...Prolog...
Kirei
Kirei Fitriya Tsabita seorang gadis berumur 24 tahun. Bekerja sebagai jurnalis di sebuah televisi swasta tepatnya di kota Semarang. Gadis berambut sebahu dan sering mengikatnya dengan kucir ekor kuda agar memudahkannya untuk bekerja di lapangan yang menuntutnya selalu bergerak aktif dan energik.
Gadis cantik berlesung pipi dengan kulit putih nan mulus. Tapi itu dulu jika ia melakukan perawatan. Sebab tuntutan pekerjaan mengharuskannya terjun langsung ke lapangan tanpa mengenal waktu. Terpaan sinar matahari membuat kulitnya berubah menjadi kuning langsat namun tetap cantik dipandang.
Menjalani pekerjaan sebagai jurnalis sudah dilakoninya semenjak ia lulus kuliah jurusan ilmu komunikasi dari sebuah universitas negeri di Jogjakarta. Tepatnya satu tahun yang lalu.
Kirei yang berarti cantik dalam bahasa Jepang. Secantik dirinya yang lahir dari pasangan Demas Prasetyo dan Nani Prasetyo. Memiliki saudara laki-laki yang bernama Kenichi Estiawan Prasetyo. Kedua bersaudara itu lahir di negara Jepang, pada saat ayahnya mengambil kuliah pasca sarjana di sana.
Sebagai seorang jurnalis ia dituntut berpikir kritis, mampu melakukan analisis, mampu berkomunikasi dan bekerja dengan tim.
Cita-citanya lahir lewat tangan ayahnya yang juga seorang wartawan senior. Ia sangat mengidolakan ayahnya. Ayahnya adalah cinta pertamanya dan kiblat baginya. Hingga peristiwa yang menyebabkannya meninggal, ia membulatkan tekad untuk melanjutkan cita-cita ayahnya. Sebuah cita-cita yang sederhana berkat kekaguman dari seorang anak terhadap ayahnya.
Tapi ternyata cita-cita sederhana itu membuatnya kalang kabut saat dirinya ditunjuk sebagai jurnalis lapangan divisi news program menggantikan rekannya yang resign.
“Rei, dipanggil Pak Rahmat.” Ucap Deni salah satu rekan kerjanya di divisi entertain.
Pak Rahmat adalah atasannya yang menjabat sebagai produser eksekutif.
“Oya, thanks, Den,” sahutnya sambil bergegas menuju ruangan Pak Rahmat yang berada di lantai 5.
Usai mengetuk pintu ruangannya, ia masuk ke dalam.
“Duduk,” titah Pak Rahmat.
“Terima kasih, Pak.” Sahutnya seraya mengenyakkan tubuhnya pada kursi di depan meja kerja Pak Rahmat.
“Kamu, bekerja di sini sudah 1 tahun. Melihat kinerjamu, saya yakin kamu punya potensi untuk berkembang lagi." Ucapnya membuat dirinya menerka-nerka arah perbincangan atasannya ini.
“Saya butuh seseorang yang punya tekad kuat, semangat tinggi dan pintar sepertimu.”
DEG
Sebenarnya arahnya ke mana ini? Memuji adalah salah satu cara menaikkan jenjang karirnya. Oh ... bukan, bukan! Apa aku mau dipecat? Atau....? Praduganya dalam hati.
“Divisi entertain bukan lagi menjadi tantangan buatmu, Rei. Maka dari itu, saya mutasikan kamu ke divisi news program." Pak Rahmat menyodorkan sebuah amplop berwarna putih padanya.
What?!
“Si Anton mengajukan resign bulan depan. Jadi saya rasa kamu pantas menggantikan posisinya.”
Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya kasar setelah keluar dari ruangan Pak Rahmat.
Difinisi yang berputar dalam otaknya sekarang adalah it’s something out of the box. Yang benar saja?
Pemindah tugasan di bagian news program dan saat ini sedang kejar tayang produksi ‘Telusur Peristiwa’, di mana mengharuskannya berhubungan dengan hal-hal kriminal yang terjadi akhir-akhir ini. Like a dream!
Tapi ia tidak bisa mengelak bahkan menolak. Siap tidak siap. Mau tidak mau ia harus profesional. Menjalani tugas dengan ikhlas dan senang hati. Hope so.
Selama kurang lebih satu bulan ke depan ia dibimbing Mas Anton sebelum Mas Anton benar-benar resign.
“Selamat ya, Rei.” Ucap Mas Anton saat dirinya menemuinya di meja kerja yang berbentuk bilik kubikel. Sebagai staf jurnalis mereka ditempatkan dalam satu lantai yaitu lantai 3. Hanya berbeda ruangan sesuai divisi.
Namun justru ia memperlihatkan wajah masamnya. “Gara-gara, Mas Anton nih,” kesalnya. Lalu ia duduk di sofa yang berada di divisi news yang tak jauh dari bilik kubikel Mas Anton.
Mas Anton justru terkekeh.
“Rei, ini semua berkas-berkas kilasan peristiwa kriminal yang sudah siap tayang. Ini sudah fix di ACC sama pimpinan redaksi.” Kata Mas Anton sambil menyerahkan 3 bundel berkas yang di masukkan masing-masing dalam map snelhecter berwarna merah.
Mas Anton ikut duduk di sofa sebelahnya.
“Oke, Mas.” Sahutnya berat seraya mengernyitkan kening. Satu bundel, satu map itu satu kasus peristiwa.
“Dan ini special case.” Mas Anton menyodorkan amplop cokelat yang diberi warna stabilo biru bertuliskan ‘pending’.
Ia semakin mengerutkan dahinya. Kasus ini dikemas berbeda. Bahkan kedua alisnya seakan bertaut menandakan ia berpikir keras.
“Ini kasus yang masih misteri. Belum terpecahkan sampai dua bulan ini. Kalo dua case lain hampir semua selesai tinggal masuk ke koordinator Aldi.” Terang Mas Anton yang kembali menyerahkan dua bundel berkas kasus tanpa map hanya dijepit dengan binder clip.
“Ada baiknya kamu pelajari ini,” tunjuk Anton pada amplop cokelat yang berstabilo tadi.
“Besok kita akan bertemu dengan pihak kepolisian yang menangani kasus ini.” Mas Anton menepuk bahunya lalu kembali ke bilik kubikelnya.
“Huh, kayaknya lama-lama aku jadi tua deh.” Ia menggerutu.
Mas Anton yang masih bisa mendengar suaranya tergelak, “Kenapa?” Tanyanya sedikit menaikkan level suaranya. Sebab ia sudah duduk di kubikelnya.
“Belum juga mulai kerja dan serah terima tapi sudah disuguhi kasus yang begitu berat. Kalo di entertain bisa santai dan tertawa. Nah, kalo kayak gini!” Tunjuknya pada map, amplop dan berkas yang hanya berjepit binder clip yang sudah berantakan di meja. “Bisa mati muda!” Tukasnya sambil menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa.
“Hahaha, Rei ... Rei.” Mas Anton tertawa renyah seraya menggelengkan kepalanya menanggapi dirinya yang mungkin baginya lucu.
“Profesional, Rei." Ujar Mas Anton sambil menggeret kursi rodanya kembali mendekat sofa yang masih didudukinya.
“Profesi jurnalis itu ya harus siap ditempatkan di mana saja. Semua ada plus minusnya. Tergantung kita menyikapi dan menjalani." Tutur Mas Anton. Jurnalis senior yang telah bekerja di perusahaan media ini hampir sepuluh tahun.
Ia menyebik, “Ya deh, kakak senior!”
“Haih ... kamu tuh lucu, Rei kalo lagi kesel. Coba aja ngaca!” Ledek Anton.
“Isshh ....” Ia mendesis.
“Hahaha.” Anton terpingkal sambil pergi mendorong kembali kursi rodanya ke bilik kubikelnya, meninggalkannya yang masih duduk di sofa.
Setelah kembali ke meja kerjanya ia menghempaskan pantatnya kasar. Hingga kursi beroda itu berputar karena menahan bobot tubuhnya. Membasahi bibir dengan sesekali menggigitnya.
“Am I capable? (apakah aku mampu)." Dengusnya. "Tapi profesi ini adalah passion-ku."
Membuka amplop yang berstabilo biru, merogoh berkas-berkas di dalamnya yang telah disatukan menjadi 1 bundel.
Lembaran pertama berisi keterangan kejadian.
...‘Peristiwa pembunuhan seorang karyawati pabrik tekstil yang diperkosa dan dimutilasi’...
Oh my god! Ucapnya dalam hati. Ia membungkam mulutnya secara refleks.
Kemudian pada lembaran selanjutnya berisi keterangan pendukung. Dari mulai nama korban, waktu dan tempat kejadian, nama-nama para saksi dan hasil penyelidikan yang belum sepenuhnya terungkap.
***
Danang
Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Danang Barata Jaya, SH. Laki-laki matang berumur 30 tahun. Menjabat sebagai Wadir Reskrimsus (Wakil direktur Reserse kriminal khusus) Polda Jateng sejak dua tahun lalu. Sebelumnya pria lulusan AKPOL (Akademi Kepolisian) terbaik di angkatannya ini telah melalang buana menjabat berbagai jabatan struktural di lingkup kepolisian Republik Indonesia.
Anak dari pasangan Komjen Pol Bagas Tri Jaya dan Anita Jaya. Serta memiliki adik satu-satunya bernama Aksara Jaya.
Papanya telah 4 tahun paripurna tugas. Sementara sang mama hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang mempunyai kesibukan dengan mengelola toko rotinya.
Laki-laki matang dengan perawakan tinggi, tegap dan tampan. Namun sayang, di usianya yang genap tiga puluh tahun justru ia dalam kesendirian alias melajang.
Berbagai prestasi ia dapatkan. Kesuksesan meraih jabatannya sekarang tidak serta merta diikuti kisah asmaranya.
Cintanya harus kandas sebab ulah sang kekasih yang terobsesi hidup bergelimang harta. Ia memilih menikah dengan seorang pengusaha kaya batu bara dibanding dirinya yang waktu itu hanya menjabat sebagai Kanit Reskrim di Mapolsek (markas kepolisian sektor) kota kecil, Pulau Sumatera.
Kejadian itu sudah berlalu beberapa tahun silam. Namun berdampak baginya hingga sekarang. Ia memutuskan bahwa hidupnya hanya untuk kerja dan kerja. Menjadikannya workaholic.
“Pulang, Ndan.” Ucap rekan kerjanya sekaligus bawahannya Kabag Wasiddik (Kepala bagian Pengawas penyidikkan) Pak Banuaji. Setelah masuk mengetuk pintu lalu menyerahkan berkas penyidikan ke mejanya.
“Silakan, Pak. Sedikit lagi saya masih ada kerjaan.” Balasnya. Meskipun ia seorang atasan bagi bawahannya yang notabene hampir semua berumur lebih tua darinya. Ia masih menaruh hormat. Jika dalam keadaan santai dan di luar pekerjaan ia menganggap mereka teman dan saudara.
“Sudah jam 8 malam, Ndan. Sudah saatnya istirahat. Kerjaan gak akan ada habisnya. Tapi waktu buat kita pasti ada masanya.” Ujarnya yang kini duduk di depan meja kerjanya.
Betul kata pak Banuaji. Kasus kriminal hampir setiap hari terjadi. Orang-orang selalu punya dalih melakukan tindak kejahatan. Tapi mereka tidak sadar, bahwa saatnya mereka akan dihadapkan pada pengadilan yang sesungguhnya saat masa mereka habis di dunia ini.
“Wah, betul banget tuh, Pak. Tiap hari kasus masuk. Rasa-rasanya kapan hidup kita damai, berdampingan, tanpa kejahatan mengintai.” Sahutnya.
“Kalau mereka diberi hidayah, Ndan!”
Ia terkekeh, “Hidayah dijemput Pak, bukan ditunggu,” tukasnya.
“Bagi yang sadar,” timpal Banuaji.
Mereka tergelak bersama, selalu berurusan dengan kasus membuat mereka kenyang seperti makanan sehari-hari. Sehingga sudah seperti lelucon penghiburan.
“Saatnya Komandan cari istri.” Ucap Banuaji setelah tawa mereka mereda. Kabag Wasiddik berumur 45 tahun. Kedekatan mereka ibarat saudara karena seringnya berinteraksi di luar maupun jika sedang bekerja.
“Hah, belum ketemu jodohnya," elaknya.
“Jodoh bukan ditunggu, Ndan! Tapi di cari,” timpal Banuaji membuatnya diam sejenak.
Beberapa kali orang tuanya berusaha menjodohkan dirinya dengan anak rekan dan sahabatnya. Namun tak ada satu pun yang mampu menggugah hatinya. Ya, ia memang belum merasakan jatuh cinta lagi.
Meski teman-temannya sudah punya pasangan hidup dan anak. Tidak bisa menggoyahkan pendiriannya. Ia yakin Tuhan sudah menyiapkan jodoh untuknya. Entah kapan itu akan terjadi, ia pun tak bisa memprediksi.
“Do’ain saja, Pak.” Jawabnya sebagai tameng pertahanan terakhir jika rekan maupun atasannya menanyakan hal pernikahan padanya.
***
Aldiansyah
Aldiansyah Kamandaka berumur 27 tahun. Bekerja sebagai koordinator program divisi news di TVS.
Mempunyai pacar yang juga bekerja di tempat yang sama dengannya sebagai sekretaris redaksi. Hubungan mereka telah berjalan dua tahun dan sudah akan mengarah ke jenjang serius yaitu pertunangan.
Aldi terkenal sebagai korlip (koordintor liputan) yang tegas, pedas tak kenal toleransi. Profesionalisme menjadi satu-satunya yang mengantarkan dirinya menjadi staf terbaik pada tahun lalu, dan di tahun ini kembali masuk nominasi pada ajang pemberian prestasi pada seluruh pegawai TVS yang diadakan setahun sekali.
Namun pertemuannya dengan staf baru pindahan entertain membuat kepalanya mendidih. Staf indisipliner menurut catatan absensi hampir tiap hari senin ia terlambat. Menurutnya ia tak pantas untuk menduduki jurnalis di ‘Telusur Peristiwa’ padahal program sedang kejar tayang, jelas saja the wrong man on the right place. Damn!
“Akan ku buat, kamu kalang kabut!” Gerutunya kesal. Ia berharap tidak ada satu pun anggota divisinya menghambat kinerjanya.
-
-
Happy reading ❤
Terima kasih yang sudah mampir, membaca dan memberikan dukungan .... ya! 🙏
Jangan lupa masuk FAV untuk mendapatkan notifikasi dan sebagai koleksi bacaan. Lalu Like, Comment, Rate dan Vote, Koin maupun Poin seikhlasnya....
Salam,
enel choi 🤗
(ig. enel_choi)
...1. Crowded ... Post Holiday Syndrome...
I don’t like Monday! Mungkin memang benar ungkapan itu. Buktinya hampir setiap hari senin ia selalu kesiangan.
Alarm ponsel yang berbunyi tiap lima menit pun tak mengindahkannya dari kasur empuk yang selalu menari-nari menariknya untuk terlelap lagi. Terhitung sudah 5 kali alarm itu berbunyi ulang. Hingga akhirnya kesadarannya kembali pulang.
“Oh my god!” Pekiknya saat melihat jam ponsel sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Salahnya sendiri sehabis salat subuh tadi dirinya tidur kembali.
Keasyikan libur di hari sabtu-minggu membuatnya post holiday syndrome. Padahal liburnya hanya diisi dengan berleha saja, sembari mempelajari berkas-berkas yang diberikan mas Anton lalu.
Bergegas ia bangun dengan kecepatan penuh menuju kamar mandi. Cukup lima menit mandi, gosok gigi. Lalu mengganti pakaian kerja. Menyapukan pelembab, sunblok, dan bedak tabur secukupnya. Memberikan polesan lipstik agar terlihat fresh. Tak lupa menguncir kuda rambutnya.
“Oh ... sial!” Gumamnya melihat ranjang seperti kapal pecah. Tapi ia tak peduli, biarlah nanti saja diberesi setelah pulang kerja pikirnya.
Memakai sepatu sneakers kesayangan. Asli bukan kawe-kawe-an. Hasil todong dari kakaknya tersayang.
“Finish, lets go!” Ucapnya sambil menyambar tas ransel dan kunci apartemennya.
Sesekali berlarian kecil, saat melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul 7 lewat 30 menit.
Dan saat tiba di pintu lift, ia harus mengelus dada. Lift penuh dan sibuk karena memang yang menggunakannya banyak. Apa lagi kondisi pagi ini banyak orang sedang beraktivitas.
Sekitar sepuluh menit barulah ia mendapatkan kotak besi yang bergerak vertikal itu. Finally.
Beruntungnya ojeg online sudah siap di lobi menunggunya lebih dulu.
Tapi tampaknya kesialan belum usai menghampirinya. Kondisi jalanan lebih crowded. Semua kendaraan baik umum, pribadi, motor dan becak saling berebut dan menyikut. Dan parahnya saat tiba di lampu merah simpang Tugu Muda. Durasi lampu merah yang lebih lama menambah kendaraan menumpuk.
Sabar. Batinnya sambil mengelus dada.
Sepagi ini di kota Semarang sudah menyengat. Ibu kota metropolitan kelima di Indonesia ini juga terkenal dengan kota panas yang melegenda.
“Udah nyampe, Mbak!” Seru tukang ojol.
“Eh, i-iya, Mas.” Sahutnya karena beberapa saat lalu pikirannya entah ke mana.
Turun dari motor dan menyerahkan helm berwarna hijau khas ojol.
Dari lobi kantor, ia berlarian menuju mesin absen fingerprint. Tergesa-gesa ia memasukkan jempol kanannya pada scanner.
“Coba sekali lagi." Bunyi mesin fingerprint melalui suara khas seorang wanita.
“Duh,” gumam Kirei. “Kenapa sih, saat genting gini mesin ini pun tak bersahabat," gerutunya sambil mengelap jari jemarinya yang sedikit basah terkena keringat akibat berlarian.
Dicobanya jari jempolnya sekali lagi masuk dalam scanner. Dan bunyi ‘tit’.
“Terima kasih.” Ucap mesin absensi itu.
“Berhasil," lirihnya dengan senyum mengembang.
Kakinya melangkah menuju lift. Memencet tombol 3. Kondisi di dalam lift lengang, terang saja waktu sudah menunjukkan pukul 8 lewat 10 menit. Semua orang sudah menekuri pekerjaannya masing-masing. Reflek ia menepuk jidatnya. Kenapa hampir setiap hari senin, ia selalu terlambat. I don’t like monday. Huft.
“Pasti telat lagi,” sapa Devi rekan sesama jurnalis divisi entertain. Saat ia mengenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya.
Kirei hanya meringis, tebakan rekannya itu memang benar. Bahkan mungkin teman-teman di divisi sudah hafal betul kebiasaannya ini.
“He he he,” tawanya garing dan dipaksakan.
“Ati-ati, lho. Nanti ke divisi news program koordinator divisinya terkenal galak.” Kata Devi.
“Hah!”
“Yang bener?!” Tanyanya dengan berseru.
“Coba aja nanti pas udah di sana.”
Kirei menggaruk rambutnya yang tiba-tiba gatal. Dilepasnya tali rambut, ia menyisir rambutnya yang lepek habis memakai helm ojol dengan jari jemarinya.
Untung helm ojol gak bau. Batinnya setelah mencium jari jemarinya yang digunakan untuk menyisir rambut sebahunya masih bau harum.
“Kapan lo, sembuh dari post holiday syndrome?” Tanya Devi.
“Kebiasaan!” Imbuh Devi.
Lagi-lagi ia hanya membalas dengan meringis.
“Lagi mencoba,” balasnya.
“Haiiss ....” Desis Devi sambil berlalu meninggalkan kubikelnya.
Pagi ini ia menyiapkan segala laporan dan program yang telah dikerjakan untuk serah terima pada staf baru yang akan menggantikannya.
**
Siang hari setelah jam istirahat makan siang. Ia menuju ruangan divisi news program. Untuk menemui Mas Anton yang telah menunggunya.
“Sori, Mas telat sedikit," ucapnya saat sudah mendekati kubikel mas Anton.
“Gak, pa-pa.” Sergah Anton.
“Maklum,” imbuhnya lagi.
Istirahat siang memang selalu riuh. Kantin penuh. Toilet full. Mushala jangan tanya lagi dipastikan antri. Harus ekstra sabar.
“Ke sofa aja, yuk!” Ajak Mas Anton.
“Gimana, sudah mempelajari berkas yang aku kasih kemarin?” Mas Anton bertanya saat mereka sudah duduk di sofa.
Ia mengangguk.
“Aku bisa tenang ninggalin di sini kalo kamu siap. Sebenarnya berat juga sih, ninggalin TVS, sudah sepuluh tahun aku di sini sudah kayak rumah kedua, seperti sodara semuanya. Tapi pada akhirnya yah ... tawaran jabatan lebih tinggi bisa mengalahkan idealisme,” tuturnya.
“Iya, sih. Lagian nanti Mas Anton jadi produser TV sana. Beeuuhhh ... sapa yang nolak!” Sahutnya.
“Heh, bisa aja kamu!” Selak Mas Anton. “Aku masih berat ninggalin keluarga. Apa lagi di Jakarta gak punya siapa-siapa,” ungkapnya.
“Lhoh, istri sama anak-anak gak diajak?”
“Mereka belum bisa ikut. Mungkin nanti tunggu ajaran sekolah baru. Yang memberatkan lagi, harus ninggalin ibuku yang sakit sepuh. Gak tega sebenarnya.”
Ia menepuk pundak Mas Anton, “Itulah perjuangan hidup, Mas. Kita harus memilih. Dan tentunya harus pandai memilih."
“Tumben,” kelakar Anton.
Mereka pun tergelak bersama.
“Oh, ya. Kamu udah pada kenal ‘kan orang-orang divisi news program?” Tanya Mas Anton.
“Sebagian sih,” jawab Kirei.
“Baguslah. Lagian kita masih satu lantai. Sering jumpa kalo pas di kantor.”
“Ton!” Panggil seorang pria jangkung yang menghampirinya dan Mas Anton.
“Hei, Bro. Kenalin nih, Kirei yang gantiin gue besok,” tunjuk Anton padanya.
Spontan ia bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya pada pria jangkung itu.
“Kirei," ucapnya.
“Aldi.”
“Dia koordinator news program,” jelas Mas Anton.
“Selamat bergabung,” ucap Aldi.
Kirei menyunggingkan senyumnya.
Aldi sudah meninggalkan mereka.
“Mas, katanya Mas Aldi galak, ya?” Bisiknya di dekat telinga Mas Anton seraya menutupnya dengan telapak tangannya.
Tawa Mas Anton tiba-tiba meledak, “Ha ha ha” hingga orang yang bernama Aldi pun yang baru akan masuk ke dalam ruangannya menoleh ke belakang tepatnya kepada mereka berdua.
“Aiih, tuh kan. Dia noleh, jangan-jang ....“
“Ton, bawa berkas telusur peristiwa yang udah siap!” Serunya. Lalu masuk ke dalam ruangan koordinator program yang mempunyai ruangan tersendiri. Tidak seperti staf biasa yang hanya terdiri dari bilik kubikel.
“Aku tinggal dulu, ya.” Ucap Anton seraya berdiri.
Kirei mengangguk.
Mas Anton mampir di meja kubikelnya dengan membawa beberapa map snelhecter. Lalu menghilang di ruangan koordinator program.
“Huh,” gumamnya sambil menyandarkan punggungnya pada sofa.
Ddrrrtttt...ddrrrtttt
Ponselnya bergetar di saku celananya.
My brother calling...
“Assalamu'alaikum ... Ya, Kak.” Sahutnya begitu sambungan telepon masuk.
“Wa'alaikumsalam, weekend besok bisa pulang gak?”
“Hemm, belum tau. Kenapa?”
“Bunda kangen sama kamu. Lagian udah tiga minggu kamu gak pulang.”
“Haiihh, cuma nanya pulang doang!” Cebiknya.
“Trus, maksudmu suruh nanya apaan?”
“Nanya, kapan Kakak kawin?”
“Kawin mah, gampang. Yang susah nikah.”
Ia semakin bersungut sebal mendengarnya, “Awas ya kalo kawin duluan, Ku aduin sama Bunda”
“Ha ha ha ....” Suara tawa membahana terdengar di telinganya.
“Pokoknya weekend besok pulang. Kakak sama Bunda tunggu. Gak ada alasan. Semarang-Solo dekat."
“Iya, iya.”
Sambungan telepon pun berakhir.
Liburan minggu kemarin padahal ia gunakan untuk berleha-leha. Karena memang divisinya sedang off kejar tayang. Semua program sudah tayang dan sudah banyak stok recording. Kecuali program dadakan. Tapi seingatnya bulan ini tidak ada.
“Sori, lama.” Ucap mas Anton.
“Gak pa-pa, Mas.”
Lalu mereka membahas keseluruhan program yang sedang digarap oleh divisi news. Jika bisa diibaratkan divisi inilah tonggak paling depan dari keseluruhan program dari TVS. Namun program lain juga sebagai penyokong yang tidak boleh dikecilkan.
TVS News sendiri terdiri dari beberapa program. Program rutin terdiri dari Seputar Jawa Tengah yang tayang pagi, siang dan petang. Telusur peristiwa termasuk program khusus yang tayang seminggu sekali. Dan program breaking news adalah progam dadakan jika ada berita informasi yang up to date sesuai waktu kejadian.
“Sudah kenal koordinator program news. So, besok kita tinggal ke lapangan. Bertemu pihak-pihak yang akan kita gali informasinya.”
“Oke, Mas.”
-
-
Catatan :
Post holiday syndrome : depresi yang berlebihan dikarenakan ekspektasi liburan terlalu tinggi, perasaan bersalah karena telah menghabiskan uang yang banyak dan ada ketakutan atau stres karena harus kembali bekerja. Untuk kasus Kirei masih tergolong ringan dan ia masih bisa mengatasinya sendiri dengan cara menemukan sesuatu yang membuatnya semangat dalam bekerja, yaitu passion-nya sebagai seorang jurnalis. (sumber idntimes.com)
Terima kasih yang sudah mampir, membaca dan memberikan dukunganya .... 🙏
...2. Kematian Tragis...
Berbekal informasi yang telah didapat, mobil kantor melesat ke jalan Simongan yang tak jauh dari klenteng Sam Poo Kong. Banyak pabrik di area itu. Salah satunya pabrik tekstil yang akan dituju.
Pakaian kebanggaan sebagai jurnalis TVS dan id card ia kenakan. Beserta tas ransel yang selalu ia bawa ke mana-mana.
Tas ransel itu berisi buku catatan, perekam suara atau recorder, ponsel pintar bermerk terkenal, headset, jaket, air minum dan kamera.
Sebenarnya kamera ini tidak wajib dibawa, karena saat peliputan berita biasanya kameramen juga ikut turut serta. Namun untuk jaga-jaga ia selalu membawa kamera di ranselnya. Dan yang tak boleh dilupakan juga adalah jaket atau sweter. Bagaimanapun, jurnalis tak kenal waktu. Bisa siang, sore, malam bahkan dini hari meliput. Saat terik maupun hujan badai tak menyurutkan langkah untuk mendapatkan berita. Jadi jaket adalah pertahanan terakhir untuk melindungi tubuh.
Saat terik begini bahkan siang belum juga menjemput, harus siap sedia juga air mineral yang selalu disimpan dalam botol tupperware. Jangan mengandalkan warung atau toko penjual minuman karena daerah yang akan diliput bisa jadi jauh dari jangkauan dan susah mencari pendagang.
Tidak mungkin juga sebagai jurnalis, mengharapkan minuman dan suguhan dari para saksi yang akan diwawancarai, bukan? Shameful.
Mobil yang membawanya telah berhenti tepat di sisi kanan jalan. Melihat parkiran mobil dan motor yang memenuhi lahan parkir tidak memungkinkan berhenti di situ.
“Ayo!” Seru Anton.
Ia dan Mas Budi sebagai kameramen, pun mengekori dari belakang.
Bertanya sebentar pada security yang berjaga di depan. Namun dari sikap security seolah tak mengharapkan kedatangan timnya.
Berbagai pertanyaan dilontarkan mas Anton, guna mendapat informasi meski secuil. Tapi justru dua security yang lain berdatangan menghampiri.
Benar-benar ditolak!
“Lantas kita kemana lagi, Mas?” Tanyanya pada Mas Anton.
“Kita ke tempat tinggalnya,” sahut Anton.
Ia pun mengikutinya.
“Eh, Mas. Tunggu! Di seberang sana ada ojeg pangkalan. Bisa jadi kita bisa mendapatkan informasi," ucapnya memberikan opsi.
“Aku udah pernah bertanya sama mereka, Rei. Ya kan, Bud?” Balas Anton meminta dukungan Budi atas pernyataannya.
Budi mengangguk, tapi tak lama berucap, “Tapi waktu itu hanya 2 ojeg aja yang berada saat kita mewawancarai mereka. Lihat sekarang, mereka banyak!”
“Oke ... oke kita ke sana!” Seru Mas Anton.
Berjalan menyeberangi jalan besar, sampailah ke tempat pangkalan ojeg. Mereka menggunakan jaket oranye sebagai indentitas.
Setelah memperkenalkan diri kepada tukang ojeg yang berjumlah 7 orang tersebut, membuatnya mengernyitkan dahi. Tak ada satu pun yang mengenali korban.
Katanya korban tidak pernah naik ojeg. Lantas ....?
“Saya pernah lihat dia naik becak, Mas.” Tukas bapak ojeg yang berkumis tebal.
“Oh, ya?” Sahut Kirei senang. Ada celah pikirnya.
“Kapan dan di mana biasa becak mangkal?” Tanyanya.
“Kalo seputaran di sini gak ada pangkalan becak, Mbak. Kalo simpang depan sana ada,” jawab bapak ojeg itu sambil menunjuk arah.
“Bapak tau ciri-ciri becak yang membawa korban atau kenal sama bapaknya yang mengayuh becak?” Tanyanya lagi.
“Waduh, saya gak memperhatikan, je ....” Balas bapak ojeg dengan logat jawanya.
“Oke Pak, suwun,”
Mentok!
Mobil menuju simpang depan yang katanya biasa becak mangkal di situ. Tapi nihil tak satu pun ada becak yang mangkal bahkan yang lewat pun.
“Kita ke mana lagi, Mas?” Tanyanya pada Mas Anton.
“Huh, udah jam berapa ini?”
“Sebelas.” Jawab Mas Budi yang duduk di depan di samping sopir.
“Kita makan dulu aja ” ujarnya. “Tanggung juga mau ke Polda. Nyampe sana pas jam istirahat,” sambungnya.
Mobil pun melaju ke arah kota. Namun saat di tengah perjalanan. Mas Anton menginstruksikan untuk putar balik. “Putar balik, Pak Yon!”
“Mas, ini mau kemana? Kok putar balik?” Tanya Kirei heran.
“Gak jadi ke Polda. Pak Wadir ngajak ketemuan di kantor Ditreskrimsus,” ucapnya.
“Pak, putar ke arah Banyumanik, ya!” Seru Mas Anton pada sopir kantor.
“Ya, Mas.” Sahut Pak Yon patuh.
“Kalian mau makan apa?” Tanya Mas Anton.
“Ngikut, aja.” Mas Budi menyahut.
“Ada soto gak, Mas. Kayaknya pengen yang seger-seger gitu,” celetuknya.
“Pak Yono mau makan apa?” Tanya Anton pada sopir yang bernama Yono.
“Saya juga ngikut aja, Mas. Semua masuk kecuali yang keras.”
“Batu kali, Pak Yon yang keras.” Sergahnya berkelakar.
“Ya makanya gak bisa makan batu, Mbak Rei ... he he he.”
Mobil telah berhenti tepat di sebuah warung makan ‘soto seger’ khas Boyolali.
“Wiih ... enak nih. Udah ngiler.”
“Ck, dasar!” Seru Anton.
Namun saat mereka akan mencari tempat duduk ternyata sudah penuh.
“Ton!” Panggil seseorang di meja ujung sendirian.
Kirei beserta rombongan spontan menoleh.
Orang itu memanggil dengan melambaikan tangannya, “Sini gabung!”
Pas kebetulan, meja orang itu kosong 4 kursi.
“Siang Pak Wadir,” ucap Anton sambil menjabat tangannya.
“Santai saja. Gak usah formal gitu.” Sahut laki-laki yang menggunakan seragam polisi.
“Kenalin, Pak. Ini rekan saya, Kirei.” Tunjuk Mas Anton padanya.
“Kirei,” ucapnya seraya mengulurkan tangan.
“Danang,” balasnya dengan menyambut uluran tangan Kirei.
“Hayo, duduk! Langsung pesen aja,” ujarnya ramah.
“Makasih, Pak.” Ucapnya bersamaan dengan Mas Anton dan Mas Budi.
“Kamu masih pegang kameramen, Bud?” Tanya Danang pada Budi.
“Masih, Pak.”
“Kirei ini nanti yang akan gantiin saya, Pak.” Ujar Mas Anton.
“Oh, ya?!”
“Jadi kamu ke ibukota?”
“Ya,”
“Selamat deh. Semoga di sana lebih sukses.” Ucap Danang.
“Makasih, Pak.”
“Sori, gak jadi ketemuan di Polda. Soalnya habis rapat sama pimpinan tadi ternyata lebih cepat.” Ujarnya.
“Gak pa-pa, Pak. Kami pun baru dari TKP (Tempat Kejadian Perkara).
“Oh, ya?!” Danang terlihat mengernyitkan dahinya.
Dan perbincangan ringan terus berlanjut hingga makan usai. Para lelaki terlihat merokok. Kirei yang tak tahan dengan asap rokok pamit ke kamar mandi sebagai alasan.
Lima belas menit kemudian ia kembali bergabung.
“Kita langsung ke kantor aja,” ucap Pak Danang.
Perjalanan dari warung makan ini ke kantor Ditreskrimsus tidaklah jauh. Dengan menempuh perjalanan 15 menit menggunakan mobil.
Setelah perbincangan mengenai kasus yang sedang diliput TVS dan ditangani Ditreskrimsus mengarah ke hasil temuan dan bukti-bukti. Wawancara pun dimulai.
“Sejauh ini memang masih belum ditemukan tersangka. Saksi-saksi yang minim. Barang bukti yang dihilangkan. Semua terlihat rapi. Tapi kita tetap terus bekerja. Sampai menemukan titik terang.” Jelas bapak wadir.
“Saudara, kerabat, teman apa tidak ada yang bisa menginformasikan, Pak?” Tanyanya.
“Korban yatim piatu. Tidak ada teman dekat. Bahkan menurut teman-teman kerjanya korban terkenal introvert. Tidak banyak bicara dan tertutup.”
“Selama 1 tahun kerja?” Tanyanya lagi.
“Ya. Sejauh ini yang kami dalami,”
Kirei terlihat menggelengkan kepala. Tak percaya akan informasi yang diterima. Kematian yang tragis pikirnya.
Lalu, Pak Wadir menunjukkan bukti-bukti tambahan umum. Semua telah direkam dan diliput.
“Baik, Pak. Kami rasa cukup hari ini. Kami berterima kasih, Bapak sudah meluangkan waktunya. Mudah-mudahan kasus ini cepat terungkap,” ucap Mas Anton.
“Oke. Mudah-mudahan kasus ini cepat terungkap,” balasnya.
“Kami permisi, Pak.” Pamit Mas Anton. Ia dan Mas Budi pun ikut berpamitan.
Matahari sudah mulai condong ke barat. Tujuan mobilnya kini ke Rumah Sakit Bhayangkara di Gayamsari.
Memperlihatkan Id card dan surat tugas. Mereka digiring ke ruangan dokter forensik yang melakukan autopsi terhadap korban.
Dokter Haryadi, Sp.FM itu menjelaskan secara jelas dan terperinci disertai foto dokumentasi. Bagaimana potongan tubuh itu dibagi menjadi delapan bagian. Terdiri dari kepala, perut, kaki empat bagian, tangan kanan dan kiri.
“Hoeek ... hoeek,” refleks Kirei membungkam mulutnya sendiri, bergegas pergi lari ke kamar mandi.
Perutnya seolah-olah diaduk dan diremas hanya mendengar cerita dari dokter forensik.
Semua makanan soto beserta pelengkapnya yang tadi siang membuatnya ngiler, dimuntahkan semua. Hingga ia merasakan lemas dan mulut terasa pahit.
Ia menggelengkan kepala. Setelah membersihkan mulutnya. Rasanya tak sanggup mendengar kelanjutan cerita dokter itu.
Am i capable (apakah aku mampu)?
Sedang mendengar cerita saja beserta dokumentasinya, sudah membuatnya jungkir balik. Apa lagi melihat secara langsung korban. Oh my god. I can’t do it.
-
-
Terima kasih yang sudah mampir, membaca dan memberikan dukungan....ya! 🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!