NovelToon NovelToon

TERJEBAK PERJODOHAN DENGAN SANG CASANOVA Seasons 2

Mendesak

Setelah perceraiannya kemarin, Amora menjadi sosok wanita yang lebih tangguh dan kuat, atau lebih tepatnya memaksa dirinya untuk tak selalu bergantung pada orang lain, terutama pria. 

Tak sedikit orang yang mendekatinya dan terang-terangan mendekatinya saat tahu dirinya sedang dalam proses perceraian dengan Andre beberapa saat lalu. Bahkan tak hanya satu dua pria yang mencoba mengajaknya menikah setelah tahu dirinya sudah menyandang gelar janda.

Tapi ada tak bisa Amora pungkiri ada sosok pria yang selalu datang saat ia tengah membutuhkan uluran tangan seseorang untuk membantunya saat dalam masa kesulitan. Seperti saat dirinya harus membuat beberapa proposal tender, sosok Thomas selalu hadir tanpa ia duga.

Sering juga dirinya berpikir jika Thomas juga menaruh hati kepadanya seperti pria-pria lainnya, karena pria itu seperti seorang malaikat yang selalu membantunya dalam kesulitan. Tapi Amora selalu menepis anggapan tersebut karena selain Thomas tak pernah mengutarakan isi hatinya, Amora juga masih takut menerima cinta baru yang belum tentu bisa ia balas dengan baik. Ditambah lagi beberapa saat lalu Amora mengetahui jika pria itu tengah dekat dengan seorang wanita, meski dirinya belum tahu siapa itu. 

Perceraian dengan Andre kemarin berhasil menorehkan luka yang begitu dalam, dan penyesalan yang teramat sangat untuk dirinya. Perpisahan itu memang terjadi karena perselingkuhan yang dilakukan suaminya, namun dia pun sadar jika dia lah yang menyebabkan suaminya melakukan hal tersebut. Istri macam apa yang lebih memikirkan pekerjaan dibandingkan suami sendiri. Dan saat dirinya mulai menyadari kesalahannya, ternyata semuanya sudah terlambat. Cinta Andre nyatanya hanya setebal kulit bawang. Dua tahun berpacaran, ternyata tak menjamin keharmonisan rumah tangga yang mereka bina. Di bulan ketiga usia pernikahan mereka, rasa cinta Amora lenyap setelah mengetahui perselingkuhan yang suaminya lakukan. 

Kembali kepada Thomas, pria yang beberapa bulan ini menjadi pria yang paling dekat dengannya, hampir setiap hari mereka bertemu, meski kedekatan keduanya hanya sebatas pekerjaan, namun Amora mulai terbiasa menerima kehadiran pria bercambang tipis itu. 

Meski tahu jika pria berwajah khas Timur Tengah adalah seorang Cassanova seperti adik iparnya dulu, tapi entah mengapa Amora merasa nyaman tiap kali dekat dengannya, mungkin karena Thomas tak pernah menyinggung urusan pribadinya, atau mungkin…

Entahlah, Amora pun tak mengerti. 

Namun hal itu tak berlaku untuk saat ini, karena tiba-tiba saja atmosfer mobil itu membuat dirinya begitu canggung hingga malu untuk sekedar mengangkat wajah cantiknya. 

Ungkapan isi hati Thomas yang begitu mendadak membuat dirinya begitu terkejut sekaligus gugup. Bagaimana bisa dengan mudah dan entengnya pria itu mengungkapkan isi hatinya, tanpa aba-aba?

Bahkan dia tahu betul kapan masa iddah dirinya, yang katanya 52 hari lagi. 

Apa Thomas benar-benar menyukai dirinya, hingga pria itu tahu betul hal kecil yang bahkan kedua orang tuanya pun pasti tak memperhatikannya. 

Apakah dirinya masih berhak untuk dicintai? 

"Kok diem aja?"

Suara Thomas membuyarkan lamunannya, saking gugupnya tanpa sadar dia mencengkram gelas plastik bekas minuman yang manajer toko kue berikan untuk mereka tadi hingga penyek. "Ah, itu—"

"Aku gak minta jawabannya sekarang kok, aku masih bisa nunggu 52 hari lagi."

"Tapi saya—" Amora kembali berbicara formal seperti beberapa bulan lalu tanpa ia sadari. 

"Saya?"

"Eh, aku maksudnya. Maaf!" Amora masih menekuk wajahnya ke bawah. Benar-benar momen yang begitu mencekam. 

"Aku baru liat loh, muka kamu bisa semerah itu," ucap Thomas dengan senyum meledek. 

"Gerah." Amora mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan. 

"Mau aku tiupin biar gak gerah? Soalnya acenya udah full, jadi gak bisa dikencengin lagi," kelakar Thomas, dan berhasil membuat panas wajah Amora, hingga terasa sampai ke ujung telinga. 

"Mas!" rengek Amora, sebal. 

"Iya, aku calon Mas mu! Tapi biasa aja panggilnya, kayak ngajak…" Pria sableng itu sengaja menggantung ucapannya. 

"Ih, apa sih? Kamu tuh, ya!" 

"Kenapa gak suka? Gelay?" ledek Thomas yang seperti punya hobi baru, melihat rona di wajah cantik Amora. 

Amora tak merespon, dia menarik nafas dalam-dalam, dan membuangnya perlahan, terus berulang beberapa kali. Berusaha mengontrol emosi dari dalam dirinya, yang biasanya selalu berhasil dengan cara seperti itu apabila dia sedang gugup menghadapi apapun. 

Benar saja, kini wajah Amora sudah bisa merasakan hembusan hawa dingin dari pendingin mobil. 

"Mas?" Amora mulai berbicara dengan memberanikan diri menatap wajah tampan Thomas yang sedang menghadapi kemacetan. 

"Iya, Dek!" jawab Thomas seraya membalas tatapannya. 

Blushing…. 

Rasa hangat kembali menerpa wajah Amora saat tatapan mereka bertemu. 

Ya, Allah, tetap kuatkan Si Iman dan Si Imin hamba-Mu yang tampan ini. Doa Thomas dalam hati. 

Jika saja Amora seperti gadis-gadis yang biasa ia kenal, mungkin Thomas sudah memarkirkan mobilnya di tepi jalan, untuk membuat mobil itu berguncang karena kegiatan yang ia lakukan kepada wanita itu, tapi ia sadar betul, Amora bukan tipe wanita yang mudah dijelajahi dan dibuat enak. Wanita itu bahkan cenderung introvert, mengenai hal-hal pribadi dalam dirinya. 

"Kok diem, kamu mau ngomong apa?" goda Thomas lagi. 

"Gak jadi, nanti aja setelah 52 hari kemudian!" jawab Amora sambil mengalihkan wajahnya ke arah jalan raya yang sedang dipadati kendaraan. 

"Oh, sekalian langsung nentuin tanggal aja nih ceritanya!"

Sontak mata Amora membelalak, mendengar ucapan Thomas. Dia yang biasanya pandai merangkai kata saat presentasi ataupun memimpin rapat di perusahaannya, kali ini dibuat kehilangan kata-kata. 

Thomas benar-benar mendesaknya dengan cara yang begitu antimainstream, tanpa bertanya bagaimana perasaannya, pria itu seperti begitu percaya diri jika dirinya juga memiliki perasaan yang sama. 

"Ini gak semudah itu, banyak yang harus aku pikirin sebelum nerima kamu. Aku pernah gagal. Aku takut—"

"Jangan takut, ada aku!"

Kali ini Amora memilih kicep, dan kembali menghitung mobil yang berada di sekitar jalan raya. 

...Ketemu Lagi...

...🤗🤗🤗...

Calon Penganten

Rumah kediaman Anggara nampak ramai dikunjungi banyak orang hari itu, bahkan semakin sore, makin banyak saja tamu yang didominasi kerabat dan sanak famili. 

Meski tidak mengadakan acara empat bulanan cucu pertama mereka dengan meriah, namun tetap saja banyak tamu yang hadir, kapan lagi biasanya keluarga berkumpul jika bukan pada momen seperti ini, jadi mereka menggunakan momen ini untuk reuni keluarga juga.

"Ieu besan?" tanya salah seorang kerabat yang baru pertama kali melihat wajah Delena. "Bule, ya!"

"Dia pikir si Satria bule turunan dari siapa? Kalo bapak lokal emak lokal, anaknya bule, perlu dipertanyakan proses pembibitannya kalo gitu ceritanya!" sindir Dina kepada kakak perempuannya. 

"Eh iya, si mantu bule." Dia tertawa garing. "Haw ar yu!" sapanya pada Delena dengan pelafalan Inggris yang begitu kaku. 

"Heleh, belaga ngomong bahasa Inggris, kerok dulu lidahnya sonoh Mpok!" Ucapan Dina memancing tawa yang lainnya. 

"Saya bisa bicara bahasa Indonesia dengan baik. Euceu nu ti Bandung tea sanes? (Mbak yang dari Bandung itu kan?)" ucap Delena, dibubuhi senyumnya yang elegan. 

"Tobat Gustiiiiiii. Aya Bule bisa ngomong Sunda," seru wanita tua yang lebih tua dari Dina itu. 

"Abdi ti Cianjur, janten tiasa atuh nyarios basa Sunda, sakeudik-sakeudik (saya dari Cianjur jadi bisa lah, berbicara bahasa Sunda sedikit-sedikit)."

Makin takjub saja kakak dari Dina itu, mendengar pelafalan bahasa Sunda Delena yang cukup fasih. "Gustiiiiiii, asal teu percaya," lanjutnya. 

"Bentaran lagi juga lagu kuntilanak berkumandang!" celetuk Kimy

"Si Borokokok, ngerakeun bae (Si Borokokok malu-maluin aja)!" sengit wanita yang bernama Dian itu. 

"Lagu kuntilanak gimana?" tanya Dina bingung. 

"Lah itu yang biasa si Uwa puter itu loh Bu, yang gini nih 'rambut panjang nu ngarumbai, disangkeh nyi Kunti Nyampai'" Kimy menyanyikan sepotong bait dari lagu berjudul Kalakang. 

"Lain kitu lirikna siah, Borokokok!" 

"Emang gimana?" tantang Kimy, memancing wanita tua itu bernyanyi. 

"Kieu yeuh (begini nih)!" si Uwa nampak mulai mengambil nafasnya untuk bernyanyi lagu kesukaannya.

"Rambut panjang nu ngarumbay

Disangkeh panangan nyampay

Lalaunan raray tanggah

Rangkulan karaos pageuh..." 🎵🎵

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Waktu menuju acara syukuran hanya tinggal beberapa menit, para tamu undangan sudah menempati tempat duduknya masing-masing, sambil mengobrol menunggu acara dimulai. 

"Satria mana?" tanya Rahardian, karena belum melihat tubuh tinggi Sang menantu. 

"Lagi mandi dulu! Bentaran lagi juga beres," jawab Kimy yang nampak anggun dengan gaun panjang bercorak batik biru muda, ditambah lagi kerudung dengan warna senada hingga berhasil menutup keminiman akhlaknya.

"Ucuk, si Embek mana? Tadi dia mau pinjemin gue kemeja katanya." Thomas begitu tergesa-gesa. 

"Masih mandi, baju udah disiapin di ranjang kamar, tinggal ambil aja!" jawab Kimy dengan sebelah sudut bibir yang ditarik ke atas. "Gak modal!" cicitnya. 

"Gue sumpel rengginang tuh mulut!" balas Thomas sebelum berlari ke arah kamar. 

Ternyata Satria sudah selesai mandi saat Thomas masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda itu. 

"Mana kemeja buat gue Mbek?"

"Tuh di atas kasur ada beberapa, pilih aja yang cocok!" jawab Satria yang sedang mengeringkan rambutnya.

"Cowok itu ngapain aja Bing, selama di sini? Gue liat tadi, dia juga masih ada di sini." 

"Cowok? Siapa maksud lo?" Sepertinya Satria lupa akan kehadiran Tama. 

"Si Tama, siapa lagi emangnya!" bentak Thomas sambil mengancingkan kemeja batik yang ia kenakan. 

"Biasa aja kali. Yang dateng kan banyak. Emang gue merhatiin satu-satu!"

"Ah, elu mah emang gak pernah perhatian sama orang." Thomas kesal. "Gue ke depan lagi, takut calon makmum gue dipedekatein sama orang!"

"Kencengin tali kolor lu jangan sampe melorot sebelum waktunya, Ta!" seru Satria sebelum Thomas keluar.

Sepuluh menit menuju puncak acara, Satria sudah nampak gagah dengan baju kemeja model koko berwarna putih yang ia kenakan. 

"Kimy mana Ra?" tanya Satria pada kakak iparnya, Amora. 

"Udah di depan, cepetan sana, mereka tinggal nunggu elu doang!" jawab Amora, "eh Sat, kok kemeja lu beda sama Kimy? Bukannya katanya mau couple-an?"

Satria baru menyadarinya jika dirinya salah menggunakan kostum, bisa berabe urusannya jika Nyonya melihat dirinya tidak menggunakan kostum yang sudah mereka pesan sejak jauh-jauh hari. 

"Gue ganti dulu deh!" Namun belum sempat Satria putar arah, tubuhnya tiba-tiba saja dicekal oleh tangan sang ayah mertua. 

"Mau kemana lagi? Semua udah siap, tinggal nunggu kamu!"

Hati Satria terbagi dua, antara mengganti kostum dengan kemeja yang coraknya sama dengan yang istrinya kenakan atau tetap menggunakan baju itu, dan efeknya pasti akan terjadi acara siraman rohani tunggal yang akan dia dapatkan dari sang istri. 

"Malah bengong, ayo cepetan!" Rahardian menarik paksa lengan kekar Satria agar mengikuti langkahnya. 

"Tuh, calon ayahnya udah datang!" ucap salah seorang kesepuhan komplek sambil menujuk pria tampan yang nampak sibuk menyuguhkan air minum dalam kemasan kepada para tamu yang hadir. 

"Ayo udah waktunya ini, udah telat lima belas menit malahan!" sambung seseorang yang kemudian menarik tubuh pria itu menuju tempat acara. 

"Tunggu dulu!" Dia berusaha menahan diri.

Namun tanpa mengindahkan ucapnya, bapak-bapak yang menggiringnya itu memaksanya untuk duduk di sebelah sang calon ibu. 

"Nih calon ayahnya udah ada, ayo kita mulai!" Setelah mendudukkan pria yang ia giring di samping Kimy. 

Senyum cantik Kimy yang sedang dalam mode soleha seketika pudar melihat pria itu duduk di sampingnya. 

"NGAPAIN LOH?" Mode soleha off, membuat semua orang bertanya-tanya konflik suami-istri apa yang sedang terjadi, hingga sang calon ibu begitu marah kepada suaminya. 

"Gue juga gak tau, kenapa bisa gue digiring ke sini?" sahut Thomas tak kalah sewot. 

Mata Kimy makin melotot saja kala melihat kemeja batik suaminya yang senada dengan yang ia kenakan malah dipakai musuh bebuyutannya. 

"Kamu ngapain pake baju laki aku!" Kimy langsung berdiri dari duduknya. 

"Pinjem!" jawab Thomas polos. 

"Buka kemeja itu, aku gak suka kamu pake baju samaan sama aku!" 

"Gue juga gak sudi couple-couple-an sama elu!" balas Thomas. 

"Onta!" pekik Satria yang terlihat kesal melihat Thomas mengenakan kemeja batik yang harusnya ia kenakan. "cepet tukeran!"

Dan dalam beberapa detik suara gemuruh sorak memenuhi ruang tamu yang telah dipenuhi beberapa tamu undangan, saat melihat dua orang pria tampan dengan bentuk tubuh menawan berganti baju di hadapan mereka. 

"Tobat Gustiiiiiii!" Dian, kakak Dina. 

"Ya Allah Gustiiiiiii!" seru Dina juga. 

Kedua kakak-adik minim iman itu berpelukan karena takjub melihat penampakan yang tersaji di depan mata.

Akhirnya acara tetap berlangsung tak tepat pada waktu yang telah ditentukan karena perdebatan tak berfaedah yang terjadi antara Kimy dan Thomas. 

Thomas yang malu bercampur kesal, memilih bersembunyi di dapur, sambil mencicipi makanan yang ada di atas minim bar ruang makan itu. 

"Nih!" Sebuah tangan berjari lentik menyodorkan sebotol air dingin dari dalam kulkas. 

"Makasih," jawab Thomas yang sebenarnya malu untuk bertemu Amora di saat seperti itu. Dipermalukan di hadapan banyak orang saat acara penting, bukankah itu adalah sebuah momen yang cukup mengerikan? "Kamu gak ikut pengajian?" tanyanya, melihat Amora duduk di sampingnya. 

"Gak kebagian tempat," jawab Amora yang sebenarnya pergi dari tempat duduknya dan mengikuti langkah Thomas dari belakang. 

"Si Mbak Ara sama Mas Thomas bajunya samaan gitu, cocok euy!" seru Encus. 

Sontak Amora dan Thomas langsung saling melirik baju yang mereka kenakan. Keduanya memang mengenakan baju berwarna putih gading. 

"Tanda-tanda jodoh kali," celetuk Thomas membuat wajah Amora kembali merona. 

"Eh ada calon penganten!" ujar Encus lagi melihat Tama yang ikut masuk ke dapur. 

"Ah si Encus bisa aja!" jawab Tama kemudian duduk di samping Amora. 

"Maksudnya penganten?"

"Nanti kalau udah deket waktunya, saya akan undang kok!" jawab Tama sambil tersenyum kemudian meneguk minuman di gelas Amora. 

Bangsaat!

Kiamat

Dada Thomas bergemuruh mendengar ucapan pria bernama Tama itu. 

Apa katanya barusan? Apa Thomas tak salah dengar jika pria itu akan mengundangnya di pesta pernikahannya nanti? 

Itu tak akan mungkin terjadi, Junaedi!  batin Thomas

Enak saja Tama akan menikung wanita yang telah dia incar sejak Amora masih menyandang status istri Andre, meski saat itu Thomas hubungan Amora dan mantan suami memang sudah di ujung tanduk.

Lama menunggu hari ketuk palu tiba, dan dengan menyedihkannya Thomas dengan telaten menghitung masa iddah janda muda itu, bagaimana bisa dia membiarkan wanita yang sudah dia cap sebagai calon makmumnya itu akan menikah dengan pria lain. 

"Maksudnya nikah? Nikah sama siapa?" tanya Thomas yang penasaran. 

"Sama siapa lagi?" Tama menggantung ucapannya. "Ayo, Ra! Kita ke depan lagi. Orang lain aja ngeluangin waktu mereka untuk do'ain Kimy and babynya, masa kita di sini?"

Kita? Heh elu aja kali, Kampreto! 

"Gak enak juga sama tamu yang lain, kalau gak liat kita sebagai orang terdekat mereka ada di sana," ajak Tama, dengan setengah memaksa. 

Orang terdekat katanya?

Thomas murka. Enak saja Tama mencap dirinya orang terdekat dari sepasang calon orang tua itu, dia tidak tahu saja bahwa Thomas berkontribusi besar atas terbentuknya si cabang bayi yang kini sudah bersemayam di perut istri sahabatnya itu. 

Masih jelas di ingatan Thomas bagaimana terburuknya Satria dulu karena ancaman Rahardian yang begitu membenci sahabatnya itu, hingga melarang Satria menyentuh istrinya dulu, dan jika bukan karena Thomas yang membawa tubuh mabuk Satria pulang ke rumah mereka, dan menjelaskan semua yang terjadi kepada Kimy, mungkin kedua orang itu sudah menyandang gelar Janda dan Duda. 

Dan apa barusan yang Tama bilang? 

Dia adalah orang terdekat dari mereka? 

Sontoloyo!

Jika saja menggantung manusia bukan perbuatan jahat, mungkin sudah Thomas lakukan sejak ia melihat Tama di restoran dulu. 

"Come on, Ra!" Tama mengulurkan tangannya kepada Amora. 

Dengan kecepatan cahaya, sebelum Amora meraih uluran tangan Tama, Thomas lebih dulu meraihnya. 

"Thomas!" ucap Thomas seperti sedang memperkenalkan diri. 

Tama tak bisa menyembunyikan keterkejutannya atas apa yang Thomas lakukan, matanya bahkan membelalak karena tiba-tiba saja uluran tangannya di raih Thomas. 

"Kita belum kenalan bukan. Saya Thomas. Sohib si Embek?" cengirnya. 

"Heh?"

"Maksudnya, Satria. Kita temenan semenjak SMP, jadi bisa dibilang, kalau saya juga sangat dekat sama mereka. Bukan kamu doang!" Kalimat terakhir terdengar penuh sindiran. 

"Oh. Iya, iya. Okey." Tama salah tingkah karena Thomas tak kunjung melepaskan tangannya. 

"Yuk, Ra!" ajak Thomas dan tanpa meminta persetujuan Amora, dia menggenggam erat pergelangan kecil tangan Amora. 

Yuk, calon bojo, Mas mu akan jagain kamu, dari para Sultan Keremi, kayak gini.

Acara pengajian dan doa untuk sang calon ibu dan bayi berlangsung khidmat, bahkan ada tangis haru saat mendengarkan doa tulus yang terlantun dari mulut calon Eyang Buyut, kala mendoakan cucu tercintanya itu beserta calon cucu buyut yang ada dalam kandungan Kimy. 

Acara syukuran telah usai sejak dua jam lalu, hari hampir menuju tengah malam saat itu, dan Thomas dengan rasa penasarannya yang teramat besar, tentang keingintahuannya terhadap hubungan apa yang terjalin antara Tama dan Amora, membuatnya menjadi tamu terakhir yang ada di kediaman Anggara. 

Bahkan Gery yang satu jam lalu mengajak sambil setengah memaksanya pulang, tak digubris oleh Thomas. 

Pantang pulang sebelum tahu kejelasan atas hubungan calon makmumnya dengan pria yang malas ia sebut namanya itu. 

"Elu mau nginep, Ta?" tanya Satria sambil memindahkan sofa dibantu dirinya. 

"Gue gak mau mati penasaran. Ada yang meski gue tanya ke elu, Mbek!" Sambil menggeser sedikit posisi sofa yang sedikit miring. 

"Emang elu mau mati dalam waktu dekat ini?" tanya Satria asal. Pria yang sedang menggulung karpet itu seperti tak melihat api biru yang sedang berkobar di dada sahabatnya.

"Amit-amit, amit-amit!" Thomas mengetuk-ngetuk kening Satria, membuat si pemiliknya marah. 

"Elu amit-amit ke kepala gue, mau gue bikin elu gak punya kepala?" 

"Makanya bacot lu dijaga, jangan asal ngomong aja tuh mulut!"

"Lah, pan gue cuma tanya, abis elu bilang elu gak mau mati penasaran, kan tadi!" Satria meninggikan suaranya, karena tak terima mendapatkan makian dari sahabatnya. 

"Ya, tapi jangan bilang gitu juga, enak aja lu maen mati-mati aja, sedangkan Dedek Ara belum gue bayar tunai," cicit Thomas karena masih ada Rahardian dan Papa Satria yang juga sedang menggulung karpet-karpet besar yang tadi di gelar untuk acara. 

"Gak sudi gue punya kakak ipar elu."

"Tapi gue ikhlas ridho nerima lu jadi adek ipar gue!" balas Thomas. 

"Nangis kejer bini gue kalo elu sampe jadi kakak iparnya!" Satria tak mau kalah.

"Cinta ditolak dukun bertindak, gue gak mau ada yang menghalangi hubungan gue sama Dek Ara."

"Sejak kapan si Amora, jadi adek angkat elu!"

"Bukan adek angkat, pea!" Thomas mendorong kening pria yang juga atasannya di kantor, tanpa rasa berdosa. "Bae-bae aja lu sama gue kalau gak mau gue dukunin!" acam Thomas. 

"Mana mungkin cewek kayak Amora naksir elu. Percaya diri itu boleh, tapi kalau overdosis, bikin orang mual."

"Sekali-kali ngapa Mbek, elu dukung gue!" bentak Thomas membuat Rahardian dan Edwin yang masih sedang melipat karpet melirik ke arah mereka. 

"Kalian tuh udah pada tua aja becandanya kayak pada masih bocah! Inget umur! Udah pada tua!" Edwin menekankan pada kata tua. "Dari dulu gak ada akurnya!"

"Mereka temenan sejak kecil?" tanya Rahardian sambil meletakkan gulungan karpet di sudut ruangan. 

"Dari SMP kalau gak salah," jawab Edwin sambil mengingat-ingat.

"Tapi tuaan Thomas setaun, dia ga naek kelas waktu SMP soalnya, makanya kita bisa sekelas," sindir Satria, karena memang itu kenyataannya. 

"Heh, gue bukan gak naek kelas, tapi syarat gue diterima di sekolah itu, emang harus ngulang ke kelas satu lagi! Lagian juga pelajaran di sini sama di London tuh jauh beda, gak nyambung lah kalau gue tetep lanjut di kelas 2."

Thomas memang lahir dan besar hingga usia remaja di London, namun saat kedua orang tuanya memutuskan bercerai, ibunya yang asli Indonesia memilih kembali ke tanah air, dengan membawa Thomas dan kedua adiknya. 

Maka dari itu saat pindah ke Indonesia, dia masih kurang fasih berbahasa Indonesia, oleh karena itu saat pindah ke sekolah barunya Thomas Remaja jadi sedikit sulit bergaul, meski sekolahnya adalah sekolah internasional, namun tetap saja Thomas sering kesulitan dalam berkomunikasi dengan yang lainnya, ditambah lagi jiwa pemberontak seorang remaja yang kurang mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, membuat dirinya menjadi sosok yang malas bergaul dengan para anak-anak abege yang rata-rata adalah anak dari orang-orang penting ataupun para kaum jetset. Tapi itu tak berlangsung lama saat Satria masuk ke sekolah itu, karena di D.O dari sekolah sebelumnya, juga nasib yang Satria alami karena kurangnya perhatian orang tuanya, membuat Thomas seperti menemukan teman senasib seperjuangan yang bisa diajak liar bersama. 

"Gue gak bego, ya. IQ gue lebih tinggi 4 poin dari elu, inget!" jawab Thomas jemawa. 

"Wah masih pada asik ngobrol nih kayaknya. Mau aku bikinin minuman sama bawain cemilan buat temen ngobrol?" Suara lembut Amora menyapa gendang telinga para pria beda generasi itu. 

"Ide bagus tuh! Bawain es balok kalau ada buat ngompres si Onta!" sambut Satria.

"Lu pikir gue bocah, yang lagi sumeng!" Thomas tak terima. "Gak usah ngerepotin, aku bisa bikin minum sendiri. Kamu istirahat aja, dari siang kamu kurang istirahat, kan!" ucap Thomas penuh perhatian. 

"Kamu dari mana? Ayah kira udah tidur."

"Abis ngobrol sama Tama."

APAAAAAA! 

Emang kampreto delisioso tuh orang, kesel-kesel besok subuh gue lamar juga nih, biar jodoh gue gak dipatok ayam. 

Asap karena kebakaran lokal yang terjadi dalam diri Thomas mengepul di kepalanya. Bahkan alarm tanda bahaya sedang berbunyi kencang dalam dirinya. 

"Ayah kira Tama udah pulang, bukannya dia pamit dari tadi?"

"Iya, kita ngobrol-ngobrol bentaran di luar, tadi siang kan aku belum sempet ngobrol sama dia," jelas Amora, "kalau gitu aku tidur dulu deh ya!" Si Cantik itu pun berlalu. 

"Tama itu masih ada hubungan family dengan Pak Hardi?" Thomas memberanikan diri bertanya, sambil berdoa jika prasangkanya itu benar. 

"Calon anggota keluarga lebih tepatnya. Kan belum nikah." Rahardian menjelaskan, dengan penuh semangat. 

Langit seolah runtuh, bumi seakan terbelah, awan kelabu menggulung di atas kepala Thomas bersama kilatan petir yang menghantam kepalanya. 

Tubuhnya lemah, seolah tulang dan otot-otot di tubuhnya melunak. Dia mencengkram lengan kokoh Satria, berusaha menopang tubuhnya yang tinggi. 

"Kiamat, Mbek!"

...Jeng, jeng, jeng lagi🤭...

...Apakah Tama adalah batu penghalang calon jodoh Thomas? ...

...Atau.... ...

...Ada yang bisa nebak-nebak??? ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!