NovelToon NovelToon

Aku Bukan Cinderella

Bab.1. Mimpi

“I love you.”

“I love you, too.”

Pria yang mengenakan tuxedo itu menundukkan wajahnya, meraih dagu Haura. Semakin lama, semakin dekat saja wajah tampan itu dengan wajah Haura. Hidung mereka sudah saling menempel, Haura sudah memejamkan matanya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari kebiasaan, tubuhnya seolah mulai lemas saat mengingat ini adalah ciuman pertamanya. Bibir pria itu perlahan-lahan mulai menepis jarak. Bibir haura sudah sangat siap untuk menikmati ciuman pertamanya.

“Hau ... Hau ... Hauuuuuuu!!!!”

Siapa sih manggil-manggil, ganggu orang aja. Nggak tahu apa, momen langka ini udah gue tunggu bertahun-tahun.

“Hauuuuuu ...!!!”

"Berisik banget sih, udah my prince. Lanjutin aja, your princess udah nggak sabar ini, pengen dicium sama my prince." Haura menjilati bibirnya sendiri yang terasa basah.

“My prince, kok, Hau, belum ngerasaiin bibir my prince tapi bibir Hau udah basah, ya?” ucap Haura heran, maklum dia belum pernah merasakan yang namanya berciuman, jadi bingung rasanya seperti apa.

Pria yang Haura sebut sebagai 'my prince' itu, mulai menyentuh bibir Haura dengan bibirnya.

“Bibir my prince, kok, rasanya mirip seperti kopi saset yang Hau bikin tadi malam. Rasa gula aren, manis.” Haura senyum-senyum sendiri mengingat rasa bibirnya sekarang, sama dengan rasa kopi yang semalam ia minum untuk menemaninya begadang membaca novel online.

Haura kembali menjulurkan lidahnya keluar, untuk menjilat rasa manis di bibirnya.

"Haura!!!" Teriak Nayla, anak dari pemilik rumah, di mana Haura tinggal.

Dengan tergeragap, Haura membuka matanya. Tak tahan dengan suara melengking Nayla, tepat di telinganya. "Apaan sih, Nay!" Balas Haura. Kembali ia menjilat rasa manis di bibirnya. "Ganggu, aja!"

"Ganggu-ganggu .. tuh, lihat! jam berapa sekarang?" Nayla menunjuk jam dinding di kamar Haura. "Supir lo, udah jemput itu."

Haura segera turun dari ranjangnya, dan berlari ke jendela. Menatap kebawah, melihat seseorang yang tengah duduk di atas motor matic-nya sedang melambaikan tangan ke arah Haura.

"Kok, lo nggak bangunin gue, sih!" Haura segera menyambar handuknya dan berlari ke kamar mandi.

"Gue udah bangunin, lo sedari tadi. Sampai gue kasih lo minum kopi sisa semalam. Dasar, lo aja kebo. Nggak mau bangun, malah senyum-senyum tapi mata masih merem," ucap Nayla dengan berteriak, karena Haura sudah masuk ke kamar mandi.

"Jadi, rasa manis di bibir gue itu bukan rasa bibirnya my prince, tapi rasa kopi sisa semalam?" tanya Haura yang membuka sedikit pintu kamar mandinya, dan melongok di sana.

Nayla mengangguk.

"Sialan, lo!"

Nayla hanya nyengir.

Haura segera meyelesaikan ritualnya dikamar mandi.

"Cepet banget, nggak mandi, lo?" tanya Nayla, yang melihat Haura keluar dengan baju yang sama.

"Hemm," jawab Haura. Tanpa malu, Haura melepas kaosnya, yang semalam ia pakai tidur. Dan menggantinya dengan baju dinas yang berwarna biru dan melapisinya dengan sweater. Dengan cepat, ia menyisir rambutnya, dan mengikatnya asal.

Tak menghiraukan Nayla lagi, Haura menyambar tasnya, dan berlari menuruni tangga. Dia sudah terlambat.

"Jalan!" Haura menepuk bahu pria yang sedari tadi menunggunya. Tanpa bertanya apa pun, pria yang selalu jadi supir untuk Haura itu segera melajukan motornya.

Sampai di sebuah gedung pencakar langit dengan tinggi menjulang, Haura turun dari motor.

Segera memberikan helmnya, setengah melempar lalu bergegas pergi.

"Terima kasih," teriaknya sambil lari.

Pria yang setia menjadi supir Haura itu pun hanya bisa geleng-geleng kepala. Setelah mengaitkan helm Haura, di bawah stang motor, dia kembali menstater motor matic miliknya.

Haura berlari ke divisinya. Kantornya berada di lantai paling bawah gedung ini. Dengan berjalan sangat berhati-hati, Haura segera menyusup masuk dalam barisan kru cleaning servis yang sedang melakukan briefing.

Teman-temannya menatap Haura sebal, dengan tingkahnya yang seenaknya masuk barisan. Saat akan ada suara menyapa dari temannya, Haura langsung meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, tanda agar temannya diam.

"Sttt," lirihnya.

Barisan di depannya menoleh, mendengar desisan Haura. Dengan mengibaskan tangan, Haura menyuruh temannya untuk berbalik menatap leader mereka yang sedang memberikan pengarahan.

"Siap, Pak!" jawab semua kru setelah breafing selesai.

Semua langsung siap siaga, mengambil alat perangnya dan mengatur posisi masing-masing, yang sudah ditentukan oleh kepala divisi mereka.

Begitupun dengan Haura, dia akan segera bergabung dengan teman-temannya, menyiapkan alat perangnya. Namun, suara Pak Amin, sang kepala divisi menghentikannya.

"Haura!" panggil Pak Amin.

"Iya, Pak." Jawab Haura takut.

"Kamu pikir ini kantor bapakmu!" bentak Pak Amin.

Haura hanya menunduk hormat.

"Bisa-bisanya datang telat! jadi penyusup, pula!"

"Kamu itu pegawai di sini, bukan anak bos, apalagi istri bos. Jadi, jangan seenak jidat kamu, kalau berangkat kerja." Pak Amin mengeluarkan segala omelannya.

Haura masih diam menunduk, menyadari kalau dirinya memang bersalah.

"Berikan ponsel kamu!" Pak Amin, mengulurkan tangannya pada Haura.

"Untuk apa, Pak?" tanya Haura kaget.

"Kerja yang bener, jangan baca novel terus. Itu kan, yang membuat kamu selalu terlambat!" Pak Amin belum menarik tangannya yang terulur. "Berikan!"

"Kalau saya berikan, nanti Bapak buka-buka ponsel saya lagi!" Haura tak rela jika harus menyerahkan ponselnya pada atasannya ini. Takut terbongkar isi dalam ponselnya.

"Sudah berikan saja, atau saya akan menghukum kamu dengan lembur!"

"Saya pilih lembur saja, Pak. Dari pada Bapak mengambil ponsel saya, saya tidak bisa kalau harus berjauhan dengan ponsel saya," jawab Haura.

"Baiklah, setelah jam pulang kantor nanti kamu bersihkan ruangan pak Hiro, dengan ____"

"Yang benar, Pak?!" pekik Haura, memotong perintah pak Amin. "Saya mau, Pak. Hukum saja saya setiap hari, saya rela," sambung Haura.

Pak Amin, langsung mengerutkan dahinya. Bingung, kalau berurusan dengan anak buahnya yang satu ini. Haura Kaifiya, gadis berusia sembilan belas tahun ini, sudah enam bulan bergabung di divisi yang ia pimpin. Dengan menjadi seorang cleaning servis.

Hasil kerjanya cukup memuaskan, karena Haura gadis yang cepat belajar. Namun sayangnya, Haura ini suka seenaknya saja. Penyebab utamanya adalah kebiasaan dia membaca novel online. Terkadang, di saat masih jam kerja, Haura mencuri-curi waktu untuk menyempatkan diri membaca novel. Hal itu juga, yang membuat Haura bergadang hingga larut malam, dan akhirnya terlambat untuk bekerja.

Namun, pak Amin tidak enak hati jika harus memecat Haura. Selain kasian, karena Haura jauh dari orang tuanya di kampung, gadis itu juga sangat membutuhkan pekerjaan untuk bisa membantu membiayai dirinya sendiri. Dibalik semua alasan itu, pak Amin tidak enak hati dengan orang yang sudah memasukkan Haura ke kantor ini. Sebab itulah, Haura hanya sering ditegur, tapi tak sampai dipecat.

"Ok, Pak. Saya kerjakan tugas saya sekarang, dan nanti sore saya akan menjalankan hukuman saya." Haura langsung pamit, dan menyusul temannya untuk membuat kantor ini tetap bersih.

Meninggalkan pak Amin, yang hanya bisa geleng-geleng kepala, heran, dengan kelakuan Haura.

Bab.2. Pertemuan pertama

Jam pulang kantor sudah tiba, manusia yang sejak pagi menghuni gedung pencakar langit ini sudah mulai berkurang. Hanya tinggal beberapa orang saja yang masih tinggal, termasuk tim cleaning servis.

Ini pertama kalinya, Haura mendapatkan hukuman untuk membersihkan ruangan pemilik perusahaan. Pria yang dikabarkan memiliki ketampanan, di atas rata-rata.

"Hau ... kamu sendiri aja ya membersihkan ruangan pak Hiro," ucap Rani, salah satu kru cleaning servis yang harusnya ikut bertugas bersama Haura.

"Memangnya, Mbak Rani mau ke mana?"

"Anakku demam, aku harus segera membawanya periksa ke dokter. Tolong ya, Hau." Rani memperlihatkan wajah memelas nya.

"Ok, deh!" Haura segera pergi ke ruangan Hiro, sang pemilik perusahaan.

Dengan lift, Haura pergi ke ruangan pria yang katanya memiliki sejuta pesona itu. Haura berhenti sejenak di depan pintu ruangan Hiro. Disandarkannya alat pel itu di dinding, dan menata rambutnya yang ia kuncir kuda, agar rapi. Dia pun, mengusap-usap seragam kerja berwarna biru itu, agar tak terlihat lusuh.

Dengan menarik nafas panjang, Haura mencoba menenangkan dirinya sendiri. Mengatur nafasnya, karena jantungnya mulai berdegup tak wajar. Ia gugup, karena setelah sekian lama, ia akan bertemu dengan pria pujaan hatinya. Haura belum pernah sekali pun bertatap muka dengan atasan yang menjadi idola seluruh staf wanita di kantor itu. Haura hanya melihat wajah tampan pemilik perusahaan dari majalah bisnis di kantor tempat ia kerja.

Haura sangat senang, ketika dia mendapatkan hukuman lembur untuk membersikan ruangan pria yang ia sebut dengan sebutan 'My Prince' itu. Perlahan, Haura membuka pintu ruangan yang ia anggap istimewa, karena sudah sejak lama ia nanti-nantikan untuk bisa masuk dan membersihkan ruangan ini.

Sepi, tak ada pemilik ruangan ini saat Haura masuk. Raut wajah Haura langsung berubah kecewa, karena harapannya tak sesuai kenyataan. Padahal sebelumnya, ia sudah membayangkan adegan seperti dalam novel yang ia baca. Nampaknya, Tuhan belum mengijinkan Haura untuk bisa bertemu pangerannya.

Haura menatap ke seluruh ruangan, memperhatikan harus mulai dari mana ia akan bekerja. Meja lah yang menjadi tujuan pertamanya. Haura mulai merapikan berkas yang berantakan di atas meja, menata setiap hal yang ia anggap harus ditata.

"Jangan!" Teriak seseorang yang baru memasuki ruangan.

Kontan, Haura menghentikan aktifitasnya untuk membersihkan meja kerja atasannya itu.

"Biarkan seperti itu, saya masih akan bekerja," ucap pria yang wajahnya sering ia mimpikan, dialah Hiro Putra Buana.

Haura benar-benar terpesona dengan wajah tampan yang mulai berjalan ke arahnya. Tak ingin berkedip, karena Haura takut ilusi ini akan menghilang saat matanya menutup meski hanya sedetik saja.

"Kamu, bereskan yang lain saja. Biarkan meja saya tetap seperti ini." Hiro kembali bicara pada Haura yang masih saja terpesona, dengan tatapan anehnya.

"Maaf ...," ucap Hiro.

Tak ada pergerakan sama sekali dari gadis berseragam biru itu.

"Halo," ucap Hiro sekali lagi.

Namun, Haura masih saja bersikap bodoh. Hiro pun menjentikkan jarinya tepat di depan muka Haura, untuk menyadarkan gadis cleaning servis itu.

Berhasil, Haura pun menyadari sikap gilanya di depan atasannya ini.

"Apa kamu, sehat?" tanya Hiro ragu.

"I-iya, saya sehat, Pak." Haura gugup.

"Baguslah, kalau begitu bersihkan saja yang lainnya." Hiro menarik kursi kerjanya, yang membuat Haura harus menggeser tubuhnya.

Hiro, kembali memulai pekerjaannya. Sementara Haura masih diam terpaku di samping Hiro.

"Apa kamu akan menghabiskan waktu kerja mu dengan diam di situ?" Hiro tak nyaman dengan Haura yang tak bergerak dari tempatnya.

"Ma-maaf, Pak." Haura segera pergi dari tempatnya, dan mulai mengerjakan tugas lainnya. Haura memilih untuk mengelap kaca di ruangan Hiro. Meski begitu, pandangannya tak lepas dari pria yang mempesonanya itu. Hiro yang serius dengan laptopnya, nampak begitu keren di mata Haura.

Haura mengelus dadanya sendiri. "Ya Tuhan, dengan apa Engkau ciptakan manusia seperti ini, wajahnya sungguh menyilaukan mata," gumam Haura.

"Apa pekerjaan mu sudah selesai?" Hiro menyadari apa yang Haura lakukan, dari tadi gadis cleaning servis yang baru pertama kali ia lihat itu, tak henti-hentinya memperhatikannya. Hingga tak peduli dengan pekerjaannya.

"Ah ... iya, belum selesai, Pak," jawab Haura nyengir. Lalu kembali mengelap kaca.

Tadinya ingin fokus bekerja, namun kisah cinta di novel yang ia baca melintas di otaknya. Dengan gilanya, Haura melepas kancing kedua dari kemeja birunya. Berharap dilirik oleh atasannya ini.

Haura pun berdehem, memberi kode pada bosnya agar melihat ke arahnya. Kembali, nasib baik tak berpihak padanya, ketika ia berdehem, pintu ruang kerja sang atasan di buka oleh wanita cantik nan sexy. Tentu saja, fokus Hiro tertuju pada wanita anggun yang baru saja memasuki ruangannya.

"Sayang ...."

Mendengar ucapan manja sang wanita, Haura bergegas kembali mengancingkan kemejanya dan berpura-pura kembali bekerja. Tidak sepenuhnya bekerja, karena Haura masih saja melirik pada wanita yang baru saja masuk itu.

"Tumben kesini nggak kasih kabar," ucap Hiro menyambut kedatangan wanita itu.

Haura hanya bisa mencuri-curi pandang, dan menebak-nebak ada hubungan apa antara pangerannya dengan wanita yang baru datang ini.

Dengan tersenyum manis si wanita berambut blonde itu mendekat ke meja kerja Hiro. Berdiri tepat di samping kursi kerja Hiro, lalu duduk di pangkuan pria itu dengan manja.

Ruangan ber-AC ini tiba-tiba berubah suhunya, mungkin pemilik ruangan salah menyetelnya. Karena Haura merasakan kepanasan di sana. Haura mencuri pandang, pada wanita yang sedang bergelayut manja di atas pangkuan Hiro.

Dengan tertawa manja yang di buat-buat, si wanita itu mendekatkan wajahnya pada wajah tampan Hiro. Semakin dekat, hingga hidung mereka saling menyentuh.

"Aarghh!" Pekik Haura, sambil menutup mata saat adegan dewasa hampir saja ia lihat.

Si wanita terlonjak kaget, langsung berdiri dari pangkuan Hiro. Dia menatap marah pada Haura. "Siapa, kamu!" tanya wanita itu dengan keras.

"Sa-saya petugas kebersihan di sini," jawab Haura takut.

""Ngapain kamu di situ!"

"Sejak tadi saya di sini, Bu."

"Keluar kamu sekarang!" ucapnya memerintah.

"Tidak bisa, Bu. Saya sedang bertugas, saya bisa mendapat hukuman dari atasan saya," jawab Haura jujur.

"Saya atasan kamu di sini, sekarang pergi!" Bentaknya lagi.

"Maaf saya tidak bisa, saya akan selesaikan tugas saya dulu baru saya pergi." Tolak Haura keras kepala.

"Kamu keluar atau saya pecat kamu!"

"Anda tidak akan bisa memecat saya, karena anda bukan pemilik perusahaan ini." Haura masih saja ngeyel.

"Sudah lah, Mez. Tidak perlu seperti itu. Biarkan dia kembali bekerja."

"Sayang, kamu ____"

"Stttt, tidak usah di perpanjang."

"Kamu lanjutkan lagi kerjanya."

Haura mengangguk.

"Bukan di situ. Kamu bersihkan kamar mandi. Dan jangan keluar sebelum saya suruh keluar." Ucap si wanita.

Dengan berat hati, Haura menganggukkan kepalanya. Meninggalkan ruangan tempat di mana ia bisa mengagumi manusia yang begitu tampan di matanya, lalu menyeret kakinya ke kamar mandi.

Satu jam ... dua jam ... tiga jam. Sudah tiga jam Haura berada di dalam kamar mandi, tapi belum ada yang memanggilnya keluar. Ia sudah menyelesaikan semua tugasnya, mengepel lantai kamar mandi, membersihkan closet dan juga wastafel serta bath tube. Entah kenapa ada bath tube juga di kantor.

Ah ... mungkin si pemilik kantor ini sering tidak pulang, karenanya ada fasilitas bath tube juga. Haura duduk mendekam di dalam bath tube yang kering itu, saking lamanya ia bahkan sempat tertidur.

Suara gemericik air mengusik pendengarannya, di sibaknya tirai yang menutupi bath tube itu. Haura memekik keras dan spontan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Bukan hanya Haura, pria yang Haura lihat sedang buang air kecil sama terkejutnya saat melihat Haura. Hingga mereka sama-sama berteriak.

"Aarrrggghhh." Teriak mereka berdua bersamaan.

"Sedang apa kamu di situ!" Teriak Hiro.

"Sa-saya, ____" Haura gugup dan takut untuk menjawab karena masih syok dengan apa yang ia lihat.

"Keluar kamu! Kamu saya pecat!!!" Teriak Hiro lagi.

"Ta-tapi, saya ___"

"Saya tidak butuh alasan kamu, pergi dan jangan pernah kembali lagi!" usir Hiro tanpa mau mendengar penjelasan Haura.

Dengan lemas, Haura bangkit dan berjalan meninggalkan pria pujaaanya sendiri di kamar mandi. Hiro menarik nafasnya dalam, menenangkan diri dari kejadian mengejutkan yang baru ia alami. Bisa-bisa nya ada yang mengintip saat ia sedang di kamar mandi.

Dan orang itu adalah karyawannya sendiri. Syok dan malu bercampur jadi satu hingga ia tak bisa berfikir jernih.

.

.

.

.

.

.

Tolong dukung karya ini ya ... dengan cara

👍Like

🖊️Komen

Dan vote juga.

Tengkyu❤️❤️❤️sayang hee

Bab.3. Hari Yang Buruk

Haura keluar dengan perasaan sedihnya, hari pertamanya bertemu dengan pangerannya menjadi hari terakhirnya juga melihat wajah tampan itu. Kecewa, itu yang ia rasakan.

Ini semua bukan salahnya, kan?

Wanita itu yang menyuruhnya masuk dan membersihkan toilet. Haura akan keluar jika wanita itu sudah memerintahkannya. Siapa yang sangka jika setelah berjam-jam di dalam toilet tak ada panggilan untuknya. Siapa juga yang bisa memprediksi jika bos tampannya akan masuk dan menggunakan toilet di saat ia masih ada di dalam.

Bahkan saat Haura terusir dengan pemecatan dirinya, wanita yang tadi dengan angkuh menyuruhnya berdiam di dalam toilet itu tak lagi terlihat di ruangan bosnya. Ingin sekali Haura marah pada wanita itu. Wanita yang pergi tanpa memenuhi janjinya, dan membuat dirinya kehilangan pekerjaan sekaligus kesempatan untuk memikat bos pemilik perusahaan, seperti khayalannya yang sudah ia rancang selama ini.

Haura kembali ke lantai bawah, di mana divisinya berada. Mengembalikan segala peralatan kebersihan yang tadi ia bawa, membersihkan tangannya dan mengambil tas slempangnya.

Haura benar-benar merasa kacau, dia tak pedulikan setiap sapaan yang menghampirinya. Hari ini adalah hari yang awalnya ia anggap menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya, tapi berakhir jadi hari paling buruk yang ia alami.

Haura berdiri di halte, dekat kantornya. Duduk di sana, menyesali kenapa tadi dia tidak membela diri. Haura bukan tipe yang mudah mengalah, tapi berhadapan dengan pria tampan tadi membuat Haura tak berdaya, dan pasrah dengan ketidak adilan yang ia alami.

Dalam diam dan kesendiriannya, sebuah motor matic merah menghampirinya. Membunyikan klaksonnya beberapa kali untuk memanggil Haura yang tengah menunduk sedih.

"Pulang, nggak!" teriak pria di atas motor.

Haura mendongak, mengenali suara yang memanggilnya. Tanpa pikir panjang lagi, Haura naik ke atas motor. Melingkarkan lengannya di perut pria bertubuh ideal itu. Tidak kurus, tidak juga tambun, tapi pas untuk dipeluk.

Pria itu melirik lengan Haura yang melingkar di perutnya, merasakan kepala gadis yang diboncengnya bersandar pada bahunya. Merasa sudah siap, ia pun menarik tuas gasnya. Motor matic merah yang selalu jadi saksi kebersamaan Haura dan supirnya ini melaju membelah jalanan yang semakin ramai dengan para pejuang rupiah yang hendak pulang. Tak ada percakapan apapun seperti biasanya. Haura hanya terdiam, bersandar pada tubuh yang membawanya entah kemana.

"Turun!" perintah pria itu.

Haura menegakkan tubuhnya, menoleh ke kanan dan kirinya. Mencari tahu di mana ia berada saat ini, parkiran taman kota. Haura hafal benar tempat ini, karena di tempat ini Haura sering menghabiskan waktu malam minggunya selain begadang membaca novel online.

"Tunggu, ya!" Pria itu turun dari motor, meninggalkan Haura sendiri.

Haura tidak kaget, karena Haura tahu kemana pria itu pergi. Haura segera mencari tempat duduk, di mana teman laki-lakinya bisa menemukannya. Persis seperti dugaan Haura, temannya datang dengan membawa dua jagung bakar dan es teh.

"Terima kasih." Haura menerima jagung dan juga es tehnya. Tak menunggu dipersilahkan, Haura segera memakan jagung bakarnya setelah meletakkan es tehnya di bangku yang ia duduki.

"Lo, kenapa, Hau? Bete banget kayaknya." Pria itu menoleh, menatap Haura yang makan dengan tenang jagung bakarnya. Ini bukan Haura. Haura yang ia kenal tak akan jadi pendiam begini, Haura temannya adalah gadis bermata indah yang ceria. Seperti namanya, Haura Kaifiya.

Haura berhenti mengunyah, menurunkan jagung bakar yang sudah ada di depan mulutnya. Haura menatap temannya dengan serius.

"Gue, dipecat." Haura ingin menangis karena kehilangan pekerjaannya.

Pria itu kaget mendengar apa yang dikatakan Haura. "Siapa yang berani mecat, lo!"

"Wah ... cari gara-gara nih orang, berani-beraninya mecat temen gue!" Pria itu berdiri, merogoh ponsel di saku celana jeansnya. Mencari nama yang akan ia hubungi.

"Lo telfon, siapa?"

"Gue telfon pak Amin, dia kan yang sudah berani mecat lo. Dia harus tarik kembali ucapannya, dan nerima lo kerja lagi."

"Nggak usah telfon pak Amin, yang mecat gue bukan dia."

Pria itu semakin kaget.

"Gue dipecat langsung sama yang punya perusahaan."

Pria itu semakin melongo. "Kok, bisa?"

Haura menyuruh teman prianya untuk kembali duduk sebelum ia menceritakan kisah pemecatannya.

Tawa pria itu langsung membahana, setelah mendengar cerita Haura tentang bagaimana ia tadi dipecat dengan tidak adil.

"Berhenti nggak, lo!" Perintah Haura pada pria yang seolah mentertawakan cerita.

"Ok ... Ok ...." Pria itu menutup mulutnya untuk meredam tawanya. "Lo, tenang aja. Besok gue bicara sama temen gue yang punya pengaruh di kantor itu, biar lo bisa kerja lagi."

"JANGAN!!!" tolak Haura.

"Kenapa?"

"Gue nggak mau ngerepotin lo terus."

Haura mengingat bagaimana dirinya sudah banyak merepotkan pria yang tengah duduk di sampingnya ini.

Flash back

Hari itu, rumah Haura sudah dihias dengan dekorasi cantik dari bunga-bunga. Dia menatap pelaminan yang akan ia duduki bersama pria yang tak pernah ia inginkan.

Haura tersenyum getir menatap kursi pelaminan. Rasanya ingin menangis saja, karena pada akhirnya dia harus menyerah pada ibu tirinya. Menikah dengan pria yang ibunya pilihkan. Seolah semua perjuangannya sia-sia. Selama ini Haura menolak untuk ditindas. Dia tidak pernah mau diperbudak oleh ibu tirinya, yang sama kejamnya dengan ibu tiri cinderella.

Namun kali ini, ia tak bisa menolak apalagi memberontak. Dia harus pasrah memenuhi keinginan ibu tirinya jika ingin ayahnya selamat. Ayahnya yang hanya seorang pemilik kedai kopi terpaksa harus menjaminkan sertifikat kedai miliknya demi memenuhi gaya hidup hedon istrinya. Hingga akhirnya, hutang yang awalnya tak seberapa menjadi menggunung akibat besarnya bunga yang harus dibayar.

Awalnya Haura tak pernah tahu jika ayahnya punya hutang yang besar pada rentenir. Semua terbongkar saat Haura sudah lulus sekolah dan ingin melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Saat itulah, ayah Haura berkata jujur jika ia tak mampu membiayai pendidikan Haura. Selain penghasilan dari kedai yang menurun, hasil dari usahanya itu hanya cukup untuk biaya hidup dan membayar bunga pada rentenir.

Entah apa yang ibu tiri Haura pikirkan, hingga ia mendatangi rentenir dan menawarkan Haura untuk menebus sertifikat kedai milik suaminya. Dengan alasan itu, Mirna yang merupakan ibu tiri Haura memaksa Haura untuk menikah dengan anak dari si rentenir. Pria yang sangat Haura kenal, karena Rio adalah kakak kelas Haura semasa SMA. Pria yang terkenal dengan segala kebejatannya itu memang sudah lama menginginkan Haura, yang jelas-jelas akan menolak untuk ia nikahi.

Hutang ayah Haura seperti kunci untuk membuka jalannya mendapatkan Haura. Terlebih ketika ibu tiri Haura sendiri yang mendatangi ayahnya untuk meminta mengembalikan sertifikat kedai milik suaminya. Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, Rio langsung membujuk ayahnya agar setuju untuk mengembalikan sertifikat kedai dan menganggap hutang dari Harun lunas dengan imbalan menikahkan dirinya dengan Haura. Sebab itulah, saat ini Haura menatap pelaminan yang tak ia impikan dengan tatapan nanar.

"Hau, apa kamu baik-baik saja, Nak?" Harun menepuk bahu Haura dari belakang, setelah sebelumnya memperhatikan kesedihan putri tunggalnya.

Haura menoleh, memegang tangan sang ayah yang masih menempel di bahunya. "Haura baik-baik saja, Yah." Haura memaksakan senyumnya untuk menutupi segala kesedihannya.

Melihat tatapan sang Ayah, membuat Haura tak bisa berlama-lama dengan ayahnya. "Hau, ke kamar dulu, Yah." Tanpa menunggu jawaban Haura segera berlari menaiki tangga menuju kamarnya.

Haura membanting tubuhnya di atas ranjang, ia menangis di sana. Haura sudah berusaha jadi gadis yang kuat dan tegar setelah kematian ibunya, terlebih sejak ayahnya menikah lagi dengan ibu tirinya yang selalu menampakkan kebencian padanya.

Dia tak pernah ingin jadi cinderella, yang selalu diinjak dan diperbudak oleh ibu tiri dan juga saudara tirinya. Haura selalu berusaha melawan saat mendapatkan penindasan, yang membuat ibu dan juga kakak tirinya semakin membencinya.

'Brak'

Nancy melempar kebaya yang akan Haura kenakan besok tepat di atas tubuh Haura yang tertelungkup. "Pakai itu besok!" teriak Nancy yang langsung pergi tanpa salam.

Haura tak peduli dengan apa yang dilakukan kakak tirinya, dia juga tak lantas bangun meski tubuhnya tertutup kebaya yang di lempar Nancy. Haura ingin memuaskan tangisnya, berharap perasaannya jadi lebih baik.

.

.

.

.

.

.

❤️❤️❤️❤️❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!