NovelToon NovelToon

Pelabuhan Cinta Zalina

1. Cinta Yang Telah Lama Tumbuh

[InsyaAllah kita akan segera bertemu. Esok, begitu sampai di kampung, aku akan langsung melamarmu, Na. Tolong, bersabarlah hingga waktu itu datang. Jangan lupa doakan agar apa yang kita harapkan diridhai Allah.] pesan terakhir Uda Riki, sebelum akhirnya tanda hijau di profil media sosialnya berubah jadi abu-abu, pertanda ia sudah ofline.

Aku tersenyum. Membaca ulang pesan-pesan yang masuk lewat media sosial berwarna biru. Satu-satunya alat komunikasi yang kami pakai untuk berkomunikasi. Hanya satu arah. Hanya Uda Riki yang mengirimkan pesan, sementara aku jadi pembaca aktif. Kami melakukannya untuk menghindari segala godaan setan.

Empat tahun lalu, kami mulai aktif berkomunikasi satu arah. Awalnya dimulai saat Uda Riki dapat bea siswa kuliah di universitas negeri yang ada di Yogyakarta. Mengetahui itu, aku sangat bangga sebab ia yang terlahir yatim akhirnya bisa melanjutkan cita-citanya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi meski dalam keterbatasan. Namun juga sedih, kala menyadari bahwa akan ada jarak yang begitu jauh antara kami. Apalagi saat itu aku belum menyatakan perasaan padanya. Iapun sama.

Aku ingat betul, semalam sebelum ia berangkat, air mata ini terus bercucuran tanpa bisa kusebutkan alasannya. Rasanya sedih saja, meski menyimpan cinta dalam diam, tapi setidaknya saat ia di sini, aku bisa melihatnya setiap hari sebab rumah kami bersebelahan. Jendela kamarku berada tepat di depan jendela kamarnya.

Esok harinya, aku ikut mengantarkan ke bandara. Bersama bibi Hana, ibunya Uda Riki. Perjalanan dari Solok ke Padang terasa begitu cepat. Begitu memasuki bandara, aku kembali menangis. Perpisahan yang sebentar lagi terjadi seperti sebuah siksaan. Apalagi aku mendengar kata-katanya pada bibi Hana bahwa ia tak akan kembali sebelum menyandang gelar sarjana.

Sebelum ia pergi, ingin sekali ku katakan isi di hati, tapi rasanya malu. Apalagi bibi Hana selalu membersamai kami. Lagipula aku masih kelas tiga SMU, juga tak tahu bagaimana perasaan Uda Riki. Akhirnya tak ada pilihan lain selain melepas kepergiannya tanpa kata-kata.

Sehari setelah Uda Riki pergi, aku demam tinggi. Abi dan Umi kebingungan. Aku tak bicara sepatah katapun, hanya menangis dan terus mengurung diri di kamar. Dokter yang dipanggil Abi dan Umi sampai kebingungan, sebab tak ada tanda-tanda penyakit yang membahayakan, tetapi aku terus menangis seolah ada sakit yang kutahan.

Hingga akhirnya Ayu, sahabatku datang. Ia satu-satunya orang yang tahu rahasiaku itu. Ayu mengusulkan agar aku mencoba menghubungi Uda Riki. Bicara jujur padanya. Kalaupun ditolak, setidaknya aku tak akan bertemu dengannya hingga empat tahun kedepan.

Usul Ayu kuterima. Karena tak punya nomor Uda Riki, akhirnya aku membuat akun di media sosial. Kebetulan aku tahu Uda Riki juga punya akun di sana dan ia cukup aktif.

Butuh waktu sepekan untuk bisa menyapanya. Hal pertama yang aku lakukan adalah menyukai semua foto dan status yang ia bagikan. Entah berapa banyak icon jempol kutinggalkan di sana. Aku tak peduli. Aku hanya ingin ia tahu bahwa aku ada di sini.

Usahaku berhasil. Uda Riki menyapa. Hanya sebuah salam. Tiap hari setelah kubalas, baru ia membalas lagi. Rasanya ini seperti siksaan untukku. Tapi aku mendapatkan penawarnya. Tak disangka, Uda Riki mengirimkan sebuah syair sebagai kiasan isi hatinya.

Ingin sekali kubalas syair tersebut dengan kata-kata yang lebih indah. Namun sayang, aku bukanlah pecinta yang pandai merangkai kata. Dengan apa adanya aku bertanya, apakah ia mengharapkan aku sebagai kekasihnya?

Pertanyaan yang akhirnya membuatku kembali uring-uringan sebab Uda Riki baru membalasnya setelah empat hari. Dengan gamblang ia menjelaskan bahwa sudah memiliki perasaan cinta padaku sejak ia menjadi murid sekolah menengah.

[Tapi aku sadar diri, Na. Lelaki miskin sepertiku mana pantas mendekati putri orang terpandang di kampung kita.] balasnya.

[Astagfirullah, Uda bicara apa? Uda tahu kan seperti apa Abi dan Umi? Mereka tak pernah membeda-bedakan orang dari kekayaan. Bagi mereka, kaya dan miskin hanya sebatas titipan yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Tolong jangan merasa rendah diri.

Lagipula Abi dan Umi sudah kenal Uda sejak kecil. Tak sedikitpun ada penilaian buruk terlontar dari lisannya. Justru Abi dan Umi selalu memuji Uda.] kataku.

[Benarkah, Na? Iya, aku tahu orang tuamu sangat menghargai orang lain. Bahkan merekapun tak segan menolong siapapun. Kedermawanan mereka sudah diketahui oleh seluruh penduduk kampung kita. Aku dan Ibu pun tak luput dari bantuan mereka, entah jadi apa kami tanpa bantuan Abi dan Umimu. Senang sekali rasanya Na, jika mereka menerimaku sebagai menantu. Ku harap, aku bisa berbakti dan membahagiakan putri semaya wayang mereka sebagai balasan atas kebaikan Paman Hasan dan Bibi Lina.]

[MasyaAllah ... Alhamdulillah. Abi dan Umi sungguh beruntung punya calon menantu seperti Uda.]

[Tapi Na, sebelum aku kembali. Kita rahasiakan dulu hubungan ibu. Aku ingin menjadi orang dulu sebelum datang mempersunting mu. Aku ingin memantaskan diri, Na.]

[Baik Uda.]

[Satu lagi. Untuk menjagamu, juga menjaga diriku sendiri dari godaan setan. Alangkah baiknya kita menjaga komunikasi. Jangan menghubungiku jika tak penting betul. Kamu bisa minta tolong Udamu atau bicara pada Ibuku. Baik-baik di sana ya, Na. Akupun akan menjaga diriku sebaik mungkin.]

Azan Subuh sudah berkumandang dari surau yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah kami. Aku menguap. Menahan kantuk yang mulai menyerang. Sebab terjaga semalaman, membaca ulang pesan-pesan yang dikirimkan Uda Riki selama empat tahu kebelakang.

Sebelum mata ini benar-benar terpejam. Aku berusaha melaksanakan salat Subuh tanpa dua rakaat dalat fajar. Usai salam, aku langsung tertidur lelap di atas sajadah. Masih memakai mukenah lengkap.

***

Cinta itu sebentar lagi akan berlabuh. Uda Riki akan segera kembali. Ia sudah menyelesaikan kuliahnya. Lalu kembali sebab akan mengikuti ujian sebagai pegawai negeri di kampung kami. Seperti janjinya, setelah lulus nanti barulah ia akan melamarku.

Uda Riki, akan menjadi pelabuhan hatiku. Padanya, hanya ia seorang. Setelah itu, aku tak perlu lagi menghadapi lamaran demi lamaran dari lelaki yang tak ku inginkan. Tak perlu lagi membuat alasan apapun. Sebab aku akan menjadi kekasihnya Uda Riki.

Aku dan Uda Riki akan menikah. Kami akan menjadi marapulai dan anak Daro (sebutan untuk penganti laki-laki dan perempuan di Ranah Minang). Semua orang akan menatap kami dengan terpesona sebab kami akan menjadi pasangan yang paling serasi.

Senyum terus terukir di bibirku. Sementara kedua pipiku merona sebab bersanding untuk pertama kalinya dengan lelaki yang amat kucintai. Ya Allah ... sungguh indah sekali jika bisa merasakan cinta yang halal. Apa yang dilakukan, semuanya bernilai pahala.

2. Abi Pingsan

"Na ... Zalina!" Seperti suara Umi. Panggilan itu semakin lama makin kencang, diikuti suara gedoran pintu. Sehingga membuatku terperanjat. Mimpi bersanding dengan Uda Riki pun buyar.

"Astagfirullah, Umi." dengan langkah terseok-seok, aku bangkit, masih mengenakan mukena yang sudah acak-acakan. Lalu membuka pintu kamar sebelum Umi menggedornya lebih kencang lagi.

Begitu pintu dibuka, tampaklah Umi berdiri di sana.

"Akhirnya pintunya dibuka juga, Na. Umi panggil-panggil dari tadi. Pasti kamu tidur lagi ya? Kan sudah Umi katakan, jangan biasakan tidur setelah salat Subuh, Na. Nggak baik. Nanti rezekinya bisa seret."

"Umi, kalau rezekinya Na seret, kan bisa minta ke Abi. Harta Abi dan Umi kan cukup banyak, nggaka akan kuranglah anak keturunan Abi dan Umi." jawabku, sambi terkekeh.

"Astagfirullah Zalina. Umi serius, kamu malah bercanda. Kamu itu anak perempuan, biasakanlah usai Subuh bantu-bantu Umi di dapur. Atau sesekali temani Umi bekanja ke pasar. Lagipula kamu kan kuliah di Padang, pulangnya sekali sebulan. Bukannya menghabiskan waktu ngobrol sama Umi, malah asyik mengurung diri di kamar. Umi kan rindu, Na. Kamu itu putri Umi satu-satunya. Tapi sekarang malah sibuk dengan dunia kamu sendiri. Bagaimana nanti kalau kamu sudah menikah, bisa-bisa tambah tidak punya waktu kamu. Sama seperti Udamu si Rizal. Setelah menikah, sudah tidak memperhatikan Umi."

"Ya Allah Umi. Nggak bakalan. Zalina akan selalu ada untuk Umi. Lagipula Umi kan punya Uni Puti juga yang selalu menemani Umi dua puluh empat jam. Tentang Uda Rizal, nanti Na katakan pada Uda agar menghabiskan waktu lebih banyak bersama Umi. Tapi, Umi juga jangan sewot-sewot sama kak Tasya, supaya Uda betah mampir ke sini."

"Halah, yang ada si Tasya yang sewot sama Umi, Na. Kamu tahu, kan?"

"Mi ... kak Tasya itu sekarang adalah anak Umi juga. Baik dan buruk kak Tasya, jadi bagian dari keluarga ini juga. Jadi mulailah berbaikan dengannya. Untuk kenyamanan Uda Rizal juga. Ya, Mi?"

"Na ...." Umi memelas. Tampak sekali tak suka jika aku membela perempuan yang sudah dinikahi saudara laki-lakiku satu-satunya itu enam tahun lalu.

Hubungan Umi dan kak Tasya memang tak baik-baik saja. Awal menikah, Umi sudah menunjukkan rasa tidak suka pada gadis yang menjadi biduan tersebut. Berbagai alasan diutarakan Umi, salah satunya tentang latar belakang keluarga juga penampilan kak Tasya yang memang agak terbuka.

Tapi karena sudah begitu jatuh cinta, Uda Rizal tidak mengindahkan nasihat Umi. Ia tetap menikah. Bahkan mengancam akan keluar dari keluarga ini jika tidak direstui Abi dan Umi. Dengan berat hati, akhirnya pernikahan itu tetap terlaksana, tapi ujungnya, selalu terjadi perselisihan antara Umi dan kak Tasya.

Selalu saja ada sindiran halus yang dilontarkan Umi. Sementara kak Tasya menekan Umi dengan permintaan anehnya pada Uda Rizal sehingga membuat Umi makin cemburu sebab merasa putra sulungnya diperalat oleh gadis tersebut.

"Umi tadi belanja apa saja?" aku mulai mengintip kantong belanjaan Umi yang masih terletak di atas meja. Ada satu plastik cukup besar berisi jajanan pasar seperti; pinukuik, ketan dan goreng, lepat Bugis, onde-onde, getuk lendri dan jajanan lainnya.

Umi memang suka berbelanja pagi-pagi. Usai Subuh. Sebab sayur mayur, ikan dan ayam biasanya masih fresh. Biasanya Umi ditemani Uni Puti, kakak sepupuku.

Uni Puti sudah tinggal di rumah kami sejak usianya sepuluh tahun. Kedua orang tuanya mengalami kecelakaan mobil, meninggal di tempat. Sementara ia yang juga ikut menumpang mobil, mengalami luka bakar di pipi kanannya. Sudah dilakukan beberapa kali operasi untuk menyembuhkannya, tapi bekasnya masih ada, sehingga membuatnya minder.

Sebagai satu-satunya keluarga Uni Puti, selaku pamannya, Abi yang mengasuh dan bertanggung jawab atas Uni Puti. Abi menyayangi Uni Puti seperti ia menyayangiku, tak ada bedanya. Akupun begitu, memperlakukan Uni Puti seperti saudara kandung. Selain kasihan padanya, aku juga sangat salut, sebab selama ini Uni Puti begitu tegar menghadapi ujian hidupnya.

Akibat kecelakaan yang dialaminya, Uni Puti sampai harus berhenti sekolah dua tahun hingga akhirnya kami satu kelas. Semasa sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, ia selalu menyendiri. Tak suka berteman dengan siapapun, meski aku tahu, alasannya karena Uni Puti minder sebab ia pernah jadi bahan bully akibat luka bakar di pipinya. Bahkan aku pernah mendengar ejekan beberapa anak laki-laki yang menjulukinya siburuk rupa, sementara mereka mengatakan aku sicantik sehingga membuatku meradang dan menantang anak-anak nakal itu berkelahi.

Sejak kejadian itu, tak ada lagi yang berani mengejek Uni Puti, tapi tetap saja ia menarik diri dari pergaulan. Bahkan, usai lulus SMA, ianmenolak melanjutkan ke perguruan tinggi, meski secara akademik, Uni Puti jauh lebih pintar dibandingkan aku.

"Na, sudah jam segini, Abi kamu kenapa belum pulang ya?" tanya Umi.

"Iya yah. Biasanya pukul setengah enam, sebelum Umi pulang dari pasar, Abi sudah kembali dari masjid. Kenapa sekarang lama?" Aku mengerutkan kening, lalu berlalu ke jendela depan rumah gadang kami (rumah adat Minangkabau). Beberapa saat aku memandang ke arah masjid yang berjarak beberapa rumah dari tempat kami, aku menyipitkan mata, melihat segerombolan orang berlari ke arah rumah kami.

"Bu ... Bu Hajjah!" panggil orang-orang tersebut.

"Ada apa pak?" tanyaku, menyambut keluar rumah, diikuti oleh Umi.

"Pak Haji pingsan!" katanya.

Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un. Aku dan Umi labgsung berlari menuju masjid yang dibangun oleh Abi.

Benar saja, di teras depan masjid, tampak Abi terduduk lemas dikelilingi beberapa orang jamaah masjid.

"Abi ... Abi kenapa?" tanya Umi, menyongsong Abi. "Kok bisa pingsan? Abi sakit ya? Kita ke rumah sakit sekarang ya. Kita periksakan ke dokter supaya tahu kondisi Abi!"

"Tenang Mi, Abi sudah tidak apa-apa." jawab Abi, dengan suara lemah.

"Baik bagaimana? Di sini nggak ada dokter, tidak ada yang memeriksa Abi. Jangan bilang baik-baik saja untuk menghilangkan kekhawatiran Umi. Yang ada Umi malah tambah khawatir." Umi masih menyerocos, bahkan sampai hampir menangis.

"Mi, ini ada dokter kok yang memeriksa Abi, bahkan memberikan pertolongan pertama pada Abi." Abi menunjuk lelaki muda di sebelahnya. Lelaki yang sejak awal hanya diam melihat ke arah kamu. Aku menyadari tatapannya tertuju pada kami.

"Belum jadi dokter, pak. Masih mahasiswa kedokteran." katanya.

Sosok itu tak asing rasanya. Ya, aku benar. Ia adalah salah satu murid yang seangkatan denganku. Lebih tepatnya, ia adalah salah satu murid berprestasi, kebanggaan di sekolah kami.

Namanya Sharim. Muhammad Sharim. Aku ingat betul, ia adalah juara umum di angkatanku. Seorang murid yang selalu jadi buah bibir murid-murid perempuan lainnya. Sebab selain cerdas, ia juga punya wajah rupawan dan salah satu anak orang kaya.

3. Muhammad Sharim

Aku masih tak bicara sepatah katapun. Hanya diam. Mengingat tentangnya. Murid berprestasi, kebanggaan guru-guru. Kata temab-temanku, ia anak yang menyenangkan. Tapi tidak bagiku. Aku ingat betul, ia adalah anak yang melarang ku memukul anak laki-laki nakal yang mengejek Uni Puti. Gara-gara dia, anak laki-laki yang sudah berhasil aku cengkram itu akhirnya lepas dan melarikan diri.

Katanya, tak pantas anak perempuan itu berkelahi. Harusnya anak perempuan menjaga sikap. Tidak bertingkah pecicilan. Bukankah begitu seharusnya gadis Minang itu?

Ahhh, tahu apa ia tentang gadis Minang? Ia sendiri kan bukan orang Minang asli. Hanya ayahnya yang berdarah Minang, sementara ibunya bukan. Setahuku, dari gosip yang beredar di kalangan teman-teman perempuan, ia juga tinggal di sini bersama neneknya. Sementara ayah dan ibunya di Jakarta.

Kini aku tahu, rupanya ia kuliah di universitas yang ada di Jakarta, mengambil jurusan kedokteran seperti kedua orang tuanya. Pantas saja tidak pernah kudengar lagi cerita tentangnya dari mulut teman-teman saat kami reunian.

"Halah, sudah mau wisuda, berarti sebentar lagi jadi sarjana kedokteran. Koas dua tahun, maka resmi jadi dokter." kata Abi lagi.

"Oalah, jadi ini dokter? MasyaAllah, sudahlah tampan, calon dokter pula. Senang sekali kami dibantu oleh nak siapa?" Umi seperti terkesima padanya.

"Sharim Bu." jawabnya.

"Ya, nak Sharim. Terimakasih banyak ya sudah membantu suami saya." kata Umi.

"Nak Sharim ini teman satu sekolahnya Zalina, Mi." kata Abi lagi.

"Oh ya? Kok Umi nggak tahu. Iya kah Na?" Umi melirik ke arahku. Aku hanya menjawab dengan anggukan. "Tunggu-tunggu. Jangan-jangan nak Sharim ini anaknya dokter Adam, ya? Cucunya Nek Maryam?"

"Benar sekali, Bu." jawab Sharim. Ia tersenyum.

"MasyaAllah ... dunia ini sempit ternyata. Dari dulu saya sangat mengagumi keluarga Nek Maryam, ternyata sekarang suami saya dibantu oleh cucu beliau. Tidak menyangka juga ternyata kalian satu sekolahan." Umi tampak menyesal baru mengetahui informasi ini sekarang. "Na, kenapa sih nggak pernah cerita sama Umi tentang nak Sharim?". Umi kembali mengeluh. "Oh ya, sekarang ayo mampir ke rumah dulu nak Sharim, kita cerita-cerita di rumah saja. Ya kan, Bi?" Umi melirik Abi.

"Ya ya ya benar. Ayo nah Sharim, singgah dululah ke rumah kami." Abi bangkit dibantu olehnya. Lalu beriringan menuju rumah kami, sementara aku hanya bengong mengikuti dari belakang.

***

Muhammad Sharim, menjadi tamu pertama di rumah kami pagi ini. Abi dan Umi menemaninya berbincang-bincang. Umi menyambut dengan begitu antusias, belum pernah aku melihatnya melakukan hal yang sama sebelum ini.

Cerita masih terdengar dari ruang tengah. Sementara aku memilih masuk ke kamar, ingin melanjutkan tidur sebab mata masih mengantuk. Tapi, baru saja meletakkan badan di atas tempat tidur, tiba-tiba Umi muncul.

"Na, sedang apa kamu? Kenapa malah mengurung diri di kamar?" tanya Umi, dengan suara berbisik.

"Na ngantuk mi, semalam nggak tidur karena ...." belum sempat aku menyelesaikan kata-kata, Umi sudah memotong.

"Ya ampun Zalina. Di kuar sana ada tamu kamu malah mau tidur? Temui dululah. Nak Sharim itu sudah menolong Abi. Lagian dia kan teman satu sekolah kamu!" suara Umi sempat meninggi. "Jangan bikin malu Umi dan Abi, Na. Ayolah!" Umi langsung mengambil pakaian di lemari, memaksaku segera berganti pakaian dan keluar.

"Umi, baju apa ini? Kenapa harus pakai baju sebagus ini?"

"Sudah, jangan banyak protes. Cepat pakai baju, lalu keluarlah! Ingat, jangan lama-lama Zalina, nggak enak sama nak Sharim."

"Ya Umi."

***

"Na, bicaralah." bisik Umi padaku, setelah kami berempat duduk di ruang tamu. Umi tampak geram sebab aku masih menutup mulut, tak ada sepatah katapun yang keluar, hanya diam, acuh tak acuh sebab aku memang tak terlalu suka berbincang dengannya. Aku tak mengenal Sharim sama sekali. Hanya tahu dan punya sedikit kenangan buruk. "Dulu, apa kalian berteman dekat?" tanya Umi, memancing pembicaraan.

"Nggak. Kayaknya Sharim lebih kenal Uni Puti. Iya, kan?" aku meliriknya sekilas, berharap ia memberikan jawaban agar aku bisa bebas dari sini.

Ya, dengan Uni Puti, Sharim pernah satu tim untuk ikut olimpiade matematika. Dekat atau tidak, yang jelas pasti mereka pernah berinteraksi.

"Oh ya, Puti? Bagaimana kabarnya sekarang?" tanya Sharim, antusias.

"Ada di belakang. Sebentar aku panggilkan." kataku dengan riang. Tanpa peduli tatapan kesal Umi.

Entah ini benar atau hanya perasaanku saja. Aku melihat gelagat Umi yang ingin mendekatkan aku dengan Sharim. Tapi aku tidak berkenan sebab sudah ada satu nama di hatiku. Lelaki yang sudah mengisi relung hati saat usiaku masih belia.

Tak berapa lama, aku kembali bersama Uni Puti. Seperti dugaanku, mereka cukup akrab. Berbincang tentang kenangan saat mereka mengikuti olimpiade. Abi menimpali sesekali, sementara Umi masih berharap ada sedikit saja cerita tentang kami, tapi sayangnya itu tak ada dan aku tidak mau mengada-ada agar akrab dengannya, seperti teman-teman putri di sekolahku dulu.

***

Akhirnya Sharim pulang juga. Tapi aku belum bisa bernafas lega sebab begitu ia menghilang dari halaman rumah kami, tiba-tiba Umi langsung mencecarku. Sepertinya aku berada dalam satu masalah.

"Kamu itu kenapa sih, Na? Susah payah Umi memancing agar kalian bisa akrab, tapi sikapmu begitu dingin. Malah mengajak Puti ke sini." cerocos Umi, sembari mengimbangi langkahku.

"Tapi Na sama Sharim itu memang nggak dekat, Mi. Bahkan bisa dikatakan tidak saling kenal, mungkin dia juga nggak tahu kalau Na pernah satu sekolahan dengannya, mengingat dulu itu circle pertemanan Na sama Sharim tidak sama.

Tapi kalau dengan Uni Puti, Sharim itu pernah sama-sama ikut olimpiade. Iya, kan Ni?" aku mencoba mencari pembenaran dari Uni Puti.

"Ya, Na." jawab Uni Puti, sembari berjalan menuju dapur membawa nampan berisi gelas dan sisa makanan kecil yang tadi disajikan.

"Tuh, kan?" aku tersenyum lega.

"Tapi kan tetap saja harus sopan, Na. Setidaknya ajak bicara apa, kek. Masa kamu nggak punya bahan bicara apapun."

"Ya Allah, Mi. Kan tahu, Na paling nggak suka berbasa basi."

"Itulah makanya Umi khawatir dengan kamu. Siapapun lelaki yang datang ke rumah kita selalu kamu tolak mentah-mentah. Umi khawatir, Na. Siapa gerangan jodoh kamu kalau tidak pernah memberikan kesempatan pada orang lain.

Lagian Na, nak Sharim itu adalah tipe calon suami idaman. Sayang sekali Na jika kamu menolaknya. Kalian akan jadi pasangan yang serasi. Kamu cantik, Sharim tampan. MasyaAllah. Kalau itu terjadi, Umi akan sangat bahagia sekali Na."

Tuh kan, benar dugaanku. Umi hendak menjodohkan aku dengan Sharim. Aku hanya geleng-geleng kepala. Rasanya tidak mungkin sekali, aku hanya gadis biasa, tak secerdas gadis-gadis di sekelilingnya.

"Na, kamu coba dekat dengan nak Sharim ya. Umi minta. Umi benar-benar ingin punya menantu sepertinya. Umi sudah tidak sanggup punya menantu orang asing yang bertentangan dengan Umi. Kamu mau ya, Na?" Umi mengikuti langkahku dari belakang, tapi Umi terhenti sebab aku sudah berhenti lebih dahulu karena dua sosok yang tak asing bagiku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!