Nenek juga bangus, Sa," tawarnya mencoba peruntungan.

Tapi Sasa menggelengkan kepala keras-keras. Lalu berbisik di telinga kanannya, "Kalau baju yang dibelikan Nenek ... sama dengan baju punya Zhie, Ma."

Lalu Sasa mengerutkan kening, "Aku mau pakai baju princess yang dari om."

Ia mengembuskan napas panjang. "Ya sudah ... kita lihat nanti, ya."

"Tapi kalau kata Mama sih, bagusan baju lebaran Sasa," gumamnya seraya berusaha memasang wajah seantusias mungkin.

"Mama pasti salah lihat!" protes Sasa. "Orang bagusan baju yang dibelikan sama om kok."

"Sasa!" ia tiba-tiba merasa pening. "Tolong jangan bilang om-om terus, Sa. Kepala Mama jadi pusing."

Sasa menatapnya tak mengerti, "Kenapa kepala Mama pusing kalau dengar nama om?"

"Apa om nakalin Mama?" tanya Sasa penuh selidik.

"Aduh!" gumamnya tanpa sadar.

"Ya ... pokoknya Mama nggak suka dengar Sasa menyebut-nyebut nama om terus," ujarnya masih di luar kesadaran.

"Kenapa Mama nggak suka?" Sasa kembali bertanya dengan kening yang semakin mengkerut.

Oh ya ampun, ia benar-benar lupa jika Sasa memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Ini jelas blunder terburuk yang dilakukannya di hadapan Sasa.

"Kan omnya baik sama Sasa ...." Sasa masih menatapnya dengan penuh selidik. "Baik juga sama Mama. Waktu itu kan kita ...."

"Sssstttt!" ia buru-buru menghentikan kalimat Sasa.

"Udah, Sa." Ia memijit kening yang mendadak benar-benar terasa pusing. "Mama jadi pusing beneran ini."

"Berarti tadi ... Mama pusing bohongan dong?" tebak Sasa dengan mata membulat.

"Hhhhhh!" Ia mengusapkan telapak tangan guna menyapu wajah dengan gemas.

"Sudah," ucapnya dengan nada tegas. "Sekarang Sasa tunggu di luar. Mama ambilkan sarapan dulu."

"Berarti boleh ya, Maaa ... Sasa pakai baju princess yang dikasih sama om?"

Ia menatap Sasa tak percaya, "Terserahlah Sasa ...."

"Yeeeee!" Sasa melompat kegirangan. Lalu berlari keluar kamar.

"Abang! Nanti sore Sasa mau pergi ke ulang tahun Raline pakai baju princess lho!"

Ia mengembuskan napas panjang mendengar seruan gembira Sasa. Sebab kepalanya mendadak berdenyut tak karuan.

Membuatnya buru-buru meraih handuk. Agar tak terhanyut dalam perasaan kesal, terhadap orang yang disebut om oleh Sasa.

Ketika menyibak korden kamar, dilihatnya Sasa sedang tertawa-tawa dengan Icad. Sementara Umay masih memelototi layar televisi.

"Umay! Sudah sarapan belum?" hardiknya. Merasa kurang suka jika pagi-pagi televisi sudah menyala.

Tapi Umay tak menjawab. Karena sedang terpaku di depan layar televisi.

Membuatnya penasaran dengan apa yang membuat Umay bergeming dari hardikannya.

"Pemirsa, berikut kami tayangkan rekaman ekslusif, detik-detik penggrebekan dua tempat perjudian terbesar yang berada di Surabaya," urai pembaca berita.

"Semalam .... Tim dari Polda Jatim, yang dipimpin langsung oleh Dirreskrimum (direktur reserse kriminal umum) Kombes Pol Wiratama Yuda. Berhasil melakukan penggrebekan, di dua tempat perjudian terbesar, yang sempat meresahkan warga Surabaya."

"Bang! Abang!" pekik Umay dengan penuh semangat. "Keren, Bang! Kayak di film film!"

Ia masih memperhatikan layar televisi. Yang kini tengah menayangkan, sesosok pria berkaos polo warna navy, tengah membentak seorang pria yang berwajah ketakutan.

"Kamu siapa! Pengelola apa pemilik!"

"Bukan, Bang. Bukan."

Disusul teriakan pria lain, yang berada di sekeliling sosok berkaos navy. Dengan pistol teracung ke atas.

"Diam! Jangan bergerak!"

"Ada berapa orang di sini?"

"Jawab! Heh!"

"Ampun, Bang .... Ampun ...."

Dengan gambar latar belakang, beberapa orang berperawakan tegap, tengah menggelandang puluhan pria yang tertangkap basah sedang berjudi. Juga beberapa wanita berpakaian se ro nok.

"Wiiih! Keren banget ...."

Dan gumaman kagum Umay, akhirnya berhasil mengembalikan kesadarannya.

"Umay!" hardiknya yang semakin merasa kesal. "Matikan TV! Waktunya sarapan!"

"Yaaah ...." Umay merajuk tak setuju. "Lagi seru ini, Ma."

"Pemirsa ... berikut kami sampaikan wawancara langsung reporter kami, dengan Dirreskrimum Polda Jatim. Tentang penggrebekan dua tempat perjudian terbesar beromzet milyaran rupiah."

"Pak Wiratama Yuda ... bagaimana tanggapan anda tentang operasi penggrebekan yang anda pimpin?"

"Abang!" pekik Umay dengan suara keras. "Itu ... itu ... orang itu ...." Umay menunjuk layar televisi dengan mata melotot.

"Ya, dapat kami sampaikan bahwa ...." pria berkaos navy di layar televisi mulai menjawab pertanyaan reporter.

"Orang itu bukannya O ...."

Klik!

Ia mematikan televisi melalui sumbernya langsung. Dengan menekan tombol power.

"Waktunya sarapan!" ujarnya sambil memelototi Umay. Yang hingga kini masih memasang wajah takjub. Meski layar televisi telah mati.

"Orang tadi ... pak polisi yang tadi ...." desis Umay dengan nada kagum yang tak bisa ditutupi.

"Itu Om yang ada di rumah Dekgam bukan, Bang?" tanya Umay ke arah Icad. Yang hanya mengangkat bahu.

"Tahu," jawab Icad tak peduli.

Membuatnya lagi-lagi harus mengembuskan napas panjang dengan berat.

"Iya! Bener! Pak polisi yang di TV tadi sama dengan om-om yang ada di rumah Dekgam!!" seru Umay masih dengan mata berbinar.

"Aku tahu ... aku tahu .... Umay tak pernah salah!"

***

Bab 3. When A Blind Man Cries

When A Blind Man Cries

(Saat pria buta menangis -mengandung makna kiasan-)

-diambil dari judul lagu milik Deep Purple-

***

Surabaya

Erik

Ia berlari secepat kilat menyusuri koridor berlantai licin. Ia bahkan beberapa kali terpeleset hampir jatuh tersungkur, meski urung sebab masih mampu menjaga keseimbangan tubuh. Sembari terus berharap-harap cemas semua belum terlambat.

Ia bisa bernapas lega begitu sampai di depan pintu unit sebelah, matanya menangkap bayangan sosok sang komandan yang sedang membalikkan badan.

"Ma ...."

Namun kalimatnya terpotong di udara dan kelegaan bersifat fana. Sebab dalam hitungan sepersekian detik, tubuh tegap pimpinan sekaligus mentornya itu kembali berbalik, lalu merangsek maju, menerjang pria paruh baya yang tengah duduk di sofa.

BUG!

Ia tak bisa membayangkan seberapa besar kekuatan hantaman yang dilayangkan hingga membuat pria paruh baya itu terjengkang ke belakang.

Sigit dan Wahyu yang sempat terpana mulai bergerak tangkas memegangi tubuh mas Tama. Sambil memaki diri sendiri, ia pun bergerak maju untuk turun tangan.

Dan menghalangi kemarahan seorang Wiratama Yuda, pemegang sabuk hitam karate, jelas bukan perkara mudah. Mereka bertiga harus mengupayakan sekuat tenaga, menahan harimau marah agar tak kembali merangsek ke depan.

Sementara pria paruh baya yang tadi sempat terjengkang, kini bersusah payah berusaha berdiri dibantu seorang wanita. Seseorang yang menjadi alasan utamanya menghalangi sang pimpinan mengunjungi unit sebelah.

Pria paruh baya itu terbatuk dengan hidung yang mengucurkan darah segar.

Lihatlah kekuatan sang Tama. Sekali hantam, lawan langsung jatuh tersungkur tanpa ampun. Tepat mengenai sasaran vital.

Tanpa sadar ia ikut meringis melihat darah semakin deras mengucur, mengotori wajah pria paruh baya tersebut.

"Tahan, Pak! Tahan!" Sigit mencoba melakukan prosedur standar dalam keadaan genting.

Namun mas Tama tak menghiraukan. Tetap bersikeras menerjang. Alhasil mereka bertiga semakin kewalahan menahan.

BUG!

Pukulan kedua berhasil lolos.

Mereka bertiga saling memaki dan menyalahkan sebab telah gagal total mengamankan keadaan. Mengakibatkan pria paruh baya itu kembali tumbang.

"Mas!" jerit wanita cantik berwajah seperti mayat hidup saking pucatnya. Apakah karena terkejut atau ketakutan, ia tak tahu. Panggilan itu juga entah ditujukan pada siapa. Sebab dua orang pria sekaligus menoleh usai mendengar panggilan tersebut.

Satu pria paruh baya yang baru saja tersungkur.

Satu lagi pria yang sedang dijegalnya bersama Sigit dan Wahyu.

Begitu wanita cantik itu mulai membantu pria paruh baya untuk berdiri, ia tak mau kehilangan momen. Segera bergerak taktis menggunakan satu sapuan mendorong tubuh kokoh sang Tama hingga membentur dinding.

Ia bahkan bisa merasakan dengan teramat nyata. Aroma membara akibat api kemarahan. Yang bercampur dengan ketakberdayaan. Sebab harga diri yang telah hancur berkeping-keping.

Membuatnya jatuh iba tanpa perlu berpikir.

"Fucking **** (sialan)!" desisan penuh kegeraman terdengar mampir di telinganya.

Membuat Sigit dan Wahyu terus berusaha menekan tubuh Mas Tama, agar tetap merapat ke dinding. Sementara ia berupaya keras, untuk menghalangi pergerakan pimpinannya itu.

Ketika mereka bertiga merasa, jika Mas Tama tak lagi bersikeras untuk merangsek maju. Dan tubuh tegang serta liat pimpinannya itu mulai mengendur. Pria paruh baya di hadapan mereka telah berhasil berdiri kembali. Meski dengan bahu terhuyung.

"Pukulan pertama bisa dimengerti!" seru pria paruh baya tersebut dengan wajah berlumuran darah.

"Pukulan kedua ... pasti akan kubalas!" lanjut pria paruh baya tersebut seraya mendesis kesakitan.

Membuat Mas Tama kembali memberontak, dan berusaha untuk menerjang. Namun mereka bertiga telah lebih dulu sigap menghalangi.

"Kalau ada pukulan ketiga ...." pria paruh baya tersebut mengacungkan telunjuk dengan berapi-api.

"Aku tuntut situ pakai pasal penganiayaan!"

 ------

Melalui isyarat mata, ia meminta Sigit dan Wahyu supaya tangkas memegang kendali. Sementara ia segera menarik lalu mendorong tubuh pimpinannya agar segera keluar dari unit rasa neraka itu.

"J ancok (brengsek)!" umpat Mas Tama ketika ia berusaha mendorong tubuh tegap pimpinannya itu, agar terus menjauh dari unit ja hanam.

Menyusuri koridor sialan berlantai licin. Membuat langkah mereka seakan terseok dan tak berujung.

Dan karena tak ada tempat lain lagi. Ia pun terpaksa mendorong tubuh Mas Tama agar memasuki TKP. Di mana penyanyi belia nan jelita, tengah dibimbing oleh Teguh untuk keluar ruangan.

Ia tak mengatakan apapun. Baik kepada Teguh maupun gadis menawan itu. Karena sedang berkonsentrasi pada Mas Tama, yang sedari tadi mengumpat dan memaki pada diri sendiri.

Namun melalui anggukan kepala, ia meminta Teguh untuk segera membawa gadis cantik itu ke tempat yang aman. Sebelum hari kian beranjak pagi. Dan wartawan mulai berdatangan seperti semut menghampiri gula.

Ia terus mendorong punggung Mas Tama, melewati meja makan yang menjadi tempat terakhir korban. Sedang dianalisis oleh tim gabungan dari Reskrim (reserse kriminal) Polres dan Polda. Menuju pintu kaca yang mengarah ke balkon. Kebetulan telah terbuka lebar.

Dengan satu gerakan cepat cenderung kasar, ia mendorong punggung Mas Tama ke arah balkon. Lalu segera menutup pintu kaca yang berada di balik punggungnya.

***

Tama

Ia terus mengumpat dan memaki. Meski entah ditujukan pada siapa.

Pada diri sendiri yang merasa menjadi kaum pandir paling mengenaskan?

Atau pada pria paruh baya yang dikenal dengan sangat baik olehnya?

Apa mungkin pada Kinan, yang tampak pucat dan polos sebab hanya mengenakan bathrobe (jubah mandi).

Oh, brengsek sekali!

Ia mengepalkan tangan dengan geram. Lalu menghantamkannya pada pinggiran balkon. Yang terbuat dari besi baja dengan sekuat tenaga.

Sakit?

Pedih.

Mungkin saja buku-buku jarinya telah berdarah bahkan terluka.

Namun rasanya tak sesakit seperti saat ia berada di ruangan terkutuk tadi.

"Mas?"

Suara deheman Erik dan uluran rokok membuatnya menoleh.

Dengan gerakan kasar sekaligus gemetar, ditariknya sebatang rokok. Sementara Erik membantu untuk menyalakannya.

***

Erik

Entah sudah berapa lama mereka berdiam diri dalam suasana hening. Sementara dari kejauhan nun di bawah sana, sayup-sayup mulai terdengar suara adzan Subuh, yang berkumandang saling bersahutan.

Namun tak lama kemudian, suara adzan telah menghilang. Berganti dengan desau angin yang cukup kencang.

Rupanya tekanan udara yang semakin rendah. Dan lapisan udara yang semakin tipis juga renggang. Telah berhasil menghalau aneka ragam suara yang berasal dari bawah.

Dan punggung tegap yang tengah berdiri di depannya tetap bergeming. Tak beranjak sedikitpun. Terus memandang lurus di kejauhan. Memperhatikan kerlip lampu jembatan Suramadu. Yang menjadi view utama dari balkon di lantai 52 ini.

Ketika ia merasa waktu semakin menipis. Sebab hari kian beranjak pagi. Seseorang terdengar mengetuk pintu kaca yang berada di belakang punggungnya.

"Ijin lapor, Pak!" Cahyo telah lebih dulu membuka pintu kaca. Membuatnya bergerak menyingkir ke samping. Agar tak menjadi penghalang.

Kemudian Mas Tama menoleh dengan ekspresi wajah keras dan kaku.

"Tim sudah selesai melakukan penyisiran TKP!"

"Semua barang bukti telah berhasil diamankan."

Mas Tama mengangguk.

"Ada satu yang menjadi perhatian," lanjut Cahyo.

"Apa?" sergah Mas Tama cepat.

"Di pantry banyak ditemukan ceceran serbuk berwarna putih," jawab Cahyo. "Terduga sebagai methamphetamine (sabu-sabu)."

"Kami meminta instruksi selanjutnya!" pungkas Cahyo.

***

Tama

Erik bersikeras bisa menangani keadaan dengan baik. Tapi ia tetap harus turun langsung ke lapangan. Terlebih yang menjadi korban adalah Om Jusuf. Pria matang yang cukup diseganinya. Sebab selain sebagai paman dari sahabatnya, Om Jusuf adalah guru terbaik di bidang bisnis. Profesi sampingan yang tengah mulai coba digelutinya.

Dari TKP ia kembali meluncur ke rumah.

"Mau mandi dulu," begitu alasannya pada Erik. Padahal ia sudah terbiasa mandi, bahkan tidur di kantor. Terlebih jika tengah menangani kasus penting.

Ia bahkan memiliki lemari khusus di ruang kerjanya. Yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan beberapa stel pakaian dan perlengkapan pribadi. Agar ia tak harus pulang pergi dari kantor ke rumah.

Tapi begitu masuk ke dalam rumah, dan menghambur ke kamar mandi. Ia bukannya langsung membersihkan diri. Tapi justru menubruk kloset.

Lalu memuntahkan seluruh isi perut tanpa kecuali.

 ----------

Ia menyandarkan kepala ke sisi dinding bath tub. Hingga posisinya kini tengadah sempurna. Sementara shower terus dinyalakan. Dengan posisi yang sengaja diatur agar menghadap tepat di wajahnya.

Membuat air terus menerus berjatuhan membasahi keseluruhan wajahnya. Berharap mampu menyamarkan rasa pedih dan perasaan terbuang yang kini tengah mengoyak jiwa. Hingga hancur lebur tak berbentuk lagi.

Pramudya Haribawa, batinnya geram.

Dokter spesialis jantung yang juga merupakan Direktur Utama Rumah Sakit tempat Kinan membuka praktek, jelas bukan orang asing baginya.

Mereka bahkan saling mengenal dengan baik.

Dengan sangat baik.

Keluarga mereka sering saling mengunjungi.

Sebab selain karena Mas Pram, begitu hampir seluruh orang terdekat memanggil nama pria tersebut, adalah atasan Kinan. Mas Pram juga masih terhitung saudara jauh baginya. Walau tak memiliki hubungan darah.

Kakak pertama eyang dari pihak Papa, menikah lagi dengan eyang dari pihak istri Mas Pram. Begitulah mereka bisa memperoleh julukan saudara jauh.

Tapi Kinan?

Ia mengembuskan napas panjang dan berat. Lalu terbatuk. Karena kucuran air yang berasal dari shower, berhasil membuatnya tersedak.

Ia bahkan terbatuk tanpa henti selama beberapa menit. Membuat hidung dan tenggorokannya terasa pedih.

Setelah berhasil menguasai diri, ia kembali menyandarkan kepala ke salah satu sisi bath tub. Lagi-lagi membiarkan air deras kucuran shower mengenai wajahnya. Meski dengan resiko, ia bisa tersedak lagi.

Sambil memejamkan mata, ia coba mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Saat tengah berada di Jakarta. Sedang mengurus kepulangan Papa dari Singapura. Juga aqiqah Aran, bayi Anja.

Yu Adah memberitahunya tentang sesosok pria yang datang bersama Kinan ke rumah mereka.

"Saya yakin pernah lihat bapak itu," begitu kata Yu Adah.

"Nggantenge koyo ngono yo ra iso lali (gantengnya begitu sampai nggak bisa lupa)."

Ia tak terlalu ambil pusing. Meski tetap merasa penasaran.

Namun hati kecilnya berusaha memikirkan seribu satu alasan. Mungkin Kinan sedang ingin refreshing. Bersama teman atau rekan sekerja. Atau bahkan saudara sepupu. Terbukti Yu Adah merasa familiar ketika menjumpai pria yang mendatangi rumahnya bersama Kinan.

Toh selama bertahun-tahun situasi rumit pernikahan mereka, ia bukanlah sejenis orang suci. Tekanan pekerjaan dan adrenalin yang sering terpacu, mengharuskan sisi maskulinnya harus tetap terasah.

Sudah tak terhitung berapa kali trio konglo gesrek mengiriminya kado tak terduga. Namun justru paling diinginkan oleh (mungkin) sebagian besar pria (normal).

Ia memang selalu berusaha menolak.

Bagaimanapun juga, ia masih berstatus sebagai seorang suami. Juga abdi negara. Harus menjaga integritas dengan sebaik mungkin.

Ia tentu tak ingin, karier cemerlang yang dibangun dari tangga terbawah, akan hancur dalam sekejap. Hanya gara-gara ia tak mampu menahan diri.

Namun terkadang, pertahanannya akan jebol jika sedang berkumpul bersama teman-temannya itu. Yang memiliki gaya hidup bebas ala metropolis.

Walau tak sampai mengkhianati janji pernikahan. Sebab masih ada sosok Riyadh yang menjadi benteng terakhirnya. Masih memiliki kewarasan dalam memegang teguh norma.

"Happy happy oke lah," begitu Riyadh selalu bergumam. "Gua juga butuh refreshing."

"Kerjaan bikin stres!"

"Tapi kalau sampai making love," Riyadh menggelengkan kepala. "Not my type (bukan tipeku)."

"Lu bakalan nyesel sampai mati! Hanya gara-gara 30 menit with someone from nowhere (seseorang dari antah berantah). Lu mau ngancurin masa depan?!" sambung Riyadh dengan berapi-api.

Ya, tentu saja. Pengalaman telah berbicara. Tragedi yang menyertai perjalanan cinta Riyadh, jelas menjadi pengalaman berharga bagi sahabatnya itu.

Ia pun melakukannya tanpa harus melakukannya.

If you know what i mean (jika kau paham apa yang kumaksud).

Tapi Kinan?

Bersama Mas Pram?

Di apartemen eksklusif berdua?

Dini hari?

Hanya mengenakan bathrobe (jubah mandi)?

Dan lebih telaknya lagi, semua itu tersaji di depan mata, tepat di hadapan seluruh anak buahnya.

Detik itu juga berhasil menghancurkan harga dirinya dengan tanpa ampun.

Ia pasti sedang berada di neraka sekarang.

Sebab yang tersisa hanyalah rasa marah, kecewa, pedih, nyeri, ngilu, sekaligus tak berdaya.

Dan semua dorongan terburuk itu berhasil menggerakkan tangannya untuk meraih benda terdekat. Lalu melempar hingga tepat mengenai kaca wastafel.

PRANGNG!

Lemparan jitu yang berasal dari botol shampoo berhasil menghancurkan kaca hanya dalam waktu sekian detik. Menghamburkannya hingga berserakan memenuhi hampir setengah permukaan lantai kamar mandi.

Ia pun kembali menyandarkan leher ke salah satu sisi dinding bath tub dengan perasaan lelah. Menerima kucuran air dari shower. Berharap bisa mematikan api yang menyala dan membakar sekujur tubuhnya.

Namun sejurus kemudian pintu kamar mandi justru diketuk dari arah luar.

Tok! Tok! Tok!

Kemudian diikuti suara panik Yu Adah.

"Mas Tama? Mas!"

"Pean di dalam ta, Mas (anda di dalam -kamar mandi-, Mas)?"

"Mas!"

"Lapo (kenapa), Mas?"

"Mas Tama!"

Suara ketukan di pintu kamar mandi masih terus terdengar. Tapi ia tetap bergeming. Justru semakin menenggelamkan diri ke dalam bath tub.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!